INA
Oleh Hanifa Marisa
"Ina pulang lebaran ya?" terdengar mama merayu di
telpon. Ina terdiam. Agak berat sih! Sebab pengen jalan-jalan ama teman kuliah
di kampungnya; udah janjian. Lagian, kan selama ini Ina udah lebaran di kampung
terus. Sekali-seklai dong, lebaran di seberang, ama teman. "Aduh mam,
mikir dulu ya,...sebab ada janjian ama temen .." "Yah, mending
dikampung nak. Kita kumpul. Papa juga pingin Ina balik.." mama
melanjutkan. "Ntar Ina ngomong ama temen dulu deh Ma...ya Ma ya?"
Mama terdiam. Agak lama. Ina menunggu. Terdengar helaan nafas panjang. Lalu
kembali suara mama di speaker ponsel,"Nenekmu Ina, nenekmu pengen sekali
memegang kepalamu,..."
Nenek! Nah, itu mustahak! Rina ddekat sekali sama nenek.
Kadang-kadang, ia rasa Nenek memanjakannya berlebihan. Entah kenapa, kata
orang, ia cucu yang comel, sentil, suka usil, selalu mengganggu nenek, minta
duit, merengek dan sering dimintain tolong mijit kalo capek. He he he, nenek!
Lagipula, nenek itu matanya teduh. tak mau marah jika
digelayuti. Suka belikan jajan macam-macam. Pagi dan sore. Dan ini yang buat
Rina kagum sama nenek. Ia terkenal cantik dan teguh pendirian sejak semasa
kecil. Mau tahu kisah nenek saat masa kecilnya sekolah di kota besar dulu? Ia
pernah melawan gurunya lho!
Tahun 1964 adalah masa dimana arus politik dikuasai oleh orang
progresif revolusioner dan bekerjasama dengan Peking Moskwa. Tau kan partai
yang kuat saat itu? Iya,... itu! Betul!
Nah, guru nenek di kelas, adalah anggota partai itu, yang
kemudian dibubarkan. ia militan. Di kelasnya nenek, ia mengajarkan bahwa Tuhan
itu tidak ada. Semua terjadi sesuai kehendak alam. Kata guru itu, yang juga
perempuan, para ustad dan ulama adalah penjual cerita bohong yang senang dipuji
dan mencari ketenaran saja. Ia terus melakukan agitasi setiap kali masuk kelas.
Murid-murid pada takkut sama dia. Sampai akhirnya, suatu pagi, setelah
menerangkan kebenaran mutlak ada di cara berfikir kita, ibu itu bertanya;
"Hayo, siapa diantara kalian yang setuju denagn ibu, bahwa Tuhan adalah khayalan
semata?"
Semua murid mengangkat tangan ke atas. Entah beneran setuju
entah takut. Tapi nenek Ina, tidak. Ia melipat tangan di meja. Itu kebiasaan
anak sekolah zaman dulu. Dengan wajah menunduk. "Fatimah, engkau tak
setuju ateis?" Guru itu membentak nenek. Sambil tetap menunduk, nenek
menggelengkan kepala. Ibu itu mendekati nenek. Mengangkat dagunya. menatap
berang. "Kenapa? Engkau termakan propaganda guru mengaji ya?" nenek
menjawab lembut,"Ibu saya muslim buk, bapak saya juga. Saya Muslim sejak
kecil ..."
Dengan berkecak pinggang bu guru itu bertanya keras,"O jadi
ikut orang tua? Apa jika bapakmu tolol, lalu ibumu tolol juga, kamu ikut
tolol?" Nenek terperangah. Ia mulai mengangkat wajah. Matanya menatap
lurus.
"Jika bapak saya tolol, dan ibu saya tolol, nah itu baru
saya akan ateis buk!" jawab Nenek tanpa tedeng aling-aling. Ibu guru itu
terperanjat. Nenek kemudian diberi nilai merah. Walikelas nenek, yang juga
merantau dari Sumatera Barat, kemudian menolong memindahkan nenek ke sekolah
lain, bahkan akhirnya nenek ia jadikan menantu. lalu mama lahir. Nah,....
"Gimana nak? Pulang ya?" mama terdengar lagi
membujukj. Oleh karena nenek yang pengen ketemu, akhirnya ia mengalah.
"Iya deh mam. Ina lebaran di kampung..." Ingat bika jajanan nenek
pagi-pagi, saat masih SMP dan SMA dulu. Hi hi hi...
***
Sahur ke 14 ! Seperti biasa, setengah piring nasi, sayur sisa semalam, tempe goreng sepotong dan ayam nuged goreng. Rada simple dan cepat. Sebab, setelah sahur dan imsak, lalu shalat subuh, niatnya segera meluncur ke terminal kampung rambutan. Buat apa lagi kalau bukan nyari karcis bus ke kampung. Ina memutuskan naik bus AC aja, biar lebih santai. Lagian kan bisa ngehemat budget buat lebaran kan?
Sahur ke 14 ! Seperti biasa, setengah piring nasi, sayur sisa semalam, tempe goreng sepotong dan ayam nuged goreng. Rada simple dan cepat. Sebab, setelah sahur dan imsak, lalu shalat subuh, niatnya segera meluncur ke terminal kampung rambutan. Buat apa lagi kalau bukan nyari karcis bus ke kampung. Ina memutuskan naik bus AC aja, biar lebih santai. Lagian kan bisa ngehemat budget buat lebaran kan?
Pinggir jalan aspal sedikit basah. Gerimis semalam nih. Tapi
Depok tak pernah sepi. Angkutan sudah banyak hilir mudik. Lampu jalanan masih
menyala kekuningan. Ibu-ibu, bapak-bapak, mas dan abang serta adik siswa siswi
sudah keluar, dengan urusannya masing-masing. BUnyi telapak sepatu, termasuk
sepatunya , rame di trotoar.
Angkot menepi. Ina memandang ke dalam. Beberapa orang. Ada
perempuan juga, selain abang-abang. Ia melangkah masuk sambil sedikit menunduk.
Maklum, tingginya 165 cm. Memutar badan, dan duduk manis dekat mbak yang pake
jaket dan baju merah yukensi. Angkot kembali berjalan. Sopir mengintip dari
kaca depan. Gemuruh jalanan di pagi subuh.
Belum sampe satu menit, mbak menor di kirinya turun. Ia jadi
sendirian di dalam. Melirik ke lelaki di kiri. Ceking. Sudut pandang ke lelaki
tegap di jok depan, acuh! Mbak menor meluncur hilang dan angkot di gas kembali.
“Sndirian pagi-pagi, nyok abang temenin Neng!” abang-abang ceking di samping kiri menggeser duduk persis ke dekatnya. Bau jaket yang apek, campur parfum murahan bikin tidak enak perut! Apalagi, mulutnya aroma kuah tape ketan! Wuih!!!
“Sndirian pagi-pagi, nyok abang temenin Neng!” abang-abang ceking di samping kiri menggeser duduk persis ke dekatnya. Bau jaket yang apek, campur parfum murahan bikin tidak enak perut! Apalagi, mulutnya aroma kuah tape ketan! Wuih!!!
Ina tak melayani. Ngapain rebut pagi-pagi begini. Tapi si abang
ceking, kayaknya punya maksud lain. Tak hanya sekedar menyapa tapi lebih dari
itu. Tangannya melingkar ke bahu. Hep!!!
Ini bisa berabe! Ia melirik ke lelaki lainnya, matanya
tajam. Firasat tak enak menyelinap ke hati. Ia masuk perangkap? Tangan lelaki
ceking itu ia tepiskan. Namun reaksinya abang-abang itu malah makin
menyeramkan. Ina segera memegang pergelangan tangan yang tulang belulangnya
menonjol itu, memutar dengan reflek, dan gdubrak!! Seperti sering dipraktekkan
saat latihan sama Mak Datuk di belakang rumah gadang, nun di jalan ke Buyau,
perbatasan Kotokociek dan Ampang Gadang, ujung kakinya reflek masuk ke bawah
ketiak ! Abang ceking berbau tak sedap itu melosoh ke lantai mobil. Tulang
rusuknya ngilu!!!
Mobil angkot digas lebih kencang. Ia segera sadar, ketiga lelaki
ini, dua di belakang dan sopirnya, sekongkol. Terbukti, ketika lelaki tegap
yang duduk di depan mengeluarkan belati dari balik bajunya dan menghunus kearah
dada. “Nurut aja deh, kalo sayang ame nyawa!!” suara lelaki tegap itu
mengancam. Ina mengambil safas dalam. Menghirup ke dasar dada, menahannya di
perut. Bayangan mahasiswi yang pernah diintimidasi di angkot, lalu lompat dan
mati beberapa bulan lalu, melintas. Darahnya mengalir kencang. Dendam tiba-tiba
muncul di denyut jantung.
Dengan berat ia menjawab,”jangan hanya todongkan, tusukkan
pisaunya dalam-dalam!” Suara Ina bergetar .
Saat sel-sel otak lelaki jahat itu mencerna kalimatnya, dalam setengah
detik, sepatu ket Ina menyambar sikunya. Pisau tajam mengkilat itu terpental.
Menerpa langit-langit mobil dan memantul ke kaca jendela, lalu masuk ke bawah
jok. Lelaki itu ternganga. Belum sempat ia menutup mulutnya, lutut Rina melesak
ke dagunya. Bunyi tak sedap terdengar saat mulutnya terkatup. Lelaki itu
berusaha bangkit, dan membalas. Emosional. Dan ini keuntungan. Butuh sedikit
kelitan untuk menghindar dan setelah itu lutut kembali menghantam dada. Lalu
pekik tertahan, dan badan bongsor itu terjerembab ke lantai angkot.
Menggapai-gapai…
“Setop bang! Kalau tidak gue teriak.” Ina mendesis. Sopir angkot
melorot mentalnya. Ia menepi. Dan Ina meloncat keluar. Orang-orang di jalan,
seperti biasanya, acuh, sibuk dengan tujuannya masing-masing. Ina menyandar ke
tiang pinggir trotoar. Menurunkan tensi dadanya. Sambil lambat-llambat
berzikir. Subhanallah, walhamdulillah, walailahaillallah, wallahuakbar!
Plang nama terminal melengkung hijau, bertulisan putih; Terminal
Kampung Rambutan. Aspal pintu hitam merah. Konblok kumuh dan besi pengaman.
Huh! Tapi, di dalam sudah rame. Shelter yang cukup luas dan tempat duduk
berwarna hijau pucuk pisang. Melintas pelan dan hati-hati. Pengalaman jelek
subuh tadi, mencekam dan menyuruhnya hati-hati di setiap saat dan setiap
tempat. Seorang menyongsongnya dan bertanya tujuan. "Kemana dek? Jogya?
Surabaya?" Rina menjawab dengan mempertemukan kedua telapak dangan di
depan dada, sambil berusaha senyum ramah,"kagak Mas, ke Padang.
Bukittinggi, !"
Tak berapa lama datang yang lain,"Ka padang yo diak? Kamarilah! Jo kami sajo, masih ado bangku untuak siang beko!"
"Wak pasan untuak sapuluah hari lai Da. Untuak rayo di kampuang."
"Ado diak, ado! Kito ado bus tambahan. Kalau nan biaso alah panuah, lah abih!" jawab lelaki itu. Ia pasti orang awak. Buktinya fasih gitu!
Tak berapa lama datang yang lain,"Ka padang yo diak? Kamarilah! Jo kami sajo, masih ado bangku untuak siang beko!"
"Wak pasan untuak sapuluah hari lai Da. Untuak rayo di kampuang."
"Ado diak, ado! Kito ado bus tambahan. Kalau nan biaso alah panuah, lah abih!" jawab lelaki itu. Ia pasti orang awak. Buktinya fasih gitu!
Sudah hampir pukul sembilan. Cahaya matahari memancar dari
sebelah timur. Byang-bayang memanjang. Keluar dari terminal, disambut
sekelompok anak-anak pengemis. Biasa, nyari recehan. Tapi Rina, punya niat lain
kali ini, bukan recehan, tapi kembalian 20.000 tadi! Bukankah Tuhan telah
menyelamatkannya tadi pagi? Jadi , jika biasanya ia memberi recehan logam, kalo
ketemu anak-anak seperti ini, maka kali ini; spesial. Rp 20.000. Duit hijau itu
ia genggam di tangan.
Lima orang anak kecil. laki perempuan. Kumuh. Dengan kaleng dan
gelas air mineral kosong di tangan. Memandang penuh harap.
"Siape nyang kagak ade orang tuanye? Nyang yatim ato piatu?" Ina bertanya, di genggamannya, uang kertas hijau. Anak-anak itu saling pandang. Sungguh, sebenanrnya mereka punya bapak ibu, kok. Cuman disuruh aja ngemis.
"Siape nyang kagak ade orang tuanye? Nyang yatim ato piatu?" Ina bertanya, di genggamannya, uang kertas hijau. Anak-anak itu saling pandang. Sungguh, sebenanrnya mereka punya bapak ibu, kok. Cuman disuruh aja ngemis.
"Itu mbak.
Bapaknya sudah meninggal!" seorang menyebut.
"Kagak! Die punya bapak kok?" yang lain menimpali.
"Iya, tapi kan bapak tiri, mana kejam lagi! Suka mukul!" ada yang membela.
Ina menghampirinya. Sepertinya ia paling kecil, kurus. Rambut awutan.
"Siapa namanya?" Ina bertanya.
"Intan mbak,..." jawab anak perempuan kecil itu. Ingusnya nongol.
Ina memberikan lembaran duit ke anak itu. Menyerahkan ke genggaman tangannya.
Tangan kecil itu membuka lalu dengan senang ia menerima. Mata Intan bebrinar.
"Kagak! Die punya bapak kok?" yang lain menimpali.
"Iya, tapi kan bapak tiri, mana kejam lagi! Suka mukul!" ada yang membela.
Ina menghampirinya. Sepertinya ia paling kecil, kurus. Rambut awutan.
"Siapa namanya?" Ina bertanya.
"Intan mbak,..." jawab anak perempuan kecil itu. Ingusnya nongol.
Ina memberikan lembaran duit ke anak itu. Menyerahkan ke genggaman tangannya.
Tangan kecil itu membuka lalu dengan senang ia menerima. Mata Intan bebrinar.
Ia meremas lembaran kertas itu. Serasa mendapat hidup. Toh
biasanya, rebutan kompetisi sama pengemis lain, paling ia berjam-jam dapat lima
- enam ribu. Lalu jika sudah lebih lima ribuan, ia akan berjalan menyebrang
jalan depan terminal. Minta nasi dibungkus dengan kuah gulai. Minta kerupuk dua
buah. Lalu ia akan segera pulang ke pondok kumuh belakang jalan lorong kecil,
dan makan sama emaknya. Kini, di tangannya ada Rp 20.000 ! Wow, duapuluh ribu!!
Ia bisa membeli nasi bungkus pake rendang, atau telur dadar ! Ya, hari ini
terasa begitu berkah. Masih pagi, udah Rp 20.000 ! Intan memandang wajah Ina
dengan perasaan entah seperti apa.
Namun Intan seperti tak bergerak. SEdetik gembira , sedetik
kemudian terdiam. Ragu. Sebab tadi 'bapaknya' pulang, sebelum ngemis. Pulang
dengan wajah seperti biasa, seram bahkan apalagi tadi pagi. Ia pasti akan
mintak duit, makanan dan apa saja yang ia inginkan. lalu, ia dan mak, akan
mengalah dan menyerah. Sebuah fenomena yang Intan tidak suka, tapi apa boleh
buat. Bapak jahat ! Dan ibu, ibu.....ibu teramat mulia, memeluknya setiap malam
tiba.
"Takut ya? Kasih ke gue aja!" anak lelaki temannya
usil, sambil menjauh mencari objek berikutnya. Rina menangkap sesuatu dalam
wajah Intan.
"Udeh, sono, kasih mak mu!" temannya yang perempuanm yang agak besar ikut nimbrung. Duapuluh ribu! Alangkah banyaknya! Ibu tentu senang,.... Tapi, di pondok, ada 'bapak'nya.
"Kenape?" Ina bertanya.
"Kagak, kagak ade ape-ape...." Intan menggeleng. Tapi matanya menatap penuh harap minta pertolongan. Ina sudah beberapa kali menghadapi anak-anak begini. Sejak mulai kuliah, ia sering diajak teman ikut pengajian, ikut kelompok hafalan ayat Qur'an, ikut minta sumbangan untuk palestina dan Rohingya, ikut membantu korban kebakaran di Kemayoran dan ikut membantu korban banjir juga. Hanya satu yang Ina tidak mau, ikut secara administratif dalam onderbow partai. Kalau sekedar membantu kegiatan sosial dan pengajiannnya, ia senang aja. Kata Papa, ikut aja yang positifnya, sedang kalau mau aktif administratif di partai, jangan dulu. Papa ingin ia tamat dalam kondisi blank, belum ada warna. Padahal Ina tau, papa juga ngefans tuh sama tokoh yang memperjuangkan agama. He he he, Papa takut kali ye?
"Udeh, sono, kasih mak mu!" temannya yang perempuanm yang agak besar ikut nimbrung. Duapuluh ribu! Alangkah banyaknya! Ibu tentu senang,.... Tapi, di pondok, ada 'bapak'nya.
"Kenape?" Ina bertanya.
"Kagak, kagak ade ape-ape...." Intan menggeleng. Tapi matanya menatap penuh harap minta pertolongan. Ina sudah beberapa kali menghadapi anak-anak begini. Sejak mulai kuliah, ia sering diajak teman ikut pengajian, ikut kelompok hafalan ayat Qur'an, ikut minta sumbangan untuk palestina dan Rohingya, ikut membantu korban kebakaran di Kemayoran dan ikut membantu korban banjir juga. Hanya satu yang Ina tidak mau, ikut secara administratif dalam onderbow partai. Kalau sekedar membantu kegiatan sosial dan pengajiannnya, ia senang aja. Kata Papa, ikut aja yang positifnya, sedang kalau mau aktif administratif di partai, jangan dulu. Papa ingin ia tamat dalam kondisi blank, belum ada warna. Padahal Ina tau, papa juga ngefans tuh sama tokoh yang memperjuangkan agama. He he he, Papa takut kali ye?
Jadi jika menghadapi anak seperti Intan, ia ingat pengalaman di
Penjaringan, di Kabayoran dll. Anak-anak bermasalah. Dan bekal materi ajar
Psikologi Perkembangan, mengusik-usik hatinya. Ia jongkok di depan Intan dan
memegang pundaknya.
"Kalo takut mbak temenin!" tawarnya. Dipandangnya mata anak itu lurus-lurus. Intan diam. Menatap genggaman jemari, duit kertas hijau. lalu kembali memandang padanya.
"Ditemenin ya? " kejar Ina.
Kepala Intan tak bergerak. Tapi bola matanya, pelupuknya, seperti mengangguk. Tanggung-tanggung, nolong, sekalian aja anatr ke rumahnya.
"Puasa kagak?" tanya Ina sambil menggandeng jalan.
Intan menggeleng.
"Ibunya puasa?" kejar Ina lagi.
Anak itu kembali menggeleng.
"Udah, kalo gitu kita jajan nasi di warung Padang seberang jalan. Duitnya intan pegang aja. Nasinya, mbak yang belikan!" Rina tegas. Semangat saat menolong korban kebakaran dan banjir sama kelompok pengajian kampus, seperti memberi bekas bagus.
"Kalo takut mbak temenin!" tawarnya. Dipandangnya mata anak itu lurus-lurus. Intan diam. Menatap genggaman jemari, duit kertas hijau. lalu kembali memandang padanya.
"Ditemenin ya? " kejar Ina.
Kepala Intan tak bergerak. Tapi bola matanya, pelupuknya, seperti mengangguk. Tanggung-tanggung, nolong, sekalian aja anatr ke rumahnya.
"Puasa kagak?" tanya Ina sambil menggandeng jalan.
Intan menggeleng.
"Ibunya puasa?" kejar Ina lagi.
Anak itu kembali menggeleng.
"Udah, kalo gitu kita jajan nasi di warung Padang seberang jalan. Duitnya intan pegang aja. Nasinya, mbak yang belikan!" Rina tegas. Semangat saat menolong korban kebakaran dan banjir sama kelompok pengajian kampus, seperti memberi bekas bagus.
Kaki-kaki tanpa sandal. Ayam dalam kurungan bambu. Got becek
bauk. Kardus disusun-susun. Pohon dengan kabel silang pintang. Lalu tempeln
nomor hp iklan berbagai produk. Suara musik berbagai jenis. Televisi dengan
volume besar. Lalu bungkus bekas jajan yang ditiup angin gersang. Huh!
Kesinilah Intan membawanya, masuk pintu pondok, ah bukan pondok, lebih kecil
lagi! Dan seorang lelaki telungkup di pijiti istrinya. Gelas teh manis
dekat kepalanya.
"Cepat pulange nduk?" Ibu Intan menegur. Lalu wajah Ina nongol di belakang Intan.
"Assalamualaikuuum..." Ina menyapa ramah. "Salam! Sape ya?" Ibu Intan heran.
Intan mengulurkan nasi bungkus. Dalam plastik asoi, dua bungkus. Ibunya berubah jadi ceria. dan kepala suaminya yang tadinya telungkup, kini berbalik memandang mereka. Astaghfirullah!!!!
Bukankah ini lelaki ceking yang tadi ia hajar di angkot?
"Cepat pulange nduk?" Ibu Intan menegur. Lalu wajah Ina nongol di belakang Intan.
"Assalamualaikuuum..." Ina menyapa ramah. "Salam! Sape ya?" Ibu Intan heran.
Intan mengulurkan nasi bungkus. Dalam plastik asoi, dua bungkus. Ibunya berubah jadi ceria. dan kepala suaminya yang tadinya telungkup, kini berbalik memandang mereka. Astaghfirullah!!!!
Bukankah ini lelaki ceking yang tadi ia hajar di angkot?
Begitu matanya terpandang, reflek kaki Rina bergerak membuat
kuda-kuda. Bolehjadi karena sering dilatih Mak Datuk, nun di tebing Buyau sana.
Intan dan ibunya tentu tak menyadari apa yang terjadi. Mereka fokus pada dua
bungkus nasi yang berpindah tangan dari jemari kecil Intan ke ibunya.
Yang tak kalah terperanjat adalah bapak tiri Intan. Bagaimana mungkin gadis semok tinggi kuning ini tau tempatnya? Bukankah tadi ia telah menghambur turun angkot dan hilang di pinggir jalan? Apa ia malaikat? Dan yang tak kalah urgen; apa dia membawa polisi? Kupret!! Bahaya!! Ia segera hendak lari, atau sekurangnya sembunyi....
Namun sadar, bahwa kelakuannya akan mencurigakan istrinya, ia tertelungkup. Lemas! Sekali ini, habislah riwayatnya! Muncul sesal dalam hati, kenapa pagi subuh tadi sepulang dari tempat yang tak usah ia sebutkan, sama si Jombie dan Lukah , si sopir angkot, ia menjadikan gadis ini jadi objek... oalaaah !!!! Sial banget dah! Ampun deh!!
Yang tak kalah terperanjat adalah bapak tiri Intan. Bagaimana mungkin gadis semok tinggi kuning ini tau tempatnya? Bukankah tadi ia telah menghambur turun angkot dan hilang di pinggir jalan? Apa ia malaikat? Dan yang tak kalah urgen; apa dia membawa polisi? Kupret!! Bahaya!! Ia segera hendak lari, atau sekurangnya sembunyi....
Namun sadar, bahwa kelakuannya akan mencurigakan istrinya, ia tertelungkup. Lemas! Sekali ini, habislah riwayatnya! Muncul sesal dalam hati, kenapa pagi subuh tadi sepulang dari tempat yang tak usah ia sebutkan, sama si Jombie dan Lukah , si sopir angkot, ia menjadikan gadis ini jadi objek... oalaaah !!!! Sial banget dah! Ampun deh!!
Jantung Rina masih berdegup-degup. Jika memang begini harusnya,
'sagalobang' lagi dia hadapi! Rawe-rawe rantas malang-malang putung!
Memperpasih langkah, mengeluarkan peluh buruk,.... Namun rasa di hatinya segera
juga berubah, melihat gestur lelaki itu tertelungkup lemas, menyerah. Pasrah
100 %. Atau bahkan malahan 101 %.... Siap siaga nya berubah jadi kasihan,...
Awut-awut rambut Intan, gurat sabar ibunya Intan, dan siku bapak tirinya yang
hitam menonjol tertelungkup lemas di tikar, ... meredakan nuraninya.
"Maaf, kami ketemu di terminal, sekalian mau ngasih sedikit rezeki deh buat Intan dan Mpok." Ina memecah suasana.
"Masuk dek, masuk. Maaf berantakan. Maklum, kami orang beginian. Ni lagi urut bapakke, katanya tadi subuh jatuh di tangga mobil temennya." Mpok ibunya Intan menjawab.
Jatuh di tangga angkot? Nggak salah tuh? Bukannya rusuknya dimakan tempurung kaki berlapis sepatu ket nya subuh tadi? Ah, sudahlah,....
"Maaf, kami ketemu di terminal, sekalian mau ngasih sedikit rezeki deh buat Intan dan Mpok." Ina memecah suasana.
"Masuk dek, masuk. Maaf berantakan. Maklum, kami orang beginian. Ni lagi urut bapakke, katanya tadi subuh jatuh di tangga mobil temennya." Mpok ibunya Intan menjawab.
Jatuh di tangga angkot? Nggak salah tuh? Bukannya rusuknya dimakan tempurung kaki berlapis sepatu ket nya subuh tadi? Ah, sudahlah,....
Ucapan istrinya, yang menyebut alasan rusuknya sakit dan diurut,
semakin menciutkan nyali. Semakin melemparkannya ke lubang dalam. Tapi, apa
yang bisa ia sebut? Emang dia bilang begitu kok tadi sama maknya Intan.
Sudahlah kagak dapet duit semalaman, utang sama Jombie buat minum, lalu
kejadian di angkot subuh-subuh,...apes banget! Apes!!
Kini, saat gadis berbola mata hitam itu datang sama si Intan, berdiri di pintu rendah gubuknya ini; apa yang bisa ia lakukan? Duh, nasib!
Diam agak lama. Tangan ibunya Intan melepas karet di bungkusan kertas coklat nasi. Lelaki ceking tertelungkup itu, akhirnya duduk tertunduk. Tak berani memandang wajah. Tak ada lagi galaknya pada Intan. Habis asa nya!
Dan Rina, kalo udah melihat makhluk tertunduk begini, cepat juga runtuh hatinya. "Silakan, dimakan nasinya. Ini rezki dari Tuhan kok!" Rina bicara lembut. Bau kuah rendang, kini mengalahkan pengap di dalam gubuk. Lelaki ceking itu, memalutkan tangan ke tubuhnya, ke tulang rusuknya yang terlihat jelas.
"Duh, terimakasih banget Neng, mimpi apaa dapet rejeki pagi-pagi.." Ibunya intan rikuh.
"Tidak tau mbak, gue juga mimpi ape. Ketemu Intan setelah beli tiket mudik tadinya. Silakan dimakan. Silakan Bang,..." Rina mengikat hatinya erat-erat. Jangan ada dendam setitikpun! Dan lelaki kurus itu, makin dalam tunduk kepalanya.....
Kini, saat gadis berbola mata hitam itu datang sama si Intan, berdiri di pintu rendah gubuknya ini; apa yang bisa ia lakukan? Duh, nasib!
Diam agak lama. Tangan ibunya Intan melepas karet di bungkusan kertas coklat nasi. Lelaki ceking tertelungkup itu, akhirnya duduk tertunduk. Tak berani memandang wajah. Tak ada lagi galaknya pada Intan. Habis asa nya!
Dan Rina, kalo udah melihat makhluk tertunduk begini, cepat juga runtuh hatinya. "Silakan, dimakan nasinya. Ini rezki dari Tuhan kok!" Rina bicara lembut. Bau kuah rendang, kini mengalahkan pengap di dalam gubuk. Lelaki ceking itu, memalutkan tangan ke tubuhnya, ke tulang rusuknya yang terlihat jelas.
"Duh, terimakasih banget Neng, mimpi apaa dapet rejeki pagi-pagi.." Ibunya intan rikuh.
"Tidak tau mbak, gue juga mimpi ape. Ketemu Intan setelah beli tiket mudik tadinya. Silakan dimakan. Silakan Bang,..." Rina mengikat hatinya erat-erat. Jangan ada dendam setitikpun! Dan lelaki kurus itu, makin dalam tunduk kepalanya.....
Mpok itu melap ingus anaknya, Intan. Lalu mulai melahap nasi
bungkus kuah rendang. Genggam nasi anak itu, terlihat besar, dan menggumal
masuk ke mulutnya, kemat-kemot! Nde , lamaknyooo!
Rina merasa misinya selesai. Memastikan bahwa anak kecil bawah lima tahun ini sampai ke rumahnya dalam psikologis tentram. Tidak dicubit ayah tirinya, tidak direnggut duitnya dan tidak dimarahi. Dalam mata ajaran yang diperolehnya di kampus, kondisi tekanan mental pada saat masa anak-anak akan berakibat pada jiwa setelah dewasa. Ia merasa perlu menolong, itu saja! Lagian, udah biasa kok, ia menolong kayak gini sama kelompok pengajian kampus!
Lalu Ina pamit. Tak perlu berlama-lama. Tuh, nada dering di ponsel dalam kantongnya berbunyi, "hdup adalah anugah, syukuri apa yang adaa.." Rina memencet gambar telepon, dan terdengar Ilil mengucap salam,
"Jadi kagak ngampus? Ketemuan di ruang himpunan ya?"
"Alaikumsalam, iya, baru mau berangkat nig, pesen tiket mudik dulu!" Ina menjawab.
"Mudik? Dasar Padang primitif, baru setahun merantau aja udah mudik! Lo disuruh ikut panitia ngumpulin zakat fitrah di Himpunan tau?!" Ilil mengomelinya di ujung telepon. Ha ha ha,...emang gua mau mudik, ngapain?!
Rina merasa misinya selesai. Memastikan bahwa anak kecil bawah lima tahun ini sampai ke rumahnya dalam psikologis tentram. Tidak dicubit ayah tirinya, tidak direnggut duitnya dan tidak dimarahi. Dalam mata ajaran yang diperolehnya di kampus, kondisi tekanan mental pada saat masa anak-anak akan berakibat pada jiwa setelah dewasa. Ia merasa perlu menolong, itu saja! Lagian, udah biasa kok, ia menolong kayak gini sama kelompok pengajian kampus!
Lalu Ina pamit. Tak perlu berlama-lama. Tuh, nada dering di ponsel dalam kantongnya berbunyi, "hdup adalah anugah, syukuri apa yang adaa.." Rina memencet gambar telepon, dan terdengar Ilil mengucap salam,
"Jadi kagak ngampus? Ketemuan di ruang himpunan ya?"
"Alaikumsalam, iya, baru mau berangkat nig, pesen tiket mudik dulu!" Ina menjawab.
"Mudik? Dasar Padang primitif, baru setahun merantau aja udah mudik! Lo disuruh ikut panitia ngumpulin zakat fitrah di Himpunan tau?!" Ilil mengomelinya di ujung telepon. Ha ha ha,...emang gua mau mudik, ngapain?!
"Mbak pulang?" Intan bertanya diantara kemat-kemot
nasi di mulutnya.
"Iya,..makan yang enak ya?" jawab Ina.
"Kapan kesini lagi?" tanya Intan. Matanya bundar berharap.
Nah, ini pertanyaan berat. Kapan?
"Kapan-kapan, insyaAllah. Daah, assalamu'alaikum." Ina cabut. Mengambil nafas panjang dan berat. Ooo,...
"Iya,..makan yang enak ya?" jawab Ina.
"Kapan kesini lagi?" tanya Intan. Matanya bundar berharap.
Nah, ini pertanyaan berat. Kapan?
"Kapan-kapan, insyaAllah. Daah, assalamu'alaikum." Ina cabut. Mengambil nafas panjang dan berat. Ooo,...
Belum cukup sebelas langkah ia berjalan, terdengar seseorang
memanggil dari belakang. Ia menoleh. Lelaki ceking itu! Ia berhenti. Kakinya
tegak lurus jarang sejengkal. Siap dan berhati-hati!
"Neng, saya benar-benar mohon maap. Bener deh! Jangan laporin polisi ya ..." pintanya. He, siapa yang mau lapor polisi? Mau ke kampus kok!! Lelaki itu mendekat dan merapatkan kedua tangan di dadanya. Menunduk-nunduk. Kalau ngikutin hati, gua terjang empulur lo!
"Kagak bang. Udah, abisin aje. Gue maapin deh! Tapi gue titip tu anak dijaga ye?!" jawab Rina.
"Iya neng. Iya. Janji..."
"Neng, saya benar-benar mohon maap. Bener deh! Jangan laporin polisi ya ..." pintanya. He, siapa yang mau lapor polisi? Mau ke kampus kok!! Lelaki itu mendekat dan merapatkan kedua tangan di dadanya. Menunduk-nunduk. Kalau ngikutin hati, gua terjang empulur lo!
"Kagak bang. Udah, abisin aje. Gue maapin deh! Tapi gue titip tu anak dijaga ye?!" jawab Rina.
"Iya neng. Iya. Janji..."
Ina datang di kampus dengan senyam-senyum. Tinggi 165 cm, jeans
dan baju kemeja kotak, jilbab biru muda. Tas sandang yang temalinya menjuntai.
Isinya cuman diari dan dompet. Tak ada buku hari ini, tak ada juga laptop. Kan
udah selesai semesteran? Nilai juga udah keluar!
"Ceile, yang IP-nya di atas tiga, gembira banget." seorang jilbaber langsung menyambut.
"Seneng sebab mau pulkam tuh orang! Pemudik aktif!" Ulil nimbrung.
"Habis sahur tidur lagi, lalu kesiangan kan?" kejar Warda.
"Bukan, ia mungkin tarawieh puluhan rakaat, jadi kecapean, ha ha ha.." yang lain ikut nonjok.
Semuanya ia hadapi dengan senyum simpul, sumringah.Emang IP nya bagus, alhamdulillah. Emang mau mudik, betul! Tapi kalo tarawieh puluhan rakaat, nah itu kagak bener! Emang dia lebih pinter ketimbang Rasul saw atau Imam masjid Mekah dan Madinah? Kagaklah!
Kebrsamaan di ruang kelas, di kuliah lapang dan kelompok sosial membuat mereka erat seperti saudara. Saling ledek itu, sebuah perilaku menetap. He he he
"Ceile, yang IP-nya di atas tiga, gembira banget." seorang jilbaber langsung menyambut.
"Seneng sebab mau pulkam tuh orang! Pemudik aktif!" Ulil nimbrung.
"Habis sahur tidur lagi, lalu kesiangan kan?" kejar Warda.
"Bukan, ia mungkin tarawieh puluhan rakaat, jadi kecapean, ha ha ha.." yang lain ikut nonjok.
Semuanya ia hadapi dengan senyum simpul, sumringah.Emang IP nya bagus, alhamdulillah. Emang mau mudik, betul! Tapi kalo tarawieh puluhan rakaat, nah itu kagak bener! Emang dia lebih pinter ketimbang Rasul saw atau Imam masjid Mekah dan Madinah? Kagaklah!
Kebrsamaan di ruang kelas, di kuliah lapang dan kelompok sosial membuat mereka erat seperti saudara. Saling ledek itu, sebuah perilaku menetap. He he he
Fariz muncul, dari arah kantor dekan. Lihat, jalannya pasti
cepat-cepat kayak gitu. Tasnya tetap berat, walau tidak kuliah. Entah isinya
baju kaus, sandal , majalah dan iPad. "SElamat pagiii,
assalamualaikuuuum,..." sapanya. Biasa, kayak pejabat tinggi baru datang
gitu! Rambutnya disisir rapi. Maklum , sekretaris himpunan, mahasiswa semester
enam. Lalu tangannya mengeluarkan selembar kertas, seperti brosur, atau
pengumuman. "Pasti banyak yang mau nih, seminar dan pelatihan wirausaha
muda buat optimalisasi peran masjid." katanya.
"Dimana? Fee registrasinya berapa?" Ilil antusias. Selembar brosur dia ambil. Lalu mulai menilik. Bulan Agustus, sesudah lebaran, registrasi untuk mahasiswa cuman Rp 100.000,- Tujuannya, buat mengembangkan potensi pasar beduk yang ada selama ramadhan jadi pasar kontinu di halaman masjid. Juga untuk memfasilitasi pedagang yang ramai setiap habis shalat Jumatan,....akan ditata dengan baik dan diberikan pelatihan. Mahasiswa yang berbakat untuk menambah aktifitasnya boleh deh nyoba-nyoba! Penyelenggara bejkerjasama dengan jurusan ekonomi Islam yang barusan dibuka tahun ini. Wah, boleh juga nih!
"Kata Ilil, Rina bakal mudik ya? Jadi namanya di urusan zakat fitrah himpunan diganti siapa ya?" Fariz bertanya.
"Iya. Gua mudik. Ada urusan penting." jawab Ina.
"Tapi bakal balik lagi kan? Baliknya nggak sama suami kan?" Fariz balik bertanya. Seenak perutnya!
"Dimana? Fee registrasinya berapa?" Ilil antusias. Selembar brosur dia ambil. Lalu mulai menilik. Bulan Agustus, sesudah lebaran, registrasi untuk mahasiswa cuman Rp 100.000,- Tujuannya, buat mengembangkan potensi pasar beduk yang ada selama ramadhan jadi pasar kontinu di halaman masjid. Juga untuk memfasilitasi pedagang yang ramai setiap habis shalat Jumatan,....akan ditata dengan baik dan diberikan pelatihan. Mahasiswa yang berbakat untuk menambah aktifitasnya boleh deh nyoba-nyoba! Penyelenggara bejkerjasama dengan jurusan ekonomi Islam yang barusan dibuka tahun ini. Wah, boleh juga nih!
"Kata Ilil, Rina bakal mudik ya? Jadi namanya di urusan zakat fitrah himpunan diganti siapa ya?" Fariz bertanya.
"Iya. Gua mudik. Ada urusan penting." jawab Ina.
"Tapi bakal balik lagi kan? Baliknya nggak sama suami kan?" Fariz balik bertanya. Seenak perutnya!
Itu gayanya Fariz. Ceplas - ceplos. Dulu aja, waktu
perkenalan mahasiswa baru, saat Fariz belum menjabat pengurus Himpunan, ia
sudah dibuat malu bukan main. Saat berbaris, para senior seperti 'hantu' di
depan. Perasaan, Ina sudah betul dan lurus. Tak ada kesalahan. Tapi, Fariz itu,
dengan entengnya membentak,
" He Siti Nurbaya! Kamu bisa kagak baris yang bener? Biar lo anak siape, , kalo salah gua hukum lo!". Ina terkejut. Ia tak biasa dibentak di depan orang ramai. Cepat-cepat ia membetulkan berdirinya, sambil pandang kiri kanan. Apalagi dibilangin Siti Nurbaya, Nah mungkin karena saat itu ia belum pake jilbab, dan rambutnya panjang lurus lewat bahu.
" He Siti Nurbaya! Kamu bisa kagak baris yang bener? Biar lo anak siape, , kalo salah gua hukum lo!". Ina terkejut. Ia tak biasa dibentak di depan orang ramai. Cepat-cepat ia membetulkan berdirinya, sambil pandang kiri kanan. Apalagi dibilangin Siti Nurbaya, Nah mungkin karena saat itu ia belum pake jilbab, dan rambutnya panjang lurus lewat bahu.
"Emang kalo Ina balik sama suaminya kesini, masalah buat
pak sekjen?" Warda menyentil.
"Iyalah. kan gua udah berdoa siang malam sama Yang Kuasa, supaya ia jadi ibunya anak-anak nanti?" tak kalah Fariz menjawab. Gila!
"He, bulan pusasa nih!" Wuri menyerobot. Lalu pada senyum. Senyum dan terkekeh. Ina aja yang teromabng-ambing. Aduh!
"Iyalah. kan gua udah berdoa siang malam sama Yang Kuasa, supaya ia jadi ibunya anak-anak nanti?" tak kalah Fariz menjawab. Gila!
"He, bulan pusasa nih!" Wuri menyerobot. Lalu pada senyum. Senyum dan terkekeh. Ina aja yang teromabng-ambing. Aduh!
"Katanya Padang itu banyak kuliner enak-enak kan?
Oleh-olehnya pasti puas ntar!" Fariz masih celoteh.
"Iya. Tante gua dulu pernah ke Padang Payakumbuh, Ia beli Rendang telur sama rendang Belut campur daun-daun gitu, ueeeenak banget!" kali ini Endah yang berkicau.
"Iya. Tante gua dulu pernah ke Padang Payakumbuh, Ia beli Rendang telur sama rendang Belut campur daun-daun gitu, ueeeenak banget!" kali ini Endah yang berkicau.
Bukittinggi, pagi 4 Agustus,...
Bus Eksekutif AC toilet yang berngkat hari Jumat dari Jakarta, masuk di pool Bukittinggi, setelah memutar dari Solok ke Padang. Separoh penumpang turun di Padang, dan sisanya menuju Bukittinggi, tentu termasuk Padang Panjang juga. Di bangku tengah Ina memandang ke luar kaca jendela. Pendakian Silaieng telah lewat. Air Terjun yang sering juga disebut sebagian masyarakat dengan Air Mancur itu, tadi terlihat mengerikan. Bunyinya berdesau turun gemuruh. Embunnya terbang ke kaca jendela. Lalu monyet-monyet bergelantungan di dahan pohon sebelah kiri. Pendakian panjang mengikutinya, dan muncul di Padang Panjang. Rumah-rumah yang sejuk dengan bunga anjelir di pot-pot kecil bersusun-susun di halaman. Bunga dahlia merah, putih dan ungu. O, betapa indah, apalagi disiram cahaya matahari baru terbit,...
Bus Eksekutif AC toilet yang berngkat hari Jumat dari Jakarta, masuk di pool Bukittinggi, setelah memutar dari Solok ke Padang. Separoh penumpang turun di Padang, dan sisanya menuju Bukittinggi, tentu termasuk Padang Panjang juga. Di bangku tengah Ina memandang ke luar kaca jendela. Pendakian Silaieng telah lewat. Air Terjun yang sering juga disebut sebagian masyarakat dengan Air Mancur itu, tadi terlihat mengerikan. Bunyinya berdesau turun gemuruh. Embunnya terbang ke kaca jendela. Lalu monyet-monyet bergelantungan di dahan pohon sebelah kiri. Pendakian panjang mengikutinya, dan muncul di Padang Panjang. Rumah-rumah yang sejuk dengan bunga anjelir di pot-pot kecil bersusun-susun di halaman. Bunga dahlia merah, putih dan ungu. O, betapa indah, apalagi disiram cahaya matahari baru terbit,...
Setelah pendakian yang panjang, di jalan yang mulai terasa
sempit, diselingi kebun kubis hijau segar kiri jalan, bus mulai terasa menurun.
Pasar sayur Padang Luar. Ibu-ibu yang rame sibuk. Gerobak sayur dan mobil
pikap. Truk disel kuning yang akan berangkat ke Pekanbaru. Teriakan-teriakan
tukang parkir. Motor yang menyelip-nyelip. Dan bus Ina yang merangkak pelan.
Sebagian penumpang mulai menguakkan selimut dan menyimpan bantal.
Menyusun-nyusun tas bawaan. Sudah dekat!
"Lah hampir sampai.." ibu yang di kanannya berucap.
"Ho-oh. Ibu ke Maninjau kan?" balas Rina.
"Iya. Turun di Simpang saja, sudah ditunggu anak.." jawab ibu itu.
Maninjau. Itu daerah rendah sekitar danau yang religius. Tempat asal Buya Hamka. Buya yang kecerdasan dan kearifan serta kelemahlembutannya, membekas di hati jemaah. Bukan hanya jamaah, bahkan lawan-lawannya. Kendornya berdenting-denting, tegangnya melentur-lentur....
"Lah hampir sampai.." ibu yang di kanannya berucap.
"Ho-oh. Ibu ke Maninjau kan?" balas Rina.
"Iya. Turun di Simpang saja, sudah ditunggu anak.." jawab ibu itu.
Maninjau. Itu daerah rendah sekitar danau yang religius. Tempat asal Buya Hamka. Buya yang kecerdasan dan kearifan serta kelemahlembutannya, membekas di hati jemaah. Bukan hanya jamaah, bahkan lawan-lawannya. Kendornya berdenting-denting, tegangnya melentur-lentur....
Ibu di samping kanannya sudah turun. Membawa tas dua buah. Lalu
kantong asoi berisi makanan dan botol air mineral besar. Jalanan rame, angkutan
kota ke pasar-atas berdesakan. Toko oleh-oleh berderet kiri kanan jalan. Sanjai
balado, jagung gurih, kipang kacang dan lain-lain. Lalu terasa sopir
melambatkan bus. Belok kiri. Masuk ke pool. Rina segera mengedarkan pandangan
ke para penunggu panumpang. Papa tidak kelihatan, eh, ada! Tuh, mobil
kijang putih parkir di sisi halaman yang luas. Rina hafal bener kijang itu;
sebab sejak ia kanak-kanak, Papa tak pernah mengganti kendraannya. Kata mama,
sejak ia berumur 2 tahun. Papa ada rezki di kantor, ditambah tabungan, lalu
mobil itu jadi milik mereka, sampai hari ini. Duapuluh tahun, hampir! Tak ada
yang berubah, tanpa variasi luar. Model ram gril yang asli. Tapi coba lihat di
dalamnya, interior serba hijau dan empuk. Permadani dan langit-langit yang juga
hijau. Tivi audio yang cukup representatif. Dan Ina tau persis, di dashboard,
pasti ada Al Quran kecil, yang jika lagi nungguin mama belanja akan dibolak
balik Papa. Hmmm,....
Papa menyambut tangannya ketika ia melompat turun dari pintu bus
yang membuka ke belakang. Tas sandang dengan temali menjuntai. Jean putih dan
jaket putih menutup kemeja. Lalu jilbab merah muda lembut. (katanya sesuai
permintaan pembaca; walau tadinya ragu, mau pake yang putih juga, sehabis sahur
di Gunung Medan jam 2 tengah malam). O, betapa teduh hati papa saat ia sujud
mencium tangan. Sebab itu dulu tak pernah dilakukannya. Sebelum berangkat,
bukankah ia anak gadis Kotokociek yang jika salaman egaliter dengan siapapun?
Kata guru agamanya di SMA, Rasul saw tak mau sahabat mencium tangannya, tak mau
sahabat berdiri jika beliau saw datang dan tak mau dipanggil baginda tuan yang
mulia secara berlebihan, Nah!
Papa membantu mengangkatkan koper pakaian dan memasukkan ke bangku mobil, di jok tengah. Ina, segera merasakan ketentraman jika dekat sama papa. Ia juga meletakkan tas sandangnya di jok tengah sebelah koper, lalu tak sengaja, ia menoleh ke bangku belakang. Lho, kok ada tikar dan onggokan pakaian? Sepertinya pakaian uda Aris?
"Pakaian kotor Udamu,..." papa seperti mengerti tanya di hatinya.
"Kenapa?" tanya Ina.
"Ia sudah sejak Jumat bersama mama menemani nenek."
"Menemani nenek?"
"Iya. Begini. Hari Kamis nenek yang tidak mau puasanya batal satu haripun, teringat buka puasa sama Bongkosrikayo. Lalu sorenya kami jalan buat beli Bongko itu ke Limbonang. Dapat. Nenek bahkan menghabiskan dua bungkus. Saat dibangunkan sahur, nenek merasa tangannnya tak bisa digerakkan. Stroke ringan. Sekarang di RS Kantin. Kata mama, tak usah ngasih tau Ina dulu, toh hari Jumat itu, Ina sudah berangkat pulang dari Jakarta."
Ina terperangah. Bongko! Itu makanan enak manis semanis madu. Dibuat dari telur. Kuahnya harum. Bau daun pandan. Dibungkus daun pisang. Dimakan pake apapun, atau dimakan tak dicampur apapun, bongko adalah maknyus!! Hanya lidah yang telah menyicipnya saja yang akan mampu mentransformasi tekstur lembutnya.
Kalau begitu, ia harus ke nenek sekarang juga! Nenek itu yang mengeloninya saat kecil, ketika mama harus ke Padang sebab papa sakit. Nenek itu yang menajaknya ke Bukit Cintuk mencari dedaunan untuk rendang belut. Lalu saat kakinya kecapean , mereka duduk dulu ngobrol di pendakian Tanjung Ipuh. Nenek juga yang rajin ngajak dia ikut manasik ke Payakumbuh, dulu ketika nenek mau ke Mekah. Nenek!
Papa membantu mengangkatkan koper pakaian dan memasukkan ke bangku mobil, di jok tengah. Ina, segera merasakan ketentraman jika dekat sama papa. Ia juga meletakkan tas sandangnya di jok tengah sebelah koper, lalu tak sengaja, ia menoleh ke bangku belakang. Lho, kok ada tikar dan onggokan pakaian? Sepertinya pakaian uda Aris?
"Pakaian kotor Udamu,..." papa seperti mengerti tanya di hatinya.
"Kenapa?" tanya Ina.
"Ia sudah sejak Jumat bersama mama menemani nenek."
"Menemani nenek?"
"Iya. Begini. Hari Kamis nenek yang tidak mau puasanya batal satu haripun, teringat buka puasa sama Bongkosrikayo. Lalu sorenya kami jalan buat beli Bongko itu ke Limbonang. Dapat. Nenek bahkan menghabiskan dua bungkus. Saat dibangunkan sahur, nenek merasa tangannnya tak bisa digerakkan. Stroke ringan. Sekarang di RS Kantin. Kata mama, tak usah ngasih tau Ina dulu, toh hari Jumat itu, Ina sudah berangkat pulang dari Jakarta."
Ina terperangah. Bongko! Itu makanan enak manis semanis madu. Dibuat dari telur. Kuahnya harum. Bau daun pandan. Dibungkus daun pisang. Dimakan pake apapun, atau dimakan tak dicampur apapun, bongko adalah maknyus!! Hanya lidah yang telah menyicipnya saja yang akan mampu mentransformasi tekstur lembutnya.
Kalau begitu, ia harus ke nenek sekarang juga! Nenek itu yang mengeloninya saat kecil, ketika mama harus ke Padang sebab papa sakit. Nenek itu yang menajaknya ke Bukit Cintuk mencari dedaunan untuk rendang belut. Lalu saat kakinya kecapean , mereka duduk dulu ngobrol di pendakian Tanjung Ipuh. Nenek juga yang rajin ngajak dia ikut manasik ke Payakumbuh, dulu ketika nenek mau ke Mekah. Nenek!
Sehabis berterimakasih pada supir bis, mereka pamit. Kijang
90-an itu belok kiri pelan-pelan. Lalu menurun arah ke pusat kota. Menjaga
jarak dengan angkutan kota yang secara tiba-tiba bisa berhenti mendadak. Itu
salah satu ciri Papa nyopir, tidak mau saradak-suruduk kayak teman-temannya di
kampus.
Tak sadar, Ina menggigit ujung jemarinya. Dan papa melirik sambil pegang setir.
"Nggak parah kok, masih bisa bicara, cuma tangan kanannya susah diangkat.."papa memecah kesunyian. Eh, papa....
Tak sadar, Ina menggigit ujung jemarinya. Dan papa melirik sambil pegang setir.
"Nggak parah kok, masih bisa bicara, cuma tangan kanannya susah diangkat.."papa memecah kesunyian. Eh, papa....
Tak lama, mereka sampai. Belok kanan dan parkir. Suasana rumah
sakit. Dokter yang berjalan menunduk. Petugas medis yang langkahnya cepat. Bau
aroma pembersih lantai. Tukang koran yang mencari konsumen. Antrian pasien di
klinik layanan. Inilah rumah sakit khusus stroke yang cukup membanggakan hati,
Mungkin takkan jumpa di tempat lain. Jika ingat kebiasaan orang-awak yang makan
gulai dan rendang, maka eksistensi rumah sakit ini menjadi keharusan. Ina
tersenyum sedikit. Sebab ia juga tau dari teman-teman, dulu ini milik yayasan
baptis; kini berkembang dan bermanfaat banyak. Terimakasih ulama umaro Sumbar,
yang cepat tanggap cekatan mengelola lembaga ini. Eh, ke kamar nenek ya!
Berjalan cepat disisi papa yang langkahnya lebar. Menuju ruang
rawat inap lantai atas. Satuhal, tidak pengen kejadian kayak sinetron-sinetron.
Berkumpul di tempat tidur keluarga, saat kritis dan bahkan berlalu. Itu tak
boleh terjadi. Itu dramatisasi model India dan Melayu kuno. Tidak!
Papa membuka pintu dan mereka masuk. Mama memeluk dan da Aris senyum. Nenek, telentang dengan bantal tipis. Di atas kasur yang bisa didorong samping bufet kayu yang dipenuhi makanan, air minum dan obat. Seterusnya adalah memeluk nenek. Memanggilnya."Enek!"
Wajah tua berambut putih dan penuh guratan itu senyum. "Lah tibo kau Na?" bicaranya lunak. "Lah nek." Lalu tangannya yang kiri menggapai kepala Rina. Rina membiarkan. Itu kan kebiasaan nenek. Tanda sayangnya sejak masa kanak-kanak dulu. Kata nenek, ia cantik. Tapi kata orang-orang, ia mirip nenek waktu kecil. Entahlah. Ia hanya ingin nenek sehat dan ceria seperti dulu. Itu saja. Ia tatap mata neneknya dekat-dekat. Bibir nenek seperti akan berucap, tapi tak ada kata keluar. Lalu berikutnya, ia merasa kedua tangan nenek telah ada di kepalanya. Betulkah? Mama juga terpana, dan berucap. MashaAllah! Bukankah tangan nenek yang kanan kaku?
Mereka semua tersenyum gembira. Percaya atau tidak, nenek mampu mengangkat tangannya dan mengelus kepala cucunya ini, seketika. Boleh jadi, menurutmu pil, kapsul dan sirup obat begitu manjur. Tapi pagi Minggu ini, di kamar rawat inap neneknya, Ina membuktikan, kehangatan kasih sayang berdampak melebihi zat-zat kimia itu.
"Nenek?" Ina mengambil tangan neneknya. Mengurut-urutnya,....dengan senyum mengembang. Subhanallah!
Papa membuka pintu dan mereka masuk. Mama memeluk dan da Aris senyum. Nenek, telentang dengan bantal tipis. Di atas kasur yang bisa didorong samping bufet kayu yang dipenuhi makanan, air minum dan obat. Seterusnya adalah memeluk nenek. Memanggilnya."Enek!"
Wajah tua berambut putih dan penuh guratan itu senyum. "Lah tibo kau Na?" bicaranya lunak. "Lah nek." Lalu tangannya yang kiri menggapai kepala Rina. Rina membiarkan. Itu kan kebiasaan nenek. Tanda sayangnya sejak masa kanak-kanak dulu. Kata nenek, ia cantik. Tapi kata orang-orang, ia mirip nenek waktu kecil. Entahlah. Ia hanya ingin nenek sehat dan ceria seperti dulu. Itu saja. Ia tatap mata neneknya dekat-dekat. Bibir nenek seperti akan berucap, tapi tak ada kata keluar. Lalu berikutnya, ia merasa kedua tangan nenek telah ada di kepalanya. Betulkah? Mama juga terpana, dan berucap. MashaAllah! Bukankah tangan nenek yang kanan kaku?
Mereka semua tersenyum gembira. Percaya atau tidak, nenek mampu mengangkat tangannya dan mengelus kepala cucunya ini, seketika. Boleh jadi, menurutmu pil, kapsul dan sirup obat begitu manjur. Tapi pagi Minggu ini, di kamar rawat inap neneknya, Ina membuktikan, kehangatan kasih sayang berdampak melebihi zat-zat kimia itu.
"Nenek?" Ina mengambil tangan neneknya. Mengurut-urutnya,....dengan senyum mengembang. Subhanallah!
maybe, you can be the next chirul anwar sir :D
ReplyDeleteMantapp��lanjutkan pak.. penasaran dgn cerita2 selanjutnya..
ReplyDelete