Tuesday, January 7, 2020

Di bawah batang pisang



DI BAWAH BATANG PISANG
Imam shalat ashar sudahpun mengucap salam penutup. Dan kami, jemaah melanjutkan zikir beriring doa. Di sajadah depan, imam memutar duduk menghadap ke kami, juga terlihat zikir dan berdoa. Ini masjid daerah urban. Jadi warganya beragam dan tiada perlu memimpin doa seperti di ruang kelas.

Selesai istighfar, zikir dan doa keselamatan ala Nabi saw, dilanjutkan dengan doa untuk ibu bapak, perlindungan untuk diri, anak istri, serta dijauhkan dari bala bahaya. Aaamiiin……. Kemudian kedua tangan ditumpukan ke belakang, dan kaki mulai berselonjor. Orang-orang kembali berangsur pulang setelah saling senyum sapa. Santai bro! Bukankah tugas kantor mulai reda. Semester antara/pendek sudah melampau ujian tengah semester. Tugas-tugas  penilaian pun kelar. Plong! Menghirup nafas panjang yok!  Lega kan?
Kulirik dinding masjid belakang. Hep! Pak Syarif! Lelaki diatas paro baya yang kemarin bercerita tentang masa kecilnya. Dia tersenyum. Akupun, spontan, tersenyum lebar. “Sini…!” gamitnya sambil menepuk-nepuk telapak tangan ke sejadah di sampingnya. Dan aku, terpikat. Ikut berselonjor di sisinya.  “Sambung dong cerita kemarin. Saya menikmatinya, bahkan semalam sampai bermimpi!” pintaku. “MImpi?” tolehnya senyum. “Mimpi apa?” “Mimpi kembali ke masa kecil dulu, dan bertemu dengan teman sesekolah yang wajahnya pernah menghiasi anganku!” jawabku jujur. Memang kok, memang begitu adanya. Mau dibilang apa!
Pak Syarif berhenti sejenak. Lalu mulai mengenang masda kanaknya. “Ada satu hal yang juga membuatku luruh.” Ia memulai. Aku menyimak serius. Teruskan akhii!
“Semenjak adikku yang perempuan lahir, bapak yang dulu pernah bekerja sebagai pegawai tapi berhenti karena perang PRRI/Permesta, kembali bersemangat hidupnya, itu kata beliau dulu, dan  saya memang merasakan. Sebab bapakku merubah drastis  kerjanya dari petani penggarap sawah tetangga, kembali ke Jakarta mengurus amnesty. Dan diangkat pemerintah sebagai pegawai golongan rendah di sangir, Solok Selatan.” ceritanya. Lalu?
“Akibatnya kami tiga bersaudara hanya tinggal bersama Ibu, kakek, dan Nenek yang sudah tua. Ibulah yang mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari tanpa kenal lelah. Di dapur, di sumur, dan kebun bahkan sawah. Jika beras habis, ibu akan menjemur padi di halaman, di atas tikar pandan. Kami, saya dan kakak jika sudah pulang sekolahnya,  membantu mengusir ayam jika padi dikerubutinya. Sekali waktu, ibu mengangkat  karung padi dari pelataran dapur ke halaman. Melewati tangga depan dari tembok. Ada lima anak tangga. Dan tanpa dikira, kaki beliau tersandung. Ibu jatuh terguling ke halaman tanah, melewati dua anak tangga tembok. Padi di karung terhempas dan berserakan di mulut karung. Hanya ada saya yang baru empat atau lima tahun di rumah. Nenek di dalam kebun. Kakek masih di lepau kopi.  Saya ingat betul wajah ibu meringis, tapi tak menangis. Beliau berusaha berdiri tapi kaki beliau seperti terkilir di pergelangan . Dengan rada merangkak ibu berpindah ke rumah. Saya mengiringi beliau sampai ke tikar ruang tengah, bingung…Tidak tau yang akan dikerjakan.  “Tolong ambilkan air” pinta ibu, dan saya bergegas mengambilkan secangkir air. Cangkir biru muda dari Loyang. Saya ingat betul!” lalu dia berhenti bercerita. Seperti kemarin, matanya kembali sabak. Aku diam tak berani menyela.
“Barulah setelah nenek dan kakek datang, ibu dipanggilkan tukang urut. Siang itu ibu diurut oleh seorang yang terkenal di kampung kami, namany pak Munir. Tapi, seprofesional apapun tukang urut itu, bagi saya tetap terasa kejam. Kaki ibu dia pegang dan rasa-rasakan mulai tumit sampai ujung jari. Kudengar ibu memekik. Namun tukang urut itu tak bergeming. Dia bahkan menyentakkan kaki ibu dengan kuat. Ibu melulung, memekik. Dan saya serasa akan meninju dinding. Menyepak pintu! Saya berlari ke luar, ke belakang rumah. Saya menanngis di bawah batang pisang.  Saya cengkram batang pisang itu dan saya kelupas dengan jemari. Benangnya terburai. Dari atas rumah masih terdengar suara ibu menangis. Tapi tidak sekeras tadi. Batang pisang remuk oleh tangan saya. Entah!” Dia berhenti bercerita. Aku  bagai terhipnotis. Ikut merasakanl ini  emosionalnya. Ah,…
“Tapi kemudian , beliau sembuh kan?” aku memotong.
“Iya. Alhamdulillah…”  Diam sebentar. Matanya menerawang. Lurus ke depan.
“Untung ada nenek dan kakek di rumah ya?” ujarku.
“Iya. Alhamdulillah. Bagi saya, konndisi ibu yang tak biisa  berjalan berhari-hari itu, menjadi pemicu, untuk belajar memasak. Ibu menyuruh goreng ikan kadangt-kadang. Kakek biasanya menangkap ikan di kolam pinggir sawah, ikan tawes dan mujair, lalu dia tarok di lemari kayu, sesudah diigarami. Dan sambil menemni ibu, aku belajar memasak, sekedar menggoreng, memasak nasi dan memanaskan air untuk lap ibu…” Dia mengakhiri ceritanya. Sore ini, semoga Pak Syarif  ringan beban kepalanya. Aamiin.


No comments:

Post a Comment