Tuesday, January 7, 2020

Buyuang Piyik




BUYUANG PIYIK
Imam shalat ashar sudah lama mengucap salam. Bahkan ia sudah pulang dari tadi. Buyuang Piyik masih duduk sendirian di baris sajadah ke dua. Mengenang-ngenang ramadhan dan hari raya yang akan tiba. Barusan tadi sebelum ke masjid berjamaah, anak-istrinya bicara akan lebaran di kampung. Kampung ibunya, nun ratusan atau ribuan kilometer dari jorong ia dilahirkan. Inilah fenomena traumatis yang selalu hadir setiap lebaran di rantau. Sejak dulu, sejak awal ia bekeluarga.
Gambar kubah masjid di alur sajadah hijau memudar. Seperdi luntur bagai hati nan terbelah. Akan dia antarkan anaknya lebaran di kampung leluhurnya? Lalu ia segera kembali untuk ziarah ke desa tempat kakek neneknya meninggal? Ah, mana pula ada tiket kosong sehari sebelum lebaran. Itu sama saja dengan membunuh badan. Apalagi di usia setengah abad seperti ini. Kaki dan pundak mulai ngilu jika naik kendraan berlama-lama. Lalu?
Sudah. Biarkan anak-istri pulang ke negrinya. Ia pulang juga ke kampungnya sendiri. Seperti dulu pernah ia lakukan. “Lebaran di Negara masing-masing” itu istilah dia dulu. Saat fisik masih kuat.  Dan akan ia tanggungkan cimeeh orang di kampung,”Lah tajuwa sawah jo bonda-bondanyo” kata orang di pajak-lepau. “Malang benar Halimah dan Maulana beranak. Tertanam kelapa condong! Pulang sendiri, tidur berpagut gulungan tikar!” kata yang lain pula. “Dulu sudah dinasehatkan. Pikir-pikir benar mancari kawan. Jan rancak dil labuh saja…” terdengar pula sahutan sambil menahan kekeh tawa. “Den sangko kok iyo lai codiek. Kironyo andie…” tambah satunya. Dan Buyuang Piyik seperti mengeriput, mengecil sebesar tahi kuku. Atau malah sebesar debu yang diterbangkan angin.
Buyung Piyik memandang ke kiri. Kosong. Betul, tinggal ia sendiri. Menoleh ke kanan juga tak ada lagi yang duduk berzikir. Sajadah membentang dari  dinding kiri ke dinding kanan. Buyuang meninju ukiran kubah masjid di hadapannya. Dengan tangan kanan. Lalu tak puas, lagi, dengan tangan kiri. Ia berjuang mencari jawab. Mencari ilham. Dalam, tegun, ia seakan melihat malaikat menertawakannya. “Siapakah sih engkau, mau seluruh sisi hidupmu indah melulu?” begitu seakan  seorang dari mereka bertanya. Buyuang Piyik terdiam. Terpana. Betul. Ia terlempar kea lam fana dengan keegoisan. Ingin hidup baik, sukses, mengagumkan terus menerus.
Ia sudah akan beranjak pulang, ketika tatapan malaikat itu mencampakkannya terduduk kembali. Mencium ujung sajadah membentang. Hijau memudar. “Tuhan, benar, hanya Engkau yang tau setiap  noktah sel hati kalbuku,….” desisnya. “Engkaulah yang memelukku tiada henti, tapi kadang aku mencari yang lain” tersendat ia menggapai ampun. Qul Huwallahu Ahad…”

No comments:

Post a Comment