Wednesday, January 1, 2020

Gemuruh Ombak Air Haji








Gemuruh Ombak Air Haji
Oleh: Hanifa Marisa

Pak Wakil Gubernur sudah akan naik pesawat sejam lagi. tapi ia dikejutkan oleh bisikan asisten pribadinya. Matanya membelalak. "Di lua nyo kini? Di halaman?" tanya pak wagub. Terlihat asistennya mengangguk takzim. Dengan wajah penuh pengabdian.
Pak wagub berfikir sesaat. Memandang ke luar jendela. lalu beralih segra ke wajah anak buahnya, "Suruahnyo masuak!" ujarnya.
Dan lelaki sederhana dengan terompah bertali kulit itu segra tiba di hadapan pak Wagub. Wajahnya tirus. Rambutnya lurus. Bajunya teluk belanga. Warna hijau lembut. Begitu mereka saling tatap, lelaki paro baya itu menyeret kaki kanannya ke belakang. Tas sandang hitam segera beralih ke pundak. Dan jemari tangannya membuka, seperti gerakan buaya hendak berjalan membelok. Pak Wagub terkesima. Itu gerak pembuka Silat Buayo Lalok, tempat dimana kesenian anak nagari itu berasal. Nun di ranah pesisir. Di pinggir laut. Dan gerak silat pembukaan seperti itu, bagi yang mafhum, dijawab dengan gerakan serupa, menandakan mereka berada dalam satu naungan 'korps' tali batin. Tak dapat tidak, sang wakil gubernur, membuat gerakan serupa. Dengan mendesis, dan mata menyipit kaki kanannya ia hela ke belakang sedepa. Kuda-kuda otomatis terbentuk. Serta tangan menari membuka, bagai jemari buaya hendak mengintip….. Sssssttt!!
Asisten pak Wagub, yang umurnya mungkin baru duapuluhan, ternganga!

Pesawat Hercules meraung dan mendarat di lapangan terbang Wamena. Pak Wagub dijadwalkan ke markas Kodim. Para pengungsi, di kantor tentara dan polisi, sudah berhari hari hidup tegang dan terluka. Luka fisik dan luka batin. Di bumi Tuhan ini, pedagang yang mencari rezki halal itu, ditimpa bencana kemanusiaan biadab. Pak Wagub, menyaksikan sanak saudaranya, tak dapat menahan air mata. "Saya sengaja datang dari kampung melihat dan mengobati kalbu dusanak semuanya,..." ucapnya. Air mata masih jelas mengalir di sisi hidungnya.....
Dan yang tak diperhatikan orang, lelaki berbaju teluk belanga warna hijau lembut, yang tadinya ikut rombongan, hilang entah kemana. Hanya ada goyyangan semak belukar di pinggiran bandara Wamena, seperti menghilangnya buaya dalam rimbunan semak pohon. Lenyap!

Sungai Baliem dan Pasir Putihnya.
Berdiri di tempat ini, kita bisa melihat lanskap Lembah Baliem yang menghampar indah. Kondisi alamnya yang penuh bebatuan di punggung bukit berumput hijau yang mengelilingi Lembah Baliem. Kumpulan karang menyembul di sela-sela butiran pasir putih bertekstur halus yang tumpah mengular hingga ke punggung bukit. Sekumpulan semak belukar yang ada membuat Pasir Putih kian tampak mencolok bila dilihat dari udara.
Itulah keajaiban kecil di Lembah Baliem yang berada 1.600 meter di atas permukaan laut. Menelusuri seluruh wilayah bukit Pasir Putih dari bawah hingga mencapai puncaknya, kita akan dibuat kagum oleh pemandangan yang tersaji. Hampir seluruh wilayah Lembah Baliem adalah lahan subur. Wamena, hanyalah pusat kepadatan penduduk kecil di sepanjang sungai ini. Di komunitas penduduk, berdiri gereja gereja. Bahkan patung salib raksasa, di kotanya.
Syafril, lelaki tirus dingin tatap matanya. Berdiri di pinggir sungai yang airnya tak terlalu bening. Di hamparan pasir putih. Di arah hulu, utara kota. Ya, dalam teori kehidupan, hulu adalah sumber air yang lebih bersih. Dan penduduk asli, serta orang-orang yang tau, tentu memilih untuk menyauk air di bagian hulu ketimbang hilir. Ia memejamkan mata. Mendengarkan angin berhembus. Mempetajam gendang telinga...


Beberapa saat ia memejamkan mata. Membiarkan angin berhembus. Meniup bulu halus di daun telinga. Dan alhamulillah, aman. Syafril lalu mengeluarkan bungkusan kurma dari dalam tas sandang. Membuka karet ikatannya, lalu menikmati glukosanya perlahan-lahan. Membiarkan enzim di rongga mulut bekerja, lalu menelannya dengan rafalan syukur. Selain kurma, istrinya juga memasukkan bongkahan gula enau dalam bungkus lapisan batang pisang kering. Cukuplah untuk konsumsi seminggu, atau sepuluh hari, dengan pola makan Rasul saw dan para sahabat beliau. Ya, sengaja ia menghindari jual beli, serta tempat keramaian. Ia kesini untuk sebuah missi yang cukuplah dia dan Tuhannya saja yang tau, atau berikut istri dan beberapa orang saja. Bahkan anak bungsunya yang perempuan, berumur tiga tahun, tak ia beri tahu tujuannya.
"Ka pai kama Ayah?" tanya Fajriati pagi itu.
"Indak kama kama do. Maurus ponakan sanak iniek ayah. Jauah." jawabnya.
"Yo kama tu Yah? Kama Ayah mambaok tas bundo?" kejar Fajtiyati ke bundonya.
"Tu kan maurus ponakan sanak Iniek..."jawab bundonya, sambil mengalihkan pandang ke arah dapur, tak mau ia Syafril melihat buram di pelupuk matanya, sekalipun Syafril mafhum dari getar suara istrinya. Frekuensi sebak di dada. Namun, 'arang yang dicorengkan" orang di keluarga Inyiek laki-lakinya ini, harus di'selesai'kan. Sekalipun deburan ombak di pantai Air Haji pagi itu berpacu keras. Angin dari airterjun Simalenang, bertiup berputar-putar. Menurun ke bukit Lambai..... Tapi tekad telah dilafazkan. Dan, bismllah! Tabujua lalu tabalintang patah!

Mereguk saripati kurma yang sudah lama dipendam dalam mulut itu, suatu kenikmatan sendiri. Satu biji, dua biji... Dan tiga, alhamdulillah, lezat bukan main. Jika sampai kita hitung kalori energi dan indahnya reaksi enzimatis, mungkin menangis akhirnya, merasakan jemari kasih sayang Yang Maha Kuasa. La haula wa la quwwata, illa billah!
Air sungai Baliem tak henti mengalir, tenang. Kadang menyuruk di kaki akar pepohonan. Daun bergoyang-goyang mengangguk-angguk. Sungguh, negeri ini sebenarnya sangat tentram. Entah dajjal mana yang mengubahnya menjadi durjana, hingga Rizky dan ayahnya Syafrianto harus meregang nyawa dengan tak biasa.
Syafril menyipitkan mata. Menanti. Firasatnya mengatakan, di hulu Baliem ini ia akan menemukan makhluk yang dia cari. Di tepian sungai landai berbpasir putih ini. Tempat yang mirip dengan pantai Air Haji, nun di barat sana, tempat ia disuruh kakeknya dulu saat masih kecil duduk di batu karang. Mendengarkan ombak menghantam batu. Menyisihkan suara kaki kepiting Sirangkak di antara desauan air laut. dan menghitung, berapa ekor Sirangkak yang keluar lalu mencari makanan di antara butiran pasir.....
Snap!!! Syafril memiringkan kepalanya. Benda panjang semeter dengan ujung runcing menancap di hadapannya, di pasir berkerikil. Swiing! Satu lagi! Dan Syafril memiringkan kepala sebaliknya ke k kiri. Suit!! Satu lagi! Persis di puncak ubun-ubunnya , jika saja dia tak menekur. Ketiga anak panah itu beracun! Lihat, warna merah coklat di bagian gagangnya. Setidaknya itu getah akar tumbuhan yang jika tercampur ke darah, dalam sehari nyawa selesai, berpisah dengan badan. Untuk ukuran babi di hutan, dapat membunuh dalam sejam. Dan bagi ikan sungai, langsung kepar-kleper dalam satu menit!! Sudah datang, bisik hatinya. Nafas ia ambil dalam-dalam. Merasakan perpindahan energi ke seluruh tubuh dari dada. Wajah ponakan sanak Iniek, wajah ayah dan wajah kakek sekaligus gurunya, membayang. Jemarinya meregang dan tiba-tiba badannya melenting ke pohon besar tak jauh dari tempat ia tadi duduk makan kurma.....

Sungguh, jangan berlama di cabang rendah ini, Segra pindah ke cabang lain! Tu kan, betul; tiga anak panah lagi menyerbu persis ketika ia melompat ke dahan yang lebih rimbun. Dua anak panah melesat tak tau kemana, tapi satu lainnya, nyangkut di ranting, dan Syafril meraihnya secepat kilat! Hii, tajam berbisa….
Arah panah fase kedua ini, membuktikan prediksinya, bahwa penyerang ada di posisi barat daya. Itu artinya ia dan ketiga orang itu berada di pinggir sisi yang sama, bukan dari sebreang sana. Ok. Ia mulai mengintip arah muasal panah. Tak ada apa-apa, kecuali semak dan pohon. Suara air mengalir di sela akar pinggir. Lainnya, sepi. Bahkan tak ada suara nafas. Termasuk Syafril, mengendorkan helaan hirupan partu-paru dan hembusan hidungnya. Waktu bagai terhenti. Sepi. Diam!
Kembali Syafril mengintip ke posisi barat daya. Tak ada gerakan. Apakah mereka di balik batang? Atau dalam rimbunan pohon? Tak satupun wajah. Tak sedikitpun warna pakaian. Hanya hijau daun dan kelabu gelap ranting dahan. Ditambah sedikit kelihatan bulu burung.
Hah, bulu burung?! Bukankah itu adalah hiasan ikat kepala bagi lelaki perkasa disini? Bulu burung yang ditanam diantara bulu kambing. Yes! Ujung bulu burung itu ia perhatikan nanap. Seksama! Betul, gerak halus sesuai irama nafas. Tak pelak, itu salah satu dari mereka yang menyerangnya dengan anak panah barusan….
Syafril berdebar. Ada dua pilihan. Menyerang balik dengan anak panah ini ke tempat mencuatnya bulu burung itu, dan ini riskan untuk tepat sasaran; atau ia melompat ke bawah sambal dari Udara menyerang dengan lemparan panah dengan posisi yang lebih leluasa? Yang kedua ini lebih efektif, namun itu artinya ia kembali mengingat latihan melempar burung camar dengan kerikil sambal salto di karang batuan pantai Air haji, nun di kampung halamannya….
Tuhan, jika ini adalah jalan syar'i untuk membela umat dan agamaMu, bismillah, bantu ya Allah....batinnya berbisik. dan mulai menghirup nafas dalam. menghimpun tenaga. Meregangkan kaki, bertumpu untuk melompat bergulung sambil mengibaskan panah beracun satu-satunya yang ia miliki…. Sedikit getaran di dahan tempat ia bertumpu saat tubuhnya mulai melayang di Udara. Setelah itu hanya bayangan hijau lembut berkelebat, dan seterusnya pekikan horor dari seorang di rimbunan pohon yang kepalanya tertancap senjatanya sendiri…..

Begitu menginjakkan kaki di tanah, dan si kepala berbulu burung itu meraung meregang nyawa, Syafril kembali menyelusup bagai reptil kecil ke rimbunan semak dan pohon. Di pinggiran sungai pasir landai. Tapi dua orang lainnya, yang kulitnya hitam legam dan tubuhnya besar mengerikan, muncul dan mengejar. Kampak bermata tajam dan berhulu panjang di tangan mereka.
Memang aneh juga. Yang dia tau tentang sifat dasar manusia, sekalipun terbelakang, adalah ketulusan, kejujuran dan kebaikan. Ia sudah pernah berinteraksi dengan suku Kubu di Jambi. Juga suku Sakai di Riau. Mereka sama, hanya dengan sebatang rokok dan sebongkah garam, telah menganggap Syafril saudara kandung. Kenapa yang ini menjadi begitu buas? Bisikan setan apa yang mrubah mereka?
Pertanyaan Syafril segera terjawab dari teriakan dua lelaki yang sorot matanya berapi-api itu. "Indonesia perampok, keluar kau orang dari situ! Tukang tipu-tipu! Kita cincang kau-orang punya daging ha! " Kampak besar melambai di kukuhnya buku tangan hitam. Duh Yang Maha Adil, siapakah sesungguhnya yang merampas? Kita atau pembisik luar negeri itu?
"Ayo keluar kau orang! Bugiskah, Padang kah atau Jawa, atau apapun kau! Kita orang bikin kau jadi sate!!!"
Syafril mematung tak bergerak di tanah. Seperti buaya tidur. Mata pun enggan berkedip. Namun dua buah kerikil kini ada di tangannya....


Penasaran, Syafril tak muncul, mereka mulai mendekat. Oh lihat wajah legam itu. Kerut di kening. Kumis tak teratur. Keringat di dahi dan bahu. Kalung berhias tulang. Entah, tulang apa. Bolehjadi taringbabi! Atau , entahlah. Syafril tak punya waktu untuk memikirkan itu. Sebab langkah dua pasang kaki yang bengkokannya khas itu sudah dekat. Melayani adu fisik satu lawan dua, dengan body seperti mereka, adalah kekonyolan secara matematis.
"Ko-orang keras kepala ha! Kami jinjing tengkukmu untuk diba|" kalimatnya terpotong sebab sebuah kerikil sebesar buah Panieng-panieng, sejenis Castanopsis yang banyak tumbuh di lembah ini- melesat ke dalam mulutnya. Masuk menyempal sampai esophagus! Ia tersedak dan melihat sungai Baliem serta pepohonan berputar aneh. Seakan awan bergerak turun dan air sungai mengambang naik. Tangannya menggapai-gapai bagai hendak terbang. Atau mungkin mencari pegangan. Setelah itu rubuh!
"Waaaaa...!!!!" Yang satunya lagi melompat ke dalam rimbunan semak, mencari Syafril. Kampaknya terayun kencang, ke kiri dan ke kanan. Serasa akan dikunyahnya Syafril hidup-hidup!
"Waaaa......Huwaaaaa!!!!"

Kibasan kampak tajam itu mau tak mau menghabisi dedaunan dan ranting. Akibatnya tak ada lagi alternatif menghindar selain menghadapi 'orang ngamuk' ini. Qul ja al Haqqa wa zahaqal bathil! Innal bathila, kana zahuqa.... Syafril membisikkan sebuah ayat dalam batin. Lalu menunggu kampak terayun ke rusuknya yang sedang melata miring. Sepersekian detik mata kampak membelah rusuk menuju perutnya, sisi telapak tangannya meliuk sambil sedikit menggelek, menampar pergelangan tangan lelaki hitam beringas ini. Tentu dengan tenaga satu setengah kali biasa. Sebuah hantaman tepat sasaran dengan wajah dingin. Mata kampak lewat setengah senti dari tubuhnya, dan setelah itu, pergelangan tangan lelaki legam dengan badan berukir-ukir ini kebas ngilu kehilangan kekuatan. Kampaknya tercampak ke sebelah kanan tubuh Syafril yang tiduran melengkung. Slanjutnya adalah hantaman sisi kaki ke bagian yang -tak perlu dituliskan- karena begitu prinsipil bagi tiap lelaki. Orang bertubuh besar gagah itu baru akan meringis karena pergelangan tangannya seperti hilang, terus ditimpa kibasan sisi kaki yang keras di anunya. Bukan sekali, tapi dua, dan tiga kali. Bagai kibasan ekor buaya….Ke situ terus. Entah cara berkelahi apa yang dilakukan Indonesia  ini. Antara nyeri dan ngilu bukan kepalang, lelaki itu memekik, meraung, meloncat-loncat. Dan Syafril tak menyiakan detik demi detik. Kampak yang terkapar dia raih. "Ini untuk ponakanku, Rizky...!" desisnya, sambil menebas. Lalu adegan selanjutnya adalah tak pantas ditonton jika direkam untuk anak-anak. Sebuah benda bulat hitam berambut lurus berpilin tebal, menggelinding ke dalam pelukan air sungai Baliem....

Syafril menghirup nafas. Satu hitungan. Lalu menghembuskannya dalam tiga hitungan. Huffffffff......
Kemudian tubuh tak berkepala itu dia dorong dengan kaki ke dalam air. Begitu juga dengan badan besar yang di kepalanya ada tumbuh pangkal anak panah. Dan satunya lagi, yang tadi pingsan keselak kerikil Castanopsis, eh, kemana dia ? Kok tak ada?
Dan firasat tak sedap segera menjalar di dada Syafril. Jika lelaki pingsan itu lari menghilang, lalu memanggil ratusan orang, atau malah sekaligus aktor utamanya, kesini, duh, ini bukan perkara ringan! Bisa "hilang" nyawa ayah Fajriyati di bumi terserang stunting dan malaria ini. Syafril memungut tas sandangnya, lalu membawa pergi kampak besar satu buah. Clup,...hilang masuk ke air sungai. Air berkecipak, bagai ekor buaya menyelam, pergi dan hilang.
Orang-orang tentu memperkirakan ia hanyut ke hilir. Tapi jurus buaya adalah jurus menantang arus kadang-kadang. Dalam hitungan puluhan detik, ia telah memunculkan kepala , nun di seberang arah ke hulu. Di bawah akar pohon-pohon. Ada Araucaria, ada Castanopsis dan beberapa jenis jambu-jambuan.
Jarak waktu jika yang satu tadi datang kembali, ia hitung. Itu bisa mengindikasikan seberapa jauh jarak 'posko' nya dari spot ini. Dalam baju yang basah kuyup, Syafril menanti.....
Tak lebih dari lima menit, lelaki keselak kerikil tadi, dan dua, tiga, orang lainnya betul, datang ke tempat tadi ia menari terhuyung-huyung. sambil menunjuk-nunjuk. Dan, he lihat, satu diantara orang yang dia bawa adalah bule memanggul senapan. Astaghfirullah!!

Lelaki Hitam Keselak Kerikil itu, dan tiga temannya, megawasi seksama tempat kejadian perkara. Sesekali terlihat ia menunjuk ke pohon tempat tadi ia bergelantungan. Si Bule terlihat mulai kesal. Lalu ia mengarahkan moncong senapannya ke rerimbunan daun. Dar dor dar dor dar dor!!! Ia menyisir dari arah kanan ke kiri. Siapa tau, satu dari timah panas yang mencelat dari ujung senapan itu, menembus jantung Indonesia 'kurang ajar' godamn itu!
Tapi tak ada terdengar rintih pekikan. Hanya anggukan daun diterpa angin. Dan senandung air kuning Baliem menuju hilir. Lalu ini, bekas darah mengering teman mereka, di kerikil pasir putih.
"Tempe Rebus, get out!! I'll kill youuu!!!" bule itu makin gila. Selongsong peluru berhamburan. Pohon, ranting, cabang dan daun jadi sasaran tak bersalah.
Lelaki Keselak Kerikil terlihat jumawa kini. Merasa di atas angin. Ada bule bersenapan. Iapun ikut mengacung-acungkan kampak bersama temannya.
"Or bring all your General coming here! Kill youuuuu...!!!!" laras senapan menyalak lagi. Tak hanya ke pohon bahkan ke dalam air sungai. Sayangnya tak ada respon. Hening. Sehening bola mata Syafril dari bawah pohon rindang, nun seratus meter di seberang hulu....
Buayo Lalok, menunggu, mengambil keputusan, menyerang, di saat yang tepat.

"Indon arsch! Arscloch!!!" bule berkumis pirang itu memaki lagi, entah dalam bahasa apa. Syafril tak mengerti. Hanya intonasinya saja, yang ditangkap Syafril penuh kebencian dan carutmarut...
Tak lama kemudian, keempat orang itu terlihat saling bicara, dan beranjak meninggalkan lokasi. Setelah sebelumnya mengarahkan pandangan mata ke sekeliling. Berjalan kaki dilahan pertanian berumput, ada bekas umbi dan potongan-potongan tanaman. Bule berjalan paling depan dengan gaya khas tubuh eropa dan senapan di tangannya. Tiga lelaki berkulit gelap dengan rambut seperti mie instan hitam di belakangnya. Kembali ke posko....
Nun, tak jauh dari iringan-iringan mereka, semak belukar terlihat bergoyang. Seperti ada biawak atau mungkin buaya kecil berjalan pelan tapi pasti, mengiringi. Sampai pada sebuah bangunan rumah ibadah beratap runcing dengan kayu khas di ujung atasnya. Syafril mengira, di rumah atap lancip tinggi itu mereka berkumpul. Nyatanya tidak. Ada huma beratap daun lebih ke utara lagi. Lihat, ada beberapa orang lainnya lagi di situ. Dan itu, tengok, bahkan ada antena di dekatnya, serta tiang kamera cctv. Syafril menghentikan gerak merayapnya. Alat pendeteksi itu, akan memberitahu seluruh gerakan mencurigakan. Berbelok dan berbalik! Ya, setidaknya ia sudah punya informasi, bahwa di gundukan tinggi beberapa ratus meter dari bangunan beratap lancip, adalah titik yang harus dicatat!
Daun semak kembali sedikit bergoyang, lalu hilang.....


Setelah mengganti pakaian dengan yang bersih dari dalam tas parasutnya, Syafril istirahat di pohon tinggi. Di tepian sungai Baliem utara. Memperhatikan lembah dan perbukitan hijau. Mendengarkan suara angin. Ditingkah burung-burung kecil. Melintasi awan cakrawala putih biru. Menikmati glukosa dari sari kurma. Bernafas dengan alami, membiarkan jantung berdenyut dan lambung peristalsis seperti apa maunya..... Subhanallah!
Ketika senja turun, iapun beranjak. Pelan, pelan, pelaaaan..... Posko pengungsian adalah tujuannya. Tak susah baginya untuk segera mendapatkan pelayanan, dibawa ke ruang cek kesehatan, ditanyai apakah ia mendapatkan kekerasan fisik dan diminta kartu identitasnya.
"Syafril Sutan Mudo? Dari Pesisir Selatan? Bapak berdagang disini? Di pasar kah bapak tinggal?" Ia mengangguk. Lalu kemudian minta dicatat untuk pulang pada kloter secepatnya.
"Maaf pak Sutan Mudo. Kita memprioritaskan ibu dan anak-anak," jawab petugas itu. Syafril mengangguk mengerti. Tapi ia mengeluarkan kartu lain dari dompetnya, dan memberikan pada petugas. Begitu melihat lambang keemasan di sudut kartu, petugas terbelalak. "Ok pak Sutan. Ok! Kita fasilitasi bapak besok!" jawab petugas itu tangkas. Mengangghuk-angguk. Dan Syafril sungguh sangat berterima kasih pada pak Wagub. Serasa akan dia hela kaki kanannya untuk membukak langkah Buayo Lalok, mengingat bantuan beliau. Hep,....
Kemudian Syafril memilih tidur ketika orang-orang lain masih bangun. Lalu memilih bangun, serta tahajud, saat yang lainnya mendengkur. Ini bagian dari kehati-hatiannya, siapa tau, di posko pengungsian ini ada jaringan orang yang dia hadapi tadi pagi di tepi sungai,...
Setelah shalat subuh dan sarapan seadanya, dia mulai dipisahkan beserta rombongan. Namun sbelum berangkat, ia membisikkan sesuatu pada seorang petugas yang dari gestur dan aura matanya dapat ia percaya. Petugas itu mengangguk-angguk dan berterimakasih. Lalu pagi berubah menjadi cerah. Hercules dengan perkasa terbang meninggalkan bumi Papua, untuk transit di Makasar. Syafril memejamkan mata di bagian belakang bangku pesawat. Membiarkan sel-sel darah mengalir ke perifer tubuh. Fa biayyi alai rabbikuma tukazzibaaaan,..
Besoknya ia telah terbang di atas udara BIM. Melihat laut menghempas ombaknya. Memandang bibir pantai damai. Tak tau dia, jika disaat yang sama, sebuah ledakan terjadi di huma yang dia bisikkan, sebelum pergi. Kamera CCTV, layar LCD, laptop, mesiu, dan entah barang apa lagi yang ada di dalam huma, seperti potongan tubuh, terbang berhamburan ke udara dan tergeletak di tanah berumput. Sungguh, Syafril tidak tau!


Pagi-pagi ia telah berada di depan posko piket kantor wagub. Lalu menyampaikan pesan via petugas. "Katokan sajo Icap cucu Tuk Munir lah pulang, salam hormat." ucapnya. Tetap dengan wajah dingin, seperti dulu sebelum berangkat. Petugas piket mengangghuk-angguk. Lalu ia meluncur pergi. Mobil travel warna putih kemudian membawanya kembali ke Pesisir. Syafril turun dekat kantor Camat Bayang, dan berjalan ke mudik, menyelusuri pematang sawah. Pelan. Tak ada beban.
Di pusara Padang Cupak, ia berhenti. Menunduk dan berdoa. Allahummaghfirlahum warhamhum,.... "Nto, Ky, piutang lah mamak japuik.." ucap bibirnya bergetar. Tidak, tidak hanya bibirnya yang bergetar, tapi juga hatinya. Teringat beberapa hari lalu, ia seakan tak rela dengan keputusan Tuhan ini. Dan lintasan hati seperti itu, membuatnya merasa bersalah di depan Allah swt. Ampuni kedhaifan saya Tuhan, ...sambungnya. Dia berusaha untuk tidak cengeng. Pantang bagi lelaki untuk menangis. Tapi ia juga tak sanggup menahan gerak reflek syaraf mata dan sudut bibirnya untuk tak mengekresikan air. Air bening nan berlinang. Dia menggigit bibir. Mencoba kuat dan tegar. Tapi adat air, adalah berpindah dari yang tinggi ke kerendahan, hingga tetap saja ada yang turun mengalir disudut mata menuju bibir atas,....
Ombak Laut Air Haji, sore ini menggelora. Angin bertiup kencang dari Air terjun Simalenang menuju Bukit Lambai. Syafril tafakur agak lama.....
SEKIAN , BANYAK MAAF DAN TERIMAKASIH


No comments:

Post a Comment