GADIS KECIL DI HALAMAN MASJID
Gadis Kecil Di Halaman Masjid
Anak ca nan pulang balibur keah? Ajak paja ketek zaman dahulu. Obuak eah panjang, ba kobek duo. Pita sighah mudo malilik pek kapalo. Tu nyo jo adiak eah sadang mancokau-cokau patuang pek ujuang tobiang ha. "Dapet kagak?!" tanyo eah ka adiek eah. "Abis, terbang melulu siih!" nyeah nan adiak eah. Lontiak bona bulu mato eah!
Indak ado anak padusi nan ajak iko pek kampuang awak reah. Ado nan putiah tapi muko eah bulek. Lai nan lonjong tapi obuak eah kariting. Nan sojuak mato mamanai jak iko, anak ca keah?
"Tu,..kena!" Ha dapek dek nan padusi reah. Adiak eah datang ka uni eah reah. "Sini, gue yang pegangin!" nyeah
Babaju putiah barendo. Baikek pinggang manjuntai......Takona cinderelaa dek den! Atauuu....Little house in the Prairie....
"Pake kantong aja! Ni..." nyeah nan padusi reah ka adiek eah. Adiek eah lah asyik bona mogang-mogang ikua patuang reah. sayok eah lah mandoru, mangalopak-ngalopak. Paja ketek reah senyum soghang!
Taragak den ma-ampingi, lai omuah eah bakawan jo awak kek? Kok nengok barasiah oman eah, lai aso-aso indak pambongih takah reah. Tengoklah bibie eah, kadang-kadang njungkek kalau sadang mancokau patuang, tapi lopeh!
Ado patuang nan agak jinak. patuang pinjaik! Ketek tapi panjang. Ado nan sighah ado nan bighu. Ha, dapek dek den ciek! "Ko ah!" Sonang bona nampak dek den oman eah managhimo patuang pinjaik reah. Sudah itu, lah ajak bakawan ajo kami lai. Katiko ketek, indak parolu 'kenalan' ajak urang godang reah iah?
Bisuak eah, pulang sikola, lansuang wak makan sngenek, sambayang tukiak api, ntu laghi ka baghuah baliak. Lai ado juo'mbak Indri' jo adiak eah , Aris, potang lai? Ha, tu nyo ah! Sadang manangkuk baduo, pek laman masojik! Lah soto pulo wak mangaia cikpocong batigo......."Hei..dapet!" nyeah sambia ma angkek cipocong pek ujuang bungo ketek petiah........
Sonang na ati wak. Sobab awak nan ma ajai manangkok cipocong reah potang......"he he geli!" nyeah nan Aris takikiah-kikiah..... Cikpocong reah jatuah pek ujuang jaghi kaki eah!
Lah ado saboleh ikua cipocong dalam sayak. Aris lah manuia-nuia cipocong ajo eah lai. Awak jo Indri asyik pulo manggili-gili lubang pek kosiek. Ha, tu ado kotak okok komodor ah! Ka kotak okok keah lah dimasuak-an gak ciek...... "Tu kotak bisa buat bikin kapal lho..."nyeah nan Indri. Kopea?
Wak caghi kotak okok ciek lai. wak buek pulo ajak Indri. Ndee....yobona ajak kopea lauk. Golak soghang wak! "Main di situ yok?" nyeah. Lah ba apuang-an kopea daghi kotak okok reah pek topi tompek manyosah.... Matoaghi lindok-lindok toghang. Bayang-bayang buruang pipik malinteh pek pamatang. mambao umpuk koghiang ka jadi saghang.....
"Mbaaaak...."Aris maimbau. "Sini...liat ni, kapal ferry..." nyeah. Aris datang mambao sayak cipocong.
Ba dek sonang bona ati main jo Indri keah? Dek oman eah ancak ?
Tapi hari ke tiga, saat kuberlari lagi sepulang sekolah, mencarimu,...kau sudah tiada. Cinderella, kemanakah engkau? Gadis kecil, berambut ikat pita, panjang,...lenyap di telan waktu? "Cucu Oji Muli nan pulang potang keah nan ang tanyoan?" jawab ibu saat kutanya. "Nyo lah baliak ka Jakarta pagi cako...." Terbayang bersih telapak tanganmu, saat kutarok cipocong di lekuk lembut garisnya.....
Di halaman mesjid tak ada siapa-siapa. Hanya pohon durian besar yang jarang berbuah. Lalu hamparan pasir dan pematang kolam. Juga tempat mencuci pakaian......sesekali katak hijau melompat di rumputan dan tengadah daun teratai. Aku mengukir pasir sendirian. Kutuliskan namamu setelah tanda 'sama dengan'. Namun kutakut terbaca orang lalu. Jadi kuhapus cepat-cepat dengan telapak tangan. Engkau, Cinderella, dimanakah kini?
Begitulah, kenangan masa kanak-kanak; datang dan pergi! Ado nan taugie, banyak pulo nan ilang! Dan walau wajah ceria Indri tetap terbayang, tapi indahnya mandi di sungai, berlari mengejar layangan, mencari buah bersama teman, menutup memori, satu per satu..... Bahkan sampai SMP pun di Dangung-Dangung, cerita tentang Indri dan Aris adiknya, seperti hilang dimakan masa.....
Hingga suatu saat, di pagi yang cerah, bu Lela Rosma mengantar seorang gadis tinggi semampai, putih bersih, berambut kepang dua, berpita merah delima; masuk ke lokal......"Anak-anak, hari ini kalian dapat tambahan kawan baru pindah, dari Jakarta,....namanya Indria,..Indria apo tadi?"
"Iya teman-teman, nama saya Indria Irawati. Senang bertemu teman-teman semua. Saya pindah kesini untuk belajar bersama teman-teman. Kata mama sama papa, belajar di kampung suasanany lebih baik, sekalian bisa menemani kakek dan nenek...."
Taparangah kami sadoannyeah; indak dek ancak eah ajo reah; tapi inyo lansuang manyambuang pembicaraan bu lela cako; padahal biasonyo di lokal, kalau disuruah mangecek di muko kelas; abi malu ajo sadoannyeah!
Aura psikologis itu menular! Jadi kalau lihat orang malu, kita malu juga. Kalau lihat orang senyum, kita jadi senyum pula. Dan itulah yang terjadi pada saat Indri spontan menyambung kalimat bu Lela, kami terperangah, dan saya ikut-ikutan spontan bicara,.."Ini, Indri kakak Aris, yang waktu kelas dua SD dulu menangkap capung depan musajit?" Bahasa Indonesia saya tak terkontrol, instan saja....
Indri cantik itu menoleh. Semua kawan juga memandang. termasuk bu lela Rosma, lalu mereka segera menunggu apa jawab Indria Irawati bebulu mata lentik itu. Ia mandangku seperti berfikir. Lalu tiba-tiba tersenyum. "Ha...Hana...Hanafi?" tanyanya....
Merekah senyum bu Lela Rosma, mendengar kalimat spontan saya. "Ya sudah, kalau begitu, ibu tinggal ya, duduklah di bangku kosong di pinggir sini,.." kata bu lela, lalu keluar menuju kantor. Kawan-kawan, lah melirik saja ke dia terus. Dan saya makin menggelegak, saat dia memandang ke sini lalu senyum... Pancirugahan! Pak Martin lah tibo di pintu! Ilmu Hayat kan belajar sekarang?
Pak Martin masuk dengan wajah seperti senyum, kumisnya lurus tipis. Buku Makhluk Hidup jilid 3 ditaroknya di meja. Dia mulai membuka pelajaran dengan 'mengungkit-ungkit' materi minggu lalu. "Masih ingat apa itu 'habitat'?" tanyanya. Matanya memandang jauh ke luar jendela. Berdirinya seperti kaki kanan menumpu, kaki kiri melentur. Melirik sebentar ke kami, lalu cepat pindah lagi melayang jauh ke luar.....
Dan Cinderella itu pula yang langsung menjawab,"tempat dimana makhluk hidup tumbuh dan hidup berkembang kan pak?" Pak Martin senyum, "Betul!" jawabnya. "Kami pernah diajak guru Biologi ke pinggir sawah pak, melihat bahwa belalang itu habitatnya adalah daun padi, genjer itu habitatnya perairan sawah.." tambahnya lantang. Kami terdiam semua. Ini bisa 'maimpik galombang' juara kelas ni?
Koruk duduk persis di depan saya. Nama aslinya Khairul, tapi entah bagaimana kok jadi berubah Koruk. Padahal rambutnya lurus berdiri. Ia putra asli Siamang Bunyi. Tiap hari ia mendayung sepeda-jantan bapaknya ke sekolah. Mungkin jam 6 pagi ia sudah berangkat. Dan tiap hari pula, saya terpandang krah bajunya yang sudah robek menguning di belakang kuduknya. Dia biasanya tak banyak ulah. Tapi, sejak "cinderella" masuk tadi, kok jadi gelisah aja, memandang ke bangku kanan, tempat Indri duduk?
"Kok tau dia dengan kamu?" tanya Iwin, kawan sebelah kiri saya setempat duduk. "Sama waktu SD dulu ya?" tambahnya lagi. Saya menggeleng. "Ketemu waktu ia liburan di kampung aja, dulu. Duluuu sekali..." Iwin, putra Ketinggian. Kalau ke sekolah, ia biasa mengambil jalan pintas di belakang mushalla.....terus menuruni tebing, meniti pematang. Bukunya biasa disedlipkan di belakang punggung, di pinggang celana.
Dan waktu keluar istirahatpun tiba. Eh, Koruk kok mendekat ke meja Indri? "Pinjam gasing nel?!" pintanya pada Inel yang duduk di sebelah Indri....Gasing itu peruncing pensil.
Tanpa dapat kutahan kakiku ikut-ikutan melangkah kesitu. Tentu dengan hati penuh harap, semoga ia melihatku juga. Semoga ia membalas senyumku juga....onde mandeh! Dan harapan kalbuku dikabulkan Tuhan, ia memandang, lalu senyum! Nah, itu dia! Deretan gigi putih yang dulu pernah kutatap. Benig mata yang dulu pernah kupuji. Bahkan sekarangpun!
"Saya mencarimu di ujung tebing, di halaman masjid setiap hari.." kataku. Tapi hanya tersendat di hati saja. tak mampu keluar di mulut. Dan entah diberkati Tuhan, ia malah membuka pembicaraan,.."Cipocong !" lalu ketawa.
Ucapan 'cipocong' itu membuat suasana psikologisku cair. Lalu sambil senyum kujawab, "Sipatuang Pinjaik!". Dan ia senyum. Deretan gigi putih bagus itu kembali terlihat. Mengapa badanku melayang?...
Kegembiraan tampaknya harus ditahan. Sebab Maisondri, atau yang biasa kami panggil Ison; datang pula kesini. Tentu dengan gayanya yang formal, seperti biasa. Maklum dia ketua kelas. Dengan buku dan pena, ia memulai 'aksi'nya,"Siapa tadi namamu? Indri ya? Giliran piket kelas kamu hari Jum'at ya...Ni sudah saya tulias," katanya. Bau minyak rambut tancho nya merangsang saya untuk bersin. Hat-SINNN!!!
Tentu Indri-rancak itu patuh! Sebab ia anak baru....piket kelas hari Jumat. Datang lebih pagi, membersihkan papan tulis dari guratan kapur ibu bapak guru siang kemarin, menyiapkan lap tangan di sudut pintu lokal, dan menyapu ruang kelas. Tiba-tiba,"Sreeeet...." Layangan kertas, berujung runcing, menukik ke samping pipi Ison dan mengenai rambut Indri
Ini mengganggu wibawa ketua kelas. Ison memandang si pelepas layangan. Ijun, (Zuldarman), pura-pura tidak tahu. Ia segera memandang jauh ke luar. Seperti biasa, senyum kecil di bibirnya, penuh kemenangan. Lihat, kancing bajunya bagian atas yang selalu di lepas, dan gulungan lengan baju dua lipatan....
"Elok-elok karajotu sangenek!" Ison 'menegur'. Entah kenapa, di depan wanita yang menarik hati, kita lelaki, berubah seperti perkasa!
Indri melangkah keluar bersama Inel. Katanya mau tau tempat jualan jajan, pustaka dan toilet. Tentulah Inel akan mempertunjukkan 'inovasi' mak gopuak dalam menggoreng pisang. Atau 'ekspresi' mak Kabuk dalam memuncratkan kecap ke kuah miso! Cret-cret-cret ....!!!
Ataukah Inel akan memperliihatkan bagaimana toilet kami yang baunya rada pesing? Mudah-mudahan hari ini tidak segitu-gitunya ya?
Begitu Indri keluar, Ijun lansung menyenggolkan badannya ke Ison. "Apo kecek tadi? Kanai berang ambo yo?" tanyanya, dengan dada dibusungkan. Kancing baju terbuka, lengan dilipat dua kali!
"Indak, indak lamak awak sadang maurus piket, ang manukiak-an olang-olang ka muko deen...". Ison menjawab lunak. Sudah tu, dia beranjak menjauh. Keluar, ke WC yang berderet di kolam sudut sekolah agaknya. Terpancarkah kencingnya ditantang Ijun?
Lonceng piket berdentang empat kali. Jam 12 siang sudah! Ada rasa gembira jika datang kesempatan jeda istirahat. Disini, di sekolah kami, jam 12 adalah jam untuk segera ke kolam sebelah barat sekolah, wuduk bareng-0bareng, duduk manis di musolla, mendengar ceramah dari pak Bakhtiar, lalu shalat zuhur berjamaah. Petugas azan biasanya bergilir setiap lokal.
Tak perlu ragu dengan air kolam di 'mudiak' bangunan ini. airnya bening kehijauan. Ada beberapa ikan mujair di dalamnya. kata pak Bakhtiar dan ibu Nurhayani, volume minimum air untuk wuduk adalah satu hasta lima jari, panjang lebar dan dalamnya. Jadi kolam ini amat sangat memenuhi syarat...
Cuma ada ketentuan sedikit. Jangan sampai ketahuan kalau kita mencuci kaki dengan cara memasukkannya ke kolam. Jangan! Sauk-lah air dengan tanganmu, lalu bersihkan kek kakimu...itu saja...
Indri bingung.. Teman wanita yang lain beranjak ke tempat wuduk perempuan. Sedangkan ia tak membawa mukena, atau telekung istilah kami. Maklum, ia tak sangka, kalau disini, si SMP no 1 di Asia Tenggara ini, setiap zuhur ada program shalat berjamaah.
Kasihan kan? Tentu saya segera mengambil inisiatif. "Kita pinjam di kantor guru piket. Biasanya ada.." usulku. Ia gembira. Tahukah engkau bagaimana perasaan saat bergandengan jalan ke meja guru piket? Ah, ....
Sebenarnya ada alternatif lain yang agak nakal; berpura-pura menstruasi! Tapi ini tentu bohong. Murid klas 3 SMP biasanya sudah datang haid. Ingat dulu, kawan klas III /2 , Yulmidar, pantatnya lembab merah kayak pulau kalimantan begitu keluar main. Dengan wajah pucat ia minta izin ke guru piket untuk pulang. Diantara kami ada yang mengertidan ada yang tidak. Tidak tau, Yulmida saat itu kesakitan, atau malu atau takut ?
Rupanya bahwa ada anak - baru masuk di lokal kami, sudah tersiar sejak keluar main tadi. Sejak Indri dan Inel jalan keluar kemana-mana. Pantasan, Ijon, teman di klas III/4 mendekati saya saat berjalan dari kolam ke musholla. "Nan tadi tu, urang kmapuang yo? Baru masuak" tanyanya dengan berdesis.
Tentu saya ceritakan seadanya saja. Tidak termasuk gejolak hati sat bergandengan ke meja guru piket tadi. Mbiek-olah lah!
Bu Wahidarni, guru matematika kami, semoga disayangi Allah. Ia yang meminjamkan 'talokuang' tadi. Bu Asma Surin Budiman dan Bu Syamsimar yang sedang piket meng-uruskan mukena itu di kantor. Jadi, jika saat masuk ke musholla, mata saya tertumbuh pada wajah Indri yang dibalut mukena, duduk paling pinggir, shaf depan, wajarkan saya terkagum-kagum?
Betapa indahnya.... Dalam debar hati, saya berusaha senyum tipis. dan, ya Tuhan, ia juga ..... Tuhan, bolehkah saya senyum di pintu musholla? Dan Tuhan, kenapa muncul tiba-tiba dalam hati, keinginan untuk cepat jadi pria dewasa yang sudah bekerja, lalu menjadi 'junjuang' Indri? Untunglah bahuku disenggol Ijon, jadi cepat sadar dan berjalan ke shaf yang masih kosong.
Ceramah singkat pak Bakhtiar tentang perasaan orang mukmin di dalam tempat ibadah bagaikan ikan dalam air, tenang tentram, tampaknya kurang sesuai dengan debar jantung saya. Ingatan kok ke dia ya? Astaghfirullah...
Sengaja saya mengundur-ngundur waktu saat keluar sekolah. Sengaja sepeda Valuas ini di iringkan jalan kaki sampai pintu gerbang. sengaja kupandang ia, hendak pulang pakai apa.... Dan begitu datuk Muli kelihatan sudah siap dengan honda nya, menjemput cucu - rancaknya itu, saya mendayung sepeda dengan teman-teman. Ke mudiak !
Honda 90 dengan tangki bensin seperti meruncing itu lewat di keramaian sepeda kami. Indri duduk manis di belakang. Senyum ke teman -teman perempuan. Inel, Imar dll. Hati saya melirik. Ah bukan, mata saya juga.... Dan honda itu berlalu dengan bunyi yang sangat khas. Puah-puah, Puah-puah, Puah-puah,...makin jauh....
"Itu anak baru pindah reah kan?" tanya seorang di belakang. "Iyo. Ancak na iah?" kedengaran jawaban. Aduh...
Berhari-hari Indri diantar jemput dengan Honda oleh datuknya. Sampai suatu pagi, saat saya sampai di simpang tiga kampung kami, kulihat dua orang teman perempuan beriring di depan. Satunya seperti Imar dan satunya pasti Indri! Lihat pita dan ikat rambutnya! Persis!
Tentu saya segera mempercepat dayung sepeda unto ini. Peduli apa dengan kerikil dan jalan berlubang. Gaduguh-gaduguh...... Bau aroma sabun Camay dan bedak Viva , entah no 11, 12 atau 14, dihembus angin ke belakang....
Kedua orang itu menoleh saat saya mendekat. Bunyi sepeda saya mungkin membuyarkan 'ota' mereka. "A cito reah.." saya bertanya. Mata memandang ke roman rancak. Insting saja kok!
"Eti jo Inda gorah-gorah dalam lokal potang, bakojea ka luea. Dek madok ajo ka lakang, tatumbuak jo pak Darius...he he" Inel cerita. "Pak Dariusnya baik ya, kagak marah gitu, padahal bukunya sampe bececeran tuh.." Indri menyambung
E dusanak, sebelah mana baiknya saya mengambil posisi ni? Di tengah-tengah antara sepeda Indri dan Inel atau di paling kanan? Pengennya 'gandeng' dekat dia....atau besabar ajalah agak belakang dikit...
"BIasonyo mandudu ajo ngebut, kini ba dek lai omuah samo jo kami?" Inel ini nanya yang sensitif pula,..jadi merah muka nih
"Indak, kan masih pagi juga kok," wak jawab seadanya. Memang masih pagi. Matahari nun menyembul di belakang pepohonan kelapa. Cahayanya bersih. Menembus udara segar kaya oksigen. Alangkah indahnya pagi ini, .....ya kan?
Makin dekat ke gerbang sekolah, makin rame iring-iringan sepeda. dan tentu, makin heboh juga suara percakapan ditingkah tawa dan gesekan rantai dengan prewel di roda belakang. Kecuali sepeda yang baru, kayak indri, suaranya halus lembut. Selembut wajahnya yang mekar diterpa mentari pagi.
"Sombong bona inyo kini ieah?" seorang terdengar menyebut namaku di iring-iringan belakang. Suara siapa ya? "Iyo, sajak lah ba sajak keah.." nan lain menimbrungi. Ondee, ba lai ko?
Pelajaran pertama dalam 'cinta' adalah bersedia dipergunjingkan kawan. Tebal telinga pada omongan. Tadi, Imar juga ngomong kayak gitu kan, sat nyapa,"kok sekarang bersedia bareng, biasanya mendudu saja?"
Tentu Indri tak begitu mengerti dengan istilah-istilah yang dipekikkan kawan dari belakang. Kosa kata bahasa mudiaknya, belum banyak. Dan saya, sedapat mungkin, tampil untuk tidak terpengaruh. Matahari saja, bersinar tanpa terhalang? Iya kan?
Dan kami tiba jua di sekolah. Parkir sepeda. Jalan bareng ke lokal. Bolehlah, saya bersiul dikit dengan tangan masuk ke kantong, sebab sekolah ini terlihat begitu indahnya.....
Habis bel berbunyi, pengarahan dari Kepsek, kami dapat suguhan baru! Kata pak Kepala sekolah, kita ada tamu, alumni kalian dulu, yang telah melanjutkan studinya ke Inggris. Kami bertanya-tanya, siapa ya? Dan orang yang disebut kepala sekolah itu, naik ke podium khas sekolah, kursi kayu yang ditarok membelakang.
"Nama saya Dewi, seperti disebut bapak tadi," katanya memulai. "Seperti adik-adik semua, saya dulu menuntut ilmu disini, disekolah kita ini,..." katanya tertahan. He, uni yang cantik yang berdiri di deretan ibu guru itu rupanya. Dan tadi kelihatannya, ia bersama seorang bule, tinggi kurus, berwajah sedang-sedang saja.
"Begitu Uni pergi jauh dari sini, begitu uni merasakan bagaimana menuntut ilmu di negeri orang, di Inggris sana, Uni sadar, betapa Bapak dan Ibu guru kita disini betul-betul telah mendidik kita dengan baik. " Ia tertegun lagi. Suasana sendu menyeliputi kami semua.
Setelah menasehatikami agar belajar dengan rajin, menjaga kejujuran dan akhlak yang baik, Uni Dewi itu, kembali mengenang masa-masa sekolah dan dididik oleh ibu bapak guru di SMP yang membanggakan ini. Dan, akhirnya ia tak dapat menahan air matanya. Kamipun seperti terhipnotis. Suasana tiba-tiba berubah diam. Guru-gurupun tertegun. Air mata terlihat menetes dan mengalir turun di pipinya.
Suasana haru itu membekas sampai ke rumah. Bahkan sampai sekarang, jika dikenang-kenang. Saat kutanya sama ibu di rumah, beliau menjawab,"anak Chaidir meah. Pek panurunan ten umah eah ha. Kami samo sikola dulu pek training College, kumbuah," jawab ibu.
Selesai acara temu-kangen dengan Uni Dewi dari Inggris itu, pak Kepala sekolah menutup acara dan kami kembali ke lokal. Barisan belakang, yang terdiri dari siswi-siswi perempuan, berbalik dan menjadi lebih duluan ke lokal yang memang berada dekat labor pak Ali Satar. Saya mempercepat langkah, supaya tak jauh dari .....(tau aja!)
"Saya ingin seperti uni itu!" Indri bicara. "Saya juga,..."kudengar Inel menimpali. Tentu, semua kami ingin sekali berhasil studii bagai Uni Dewi. Namun, layaknya remaja kecil seperti kami; tak terfikir tentang biaya, kesempatan dan peluang. Hanya ada ketertarikan.
Beberapa saat setelah masuk ke lokal , Ibu Nurianis Kimin datang. Pagi ini pelajaran Sejarah. Tentu, seperti biasanya, seluruh kami menykai pelajaran ini. Bukan karena kami berpotensi sebagai ilmuwan sosial semuanya, tapi lebih karena performa bu Nurianis. Jika ia mengajara, kami bagai menonton filem...hanyut.!
"Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk barangsiapa yang telah menculik putrinya, maka ia akan mati akibat kecantikan Ken Dedes." begitu ringkasan cerita bu Nurianis.
Mimiknya, intonasi suaranya, aura keikhlasannya saat mengajar, menguasai lokal. Seperti dibilang di atas tadi, kami terpana bagai menonton Ken Dedes yang kata bu Nurianis, teramat cantik.
"Tunggul Ametung memiliki pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Pada suatu hari Tunggul Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Ketika turun dari kereta, kain Ken Dedes tersingkap sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari India. Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai wanita nareswari yang diramalkan akan menurunkan raja-raja. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama pengawal bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi akuwu baru di Tumapel. Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak Tunggul Ametung."
Ken Dedes, ...kayak Indrikah? Atau Indri justru lebih jelita?
"Ka Inggris? Lai pandai kalian ba bahaso Inggris? Dihariak pak Yuniaris ajo kalian lah yes-no yes-no.." Ijun, yang badannya besar, lengan baju di lipat dua kali, ngomong saat anak-anak bicara lagi tentang sekolah ke Inggris. Iya ya? Bukankah kami hanya bisa: I am studying atau I am going to school...?
Masih beruntung Uda saya di rumah mungkin. Ia bisa belajar bahasa Inggris dengan temannya yang pindahan dari malaysia. Da Alen itu, kakeknya di Mudiak, dan SMA pindah ke Limbonang. Ia yang mengajari temannya nyanyi vocal group: ....Where is you papa gone (Whre is you papa gone!)..Where is you mama gone.. (Where is you mama gone!)..Faaar faaar away... Last nat night your papa was gone, cit-cuit, cit pecit-pecit! ...When you were there your mama was gone..cit-cuit! Cit-pecit-pecit!
Nyanyi itu diajari da Alen ke kawannya sat ada acara di SMA Limbonang, dan dia jadi terkenal diantero teman-teman. "Orang malaysia!"
Sedangkan kami? Apa yang dapat kami ucapkan jika sekolah ke Inggris? I am studying English?
Kemarin kawan, saya minta duit agak banyak pada Ibu. Saya ingin sepatu saya diganti yang baru. Minggu yang lalu kawan, saya juga minta buat beli cincin permata biru, di pekan Sabtu. Minyak wangi Bapak di almari, yang biasanya hanya dipakai buat ke masjid Jumatan, atau di hari raya ; juga saya pakai...entahlah, ; untunglah bapak saya diam saja, dan ibu hanya menunduk.
Berangkat sekolahpun kini, agak lebih pagi. Dengan asa harapan, bertemu Indri di simpang, lalu beriringan bersepeda sampai sekolah. Andai Imar dan kawan yang lain terlambat, bukankah saya punya kesempatan beriring berdua? dan itulah yang terjadi pagi ini...
"Ketika engkau balik lagi ke Jakarta, dulu waktu kita main di halaman masjid, saya masih mencarimu disitu......" kataku membuka pembicaraan. Ah, tidak! Bukan begitu ucapanku! Itu tertallu sentimentil, ..."Kucari legi Cipocong besoknya , walau engkau tak ada lagi...", Ah ini juga bernada melankolis. Gimana ya? "Apakah Cipocong ada di Jakarta juga?" akhirnya saya berucap. Indri menoleh. Matanya indah....Tidak ada. Tidak ada halaman masjid berpasir di komplek rumah kami..."jawabnya.
Kami mendayung sepeda dengan kecepatan lambat. Kerikil-kerikil terlindas. Kadang terpelanting. Palung-demi palung kami lewati. "O iya, dimana ya kita bisa nyari tumbuhan 'usea' itu?" tanyanya. Astaghfirullah, iya! Bu Lela menyuruh kami mencari tumbuhan itu untuk dibuat anyaman topi. Ada yang bilang di baruah Barangan dekat Sinama ada..."Nanti sepulang sekolah akan saya cari. Akan saya carikan juga untukmu..." saya jawab cepat. Sekilas kulihat wajahnya senang!
Taukah engkau, bahwa Usea sudah hampir habis di pinggir sinama baruah Barangan? Dan taukah engkau, saya mencarinya sampai ke Sipingai, sore itu? Tapi walau keringat bercucuran, hati saya senang! Sebab ini akan saya berikan untuk dia! Inikah pelajaran 'cinta' nomor dua? Bersedia berbagi denagn orang yang kita senangi? Entahlah, yang jelas, saya puas membawa sekantong besar daun usea, melintas jalan bersebu Sipingai, Bukit Cintuk, Tanjung Ipuh saat itu....
Bu Lelarosma itu seperti memiliki kekuatan 'magis' . Aura wajahnya, bahkan seluruh gerak tubuhnya, membuat kami bersemangat untuk membuat prakarya. Bahkan saat kami dibimbing membuat meja belajar sekolah, kami selesaikan itu dengan baik! Sampai plamir, pelitur dan berkilat.... Kayu dan cat disediakan oleh sekolah. Sungguh mengagumkan saat terkenang di kemudian hari...
Kawanku, engkau wajar menyebutku 'lah sombong' atau 'sajak lah ba sajak ko' ataupun 'lah bakukuak di ateh pagarn..' Sebab, aku sendiri memang merasakan perubahan ini. Walau sejatinya, aku tak kuasa menolaknya. Tak mampu ku usir bayang wajahnya, senyum indahnya, ...sekalipun ku telungkupkan kepala ke bantal usang rumah ibuku ini...
Cuma, kan bukan aku saja kan? Lihat Koruk putra bangsa Siamang Bunyi, udah sebulan terakhir ini rambutnya berkilat oleh minyak. Tak jelas benar, merek apa, sebab baunya susah teridentifikasi. Kalau kami beriringan ke goreng mak Gopuak, saya berusaha menebak, tapi tak mampu...rada aneh gitu..
Bahkan, Khairul sudah dua minggu tidak hadir di sekolah. Surat yang diterima ketua kelas, ia sakit demam. Dan seperti kebiasaan di sekolah kami, jika teman sudah lebih seminggu sakit, kami jenbguk/bezuk ke rumahnya bersma-sama. Itulah sebabnya, hari ini, sepulang sekolah, kami berombongan, bersama bu Trimurti guru Bahasa yang juga wali kelas, menuju Siamang Bunyi.....asyiiik
Anehnya, setelah menempuh jarak kilometeran, jalan debu berlubang tanah, kami sampai di rumah kayu sederhana milik Khiraul. Dan surpirise sekali, sebab ternyata Khairul itu telah tisdak ada di rumah. "Kama lah inyo koha, tadi lai ado..." kata ibunya . Wajah ibunya khas petani, begitu juga logatnya. Lugu dan lurus.
"Tak mengapalah Ibu, ini tanda turut 'saraso' dari teman-teman sekelasnya..."kata bu Trimurti menyerahkan amplop. Tanpa ketemu Khairul, yang menghilang ditelan sawah dan hutan bukit. Dan yang lebih aneh lagi, saat hendak pulang, ibu Khairul, bertanya: "Iko agaknyo nan banamo Indri yo? "....He, ada apa pula ini?
Dari Kubang, teman-teman mengarah ke Balai mansiro [pulangnya. Namun saya, Indri, dan Imar serta dua orang lagi, belok ke Talago. Dengan sepeda dan peluh di kening, juga di hidung hi hi.
Di pendakian antara Kubang dan simpangTalago, kami turun. Tak mampu mendayung setinggi itu. Sambil jalan, beiring, kutanya Indra' Kenapa ibunya Khairul nanya Indri tadi?" Indri menoleh. Sepedanya tetap ia dorong. Dengan agak ragu ia jawab,"Boleh jadi karena ia meletakkan surat di tasku minggu-minggu yang lalu. Katanya ia senang padaku. memuji-muji gitu. Tapi tak kubalas. kata mama, Indri tak boleh gitu-gitu. Indri pulang untuk sekolah. Dapat ijazah SMP yang terkelnal ini. Menjaga Atuk dan Uwo."
He, ternyata Khairul telah melangkah jauh. ia menulis surat. lalu didiamkan Indri. Lalu demam. Demam atau pura-pura demam. lalu kami bezuk. Malu dan lari menghilang dalam pelukan hutan belukar belakang sawah rumahnya. dan Indri, -ini yang penting dicatat-, 'tak mau gitu-gituan'. ia pulang untuk sekolah.... Hatiku rasa Jatuh dan terhempas!
"Kok melamun? Ayo...!" Indri mulai naik ke sepedanya. "Ho-oh...ho-oh...iya ..." jawabku kaget. Setidaknya saat ini, aku masih ada di dekatnya. Dan beberapa teman di depan kami. Sudah sampai di talago ini.
Ternyata, dijenguk (bezuk) jika sakit itu ampuh untuk mengobati demam. Sudah dua kali saya lihat. Dulu, kelas 1, kami bezuk teman ke Padang Arei, Guguak; lalu besoknya dia langsung masuk sekolah. Kini, hari ini, lihat tu; Khairul sudah muncul dengan senyum malu-malu dari arah kantor menuju lokal kami, dekat labor. Berarti 'jengukan' kami kemarin, efektif menyelsaikan "demam" nya. Ya kan?
"Panciak-an ang meah! Kami kiun ang ilang! Indak sakik tio ang reah! Sakik babuek-buek...pant..." Ijun menyambutnya dengan sumpah serapah. Biasalah, gayanya Ijun. Baju tak dikancingkan, lengan baju dilipat, badan besar. dan tak ada yang mampu melawannya....
Sekali waktu Ijun ini kena batumya juga. Hari Jumat waktu itu, kami gotong royong. Dia lupa bawa alat, kayak cangkul atau sabit/arit gitu. Sambil ngumpet-ngumpet, dia mencoba menarik-narik rumput teki di halaman. Lalu ketauan oleh pak Yusafril. "Heh, mari ang!" dia dipanggil. Dan langsung pucat!
"Plak! Pluk!" dia dapat hadiah di pagi itu. "Ma pangkua ang?" tanya pak Yusafril. "Lupo den pak..." dia jawab seadanya. Sambil menunduk. Ternyata besar badan saja belum cukup untuk menghadapi pak Yusafril...tuh, rasain!
Siangnya kami duduk dekat tonggak labor depan teras. Ison bertanya ke Ijun; "Kanai berang ang tadi pagi yo?" Lalu Ijun menjawab seadanya..."Iyo. Si "Uway" ditampeleangnyo den!". Tanpa sadar bahwa pak Yusafril sedang berjalan di belakangnya. Kami semua dapat menduga apa yang terjadi berikutnya. Persis! Dia dapat hadiah dua temepelng lagi..."Ampoun pak, ampun . Indak wak ulang laiii" jawabnya. Bagaimana tidak? Uway itu panggilan sesama besar di Suliki, tempat asalnya pak Yusafril. Ada-ada aja si Ijun!
Agak 'rusak' hati awak sedikit menemani Koruk belanja di mak Gopuak hari ini. Kenapa tidak? Bukankah ia tahu kalau gosip sudah menyebar tentang saya dan Indri? Bukankah ia tahu siapa yang mencarikan 'usea' untuk Indri? Bukankah ia tahu sipa yang bersepeda beriringan hampir tiap hari dengan Indri? Lalu, kenapa pula dia selipkan surat di tasnya? Aduh,...tapi tak kutampakkan 'suasana hatiku' saat jalan ...Goreng Pisang Panas mak Gopuak!
Belum habis goreng di tangan, lonceng masuk sudah berdentang. Kami bayar buru-buru. Bahkan sisa goreng di tangan Koruk masih sepertiganya. "Iyo, mokasih,..." mak Gopuak memberikan kembalian duit, dan kami segera beranjak melintas sisi lapangan volley.
Di sini, aku sudah tak mampu menahan sabar. Saat orang-0orang sudah menuju lokal, dan kami melintas gang antara labor dan musolla, saya berhenti. Saya pegang tangan Koruk. "Rul, suratmu tak dibalas Indri ya?" bibir saya mengelocos bertanya.
Koruk terperanjat. Wajahnya tegang. "Dikecek-an nyeah ka ang?" katanya. Sisa goreng pisang di tangannya terpelanting!
Saya mengangguk. "Weh, mambonea bona deen. Jan dikecek-an ka urang ndak....awak batigo ajolah nan tau, dih,...dih...." ia memelas. "Tapi ang totap ka mangojea inyo?" tanyaku. Koruk menatap lembut. Lalu senyum. "Tidak, tidak lagi..." gelengnya lemah.
Kawan, sejak suratnya tak berbalas, Khairul terlihat lebih rajin. Agak pendiam memang. Namun hasil ulangan hariannya naik drstis. Kemarin, nilai matematikanya dengan ibu Wahidarni, sembilan. Ya 9 ! Hari ini, saat diskusi dengan pak Ali satar, ia mampu menjawab beberapa pertanyaan lisan. Kayak Indri dan ison juga. Mata Koruk pun, kini terlihat lebih tajam. Dalam menunduk, ia seperti singa yang memndam cita-cita."Lihat, suatu saat nanti jika aku berhasil,...lanjut SMA dan kuliah di Padang, ...aku buktikan lebih dari satu orang Indri akan kudapatkan!"
Hari-hari berikutnya, Khairul memang tampil lebih pendiam. Mata bersinar seperti elang. Agak menunduk. Namun sekali lagi, seperti tersirat dari tingkah lakunya, ia akan berbuat lebih. Lebih dari tokoh-tokoh SMP kami yang sudah duluan berhasil. Sebelum pindahnya pak Amir, pak M Yan dan pak Soeharmo, mereka pernah membanggakan kakak-kakak kami, Nadir Abas kamil, Al Busyra Basnur, Dewi Fortuna Anwar dan seorang lagi -yang tak perlu kutuliskan sekarang- supaya ia tidak berubah perasaan, sebab juga sudah berhasil di Batusangkar sana.
Suara mikrofon dari meja guru piket meminta kami berkumpul, setelah tadi lonceng berdentang. Berbaris rapi seperti biasa. Tumpukan cangkul dan sabit/arit/tangkeuk di dekat teras. Guru-guru berdiri di depan. "Terimakasih atas kerja keras kalian hari ini. Kebersihan ini bukan hanya untuk kesehatan dan keindahan tapi juga untuk ekspresi kimanan kita pada Tuhan," kata pak wakil kepsek. Lalu memberi nasehat agar kami, terutama murid klas 3, lebih rajin belajar menghadapi ujian akhir. Gotong royong tadi, sekalian untuk menyambut hari pendidikan nasional yang datang Senin depan
"Senin pagi, kalian langsung ke tanah lapang Dangung-Dangung, semuanya. Berpakaian putih-putih. Ingat, kita akan upacara bersama dengan bapak camat, tripika dan smp lain. Jadi mohon datang tepat waktu dan jaga kedisiplinan." kata beliau.
Setelah nasehat itu kami diizinkan pulang. Anak-anak seperti berlomba bubar dan mengambil sepeda masing-masing. Lalu menggiringnya ke pintu gerbang dan pulang. Biasanya, Indri sudah kelihatan juga sama Imar, tapi ini udah beberapa menit kok tidak nampak?
Sambil mengayuh perlahan, kubiarkan teman-teman mendahului. Suara 'garegeh-tebeh' bunyi rantai dan pedal sepeda saling meningkah siang terik ini. Di campur gelak tawa dan ota khas anak sekolah. Ramai aja...
"Kata mama Indri nggak boleh gitu-gituan, Indri harus dapat ijazah SMP terkenal ini sekalian ngejagain Atuk sama Uwo..." kalimat itu tiba-tiba terngiang. Pantaslah ia bersikap baik aja sama semua orang. Oooo....
"Cipocong!" tiba-tiba teguran Indri mengagertkan dari belakang. Ia muncul sama Imar. Saya refleks tersenyum gembira. "Sipatuang pinjaik!" mulutku bereaksi. Ia tertawa lepas. Sumringah! dan segala beban tiba-tiba jadi hilang! "Kenapa lama keluarnya?" saya menelisik. "Ni cangkul mesti diikat baik-baik. Di alas pake kain dan jangan sampai menggores boncengan sepeda baru..." jawabnya. "Biasalah, mentang-mentang baru..."timpalk Imar.
Seperti hari-hari biasa, pulang bersepeda bareng-bareng ini begitu indah. Tak etrasa waktu berjalan. Bahkan alangkah cepatnya untuk sampai di persimpangan dimana saya harus belok ke jalan kecil dan Indri terus ke hilir bersama Imar. "Mar tolong jago amak-paja' wak elok-elok yo..." tiba-tiba mulut saya tanpa kontrol berkicau. Guyon apa pula ini?
Syukurnya, Indri belum tau mungkin dengan 'kosa kata' Amak -Paja itu. Hanya Imar yang tertawa terkangkang-kangkang! Dan saya menuju rumah dengan perasaan 'tangkapentong'. Makan siang di rumah dengan sambal kelapa parut yang digoreng campur maco-bada, sambil tanpa dapat dihindarkan, ...wajah Indri. Heeeh-lah!
Pagi Seninnya, saya 'marengek' ke ibu. Minta uang jajan lebih dari biasa. Alasannya sangat 'strategis'. Ada upacara bersama di tanah lapang dangung-Dangung! Dan tentu ramai oleh penjual kacemuh, es mambo, bika, sarabi, gubik ganepo dan entah apa lagi...."Biaso eah kan duo puluah limo , balanjo ang nyeah?" tanya ibu. "Ndeee ibu iah, sakali keah, saghatuh lah agieh den. Ughang upacara pek Ndonguang...kan ba paneh-paneh nan ibu reah," saya memelas.
Seperti umumnya terjadi, ibu akan memenuhi permohonan saya. Dengan dada melambung, saya memasukkan duit seratus rupiah, warna merah ke kantong. Ahayyyy....
Dan taukah engkau kawan, saya tak begitu mendengarkan sambutan-sambutan yang disampaikan pembina upacara. Tak menarik buat saya pidato seperti itu. Mana terik mentari mulai menyengat pula! Mendingan saya pindah dari barisan depan , ke barisan belakang, dekat preman -preman sekelas Ijun ngobrol. Berdiri di posisi belakang memungkinkan untuk tidak berdiri dalam posisi 'siap grak!". Ya kan?
Ha, ha, benar kan dugaan saya? Enakan berdiri di belakang! Ijun, Kiman, Su'ib ngobrol ngalor-ngidul seenak perut mereka. Sambil terkekeh malahan! Katanya di perpustakaan sekolah kami ada 'kitab' besar dua jilid. Kertasnya tebal dan luks. Dan katanya lagi, setiap lembar halaman itu di penuhi oleh lukisan yang sangat indah. Indah? ya, bahkan banyak lukisan -maaf- 'padusi indak ba baju', kata mereka.
Kok bisa gitu? Ada yang bertanya. Nggak tau! Hebatnya lagi, kitab besar dua jilid itu adalah koleksi lukisan orang yang pernah paling dihormati di Indonesia dulu, mantan Presiden. Cerita itu heboh. Sebab ada yang usil bertanya,"Apa tak waang sobek saja selembar?" lalu tertawa lagi cekikian!
Obrolan tentang mantan Presiden yang menyenangi gambar 'padusi indak ba baju' itu tak pula menarik hati lagi, sebab mata saya mengarah ke barisan belakang, siapa lagi kalau bukan Indri ! Ia dan teman-temannya masih berdiri teratur; bagai pejuang nasionalis sejati!
Tak terasa, akhirnya upacara yang bertele-tele itu selesai juga. Siswa-siswa pulang ke sekolah masing-masing. Rombongan kami jalan kaki, melintas jalan kecil berbatu, ke arah SMP (1) dangung-dangung. Inilah kesempatan saya untuk jalan bergandengan. Tau aja!
Es mambo adalah es dengan kualitas lebih baik masa itu. Dijual oleh pedagang memakai sepeda boncengan. Tabungnya berwarna biru. Es yang biasa di sekolah, hanyalah es berbungkus plastik yang dicampur pemanis dan kacang hijau sedikit. tapi ini, es mambo, yang bertangkai kayu pinus tipis, ukuran besar dan kandungan susu coklatnya tinggi. Harganya juga lain! Rp 20,- se tangkai. "Indri, wak taragak mambalian Indri es..." kataku. Ia menatap dengan bola mata lucu. Bukan lucu, ..indah! Duit seratus kertas warna merah yang saya minta ke ibu dengan 'merengek' itu berjasa besar! Ia membuat perjalanan ke sekolah , sepulang upacara, begitu berarti! Sebab ada es mambo di tangan kami ...aku dan Indri!
Rasa-rasanya belumlah puas bercanda sengkrama dengan kawan-kawan di lokal, sehabis upacara lapangan Dangung-Dangung, bel masuk sudah berbunyi. Ibu dan Bapak guru begitu disiplin. Tak boleh ada waktu terbuang. Lihat, bu Lela keluar dari ruang kantor, membawa contoh topi anyaman, ke kelas III lokal sudut. Dan, nah, pak Ali Satar, keluar mengapit buku biru, Zat dan Energi, di tangannya. Tentulah menuju ke lokal kami. Sebab mestinya sekarang memang pelajaran Ilmu Alam
Kami segan dan hormat dengan pak Ali Satar. Ia boleh dikatakan tak pernah marah. Senyumnya simpatik. Badannya besar. jalannya kecil-kecil tapi cepat. Apalagi saya, sebab anak pak Satar sebangku dengan saya setahun lalu waktu kelas 2. Namanya Alhamdi Satri, mirip nama bapaknya ya? Mungkin karena saya sering berdua dulu dengan Al, pak Satar juga sering senyum ke saya.
"Kita belajar di labor..." kata pak Satar setelah masuk ke lokal. Dan kami berhamburan pindah ke labor Ilmu Alam. "Minggu lalu, kita telah menyelsaikan praktikum arus seri dan bedanya dengan arus paralel. Sekarang kita akan menunjukkan bagaimana warna putih, dapat dihasilkan, dibentuk oleh berbagai macam warna jika dicampur dan dikombinasikan dengan frekuensi tinggi." sambung pak satar
Lalu kemudiaan pak Satar menarok lempengan plat lingkaran yang dicat warna warni di meja. Lempengan itu memiliki kabel yang segera disambungkan ke colokan lubang arus listrik. "Lihat,...warna apa yang muncul jika lempengan bulat warna warni ini berputar dengan cepat!" lanjut pak Satar. Kami serius memperhatikan saat lempengan itu bergerak cepat begitu kabelnya disambungkan ke arus listrik. Dan lihat! Lempeng yang tadi dipenuhi warna merah, hijau, kuning, biru, coklat, ungu, bahkan hitam, kini setelah berputar cepat, kelihatan jadi putih! Ya, benar-benar putih!
Kemana hilangnya warna-warni tadi? Lalu mengapa sekarang justru muncul sinar putih? "Begitulah fenomena alam' taukah kalian, cahaya matahari yang kalian lihat putih ini, sesungguhnya kalau diurai akan menjadi berwarna-warni? tanya pak satar. "Ingat pelangi?" sambungnya. Iya ya? Pelangi itu warna warni. Ia terurai saat menembus titik-titik air di udara.
Jauh setelah praktikum spektrum warna di labor pak satar itu, ketika sudah tamat kuliah, saya mulai memahami makna dari spektrum ini. Warna putih terang sesungguhnya muncul dari perputaran kombinasi berbagai macam warna yang ada. Kebanyakan kita'memunculkan' warnanya masing-masing dengan subjektif, dan lupa, bahwa 'sinar putih" terbentuk dari kesatuan yang harmonis dengan dinamika tinggi, oleh seluruh warna yang ada. Kombinasi harmonislah yang memancarkan kecerahan, bukan ego satu atau dua warna.
"Ada yang ingin mencoba memutarnya sendiri?" tanya pak satar. "Saya pak"Indri langsung maju. Ah, siswi yang satu ini....
Setelah Indri, kami bergantian ingin mencoba. Khairul; Maisondri, dan saya. Lalu setelah itu kami harus menuliskannya di lembar kerja siswa yang sudah disiapkan pak Satar. Kemudian dikumpul dan diperiksa. Terakhir, seperti guru-guru lainnya, nasehat; bahwa kami segera memasuki ujian akhir, dan mesti rajin belajar. Iya, berarti kalau lulus, sekolah ini akan menjadi kenangan ....
"Kalau boleh, saya akan melanjutkan ke SMA 1 Bukitinggi, atau sekurang-kurangnya SMA/SMPP Payakumbuh..." Ison berujar. Ia memiliki cita-cita yang tinggi, agaknya. Tentulah sesuai dengan kondisi keuangan bapaknya , yang bekerja di kantor Payakumbuh. Tapi Khairul?
Khairul, katanya mau masuk SMA di Limbonang. Berarti ia masih akan tetap 'bekerjasama' dengan sepeda unto bapaknya setiap pagi. Bahkan 'pagiii sekali. Jam enaman dari Siamang Bunyi. Suasana akan ujian akhir, masuk SMA, nasehat belajar lebih rajin membentuk kondisi psikologis tertentu dalam kelas. Individual kompetitif. Khairul bahkan terlihat semakin tajam matanya.
Yulnismar, yang duduk di bangku tengah, yang badannya agak bongsor, lain lagi. Ia hari ini membawa seplastik rambutan di tasnya. Lalu sebelum lonceng tanda masuk berbunyi, ia membagi ke kami ramai-ramai. Rebutan! Ini mungkin antitesis dari suasana individual tadi, agaknya. Ijun bahkan menncengkram lima buah dalam plastik dan melarikannya ke sudut. Tuh, Ijun slalu begitu!
Terinspirasi oleh rambutan Yul, Imar ngajak kami sepulang sekolah ke rumahnya. Katanya , pulasan (seperti rambutan, tapi lebih besar , manis dan kulitnya tebal) di belakang rumahnya juga berbuah lebat. Siapa yang menolak? Rezki!
Apalagi Indri juga senang. Kata Indri, pulasan tak pernah dijumpainya di Jakarta. "Panjat saja kalau mau!" kata Imar. Kenapa tidak? Saya buka sepatu dan naik ke dahannya. Untunglah amak Imar sedang di sawah. kami 'pupuah' makan pulasan. "Panen, paneeen..."Indri senang. Saya jadi tambah semangat. Di dahan ujung, saya teruayun-ayun.
"Dilarang keras bergaya kayak monyet!" Imar berseloroh. Saya tertawa geli. Indri cekikikan. "MOnyet? Wah kalau gitu kita ikat aja ya?" celotehnya. Hati saya melambung. Dan sat sudah terkumpul banyak, dan turun dari pohon, tangan saya betul-betul diikat oleh Indri pake pita merah delima rambutnya. .....Ya Tuhan, apakah saya di awang-awang?
Sesampai di rumah saya tertelentang di kasur tipis kamar. Antara percaya dan tidak. Bahkan terlupa, untuk makan. Inikah rasanya 'konyang indak makan?"
"Ritual" rutin saya setiap pagi adalah bangun, shalat, berlari ke baruah untuk mandi, balik ke rumah dan sarapan. Lalu sambil mendengarkan radio RRI Pekanbaru, acara MLP Membuka Lembaran Pagi, segera berangkat ke sekolah. Namun pagi ini ada aktifitas 'penting' lainnya; mengusap dengan khusuk pita merah delima dalam lemari pakaian. Ya Allah,....
Tak dapat kutahankan lagi, saat beriringan bersepeda, tanganku memegang jemari tangannya di stang sebelah kanan. Tuhan, apakah saya sudah berubah menjadi nakal?
"Kenapa?" tanyanya. Cepat saya menarik tangan. "Nggak, pengen aja,,," jawabku. Lalu ia tersenyum. Roda sepeda terus berputar. Darah saya juga. Jantungpun naik ke frekuensi yang entah bagaimana menyampaikannya.....
Pagi ini pelajaran olah raga . Kami berbaris di lapangan rumput halaman belakang sekolah. Kata pak sarianus, sebelum main volley dan basket, kami harus pemanasan dulu. Senam ringan dan lari di tempat. Mata saya mengikuti gerak di bawah pimpinan pak Sarianus; namun hati saya ke .....
Berikutnya adalah main volley di lapangan depan kantin sekolah. Siswa laki-laki main di lapangan dekat musolla dan siswi perempuan main di lapangan dekat arah ke tempat jualan makanan. Pak Sarianus ikut main sebentar, lalu kemudian mengobrol saja dengan beberapa teman di rumput gundukan pinggir lapangan. Ini sudah minggu terakhir kan? Senyum santai pak Sarianus membuat semua kami lega.
Bahkan di 20 menit terakhir, pak Sarianus ikut dengan kami bareng-bareng jajan goreng mak Gopuak. Guyonnya yang khas terasa intim. "Apak mirip jo Rusdianto iah Pak," Ijun berujar. Pak Sarianus tersenyum Giginya putih, kumisnya melengkung. "Inyo nan mirip jo deen," jawab pak Sarianus. Kami tertawa. Rusdianto itu pemain PSSI yang terkenal, selain Iswadi Idris dan Suhatman dan Roni Paslah.
Sabtu berlalu, minggu datang, dan senin tiba. Minggu tenang yg tidak enak! Sebab tak ada cengkrama sepanjang jalan. "Baco palajaran ang reah, kok iyo ka ujian,"kata ibuku. Namun sampul dan halaman buku bagai dipenuhi senyummu
Kadang ingin rasanya ku ambil sepeda dan lewat depan rumahmu. Sedang belajarkah engkau? Atau setidaknya melihat atap rumahmupun cukuplah
Atau setidaknya minggu tenang ini sehari sajalah. Kubawa buku ke dahan jambu untuk suasana kondusif, malah saya serasa terbang berdua dg mu sepanjang aliran batang sinama
"Kama ang?" tanya ibu saat sepeda kukeluarkan. "Ndak ado reah, ka lobuah bontea," jawabku. Lalu sepeda itu meluncur di jalan kampung melintas kampuang pitopang, katianyie, pibodea dan tanjung
Anehnya saat terlihat engkau menjemur baju putih dan rok abu-abu di halaman, dadaku berdebar kencang! Lalu, mengapakah segera kuputar balik sepedaku? Tangkapentang! Duh kenapa pula rodanya nyosor ke dalam got?
Hari Ebta datang jua. Setelah menahan taragak selama seminggu. Lihatlah wajah wajah serius yang seakan dipenuhi rumus dan data. Jalan ke sekolah pun dibuat pendek, belokkanan ilir pajakkonsi lalu melintas dihalaman bu Rifaah
Jarak duduk dibuat begitu rupa supaya jangan nyontek. Karena dalam alfabet namaku dekan dg Indria Irawati, maka kami tetap dalam satu ruang. Bismillah, mohon könsentrasikan hatiku ya Tuhan
Tak sedikitpun aku ragu akan jawabanku. Kecuali satu hal yang kami diskusikan sepanjang jalan pulang. Pertanyaan no 21 pelajaran PMP; Indonesia dijajah belanda selama: a.3,5 tahun b.35 tahun c.3,5 abad d.tak ada yang benar
Kata Indri 35 th, dari th 1907/8 kata Indonesia mulai disebut2. Sebelumnya belanda menjajah Mataram, banten, pagaruyung. Kata gurunya di jakarta begitu lho
Saya tadi memilih 3,5 abad. Imar juga. Ah, untuk apa memperlebar perbedaan?
Seminggu selesai EBTA ini mestinya sangat indah. Bukankah tak ada lagi yang difikirkan? Tak ada lagi PR. Tak ada lagi latihan Matematika. Tak ada lagi mengisi lembaran kerja sekolah praktikum Ilmu Alam. Jadi bisa santai. Bisa lihat-lihat buku “al kitab koleksi lukisan tokoh anu’” di perpustakaan.. Ah, ndak usahlah, ntar malu sama pak Yuniaris!
Tapi kemana Indri ya? Memang tak ada absensi lagi. Tapi kan enakan datang ke sekolah sambil menyiapkan acara perpisahan? Setiap kelas diberi kesempatan mengisi panggung pentas satu mata acara. Nefi, teman kelas kami yang pintar nyanyi bahkan main gitar, memimpin latihan vocalgroup ; nyanyinya “Rang Talu”. Ada suara satu dan suara dua-nya.
Juga ada latihan nyanyi solo yang diiringi oleh bapak-bapak guru. Pak Sarianus main drum. Pak Ramadanus main gitar sama pak Masri yang di tata usaha. Nah, ini sedang latihan nyanyi,”Taisak-isak duduak di pintuuu, malapeh urang pai bajalan, iyo dek awak sabana katujuuu, saying dek mamak sabana sagaaan…..”
Saya hanya melihat-lihat saja. Sebab sekolah seperti hambar. Tak ada Indri. Indria Irawati yang membawa khayal menjadi jauuuh….
Pak Sarianus melakukan improvisasi dengan drumnya saat latihan. Terutama pada batas antara musik intro dengan penyanyi memulai lagu. Kami memandang pak sarianus dengan kagum. Ia tersenyum ke kami. Enak. Tapi sekejap, sebab Indri itu tak ada!
“Saya senang bersekolah di kampung, saya senang punya banyak teman di sini. Kamu Mar, Yul, Nefi, dan semuanya…” itu kalimat yang saya dengan dari Imar, yang menceritakan bahwa Indri telah berangkat ke Jakarta. Ia liburan di sana sama ibu bapaknya, bahkan kakeknya juga.
Rasa tak enak makan saya sepulang sekolah. Saya berlari ke ‘baruah’. Saya cari lagi bayang gadis kecil cantik di halaman masjid. Saya perhatikan lagi kalau masih ada lubang undur-undur di pasirnya. Atau capung jarum terbang-terbang. Tapi mungkin sudah tak ada. Hanya suara katak hijau di mata air dekat tebing, yang seperti tak peduli dengan perasaanku….
SEJARAH BERULANG, begitu kata para filosof. Dan ini menjadi kenyataan. Saat kemudian kutunggu-tunggu berjumpa saat menjemput ijazah, tak ada wajah catik beralis lentik berpita rambut merah delima hadir di sekolah. Kabarnya izajah Indri dijemputkan kakeknya dan ia melanjutkan sekolah di SMA Jakarta…. Dulu engkau hilang, kinipun hilang lagi!
Orang-orang seumur kami, sepenuhnya berbuat sesuai kehendak orang tua. Tapi persaan saya, hati saya, kemana hendak diobat? Pita merah delima yang diikatkan ditangan saya saat mengambil pulasan di belakang rumah Imar, masih ada di lemari pakaian. Namun setiap kutatap malah memunculkan cengeng di hati. Di hati dan di sudut mata….
Mar, sampaikan pada Bapak dan Ibumu, jangan pernah ditebang batang pulasan di belakang rumahmu ya? Suatu saat saya ingin bermenung di tunggulnya…. Ah, tidak! Saya takkan melakukan itu!
Anak ca nan pulang balibur keah? Ajak paja ketek zaman dahulu. Obuak eah panjang, ba kobek duo. Pita sighah mudo malilik pek kapalo. Tu nyo jo adiak eah sadang mancokau-cokau patuang pek ujuang tobiang ha. "Dapet kagak?!" tanyo eah ka adiek eah. "Abis, terbang melulu siih!" nyeah nan adiak eah. Lontiak bona bulu mato eah!
Indak ado anak padusi nan ajak iko pek kampuang awak reah. Ado nan putiah tapi muko eah bulek. Lai nan lonjong tapi obuak eah kariting. Nan sojuak mato mamanai jak iko, anak ca keah?
"Tu,..kena!" Ha dapek dek nan padusi reah. Adiak eah datang ka uni eah reah. "Sini, gue yang pegangin!" nyeah
Babaju putiah barendo. Baikek pinggang manjuntai......Takona cinderelaa dek den! Atauuu....Little house in the Prairie....
"Pake kantong aja! Ni..." nyeah nan padusi reah ka adiek eah. Adiek eah lah asyik bona mogang-mogang ikua patuang reah. sayok eah lah mandoru, mangalopak-ngalopak. Paja ketek reah senyum soghang!
Taragak den ma-ampingi, lai omuah eah bakawan jo awak kek? Kok nengok barasiah oman eah, lai aso-aso indak pambongih takah reah. Tengoklah bibie eah, kadang-kadang njungkek kalau sadang mancokau patuang, tapi lopeh!
Ado patuang nan agak jinak. patuang pinjaik! Ketek tapi panjang. Ado nan sighah ado nan bighu. Ha, dapek dek den ciek! "Ko ah!" Sonang bona nampak dek den oman eah managhimo patuang pinjaik reah. Sudah itu, lah ajak bakawan ajo kami lai. Katiko ketek, indak parolu 'kenalan' ajak urang godang reah iah?
Bisuak eah, pulang sikola, lansuang wak makan sngenek, sambayang tukiak api, ntu laghi ka baghuah baliak. Lai ado juo'mbak Indri' jo adiak eah , Aris, potang lai? Ha, tu nyo ah! Sadang manangkuk baduo, pek laman masojik! Lah soto pulo wak mangaia cikpocong batigo......."Hei..dapet!" nyeah sambia ma angkek cipocong pek ujuang bungo ketek petiah........
Sonang na ati wak. Sobab awak nan ma ajai manangkok cipocong reah potang......"he he geli!" nyeah nan Aris takikiah-kikiah..... Cikpocong reah jatuah pek ujuang jaghi kaki eah!
Lah ado saboleh ikua cipocong dalam sayak. Aris lah manuia-nuia cipocong ajo eah lai. Awak jo Indri asyik pulo manggili-gili lubang pek kosiek. Ha, tu ado kotak okok komodor ah! Ka kotak okok keah lah dimasuak-an gak ciek...... "Tu kotak bisa buat bikin kapal lho..."nyeah nan Indri. Kopea?
Wak caghi kotak okok ciek lai. wak buek pulo ajak Indri. Ndee....yobona ajak kopea lauk. Golak soghang wak! "Main di situ yok?" nyeah. Lah ba apuang-an kopea daghi kotak okok reah pek topi tompek manyosah.... Matoaghi lindok-lindok toghang. Bayang-bayang buruang pipik malinteh pek pamatang. mambao umpuk koghiang ka jadi saghang.....
"Mbaaaak...."Aris maimbau. "Sini...liat ni, kapal ferry..." nyeah. Aris datang mambao sayak cipocong.
Ba dek sonang bona ati main jo Indri keah? Dek oman eah ancak ?
Tapi hari ke tiga, saat kuberlari lagi sepulang sekolah, mencarimu,...kau sudah tiada. Cinderella, kemanakah engkau? Gadis kecil, berambut ikat pita, panjang,...lenyap di telan waktu? "Cucu Oji Muli nan pulang potang keah nan ang tanyoan?" jawab ibu saat kutanya. "Nyo lah baliak ka Jakarta pagi cako...." Terbayang bersih telapak tanganmu, saat kutarok cipocong di lekuk lembut garisnya.....
Di halaman mesjid tak ada siapa-siapa. Hanya pohon durian besar yang jarang berbuah. Lalu hamparan pasir dan pematang kolam. Juga tempat mencuci pakaian......sesekali katak hijau melompat di rumputan dan tengadah daun teratai. Aku mengukir pasir sendirian. Kutuliskan namamu setelah tanda 'sama dengan'. Namun kutakut terbaca orang lalu. Jadi kuhapus cepat-cepat dengan telapak tangan. Engkau, Cinderella, dimanakah kini?
Begitulah, kenangan masa kanak-kanak; datang dan pergi! Ado nan taugie, banyak pulo nan ilang! Dan walau wajah ceria Indri tetap terbayang, tapi indahnya mandi di sungai, berlari mengejar layangan, mencari buah bersama teman, menutup memori, satu per satu..... Bahkan sampai SMP pun di Dangung-Dangung, cerita tentang Indri dan Aris adiknya, seperti hilang dimakan masa.....
Hingga suatu saat, di pagi yang cerah, bu Lela Rosma mengantar seorang gadis tinggi semampai, putih bersih, berambut kepang dua, berpita merah delima; masuk ke lokal......"Anak-anak, hari ini kalian dapat tambahan kawan baru pindah, dari Jakarta,....namanya Indria,..Indria apo tadi?"
"Iya teman-teman, nama saya Indria Irawati. Senang bertemu teman-teman semua. Saya pindah kesini untuk belajar bersama teman-teman. Kata mama sama papa, belajar di kampung suasanany lebih baik, sekalian bisa menemani kakek dan nenek...."
Taparangah kami sadoannyeah; indak dek ancak eah ajo reah; tapi inyo lansuang manyambuang pembicaraan bu lela cako; padahal biasonyo di lokal, kalau disuruah mangecek di muko kelas; abi malu ajo sadoannyeah!
Aura psikologis itu menular! Jadi kalau lihat orang malu, kita malu juga. Kalau lihat orang senyum, kita jadi senyum pula. Dan itulah yang terjadi pada saat Indri spontan menyambung kalimat bu Lela, kami terperangah, dan saya ikut-ikutan spontan bicara,.."Ini, Indri kakak Aris, yang waktu kelas dua SD dulu menangkap capung depan musajit?" Bahasa Indonesia saya tak terkontrol, instan saja....
Indri cantik itu menoleh. Semua kawan juga memandang. termasuk bu lela Rosma, lalu mereka segera menunggu apa jawab Indria Irawati bebulu mata lentik itu. Ia mandangku seperti berfikir. Lalu tiba-tiba tersenyum. "Ha...Hana...Hanafi?" tanyanya....
Merekah senyum bu Lela Rosma, mendengar kalimat spontan saya. "Ya sudah, kalau begitu, ibu tinggal ya, duduklah di bangku kosong di pinggir sini,.." kata bu lela, lalu keluar menuju kantor. Kawan-kawan, lah melirik saja ke dia terus. Dan saya makin menggelegak, saat dia memandang ke sini lalu senyum... Pancirugahan! Pak Martin lah tibo di pintu! Ilmu Hayat kan belajar sekarang?
Pak Martin masuk dengan wajah seperti senyum, kumisnya lurus tipis. Buku Makhluk Hidup jilid 3 ditaroknya di meja. Dia mulai membuka pelajaran dengan 'mengungkit-ungkit' materi minggu lalu. "Masih ingat apa itu 'habitat'?" tanyanya. Matanya memandang jauh ke luar jendela. Berdirinya seperti kaki kanan menumpu, kaki kiri melentur. Melirik sebentar ke kami, lalu cepat pindah lagi melayang jauh ke luar.....
Dan Cinderella itu pula yang langsung menjawab,"tempat dimana makhluk hidup tumbuh dan hidup berkembang kan pak?" Pak Martin senyum, "Betul!" jawabnya. "Kami pernah diajak guru Biologi ke pinggir sawah pak, melihat bahwa belalang itu habitatnya adalah daun padi, genjer itu habitatnya perairan sawah.." tambahnya lantang. Kami terdiam semua. Ini bisa 'maimpik galombang' juara kelas ni?
Koruk duduk persis di depan saya. Nama aslinya Khairul, tapi entah bagaimana kok jadi berubah Koruk. Padahal rambutnya lurus berdiri. Ia putra asli Siamang Bunyi. Tiap hari ia mendayung sepeda-jantan bapaknya ke sekolah. Mungkin jam 6 pagi ia sudah berangkat. Dan tiap hari pula, saya terpandang krah bajunya yang sudah robek menguning di belakang kuduknya. Dia biasanya tak banyak ulah. Tapi, sejak "cinderella" masuk tadi, kok jadi gelisah aja, memandang ke bangku kanan, tempat Indri duduk?
"Kok tau dia dengan kamu?" tanya Iwin, kawan sebelah kiri saya setempat duduk. "Sama waktu SD dulu ya?" tambahnya lagi. Saya menggeleng. "Ketemu waktu ia liburan di kampung aja, dulu. Duluuu sekali..." Iwin, putra Ketinggian. Kalau ke sekolah, ia biasa mengambil jalan pintas di belakang mushalla.....terus menuruni tebing, meniti pematang. Bukunya biasa disedlipkan di belakang punggung, di pinggang celana.
Dan waktu keluar istirahatpun tiba. Eh, Koruk kok mendekat ke meja Indri? "Pinjam gasing nel?!" pintanya pada Inel yang duduk di sebelah Indri....Gasing itu peruncing pensil.
Tanpa dapat kutahan kakiku ikut-ikutan melangkah kesitu. Tentu dengan hati penuh harap, semoga ia melihatku juga. Semoga ia membalas senyumku juga....onde mandeh! Dan harapan kalbuku dikabulkan Tuhan, ia memandang, lalu senyum! Nah, itu dia! Deretan gigi putih yang dulu pernah kutatap. Benig mata yang dulu pernah kupuji. Bahkan sekarangpun!
"Saya mencarimu di ujung tebing, di halaman masjid setiap hari.." kataku. Tapi hanya tersendat di hati saja. tak mampu keluar di mulut. Dan entah diberkati Tuhan, ia malah membuka pembicaraan,.."Cipocong !" lalu ketawa.
Ucapan 'cipocong' itu membuat suasana psikologisku cair. Lalu sambil senyum kujawab, "Sipatuang Pinjaik!". Dan ia senyum. Deretan gigi putih bagus itu kembali terlihat. Mengapa badanku melayang?...
Kegembiraan tampaknya harus ditahan. Sebab Maisondri, atau yang biasa kami panggil Ison; datang pula kesini. Tentu dengan gayanya yang formal, seperti biasa. Maklum dia ketua kelas. Dengan buku dan pena, ia memulai 'aksi'nya,"Siapa tadi namamu? Indri ya? Giliran piket kelas kamu hari Jum'at ya...Ni sudah saya tulias," katanya. Bau minyak rambut tancho nya merangsang saya untuk bersin. Hat-SINNN!!!
Tentu Indri-rancak itu patuh! Sebab ia anak baru....piket kelas hari Jumat. Datang lebih pagi, membersihkan papan tulis dari guratan kapur ibu bapak guru siang kemarin, menyiapkan lap tangan di sudut pintu lokal, dan menyapu ruang kelas. Tiba-tiba,"Sreeeet...." Layangan kertas, berujung runcing, menukik ke samping pipi Ison dan mengenai rambut Indri
Ini mengganggu wibawa ketua kelas. Ison memandang si pelepas layangan. Ijun, (Zuldarman), pura-pura tidak tahu. Ia segera memandang jauh ke luar. Seperti biasa, senyum kecil di bibirnya, penuh kemenangan. Lihat, kancing bajunya bagian atas yang selalu di lepas, dan gulungan lengan baju dua lipatan....
"Elok-elok karajotu sangenek!" Ison 'menegur'. Entah kenapa, di depan wanita yang menarik hati, kita lelaki, berubah seperti perkasa!
Indri melangkah keluar bersama Inel. Katanya mau tau tempat jualan jajan, pustaka dan toilet. Tentulah Inel akan mempertunjukkan 'inovasi' mak gopuak dalam menggoreng pisang. Atau 'ekspresi' mak Kabuk dalam memuncratkan kecap ke kuah miso! Cret-cret-cret ....!!!
Ataukah Inel akan memperliihatkan bagaimana toilet kami yang baunya rada pesing? Mudah-mudahan hari ini tidak segitu-gitunya ya?
Begitu Indri keluar, Ijun lansung menyenggolkan badannya ke Ison. "Apo kecek tadi? Kanai berang ambo yo?" tanyanya, dengan dada dibusungkan. Kancing baju terbuka, lengan dilipat dua kali!
"Indak, indak lamak awak sadang maurus piket, ang manukiak-an olang-olang ka muko deen...". Ison menjawab lunak. Sudah tu, dia beranjak menjauh. Keluar, ke WC yang berderet di kolam sudut sekolah agaknya. Terpancarkah kencingnya ditantang Ijun?
Lonceng piket berdentang empat kali. Jam 12 siang sudah! Ada rasa gembira jika datang kesempatan jeda istirahat. Disini, di sekolah kami, jam 12 adalah jam untuk segera ke kolam sebelah barat sekolah, wuduk bareng-0bareng, duduk manis di musolla, mendengar ceramah dari pak Bakhtiar, lalu shalat zuhur berjamaah. Petugas azan biasanya bergilir setiap lokal.
Tak perlu ragu dengan air kolam di 'mudiak' bangunan ini. airnya bening kehijauan. Ada beberapa ikan mujair di dalamnya. kata pak Bakhtiar dan ibu Nurhayani, volume minimum air untuk wuduk adalah satu hasta lima jari, panjang lebar dan dalamnya. Jadi kolam ini amat sangat memenuhi syarat...
Cuma ada ketentuan sedikit. Jangan sampai ketahuan kalau kita mencuci kaki dengan cara memasukkannya ke kolam. Jangan! Sauk-lah air dengan tanganmu, lalu bersihkan kek kakimu...itu saja...
Indri bingung.. Teman wanita yang lain beranjak ke tempat wuduk perempuan. Sedangkan ia tak membawa mukena, atau telekung istilah kami. Maklum, ia tak sangka, kalau disini, si SMP no 1 di Asia Tenggara ini, setiap zuhur ada program shalat berjamaah.
Kasihan kan? Tentu saya segera mengambil inisiatif. "Kita pinjam di kantor guru piket. Biasanya ada.." usulku. Ia gembira. Tahukah engkau bagaimana perasaan saat bergandengan jalan ke meja guru piket? Ah, ....
Sebenarnya ada alternatif lain yang agak nakal; berpura-pura menstruasi! Tapi ini tentu bohong. Murid klas 3 SMP biasanya sudah datang haid. Ingat dulu, kawan klas III /2 , Yulmidar, pantatnya lembab merah kayak pulau kalimantan begitu keluar main. Dengan wajah pucat ia minta izin ke guru piket untuk pulang. Diantara kami ada yang mengertidan ada yang tidak. Tidak tau, Yulmida saat itu kesakitan, atau malu atau takut ?
Rupanya bahwa ada anak - baru masuk di lokal kami, sudah tersiar sejak keluar main tadi. Sejak Indri dan Inel jalan keluar kemana-mana. Pantasan, Ijon, teman di klas III/4 mendekati saya saat berjalan dari kolam ke musholla. "Nan tadi tu, urang kmapuang yo? Baru masuak" tanyanya dengan berdesis.
Tentu saya ceritakan seadanya saja. Tidak termasuk gejolak hati sat bergandengan ke meja guru piket tadi. Mbiek-olah lah!
Bu Wahidarni, guru matematika kami, semoga disayangi Allah. Ia yang meminjamkan 'talokuang' tadi. Bu Asma Surin Budiman dan Bu Syamsimar yang sedang piket meng-uruskan mukena itu di kantor. Jadi, jika saat masuk ke musholla, mata saya tertumbuh pada wajah Indri yang dibalut mukena, duduk paling pinggir, shaf depan, wajarkan saya terkagum-kagum?
Betapa indahnya.... Dalam debar hati, saya berusaha senyum tipis. dan, ya Tuhan, ia juga ..... Tuhan, bolehkah saya senyum di pintu musholla? Dan Tuhan, kenapa muncul tiba-tiba dalam hati, keinginan untuk cepat jadi pria dewasa yang sudah bekerja, lalu menjadi 'junjuang' Indri? Untunglah bahuku disenggol Ijon, jadi cepat sadar dan berjalan ke shaf yang masih kosong.
Ceramah singkat pak Bakhtiar tentang perasaan orang mukmin di dalam tempat ibadah bagaikan ikan dalam air, tenang tentram, tampaknya kurang sesuai dengan debar jantung saya. Ingatan kok ke dia ya? Astaghfirullah...
Sengaja saya mengundur-ngundur waktu saat keluar sekolah. Sengaja sepeda Valuas ini di iringkan jalan kaki sampai pintu gerbang. sengaja kupandang ia, hendak pulang pakai apa.... Dan begitu datuk Muli kelihatan sudah siap dengan honda nya, menjemput cucu - rancaknya itu, saya mendayung sepeda dengan teman-teman. Ke mudiak !
Honda 90 dengan tangki bensin seperti meruncing itu lewat di keramaian sepeda kami. Indri duduk manis di belakang. Senyum ke teman -teman perempuan. Inel, Imar dll. Hati saya melirik. Ah bukan, mata saya juga.... Dan honda itu berlalu dengan bunyi yang sangat khas. Puah-puah, Puah-puah, Puah-puah,...makin jauh....
"Itu anak baru pindah reah kan?" tanya seorang di belakang. "Iyo. Ancak na iah?" kedengaran jawaban. Aduh...
Berhari-hari Indri diantar jemput dengan Honda oleh datuknya. Sampai suatu pagi, saat saya sampai di simpang tiga kampung kami, kulihat dua orang teman perempuan beriring di depan. Satunya seperti Imar dan satunya pasti Indri! Lihat pita dan ikat rambutnya! Persis!
Tentu saya segera mempercepat dayung sepeda unto ini. Peduli apa dengan kerikil dan jalan berlubang. Gaduguh-gaduguh...... Bau aroma sabun Camay dan bedak Viva , entah no 11, 12 atau 14, dihembus angin ke belakang....
Kedua orang itu menoleh saat saya mendekat. Bunyi sepeda saya mungkin membuyarkan 'ota' mereka. "A cito reah.." saya bertanya. Mata memandang ke roman rancak. Insting saja kok!
"Eti jo Inda gorah-gorah dalam lokal potang, bakojea ka luea. Dek madok ajo ka lakang, tatumbuak jo pak Darius...he he" Inel cerita. "Pak Dariusnya baik ya, kagak marah gitu, padahal bukunya sampe bececeran tuh.." Indri menyambung
E dusanak, sebelah mana baiknya saya mengambil posisi ni? Di tengah-tengah antara sepeda Indri dan Inel atau di paling kanan? Pengennya 'gandeng' dekat dia....atau besabar ajalah agak belakang dikit...
"BIasonyo mandudu ajo ngebut, kini ba dek lai omuah samo jo kami?" Inel ini nanya yang sensitif pula,..jadi merah muka nih
"Indak, kan masih pagi juga kok," wak jawab seadanya. Memang masih pagi. Matahari nun menyembul di belakang pepohonan kelapa. Cahayanya bersih. Menembus udara segar kaya oksigen. Alangkah indahnya pagi ini, .....ya kan?
Makin dekat ke gerbang sekolah, makin rame iring-iringan sepeda. dan tentu, makin heboh juga suara percakapan ditingkah tawa dan gesekan rantai dengan prewel di roda belakang. Kecuali sepeda yang baru, kayak indri, suaranya halus lembut. Selembut wajahnya yang mekar diterpa mentari pagi.
"Sombong bona inyo kini ieah?" seorang terdengar menyebut namaku di iring-iringan belakang. Suara siapa ya? "Iyo, sajak lah ba sajak keah.." nan lain menimbrungi. Ondee, ba lai ko?
Pelajaran pertama dalam 'cinta' adalah bersedia dipergunjingkan kawan. Tebal telinga pada omongan. Tadi, Imar juga ngomong kayak gitu kan, sat nyapa,"kok sekarang bersedia bareng, biasanya mendudu saja?"
Tentu Indri tak begitu mengerti dengan istilah-istilah yang dipekikkan kawan dari belakang. Kosa kata bahasa mudiaknya, belum banyak. Dan saya, sedapat mungkin, tampil untuk tidak terpengaruh. Matahari saja, bersinar tanpa terhalang? Iya kan?
Dan kami tiba jua di sekolah. Parkir sepeda. Jalan bareng ke lokal. Bolehlah, saya bersiul dikit dengan tangan masuk ke kantong, sebab sekolah ini terlihat begitu indahnya.....
Habis bel berbunyi, pengarahan dari Kepsek, kami dapat suguhan baru! Kata pak Kepala sekolah, kita ada tamu, alumni kalian dulu, yang telah melanjutkan studinya ke Inggris. Kami bertanya-tanya, siapa ya? Dan orang yang disebut kepala sekolah itu, naik ke podium khas sekolah, kursi kayu yang ditarok membelakang.
"Nama saya Dewi, seperti disebut bapak tadi," katanya memulai. "Seperti adik-adik semua, saya dulu menuntut ilmu disini, disekolah kita ini,..." katanya tertahan. He, uni yang cantik yang berdiri di deretan ibu guru itu rupanya. Dan tadi kelihatannya, ia bersama seorang bule, tinggi kurus, berwajah sedang-sedang saja.
"Begitu Uni pergi jauh dari sini, begitu uni merasakan bagaimana menuntut ilmu di negeri orang, di Inggris sana, Uni sadar, betapa Bapak dan Ibu guru kita disini betul-betul telah mendidik kita dengan baik. " Ia tertegun lagi. Suasana sendu menyeliputi kami semua.
Setelah menasehatikami agar belajar dengan rajin, menjaga kejujuran dan akhlak yang baik, Uni Dewi itu, kembali mengenang masa-masa sekolah dan dididik oleh ibu bapak guru di SMP yang membanggakan ini. Dan, akhirnya ia tak dapat menahan air matanya. Kamipun seperti terhipnotis. Suasana tiba-tiba berubah diam. Guru-gurupun tertegun. Air mata terlihat menetes dan mengalir turun di pipinya.
Suasana haru itu membekas sampai ke rumah. Bahkan sampai sekarang, jika dikenang-kenang. Saat kutanya sama ibu di rumah, beliau menjawab,"anak Chaidir meah. Pek panurunan ten umah eah ha. Kami samo sikola dulu pek training College, kumbuah," jawab ibu.
Selesai acara temu-kangen dengan Uni Dewi dari Inggris itu, pak Kepala sekolah menutup acara dan kami kembali ke lokal. Barisan belakang, yang terdiri dari siswi-siswi perempuan, berbalik dan menjadi lebih duluan ke lokal yang memang berada dekat labor pak Ali Satar. Saya mempercepat langkah, supaya tak jauh dari .....(tau aja!)
"Saya ingin seperti uni itu!" Indri bicara. "Saya juga,..."kudengar Inel menimpali. Tentu, semua kami ingin sekali berhasil studii bagai Uni Dewi. Namun, layaknya remaja kecil seperti kami; tak terfikir tentang biaya, kesempatan dan peluang. Hanya ada ketertarikan.
Beberapa saat setelah masuk ke lokal , Ibu Nurianis Kimin datang. Pagi ini pelajaran Sejarah. Tentu, seperti biasanya, seluruh kami menykai pelajaran ini. Bukan karena kami berpotensi sebagai ilmuwan sosial semuanya, tapi lebih karena performa bu Nurianis. Jika ia mengajara, kami bagai menonton filem...hanyut.!
"Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk barangsiapa yang telah menculik putrinya, maka ia akan mati akibat kecantikan Ken Dedes." begitu ringkasan cerita bu Nurianis.
Mimiknya, intonasi suaranya, aura keikhlasannya saat mengajar, menguasai lokal. Seperti dibilang di atas tadi, kami terpana bagai menonton Ken Dedes yang kata bu Nurianis, teramat cantik.
"Tunggul Ametung memiliki pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Pada suatu hari Tunggul Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Ketika turun dari kereta, kain Ken Dedes tersingkap sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari India. Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai wanita nareswari yang diramalkan akan menurunkan raja-raja. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama pengawal bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi akuwu baru di Tumapel. Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak Tunggul Ametung."
Ken Dedes, ...kayak Indrikah? Atau Indri justru lebih jelita?
"Ka Inggris? Lai pandai kalian ba bahaso Inggris? Dihariak pak Yuniaris ajo kalian lah yes-no yes-no.." Ijun, yang badannya besar, lengan baju di lipat dua kali, ngomong saat anak-anak bicara lagi tentang sekolah ke Inggris. Iya ya? Bukankah kami hanya bisa: I am studying atau I am going to school...?
Masih beruntung Uda saya di rumah mungkin. Ia bisa belajar bahasa Inggris dengan temannya yang pindahan dari malaysia. Da Alen itu, kakeknya di Mudiak, dan SMA pindah ke Limbonang. Ia yang mengajari temannya nyanyi vocal group: ....Where is you papa gone (Whre is you papa gone!)..Where is you mama gone.. (Where is you mama gone!)..Faaar faaar away... Last nat night your papa was gone, cit-cuit, cit pecit-pecit! ...When you were there your mama was gone..cit-cuit! Cit-pecit-pecit!
Nyanyi itu diajari da Alen ke kawannya sat ada acara di SMA Limbonang, dan dia jadi terkenal diantero teman-teman. "Orang malaysia!"
Sedangkan kami? Apa yang dapat kami ucapkan jika sekolah ke Inggris? I am studying English?
Kemarin kawan, saya minta duit agak banyak pada Ibu. Saya ingin sepatu saya diganti yang baru. Minggu yang lalu kawan, saya juga minta buat beli cincin permata biru, di pekan Sabtu. Minyak wangi Bapak di almari, yang biasanya hanya dipakai buat ke masjid Jumatan, atau di hari raya ; juga saya pakai...entahlah, ; untunglah bapak saya diam saja, dan ibu hanya menunduk.
Berangkat sekolahpun kini, agak lebih pagi. Dengan asa harapan, bertemu Indri di simpang, lalu beriringan bersepeda sampai sekolah. Andai Imar dan kawan yang lain terlambat, bukankah saya punya kesempatan beriring berdua? dan itulah yang terjadi pagi ini...
"Ketika engkau balik lagi ke Jakarta, dulu waktu kita main di halaman masjid, saya masih mencarimu disitu......" kataku membuka pembicaraan. Ah, tidak! Bukan begitu ucapanku! Itu tertallu sentimentil, ..."Kucari legi Cipocong besoknya , walau engkau tak ada lagi...", Ah ini juga bernada melankolis. Gimana ya? "Apakah Cipocong ada di Jakarta juga?" akhirnya saya berucap. Indri menoleh. Matanya indah....Tidak ada. Tidak ada halaman masjid berpasir di komplek rumah kami..."jawabnya.
Kami mendayung sepeda dengan kecepatan lambat. Kerikil-kerikil terlindas. Kadang terpelanting. Palung-demi palung kami lewati. "O iya, dimana ya kita bisa nyari tumbuhan 'usea' itu?" tanyanya. Astaghfirullah, iya! Bu Lela menyuruh kami mencari tumbuhan itu untuk dibuat anyaman topi. Ada yang bilang di baruah Barangan dekat Sinama ada..."Nanti sepulang sekolah akan saya cari. Akan saya carikan juga untukmu..." saya jawab cepat. Sekilas kulihat wajahnya senang!
Taukah engkau, bahwa Usea sudah hampir habis di pinggir sinama baruah Barangan? Dan taukah engkau, saya mencarinya sampai ke Sipingai, sore itu? Tapi walau keringat bercucuran, hati saya senang! Sebab ini akan saya berikan untuk dia! Inikah pelajaran 'cinta' nomor dua? Bersedia berbagi denagn orang yang kita senangi? Entahlah, yang jelas, saya puas membawa sekantong besar daun usea, melintas jalan bersebu Sipingai, Bukit Cintuk, Tanjung Ipuh saat itu....
Bu Lelarosma itu seperti memiliki kekuatan 'magis' . Aura wajahnya, bahkan seluruh gerak tubuhnya, membuat kami bersemangat untuk membuat prakarya. Bahkan saat kami dibimbing membuat meja belajar sekolah, kami selesaikan itu dengan baik! Sampai plamir, pelitur dan berkilat.... Kayu dan cat disediakan oleh sekolah. Sungguh mengagumkan saat terkenang di kemudian hari...
Kawanku, engkau wajar menyebutku 'lah sombong' atau 'sajak lah ba sajak ko' ataupun 'lah bakukuak di ateh pagarn..' Sebab, aku sendiri memang merasakan perubahan ini. Walau sejatinya, aku tak kuasa menolaknya. Tak mampu ku usir bayang wajahnya, senyum indahnya, ...sekalipun ku telungkupkan kepala ke bantal usang rumah ibuku ini...
Cuma, kan bukan aku saja kan? Lihat Koruk putra bangsa Siamang Bunyi, udah sebulan terakhir ini rambutnya berkilat oleh minyak. Tak jelas benar, merek apa, sebab baunya susah teridentifikasi. Kalau kami beriringan ke goreng mak Gopuak, saya berusaha menebak, tapi tak mampu...rada aneh gitu..
Bahkan, Khairul sudah dua minggu tidak hadir di sekolah. Surat yang diterima ketua kelas, ia sakit demam. Dan seperti kebiasaan di sekolah kami, jika teman sudah lebih seminggu sakit, kami jenbguk/bezuk ke rumahnya bersma-sama. Itulah sebabnya, hari ini, sepulang sekolah, kami berombongan, bersama bu Trimurti guru Bahasa yang juga wali kelas, menuju Siamang Bunyi.....asyiiik
Anehnya, setelah menempuh jarak kilometeran, jalan debu berlubang tanah, kami sampai di rumah kayu sederhana milik Khiraul. Dan surpirise sekali, sebab ternyata Khairul itu telah tisdak ada di rumah. "Kama lah inyo koha, tadi lai ado..." kata ibunya . Wajah ibunya khas petani, begitu juga logatnya. Lugu dan lurus.
"Tak mengapalah Ibu, ini tanda turut 'saraso' dari teman-teman sekelasnya..."kata bu Trimurti menyerahkan amplop. Tanpa ketemu Khairul, yang menghilang ditelan sawah dan hutan bukit. Dan yang lebih aneh lagi, saat hendak pulang, ibu Khairul, bertanya: "Iko agaknyo nan banamo Indri yo? "....He, ada apa pula ini?
Dari Kubang, teman-teman mengarah ke Balai mansiro [pulangnya. Namun saya, Indri, dan Imar serta dua orang lagi, belok ke Talago. Dengan sepeda dan peluh di kening, juga di hidung hi hi.
Di pendakian antara Kubang dan simpangTalago, kami turun. Tak mampu mendayung setinggi itu. Sambil jalan, beiring, kutanya Indra' Kenapa ibunya Khairul nanya Indri tadi?" Indri menoleh. Sepedanya tetap ia dorong. Dengan agak ragu ia jawab,"Boleh jadi karena ia meletakkan surat di tasku minggu-minggu yang lalu. Katanya ia senang padaku. memuji-muji gitu. Tapi tak kubalas. kata mama, Indri tak boleh gitu-gitu. Indri pulang untuk sekolah. Dapat ijazah SMP yang terkelnal ini. Menjaga Atuk dan Uwo."
He, ternyata Khairul telah melangkah jauh. ia menulis surat. lalu didiamkan Indri. Lalu demam. Demam atau pura-pura demam. lalu kami bezuk. Malu dan lari menghilang dalam pelukan hutan belukar belakang sawah rumahnya. dan Indri, -ini yang penting dicatat-, 'tak mau gitu-gituan'. ia pulang untuk sekolah.... Hatiku rasa Jatuh dan terhempas!
"Kok melamun? Ayo...!" Indri mulai naik ke sepedanya. "Ho-oh...ho-oh...iya ..." jawabku kaget. Setidaknya saat ini, aku masih ada di dekatnya. Dan beberapa teman di depan kami. Sudah sampai di talago ini.
Ternyata, dijenguk (bezuk) jika sakit itu ampuh untuk mengobati demam. Sudah dua kali saya lihat. Dulu, kelas 1, kami bezuk teman ke Padang Arei, Guguak; lalu besoknya dia langsung masuk sekolah. Kini, hari ini, lihat tu; Khairul sudah muncul dengan senyum malu-malu dari arah kantor menuju lokal kami, dekat labor. Berarti 'jengukan' kami kemarin, efektif menyelsaikan "demam" nya. Ya kan?
"Panciak-an ang meah! Kami kiun ang ilang! Indak sakik tio ang reah! Sakik babuek-buek...pant..." Ijun menyambutnya dengan sumpah serapah. Biasalah, gayanya Ijun. Baju tak dikancingkan, lengan baju dilipat, badan besar. dan tak ada yang mampu melawannya....
Sekali waktu Ijun ini kena batumya juga. Hari Jumat waktu itu, kami gotong royong. Dia lupa bawa alat, kayak cangkul atau sabit/arit gitu. Sambil ngumpet-ngumpet, dia mencoba menarik-narik rumput teki di halaman. Lalu ketauan oleh pak Yusafril. "Heh, mari ang!" dia dipanggil. Dan langsung pucat!
"Plak! Pluk!" dia dapat hadiah di pagi itu. "Ma pangkua ang?" tanya pak Yusafril. "Lupo den pak..." dia jawab seadanya. Sambil menunduk. Ternyata besar badan saja belum cukup untuk menghadapi pak Yusafril...tuh, rasain!
Siangnya kami duduk dekat tonggak labor depan teras. Ison bertanya ke Ijun; "Kanai berang ang tadi pagi yo?" Lalu Ijun menjawab seadanya..."Iyo. Si "Uway" ditampeleangnyo den!". Tanpa sadar bahwa pak Yusafril sedang berjalan di belakangnya. Kami semua dapat menduga apa yang terjadi berikutnya. Persis! Dia dapat hadiah dua temepelng lagi..."Ampoun pak, ampun . Indak wak ulang laiii" jawabnya. Bagaimana tidak? Uway itu panggilan sesama besar di Suliki, tempat asalnya pak Yusafril. Ada-ada aja si Ijun!
Agak 'rusak' hati awak sedikit menemani Koruk belanja di mak Gopuak hari ini. Kenapa tidak? Bukankah ia tahu kalau gosip sudah menyebar tentang saya dan Indri? Bukankah ia tahu siapa yang mencarikan 'usea' untuk Indri? Bukankah ia tahu sipa yang bersepeda beriringan hampir tiap hari dengan Indri? Lalu, kenapa pula dia selipkan surat di tasnya? Aduh,...tapi tak kutampakkan 'suasana hatiku' saat jalan ...Goreng Pisang Panas mak Gopuak!
Belum habis goreng di tangan, lonceng masuk sudah berdentang. Kami bayar buru-buru. Bahkan sisa goreng di tangan Koruk masih sepertiganya. "Iyo, mokasih,..." mak Gopuak memberikan kembalian duit, dan kami segera beranjak melintas sisi lapangan volley.
Di sini, aku sudah tak mampu menahan sabar. Saat orang-0orang sudah menuju lokal, dan kami melintas gang antara labor dan musolla, saya berhenti. Saya pegang tangan Koruk. "Rul, suratmu tak dibalas Indri ya?" bibir saya mengelocos bertanya.
Koruk terperanjat. Wajahnya tegang. "Dikecek-an nyeah ka ang?" katanya. Sisa goreng pisang di tangannya terpelanting!
Saya mengangguk. "Weh, mambonea bona deen. Jan dikecek-an ka urang ndak....awak batigo ajolah nan tau, dih,...dih...." ia memelas. "Tapi ang totap ka mangojea inyo?" tanyaku. Koruk menatap lembut. Lalu senyum. "Tidak, tidak lagi..." gelengnya lemah.
Kawan, sejak suratnya tak berbalas, Khairul terlihat lebih rajin. Agak pendiam memang. Namun hasil ulangan hariannya naik drstis. Kemarin, nilai matematikanya dengan ibu Wahidarni, sembilan. Ya 9 ! Hari ini, saat diskusi dengan pak Ali satar, ia mampu menjawab beberapa pertanyaan lisan. Kayak Indri dan ison juga. Mata Koruk pun, kini terlihat lebih tajam. Dalam menunduk, ia seperti singa yang memndam cita-cita."Lihat, suatu saat nanti jika aku berhasil,...lanjut SMA dan kuliah di Padang, ...aku buktikan lebih dari satu orang Indri akan kudapatkan!"
Hari-hari berikutnya, Khairul memang tampil lebih pendiam. Mata bersinar seperti elang. Agak menunduk. Namun sekali lagi, seperti tersirat dari tingkah lakunya, ia akan berbuat lebih. Lebih dari tokoh-tokoh SMP kami yang sudah duluan berhasil. Sebelum pindahnya pak Amir, pak M Yan dan pak Soeharmo, mereka pernah membanggakan kakak-kakak kami, Nadir Abas kamil, Al Busyra Basnur, Dewi Fortuna Anwar dan seorang lagi -yang tak perlu kutuliskan sekarang- supaya ia tidak berubah perasaan, sebab juga sudah berhasil di Batusangkar sana.
Suara mikrofon dari meja guru piket meminta kami berkumpul, setelah tadi lonceng berdentang. Berbaris rapi seperti biasa. Tumpukan cangkul dan sabit/arit/tangkeuk di dekat teras. Guru-guru berdiri di depan. "Terimakasih atas kerja keras kalian hari ini. Kebersihan ini bukan hanya untuk kesehatan dan keindahan tapi juga untuk ekspresi kimanan kita pada Tuhan," kata pak wakil kepsek. Lalu memberi nasehat agar kami, terutama murid klas 3, lebih rajin belajar menghadapi ujian akhir. Gotong royong tadi, sekalian untuk menyambut hari pendidikan nasional yang datang Senin depan
"Senin pagi, kalian langsung ke tanah lapang Dangung-Dangung, semuanya. Berpakaian putih-putih. Ingat, kita akan upacara bersama dengan bapak camat, tripika dan smp lain. Jadi mohon datang tepat waktu dan jaga kedisiplinan." kata beliau.
Setelah nasehat itu kami diizinkan pulang. Anak-anak seperti berlomba bubar dan mengambil sepeda masing-masing. Lalu menggiringnya ke pintu gerbang dan pulang. Biasanya, Indri sudah kelihatan juga sama Imar, tapi ini udah beberapa menit kok tidak nampak?
Sambil mengayuh perlahan, kubiarkan teman-teman mendahului. Suara 'garegeh-tebeh' bunyi rantai dan pedal sepeda saling meningkah siang terik ini. Di campur gelak tawa dan ota khas anak sekolah. Ramai aja...
"Kata mama Indri nggak boleh gitu-gituan, Indri harus dapat ijazah SMP terkenal ini sekalian ngejagain Atuk sama Uwo..." kalimat itu tiba-tiba terngiang. Pantaslah ia bersikap baik aja sama semua orang. Oooo....
"Cipocong!" tiba-tiba teguran Indri mengagertkan dari belakang. Ia muncul sama Imar. Saya refleks tersenyum gembira. "Sipatuang pinjaik!" mulutku bereaksi. Ia tertawa lepas. Sumringah! dan segala beban tiba-tiba jadi hilang! "Kenapa lama keluarnya?" saya menelisik. "Ni cangkul mesti diikat baik-baik. Di alas pake kain dan jangan sampai menggores boncengan sepeda baru..." jawabnya. "Biasalah, mentang-mentang baru..."timpalk Imar.
Seperti hari-hari biasa, pulang bersepeda bareng-bareng ini begitu indah. Tak etrasa waktu berjalan. Bahkan alangkah cepatnya untuk sampai di persimpangan dimana saya harus belok ke jalan kecil dan Indri terus ke hilir bersama Imar. "Mar tolong jago amak-paja' wak elok-elok yo..." tiba-tiba mulut saya tanpa kontrol berkicau. Guyon apa pula ini?
Syukurnya, Indri belum tau mungkin dengan 'kosa kata' Amak -Paja itu. Hanya Imar yang tertawa terkangkang-kangkang! Dan saya menuju rumah dengan perasaan 'tangkapentong'. Makan siang di rumah dengan sambal kelapa parut yang digoreng campur maco-bada, sambil tanpa dapat dihindarkan, ...wajah Indri. Heeeh-lah!
Pagi Seninnya, saya 'marengek' ke ibu. Minta uang jajan lebih dari biasa. Alasannya sangat 'strategis'. Ada upacara bersama di tanah lapang dangung-Dangung! Dan tentu ramai oleh penjual kacemuh, es mambo, bika, sarabi, gubik ganepo dan entah apa lagi...."Biaso eah kan duo puluah limo , balanjo ang nyeah?" tanya ibu. "Ndeee ibu iah, sakali keah, saghatuh lah agieh den. Ughang upacara pek Ndonguang...kan ba paneh-paneh nan ibu reah," saya memelas.
Seperti umumnya terjadi, ibu akan memenuhi permohonan saya. Dengan dada melambung, saya memasukkan duit seratus rupiah, warna merah ke kantong. Ahayyyy....
Dan taukah engkau kawan, saya tak begitu mendengarkan sambutan-sambutan yang disampaikan pembina upacara. Tak menarik buat saya pidato seperti itu. Mana terik mentari mulai menyengat pula! Mendingan saya pindah dari barisan depan , ke barisan belakang, dekat preman -preman sekelas Ijun ngobrol. Berdiri di posisi belakang memungkinkan untuk tidak berdiri dalam posisi 'siap grak!". Ya kan?
Ha, ha, benar kan dugaan saya? Enakan berdiri di belakang! Ijun, Kiman, Su'ib ngobrol ngalor-ngidul seenak perut mereka. Sambil terkekeh malahan! Katanya di perpustakaan sekolah kami ada 'kitab' besar dua jilid. Kertasnya tebal dan luks. Dan katanya lagi, setiap lembar halaman itu di penuhi oleh lukisan yang sangat indah. Indah? ya, bahkan banyak lukisan -maaf- 'padusi indak ba baju', kata mereka.
Kok bisa gitu? Ada yang bertanya. Nggak tau! Hebatnya lagi, kitab besar dua jilid itu adalah koleksi lukisan orang yang pernah paling dihormati di Indonesia dulu, mantan Presiden. Cerita itu heboh. Sebab ada yang usil bertanya,"Apa tak waang sobek saja selembar?" lalu tertawa lagi cekikian!
Obrolan tentang mantan Presiden yang menyenangi gambar 'padusi indak ba baju' itu tak pula menarik hati lagi, sebab mata saya mengarah ke barisan belakang, siapa lagi kalau bukan Indri ! Ia dan teman-temannya masih berdiri teratur; bagai pejuang nasionalis sejati!
Tak terasa, akhirnya upacara yang bertele-tele itu selesai juga. Siswa-siswa pulang ke sekolah masing-masing. Rombongan kami jalan kaki, melintas jalan kecil berbatu, ke arah SMP (1) dangung-dangung. Inilah kesempatan saya untuk jalan bergandengan. Tau aja!
Es mambo adalah es dengan kualitas lebih baik masa itu. Dijual oleh pedagang memakai sepeda boncengan. Tabungnya berwarna biru. Es yang biasa di sekolah, hanyalah es berbungkus plastik yang dicampur pemanis dan kacang hijau sedikit. tapi ini, es mambo, yang bertangkai kayu pinus tipis, ukuran besar dan kandungan susu coklatnya tinggi. Harganya juga lain! Rp 20,- se tangkai. "Indri, wak taragak mambalian Indri es..." kataku. Ia menatap dengan bola mata lucu. Bukan lucu, ..indah! Duit seratus kertas warna merah yang saya minta ke ibu dengan 'merengek' itu berjasa besar! Ia membuat perjalanan ke sekolah , sepulang upacara, begitu berarti! Sebab ada es mambo di tangan kami ...aku dan Indri!
Rasa-rasanya belumlah puas bercanda sengkrama dengan kawan-kawan di lokal, sehabis upacara lapangan Dangung-Dangung, bel masuk sudah berbunyi. Ibu dan Bapak guru begitu disiplin. Tak boleh ada waktu terbuang. Lihat, bu Lela keluar dari ruang kantor, membawa contoh topi anyaman, ke kelas III lokal sudut. Dan, nah, pak Ali Satar, keluar mengapit buku biru, Zat dan Energi, di tangannya. Tentulah menuju ke lokal kami. Sebab mestinya sekarang memang pelajaran Ilmu Alam
Kami segan dan hormat dengan pak Ali Satar. Ia boleh dikatakan tak pernah marah. Senyumnya simpatik. Badannya besar. jalannya kecil-kecil tapi cepat. Apalagi saya, sebab anak pak Satar sebangku dengan saya setahun lalu waktu kelas 2. Namanya Alhamdi Satri, mirip nama bapaknya ya? Mungkin karena saya sering berdua dulu dengan Al, pak Satar juga sering senyum ke saya.
"Kita belajar di labor..." kata pak Satar setelah masuk ke lokal. Dan kami berhamburan pindah ke labor Ilmu Alam. "Minggu lalu, kita telah menyelsaikan praktikum arus seri dan bedanya dengan arus paralel. Sekarang kita akan menunjukkan bagaimana warna putih, dapat dihasilkan, dibentuk oleh berbagai macam warna jika dicampur dan dikombinasikan dengan frekuensi tinggi." sambung pak satar
Lalu kemudiaan pak Satar menarok lempengan plat lingkaran yang dicat warna warni di meja. Lempengan itu memiliki kabel yang segera disambungkan ke colokan lubang arus listrik. "Lihat,...warna apa yang muncul jika lempengan bulat warna warni ini berputar dengan cepat!" lanjut pak Satar. Kami serius memperhatikan saat lempengan itu bergerak cepat begitu kabelnya disambungkan ke arus listrik. Dan lihat! Lempeng yang tadi dipenuhi warna merah, hijau, kuning, biru, coklat, ungu, bahkan hitam, kini setelah berputar cepat, kelihatan jadi putih! Ya, benar-benar putih!
Kemana hilangnya warna-warni tadi? Lalu mengapa sekarang justru muncul sinar putih? "Begitulah fenomena alam' taukah kalian, cahaya matahari yang kalian lihat putih ini, sesungguhnya kalau diurai akan menjadi berwarna-warni? tanya pak satar. "Ingat pelangi?" sambungnya. Iya ya? Pelangi itu warna warni. Ia terurai saat menembus titik-titik air di udara.
Jauh setelah praktikum spektrum warna di labor pak satar itu, ketika sudah tamat kuliah, saya mulai memahami makna dari spektrum ini. Warna putih terang sesungguhnya muncul dari perputaran kombinasi berbagai macam warna yang ada. Kebanyakan kita'memunculkan' warnanya masing-masing dengan subjektif, dan lupa, bahwa 'sinar putih" terbentuk dari kesatuan yang harmonis dengan dinamika tinggi, oleh seluruh warna yang ada. Kombinasi harmonislah yang memancarkan kecerahan, bukan ego satu atau dua warna.
"Ada yang ingin mencoba memutarnya sendiri?" tanya pak satar. "Saya pak"Indri langsung maju. Ah, siswi yang satu ini....
Setelah Indri, kami bergantian ingin mencoba. Khairul; Maisondri, dan saya. Lalu setelah itu kami harus menuliskannya di lembar kerja siswa yang sudah disiapkan pak Satar. Kemudian dikumpul dan diperiksa. Terakhir, seperti guru-guru lainnya, nasehat; bahwa kami segera memasuki ujian akhir, dan mesti rajin belajar. Iya, berarti kalau lulus, sekolah ini akan menjadi kenangan ....
"Kalau boleh, saya akan melanjutkan ke SMA 1 Bukitinggi, atau sekurang-kurangnya SMA/SMPP Payakumbuh..." Ison berujar. Ia memiliki cita-cita yang tinggi, agaknya. Tentulah sesuai dengan kondisi keuangan bapaknya , yang bekerja di kantor Payakumbuh. Tapi Khairul?
Khairul, katanya mau masuk SMA di Limbonang. Berarti ia masih akan tetap 'bekerjasama' dengan sepeda unto bapaknya setiap pagi. Bahkan 'pagiii sekali. Jam enaman dari Siamang Bunyi. Suasana akan ujian akhir, masuk SMA, nasehat belajar lebih rajin membentuk kondisi psikologis tertentu dalam kelas. Individual kompetitif. Khairul bahkan terlihat semakin tajam matanya.
Yulnismar, yang duduk di bangku tengah, yang badannya agak bongsor, lain lagi. Ia hari ini membawa seplastik rambutan di tasnya. Lalu sebelum lonceng tanda masuk berbunyi, ia membagi ke kami ramai-ramai. Rebutan! Ini mungkin antitesis dari suasana individual tadi, agaknya. Ijun bahkan menncengkram lima buah dalam plastik dan melarikannya ke sudut. Tuh, Ijun slalu begitu!
Terinspirasi oleh rambutan Yul, Imar ngajak kami sepulang sekolah ke rumahnya. Katanya , pulasan (seperti rambutan, tapi lebih besar , manis dan kulitnya tebal) di belakang rumahnya juga berbuah lebat. Siapa yang menolak? Rezki!
Apalagi Indri juga senang. Kata Indri, pulasan tak pernah dijumpainya di Jakarta. "Panjat saja kalau mau!" kata Imar. Kenapa tidak? Saya buka sepatu dan naik ke dahannya. Untunglah amak Imar sedang di sawah. kami 'pupuah' makan pulasan. "Panen, paneeen..."Indri senang. Saya jadi tambah semangat. Di dahan ujung, saya teruayun-ayun.
"Dilarang keras bergaya kayak monyet!" Imar berseloroh. Saya tertawa geli. Indri cekikikan. "MOnyet? Wah kalau gitu kita ikat aja ya?" celotehnya. Hati saya melambung. Dan sat sudah terkumpul banyak, dan turun dari pohon, tangan saya betul-betul diikat oleh Indri pake pita merah delima rambutnya. .....Ya Tuhan, apakah saya di awang-awang?
Sesampai di rumah saya tertelentang di kasur tipis kamar. Antara percaya dan tidak. Bahkan terlupa, untuk makan. Inikah rasanya 'konyang indak makan?"
"Ritual" rutin saya setiap pagi adalah bangun, shalat, berlari ke baruah untuk mandi, balik ke rumah dan sarapan. Lalu sambil mendengarkan radio RRI Pekanbaru, acara MLP Membuka Lembaran Pagi, segera berangkat ke sekolah. Namun pagi ini ada aktifitas 'penting' lainnya; mengusap dengan khusuk pita merah delima dalam lemari pakaian. Ya Allah,....
Tak dapat kutahankan lagi, saat beriringan bersepeda, tanganku memegang jemari tangannya di stang sebelah kanan. Tuhan, apakah saya sudah berubah menjadi nakal?
"Kenapa?" tanyanya. Cepat saya menarik tangan. "Nggak, pengen aja,,," jawabku. Lalu ia tersenyum. Roda sepeda terus berputar. Darah saya juga. Jantungpun naik ke frekuensi yang entah bagaimana menyampaikannya.....
Pagi ini pelajaran olah raga . Kami berbaris di lapangan rumput halaman belakang sekolah. Kata pak sarianus, sebelum main volley dan basket, kami harus pemanasan dulu. Senam ringan dan lari di tempat. Mata saya mengikuti gerak di bawah pimpinan pak Sarianus; namun hati saya ke .....
Berikutnya adalah main volley di lapangan depan kantin sekolah. Siswa laki-laki main di lapangan dekat musolla dan siswi perempuan main di lapangan dekat arah ke tempat jualan makanan. Pak Sarianus ikut main sebentar, lalu kemudian mengobrol saja dengan beberapa teman di rumput gundukan pinggir lapangan. Ini sudah minggu terakhir kan? Senyum santai pak Sarianus membuat semua kami lega.
Bahkan di 20 menit terakhir, pak Sarianus ikut dengan kami bareng-bareng jajan goreng mak Gopuak. Guyonnya yang khas terasa intim. "Apak mirip jo Rusdianto iah Pak," Ijun berujar. Pak Sarianus tersenyum Giginya putih, kumisnya melengkung. "Inyo nan mirip jo deen," jawab pak Sarianus. Kami tertawa. Rusdianto itu pemain PSSI yang terkenal, selain Iswadi Idris dan Suhatman dan Roni Paslah.
Sabtu berlalu, minggu datang, dan senin tiba. Minggu tenang yg tidak enak! Sebab tak ada cengkrama sepanjang jalan. "Baco palajaran ang reah, kok iyo ka ujian,"kata ibuku. Namun sampul dan halaman buku bagai dipenuhi senyummu
Kadang ingin rasanya ku ambil sepeda dan lewat depan rumahmu. Sedang belajarkah engkau? Atau setidaknya melihat atap rumahmupun cukuplah
Atau setidaknya minggu tenang ini sehari sajalah. Kubawa buku ke dahan jambu untuk suasana kondusif, malah saya serasa terbang berdua dg mu sepanjang aliran batang sinama
"Kama ang?" tanya ibu saat sepeda kukeluarkan. "Ndak ado reah, ka lobuah bontea," jawabku. Lalu sepeda itu meluncur di jalan kampung melintas kampuang pitopang, katianyie, pibodea dan tanjung
Anehnya saat terlihat engkau menjemur baju putih dan rok abu-abu di halaman, dadaku berdebar kencang! Lalu, mengapakah segera kuputar balik sepedaku? Tangkapentang! Duh kenapa pula rodanya nyosor ke dalam got?
Hari Ebta datang jua. Setelah menahan taragak selama seminggu. Lihatlah wajah wajah serius yang seakan dipenuhi rumus dan data. Jalan ke sekolah pun dibuat pendek, belokkanan ilir pajakkonsi lalu melintas dihalaman bu Rifaah
Jarak duduk dibuat begitu rupa supaya jangan nyontek. Karena dalam alfabet namaku dekan dg Indria Irawati, maka kami tetap dalam satu ruang. Bismillah, mohon könsentrasikan hatiku ya Tuhan
Tak sedikitpun aku ragu akan jawabanku. Kecuali satu hal yang kami diskusikan sepanjang jalan pulang. Pertanyaan no 21 pelajaran PMP; Indonesia dijajah belanda selama: a.3,5 tahun b.35 tahun c.3,5 abad d.tak ada yang benar
Kata Indri 35 th, dari th 1907/8 kata Indonesia mulai disebut2. Sebelumnya belanda menjajah Mataram, banten, pagaruyung. Kata gurunya di jakarta begitu lho
Saya tadi memilih 3,5 abad. Imar juga. Ah, untuk apa memperlebar perbedaan?
Seminggu selesai EBTA ini mestinya sangat indah. Bukankah tak ada lagi yang difikirkan? Tak ada lagi PR. Tak ada lagi latihan Matematika. Tak ada lagi mengisi lembaran kerja sekolah praktikum Ilmu Alam. Jadi bisa santai. Bisa lihat-lihat buku “al kitab koleksi lukisan tokoh anu’” di perpustakaan.. Ah, ndak usahlah, ntar malu sama pak Yuniaris!
Tapi kemana Indri ya? Memang tak ada absensi lagi. Tapi kan enakan datang ke sekolah sambil menyiapkan acara perpisahan? Setiap kelas diberi kesempatan mengisi panggung pentas satu mata acara. Nefi, teman kelas kami yang pintar nyanyi bahkan main gitar, memimpin latihan vocalgroup ; nyanyinya “Rang Talu”. Ada suara satu dan suara dua-nya.
Juga ada latihan nyanyi solo yang diiringi oleh bapak-bapak guru. Pak Sarianus main drum. Pak Ramadanus main gitar sama pak Masri yang di tata usaha. Nah, ini sedang latihan nyanyi,”Taisak-isak duduak di pintuuu, malapeh urang pai bajalan, iyo dek awak sabana katujuuu, saying dek mamak sabana sagaaan…..”
Saya hanya melihat-lihat saja. Sebab sekolah seperti hambar. Tak ada Indri. Indria Irawati yang membawa khayal menjadi jauuuh….
Pak Sarianus melakukan improvisasi dengan drumnya saat latihan. Terutama pada batas antara musik intro dengan penyanyi memulai lagu. Kami memandang pak sarianus dengan kagum. Ia tersenyum ke kami. Enak. Tapi sekejap, sebab Indri itu tak ada!
“Saya senang bersekolah di kampung, saya senang punya banyak teman di sini. Kamu Mar, Yul, Nefi, dan semuanya…” itu kalimat yang saya dengan dari Imar, yang menceritakan bahwa Indri telah berangkat ke Jakarta. Ia liburan di sana sama ibu bapaknya, bahkan kakeknya juga.
Rasa tak enak makan saya sepulang sekolah. Saya berlari ke ‘baruah’. Saya cari lagi bayang gadis kecil cantik di halaman masjid. Saya perhatikan lagi kalau masih ada lubang undur-undur di pasirnya. Atau capung jarum terbang-terbang. Tapi mungkin sudah tak ada. Hanya suara katak hijau di mata air dekat tebing, yang seperti tak peduli dengan perasaanku….
SEJARAH BERULANG, begitu kata para filosof. Dan ini menjadi kenyataan. Saat kemudian kutunggu-tunggu berjumpa saat menjemput ijazah, tak ada wajah catik beralis lentik berpita rambut merah delima hadir di sekolah. Kabarnya izajah Indri dijemputkan kakeknya dan ia melanjutkan sekolah di SMA Jakarta…. Dulu engkau hilang, kinipun hilang lagi!
Orang-orang seumur kami, sepenuhnya berbuat sesuai kehendak orang tua. Tapi persaan saya, hati saya, kemana hendak diobat? Pita merah delima yang diikatkan ditangan saya saat mengambil pulasan di belakang rumah Imar, masih ada di lemari pakaian. Namun setiap kutatap malah memunculkan cengeng di hati. Di hati dan di sudut mata….
Mar, sampaikan pada Bapak dan Ibumu, jangan pernah ditebang batang pulasan di belakang rumahmu ya? Suatu saat saya ingin bermenung di tunggulnya…. Ah, tidak! Saya takkan melakukan itu!
No comments:
Post a Comment