BUYUANG
KALUDEN
Hanifa
Marisa
Buyuang Kaluden tak seperti anak lainnya.
Tubuhnye pendek kurus. Rambutnya rada ikal. Otaknyapun sedang-sedang saja,
kalau tak boleh disebut 'dibawah'. Entah karena gizi atau entah karena
lingkungan, Buyuang kaluden memang tidak top. Di lobuah simpang, jika ia
datang, atau pergi, orang akan acuh saja. Dan bagi Buyuang itu juga
menguntungkan. Easy come easy go! Hanya maknya yang bawel kalau Buyuang susah
bangun sahur. Anak lain mungkin lebih cepat, tapi Buyuang kaluden, BUkal, butuh
beberapa kali frekuensi untuk membuatnbya duduk. Sering maknya mengambil air
dari dalam centong sumur, dan menghapus mukanya, biar cepat membulalak incat
matanya. Dasar Bukal, Buyuang Kaluden!
Bukal
berjalan ke sumur. Ini yang terasa berat. Dingin hawa udara menjelang fajar.
Kain sarung ia belitkan di leher. Sambil menunduk, ember ia tarik talinya. Dan
setengah berisi, ia berkumur dan melap bagian wajah sedikit. Hatsyiiiin !! ia
bersin. Cepat di lap dengan punggung tangan dan kembali ke dalam rumah. Mak
bapaknya serta adik kakak telah menunggu bahkan adiknya telah disuapi maknya.
Emi kecil, adiknya, ikut maken porak siang, walau besok pagi ia telah minta
makan pula
Kapalo
maco, Emi tak suka. Maco balado, itu kalau bagi Bukal, sangat enak. Keren abis,
kata orang sekarang. Oleh sebab itu, kapalo maco sisa Emi, akan disusun
berderet di pinggir piring Bukal oleh mak nya. Tentulah ini, membuat Bukal
bangga, dan bunyi mulut/copak nya riuh rendah. "Mak, tolong kaniak-en
nasi. Den kabatambuah!" Bukal memecah suasana makan bersama.
Bagi
Bukal, makan sahur tak kalah enaknya ketimbang makan berbuka. Dua-duanya
memberi keindahan di mulut dan di perut. Satu per satu kepala maco masuk ke
suapannya, disertai kuah gulai. Sensasinya boleh dibilang lebih maknyuss!
Dan Buyuang tersandar ke dinding sambil sendaha . Maknya tak menoleh. Bapaknya juga. Kakak dan adiknya juga tak acuh. Ini sudah pemandangan biasa. "Jang lupo mbarasihen pinggen ang Yuang!" Maknya berucap. Tapi Bukal sudah mengamtuk lagi. Shalat subuh adalah beban bagi dia. Dan betul, mulutnya membuka lebar, sambil menguap. Ah, Bukal!
Dan Buyuang tersandar ke dinding sambil sendaha . Maknya tak menoleh. Bapaknya juga. Kakak dan adiknya juga tak acuh. Ini sudah pemandangan biasa. "Jang lupo mbarasihen pinggen ang Yuang!" Maknya berucap. Tapi Bukal sudah mengamtuk lagi. Shalat subuh adalah beban bagi dia. Dan betul, mulutnya membuka lebar, sambil menguap. Ah, Bukal!
Tidur
setelah shalat subuh adalah teramat indah. Perut kenyang. Mendengkur di kasur
tipis yang baunya khas. Selimut lurik zebra yang ditarik ke atas dan ke bawah
oleh tangan dan kaki. Dan ujungnya adalah omelan Mak yang membangunkan. Sebab
matahari sudah tinggi. Dulu, tak ada sekolah di bulan puasa.
Taukah
engkau tempat dimana kita bisa menghabiskan hari hingga tak terasa siang
menjelang sore? Ikutan ngumpul di pondok sawah Cirondang dengan teman-teman.
Atau menangkap ikan puyu di sawah dekat batang Namang. Kalau kita ikut nangkap
ikan, asyiknya berlipat ganda. Dapat ikan, dapat belalang, dan gembira ngobrol
ngalor ngidul. Misalnya anak yang lebih besar, yang namanya Ubieng, akan mahir
mengeluarkan pantun:
"Ayom janten rambayan toduang, ikua manjelo masuak padi. Dalam nagori kulilieng kampuang,, adiek sorrang nen di hati"
Dan pantun itu ditingkahi oleh yang lain:
"Muko semok obuak tajurei, golaknyo manih pipih kamek. Olang jo sikoki nen maintei, sikikih buruak nen mandapek". Lalu diikuti ketawa sepanjang pematang,...
"Ayom janten rambayan toduang, ikua manjelo masuak padi. Dalam nagori kulilieng kampuang,, adiek sorrang nen di hati"
Dan pantun itu ditingkahi oleh yang lain:
"Muko semok obuak tajurei, golaknyo manih pipih kamek. Olang jo sikoki nen maintei, sikikih buruak nen mandapek". Lalu diikuti ketawa sepanjang pematang,...
Luwak
/sumur dekat kolam sebelah hilir itu adalah pos terakhir sebelum pulang ke
rumah masing-masing. Disitu badan dibersihkan dari lumpur dan berbagai kotoran.
Apakah kita menyangka akan ada odol dan sikat gigi? Tidak! Sekali-sekali daun
'bonto' (Leersea hexandra) digunakan buat menggosok gigi. Luwak/sumur itu tidak
lebar, tapi rada jernih. Ada banyak tumbuhan di pinggirnya. Kondisinya nyaman
dan suara belalang, burung pipit dan kokok ayam dari kejauhan mewarnai suasana.
Ikan puyu kecil-kecil kadang bercampur pantau dan sepat, jika digoreng Mak
dengan sambal cabe, enaknya minta ampun. Cepak-cepong nikmat berbuka puasa.
Menjelang
berbuka, Buyuang merengek ke Maknya. "Raso indak tahan lei Mak. Domom.
Maken sa lah den lei dih..." "Baa? Domom? Lamo bona mandi di Namang
cako tu? Bapaneh-paneh tangah sawah?" "Iyo Mak. Den ken manuruk sa
nyo. Kawen-kawen itu nen mambao kiun." "Sabonta lai lei. Lah ampieng
babuko. Tahan malah. Sudah babuko biko lah ilang sa nye tih"
Dan Buyuang Kaluden terdiam. Sebentar kemudian ia pindah duduk ke depan pintu. Lalu bersin.
Dan Buyuang Kaluden terdiam. Sebentar kemudian ia pindah duduk ke depan pintu. Lalu bersin.
Betul.
Setelah berbuka Bukal sehat. Ingusnya mengalir makan puyu sambal. Didorong pula
oleh kolak pisang kuah pandan. Pisang jantan rumpun pinggir kolam. Dekat
belukar ditumbuhi akar kalimponang. Nah. Daun kalimponang itu juga sering
dipers Buyuang untuk penganan buka puasa. Kuahnya santan gula aren. Rasanya
bagalintin.....
Bagi
Buyuang, pergi shalat tarawih itu asyik tapi juga ada nilai adventuringnya.
Sebab ia bersama teman-teman, Iluh, Elim, Boing, dan lain-lain akan ikut shalat
yang rasanya amat lama. Empat rakaat shalat isya saja sudah bosan dia.Ditambah
ceramah agama yang isinya sebagaian besar ayat itu ke itu saja. Ingatannya ke
nasilomak dan serikayo yang ada di tonggak belakang masjid . Disitu disimpan
makanan untuk orang tadarusan setelah shalat tarawih. Malam kemarin, beberapa
bungkus nasilomak mereka 'amankan' saat bapak - bapak dan ibu-ibu menunduk
khusuk shalat tarawih dan witir. Lalu segera berlari keluar. Dan tak berani
masuk lagi. Berebut membuka bungkus daun pisang dan isinya berpindah ke mulut.
Copak cepong!
Pulang
dari masjid, mereka berombongan. Tapi satu per satu anak-anak itu menyimpang ke
rumah masing-masing. Tentu Buyuang Kaluden menuju pondoknya nun di ujung
tebing. Menembus gelap sendirian, terkadang membuat bulu kuduk bergetar.
Penakut? Iya. Buyuang memang sering dihantui khayalnya sendiri. Walau ia
melengkapi diri dengan senter kecil dua baterai yang cahayanya mulai pudar.
Jika daun pisang bergerak, persepsinya sudah ke makhluk yang serinbg
diceritakan teman-temannya yang lebih besar.
Cindaku! Jika rumput bergerak, jangan-jangan ular naga! Eh, cindaku dan naga
itu apa benar-benar ada? Apakah ia bersembunyi dalam kebun belakang rumah
tetangga di jalan ke pondioknya? Dan Buyuang segera mempercepat langkahnya.
Setengah berlari. Tiba-tiba anjing Mak Ipun di sebelah jalan besar sana,
menyalak. Dan Buyuang segera terbirit. Aduh, segeralah sampai di depan pintu
rumah kecilnya!!!
Ditengoknya
ke hamparan sisa makanan saat berbuka. Ah, tak ada lagi yang tertinggal.
Tentulah adiknya telah menghabiskan semuanya. Kolak dan silomak ketan. Jadi
Buyuang langsung saja ke bilik kecilnya dan tidur terlungkup, terlentang serta
miring. Dalam tidur, ia serasa mendengar bunyi sesuatu di pintu depan. Cindaku
tadikah? Serasa ia berjalan pelan-pelan mengintip ke luar melalui lubang kunci.
Dan ande mak! Seperti kepala harimau besar hitam juga tengah mengintip ke dalam
melalui lubang yang sama. Buyuang terpekik! Ia
serasa terloncat ke belakang. Dan segera berlari ke kamar mak dan adiknya untuk
minta tolong. Tapi, kenapakah ini, kakinya terasa berat sangat untuk di
gerakkan dan lari? Menjerit! Itulah yang ia lakukan. "Tolong den
maaak!!!"
Maknya datang dan membangunkan. "Lah porak siang, jagolah!" Barulah Buyuang tersadar. Nafasnya sesak. Tersandar ke dinding. Wajah harimau hitam yang mengintip ke dalam masih terbayang.
"Barasien buruak den Mak,..." Buyuang mengucap. "Rimau kamasuak ka rumah awak dari pintu muko"
"Rasien buruak jang dikecek-keceken ka urang. Itu ulah bilih jo ceten tih" ujar maknya.
"Tapi kalau ka amak den kecek-en ken ndak baatio tu doh" ujar Buyuang.
Maknya datang dan membangunkan. "Lah porak siang, jagolah!" Barulah Buyuang tersadar. Nafasnya sesak. Tersandar ke dinding. Wajah harimau hitam yang mengintip ke dalam masih terbayang.
"Barasien buruak den Mak,..." Buyuang mengucap. "Rimau kamasuak ka rumah awak dari pintu muko"
"Rasien buruak jang dikecek-keceken ka urang. Itu ulah bilih jo ceten tih" ujar maknya.
"Tapi kalau ka amak den kecek-en ken ndak baatio tu doh" ujar Buyuang.
Pagi telah
datang memeluk sawah terbentang. Sinarnya menembus pohon-pohon di tebing dan di
halaman rumah. Termasuk pondok Buyuang Kaluden. Buyuang keluar dan mulai
beradaptasi dengan terpaan cahaya sambil menggosok-gosok matanya.
"Kok indak bonalah sikola, nen mandi jang ditinggaen Yuang. Basuah baden ang tih.." Maknya terdengar menegur dari arah belakang pondok. Dan Buyuang yang tadinya mencongkong di pinggir halaman, pelan berdiri dengan malas. Lalu berjalan arah ke sumur untuk mengambil sabun. Di dalam tempurung kelapa hitam coklat, sisa sabun kuning dan sabut kelapa yang biasa digunakan menggosok kaki. Dengan menyandang handuk lusuh serta menenteng tempurung sabun, Buyuang berjalan arah ke luwak pinggir sawah. Bajunya, masih yang dia pakai kemarin. Kaus kuning bekas pemberian saat kampanye untuk bapaknya. Sudah pudar dan longgar. Penuh dengan bekas getah pisang dan entah apa lagi. Boleh jadi, juga bekas ingus dan air ludah yang tercecer saat tidur mendengkur. Oh iya, main kemana kita hari ini? Melihat meriam bambu sebelah 'mudiak' atau bikin tembakan sendiri dari buluh bambu kecil yang diisi dengan buah bulat di pinggir pematang kolam?
"Kok indak bonalah sikola, nen mandi jang ditinggaen Yuang. Basuah baden ang tih.." Maknya terdengar menegur dari arah belakang pondok. Dan Buyuang yang tadinya mencongkong di pinggir halaman, pelan berdiri dengan malas. Lalu berjalan arah ke sumur untuk mengambil sabun. Di dalam tempurung kelapa hitam coklat, sisa sabun kuning dan sabut kelapa yang biasa digunakan menggosok kaki. Dengan menyandang handuk lusuh serta menenteng tempurung sabun, Buyuang berjalan arah ke luwak pinggir sawah. Bajunya, masih yang dia pakai kemarin. Kaus kuning bekas pemberian saat kampanye untuk bapaknya. Sudah pudar dan longgar. Penuh dengan bekas getah pisang dan entah apa lagi. Boleh jadi, juga bekas ingus dan air ludah yang tercecer saat tidur mendengkur. Oh iya, main kemana kita hari ini? Melihat meriam bambu sebelah 'mudiak' atau bikin tembakan sendiri dari buluh bambu kecil yang diisi dengan buah bulat di pinggir pematang kolam?
Selalu
Buyuang yang mencari Iluh. Anak lelaki kecil itu juga tak besar badannya. Mirip
Buyuang juga. Namun otot dan badannya kuat. Selain itu, ia juga pemberani.
Boing pernah dia kalahkan saat bergulat di belakang sekolahan. Dia aktif dan
memimpin. Buyuang senang ikut main dengan Iluh ini. Seperti biasa ia akan ikut
Iluh ke sawah, ke Namang, ke pematang kolam, ke bukit dan lain-lain.
Kini mereka berjalan arah ke sawah, melintas jalan besar. Jalan berbatu. Biasanya dilewati sepeda dan sesekali honda. Jarang ada mobil. Namun, eh, lihat! Sekarang ada mobil! Tu, berhenti di depan rumah gedung bagus penurunan. Mobil jip willyz kah itu? Atau chefrolet? Ah, tak peduli apa mereknya. Yang penting mereka seperti ditarik magnit, segera menuju mobil yang berhenti dan pintunya terbuka. Ada bapak dan ibu turun. Ada anak-anak sebaya atau mungkin lebih tua dari mereka ikut turun. Mereka semakin dekat. Ibu yang pakai kebaya itu bajunya mengkilap. Entah dari kain apa dia membuat baju. Cantiknya alang kepalang. Pipinya putih dan bibirnya merah. Penampakan seperti ini hanya ada di TV. Di acara Aneka Ria Safari, hari minggu di lepau dekat rumah Jurik.
"Mama, majalah Bobonya mana?" terdengar anak kecil mungkin beberapa tahun di atas mereka bertanya lantang. Rambutnya ikal. Wajahnya coga. Coga sekali. Pokoknya seperti di Tivi-tivi.
Majalah Bobo? Buyuang dan Iluh ternganga saja. Tak pernah mereka mendengar majalah Bobo selama ini.
"Ambil sendiri dong. Mama lagi nurunin termos nih. Tuh ditarok papa dekat dasbor!" jawab mamanya sibuk. Anak wanita "coga" itu kemudian naik lagi ke mobilnya. Buyuang dan Iluh masih tak mengerti. Termos itu apa ya? Dan dasbor itu semacam apa pula? Bagi Buyuang tak penting semua itu. Ia hanya tertarik pada anak perempuan ikal berparas bulan yang kemudian turun lagi membawa buku lebar bergambar-gambar. Ia memperhatikan dengan seksama. Iluh juga. Tak berkedip. Alangkah enaknya punya mobil seperti itu......
Kini mereka berjalan arah ke sawah, melintas jalan besar. Jalan berbatu. Biasanya dilewati sepeda dan sesekali honda. Jarang ada mobil. Namun, eh, lihat! Sekarang ada mobil! Tu, berhenti di depan rumah gedung bagus penurunan. Mobil jip willyz kah itu? Atau chefrolet? Ah, tak peduli apa mereknya. Yang penting mereka seperti ditarik magnit, segera menuju mobil yang berhenti dan pintunya terbuka. Ada bapak dan ibu turun. Ada anak-anak sebaya atau mungkin lebih tua dari mereka ikut turun. Mereka semakin dekat. Ibu yang pakai kebaya itu bajunya mengkilap. Entah dari kain apa dia membuat baju. Cantiknya alang kepalang. Pipinya putih dan bibirnya merah. Penampakan seperti ini hanya ada di TV. Di acara Aneka Ria Safari, hari minggu di lepau dekat rumah Jurik.
"Mama, majalah Bobonya mana?" terdengar anak kecil mungkin beberapa tahun di atas mereka bertanya lantang. Rambutnya ikal. Wajahnya coga. Coga sekali. Pokoknya seperti di Tivi-tivi.
Majalah Bobo? Buyuang dan Iluh ternganga saja. Tak pernah mereka mendengar majalah Bobo selama ini.
"Ambil sendiri dong. Mama lagi nurunin termos nih. Tuh ditarok papa dekat dasbor!" jawab mamanya sibuk. Anak wanita "coga" itu kemudian naik lagi ke mobilnya. Buyuang dan Iluh masih tak mengerti. Termos itu apa ya? Dan dasbor itu semacam apa pula? Bagi Buyuang tak penting semua itu. Ia hanya tertarik pada anak perempuan ikal berparas bulan yang kemudian turun lagi membawa buku lebar bergambar-gambar. Ia memperhatikan dengan seksama. Iluh juga. Tak berkedip. Alangkah enaknya punya mobil seperti itu......
Sungguh
tak menyangka, mengapa kaki mereka mendekat. Mengapa mata terkagum. Dan kini,
mobil, bapak dan ibu itru serta anak-anaknya yang coga, ada di depan mata
Buyuang. Dia lihat jelas gambar-gambar bagus di sampul buku lebar yang dipegang
'uni' berparas bulan itu. Dia lihat mamanya turun dan membawa kaleng merah
empat persegi dengan tulisan Khong Guan.
Uni rancak, atau bleh ajdi teman coga, atau apapun lah istilahnya, dia tak fikirkan, kini di depan mata mereka. Sekejap uni itu, yang mungkin sudah kelas lima atau enam, sedang ia baru kelas dua seperti halnya Iluh, terdiam.. Uni itu memandang. Wajahnya rembulan tersenyum. Iluh tak berkedip. Buyuang seperti menonton tivi.......
"Ni, ayo masuk nak. Istirahat dulu. Kan capek" mamanya menegur. Lalu mengeluarkan isi kaleng merah yang ternyata roti semerbak, mirip roti marrie di lepau depan sekolah. Segepok roti ia kasihkan ke Iluh dan Buyuang. "Nih, tante kasih roti. . Puaso yo? Makan wakatu babuka sajo yo.." katanya dengan logat bahasa yang tidak seperti orang di kampung.. Iluh cepat mengambil dan memasukkannya ke kantong. Buyuang melirik ke Iluh, lalu mengambilnya juga. dan mereka segera beranjak ke pematang kolam penurunan. Sejenak menoleh ke wajah 'uni' rancak itu. Ya, persis seperti di tivi-tivi. Coga !
Uni rancak, atau bleh ajdi teman coga, atau apapun lah istilahnya, dia tak fikirkan, kini di depan mata mereka. Sekejap uni itu, yang mungkin sudah kelas lima atau enam, sedang ia baru kelas dua seperti halnya Iluh, terdiam.. Uni itu memandang. Wajahnya rembulan tersenyum. Iluh tak berkedip. Buyuang seperti menonton tivi.......
"Ni, ayo masuk nak. Istirahat dulu. Kan capek" mamanya menegur. Lalu mengeluarkan isi kaleng merah yang ternyata roti semerbak, mirip roti marrie di lepau depan sekolah. Segepok roti ia kasihkan ke Iluh dan Buyuang. "Nih, tante kasih roti. . Puaso yo? Makan wakatu babuka sajo yo.." katanya dengan logat bahasa yang tidak seperti orang di kampung.. Iluh cepat mengambil dan memasukkannya ke kantong. Buyuang melirik ke Iluh, lalu mengambilnya juga. dan mereka segera beranjak ke pematang kolam penurunan. Sejenak menoleh ke wajah 'uni' rancak itu. Ya, persis seperti di tivi-tivi. Coga !
Iinilah
ide Iluh. Memindahkan roti yang wangi ini ke dalam perut. Puasa? Kata Iluh,
anak seumur mereka belum terlalu wajib puasa, sebab belum baligh. Jadi, roti
ini sebaiknya dimanfaatkan secepat cepatnya, tak perlu menunggu ewaktu tengkong
berbunyi, saat magrib tiba,....
"Dima?" Buyuang bertanya.
"Tobieng bolah mudiek, jang nampak dek urang!" Iluh menjawab.
Dan langkah mereka berubah jadi lebar-lebar. Dada Buyuang berdebar. Di bawah pohon jambu biji, dekat kelapa condong dan batang pinang besar, mereka duduk menyepi. Dari jauh geraham pipi mereka bergerak-gerak samar-samar,....
"Dima?" Buyuang bertanya.
"Tobieng bolah mudiek, jang nampak dek urang!" Iluh menjawab.
Dan langkah mereka berubah jadi lebar-lebar. Dada Buyuang berdebar. Di bawah pohon jambu biji, dekat kelapa condong dan batang pinang besar, mereka duduk menyepi. Dari jauh geraham pipi mereka bergerak-gerak samar-samar,....
Begitulah
kesalahan yang satu akan menggaet kesalahan berikutnya. Saat biskuit di kantong
mereka ludes, ide untuk melanjutkan ke jambu biji /biaweh muncul. Apalagi
memang beberapa buah jambu terlihat mulai berwarna kekuningan. Kuning pucat.
Tanpa dikomando, sambil senyum, Iluh mendahului memanjat dan buah itu masuk ke
kantongnya. Buyuang ikut di dahan yang lainnya. Ia mendapatkan buah lunak.
Darahnya kembali berdebar. Berikutnya, acara mengunyah hasil perjuangan
memanjat itusegera pula dinikmati. Bahkan tak puas
disitu, kini Iluh punya akal tambahan.
"Bolah mudiek bona, ado batang salak!"
"Babuah?"
"Ho-oh! Manyih-manyih. Kulik arinyo sirah mudo. Belok nen lopeh, pueh kami jo Ujir..."
"Melah!"
"Melah......"
Entah kenapa, memang tak ada orang yang beraktifitas di 'baruah' saat ini. Hingga operasi mereka tidak tertangkap tangan!
"Bolah mudiek bona, ado batang salak!"
"Babuah?"
"Ho-oh! Manyih-manyih. Kulik arinyo sirah mudo. Belok nen lopeh, pueh kami jo Ujir..."
"Melah!"
"Melah......"
Entah kenapa, memang tak ada orang yang beraktifitas di 'baruah' saat ini. Hingga operasi mereka tidak tertangkap tangan!
Kulit
salak sudah bertebaran di pematang. Mereka duduk di pohon kelapa condong. Kaki
menjuntai ke air.
Iluh mulai mengkhayal.
"Heny nan rancak cako jadi binyi deen isuak..." dia tersenyum ke Buyuang.
"Hah? Heny? Mungkin Ani Luh. Tangoren dek deyen cako, tante itu maimbou ka liou,; Ani..."
"Indak! Heny, Heny rancak. Heny coga! Heny binyi Iluh. He he he..."
Buyuang tertegun. Sebab tadi dilihatnya Ani itu memang coga alang kepalang. Tatap matanya......Serasa ada tautan,... Entahlah, Buyuang tak dapat menggambarkan. Yang jelas dia senang. Itu saja.
"Heny namo liou ken?"
"Indak Luh. Ani. Yobona Ani tangoren dek deen cako!"
"Heny!"
"Ani!"
"Heny! Jang mangoreh juo ang lei!"
Buyuang diam. Tapi tangannya menggores dengan air kolam ke pohon kelapa tempat mereka duduk dengan tulisan Ani. Dan Iluh tak senang dengan gerakan tangan Buyuang itu. Ia menghentakkan kakinya ke air kolam dan cipratannya membasahi muka serta dada Buyuang. Buyuang hendak marah. tapi ia sadar, Iluh itu pemberani. Ia diam.
"Heny ken? Maongguak sa lah!"
Buyuang menganggukkan kepalanya.
Iluh mulai mengkhayal.
"Heny nan rancak cako jadi binyi deen isuak..." dia tersenyum ke Buyuang.
"Hah? Heny? Mungkin Ani Luh. Tangoren dek deyen cako, tante itu maimbou ka liou,; Ani..."
"Indak! Heny, Heny rancak. Heny coga! Heny binyi Iluh. He he he..."
Buyuang tertegun. Sebab tadi dilihatnya Ani itu memang coga alang kepalang. Tatap matanya......Serasa ada tautan,... Entahlah, Buyuang tak dapat menggambarkan. Yang jelas dia senang. Itu saja.
"Heny namo liou ken?"
"Indak Luh. Ani. Yobona Ani tangoren dek deen cako!"
"Heny!"
"Ani!"
"Heny! Jang mangoreh juo ang lei!"
Buyuang diam. Tapi tangannya menggores dengan air kolam ke pohon kelapa tempat mereka duduk dengan tulisan Ani. Dan Iluh tak senang dengan gerakan tangan Buyuang itu. Ia menghentakkan kakinya ke air kolam dan cipratannya membasahi muka serta dada Buyuang. Buyuang hendak marah. tapi ia sadar, Iluh itu pemberani. Ia diam.
"Heny ken? Maongguak sa lah!"
Buyuang menganggukkan kepalanya.
Suasana
indoktrinasi yang diciptakan Iluh, membuat Buyuang tertekan. Ia berjalan pelan
dari pohon kelapa ke pematang. Dan pamit pulang. Iluh memandang sampai jauh.
Ah, dasar Buyuang Kaluden.!
"Ba dek basah baju ang?" mak menegur saat melepaskan sisiran pisang dari tandannya. Pisang jantan itu belum terlalu tua. Tapi hariraya Idilfitri sudah hampir tiba....
"Indak. Tagaliciek cako..." Buyuang membuat alasan. Dan kesalahan selanjutnya telah ia ciptakan.
"Tagaliciek pek ma?"
"Pek tobek mudiek"
"Tapi sarowa ang indak basah. baju sa nen tarombow tu?" maknya mengejar. Buyuang sesungguhnya sudah ingin berlari saja ke dalam bilik. Aduh.
"Nggg, apo,...main porang-porangan aie jo kawen. " Iluh mengkreasikan kesalahan berikutnya.
"Jo Iluh?"
"Ho-oh..."
"Bukak copek. Domom masuak angin biko. Tuka jo nen korieng!" Maknya membuka baju kaus kuning yang telah berubah jadi coklat itu dengan melongsorkan ke atas. Dan saat membuka baju, maknya mencium bau wangi makanan. Ia menyelidik. Memandang anaknya dengan seksama. Lalu matanya turun arah ke celana. Tuh, di gerbang kantong saku celana, berserakan sisa biskuit. Mak memandang Buyuang dan langsung bertanya, "Apo iko?. Maken aa ang? Balanjo? Pitih ma? Jo Iluh? Bota puaso?"...dan banyak selidik mak yang lain. Buyuang menunduk. Lalu bersin.
"Ba dek basah baju ang?" mak menegur saat melepaskan sisiran pisang dari tandannya. Pisang jantan itu belum terlalu tua. Tapi hariraya Idilfitri sudah hampir tiba....
"Indak. Tagaliciek cako..." Buyuang membuat alasan. Dan kesalahan selanjutnya telah ia ciptakan.
"Tagaliciek pek ma?"
"Pek tobek mudiek"
"Tapi sarowa ang indak basah. baju sa nen tarombow tu?" maknya mengejar. Buyuang sesungguhnya sudah ingin berlari saja ke dalam bilik. Aduh.
"Nggg, apo,...main porang-porangan aie jo kawen. " Iluh mengkreasikan kesalahan berikutnya.
"Jo Iluh?"
"Ho-oh..."
"Bukak copek. Domom masuak angin biko. Tuka jo nen korieng!" Maknya membuka baju kaus kuning yang telah berubah jadi coklat itu dengan melongsorkan ke atas. Dan saat membuka baju, maknya mencium bau wangi makanan. Ia menyelidik. Memandang anaknya dengan seksama. Lalu matanya turun arah ke celana. Tuh, di gerbang kantong saku celana, berserakan sisa biskuit. Mak memandang Buyuang dan langsung bertanya, "Apo iko?. Maken aa ang? Balanjo? Pitih ma? Jo Iluh? Bota puaso?"...dan banyak selidik mak yang lain. Buyuang menunduk. Lalu bersin.
Mak
memasukkan baju kaus basahnya ke baskom logam. Mereka menyebutnya mereng.
Disitu sudah ada pakaian kotor adiknya juga. Lalu membuka pintu almari kayu
lusuh, dan mengambil baju kering untuknya. Buyuang menerima dan langsung
memakai. Tidak, Buyuang tak langsuang memakai. Ia memanggil maknya yang kembali
hendak melanjutkan sisiran pisang muda di halaman.
"Mak,..."
Maknya menoleh. Memandang dengan mata cekung.
"Mooh dih mak. Den cako baduto,...." Buyuang bicara lambat. Ia tak kuasa memikul beban batin. Matanya berharap. Hatinya juga berharap mak memaafkan. Sebab mak sering bilang, "roto kito urang banset ko nak, ciek ajo nyieh, jujur" Maknya diam. Tapi Buyuang tak melihat amarah di mata maknya. Tidak seperti mata bapak, jika ketahuan ia tak ikut mengaji, maka bapak akan marajh dengan mata tajam dan bahkan kain sarung ikut bicara memukul kakinya.
Mak tidak begitu. Mak itu teduh. Mak itu penyayang. Dan ia bahkan tadi melihat seakan mata mak tersenyum. Ah, mak,....
"Mak,..."
Maknya menoleh. Memandang dengan mata cekung.
"Mooh dih mak. Den cako baduto,...." Buyuang bicara lambat. Ia tak kuasa memikul beban batin. Matanya berharap. Hatinya juga berharap mak memaafkan. Sebab mak sering bilang, "roto kito urang banset ko nak, ciek ajo nyieh, jujur" Maknya diam. Tapi Buyuang tak melihat amarah di mata maknya. Tidak seperti mata bapak, jika ketahuan ia tak ikut mengaji, maka bapak akan marajh dengan mata tajam dan bahkan kain sarung ikut bicara memukul kakinya.
Mak tidak begitu. Mak itu teduh. Mak itu penyayang. Dan ia bahkan tadi melihat seakan mata mak tersenyum. Ah, mak,....
Setelah
memakai baju yang kering ia mencongkong dekat Mak. Masih ada tiga sisir lagi
yang akan dilepas mak dari tandannya.
"Kalau kabakawen juo jo Iluh tih jang omuah dibao liou mbotaen puaso. " Mak berucap sambil gadubangnya sigap memisahkan sisir pisang.
"Iyo Mak. Bisuak indak lei..." Buyuang menjawab.
Dan memang. Besoknya Buyuang tak menyampiri Iluh. Ia disuruh Maknya mencari siput ke dekat sawah. Itu sudah keahlian Buyuang. Mengumpulkan siput di bandar, saluran air pinggir kolam dan sawah. Di lumpur yang berpasir siput banyak ditemukan. Dan jika Mak menggulainya dengan pucuk daun singkong, itu akan terasa enak sekali. Memang masakan Mak tak ada yang tak enak. Goreng maco. Sambal cabe cxampur asam jeruk. Tumis bayam. Bahkan goreng ikan sepat siam dan ikan 'baguak' dibakar...
Pagi ini, Buyuang tak ke rumah Iluh. Ia membawa tempurung kelapa dan turun menuju saluran air pinggir sawah. Mencari dan mengumpulkan siput. Iya, lewat kembali depan rumah 'uni Ani' yang rancak itu. Yang kata Iluh akan jadi bini dia nanti. Ah, iluh,...
"Anak yang kemaren kan? Mau kemana?" Buyuang terkejut! Ani !
Buyuang akan menjawab apa? Lihat , roman muka uni rancak ini, memegang entah apa, di tangannya berdiri di pagar rumahnya.
"Kalau kabakawen juo jo Iluh tih jang omuah dibao liou mbotaen puaso. " Mak berucap sambil gadubangnya sigap memisahkan sisir pisang.
"Iyo Mak. Bisuak indak lei..." Buyuang menjawab.
Dan memang. Besoknya Buyuang tak menyampiri Iluh. Ia disuruh Maknya mencari siput ke dekat sawah. Itu sudah keahlian Buyuang. Mengumpulkan siput di bandar, saluran air pinggir kolam dan sawah. Di lumpur yang berpasir siput banyak ditemukan. Dan jika Mak menggulainya dengan pucuk daun singkong, itu akan terasa enak sekali. Memang masakan Mak tak ada yang tak enak. Goreng maco. Sambal cabe cxampur asam jeruk. Tumis bayam. Bahkan goreng ikan sepat siam dan ikan 'baguak' dibakar...
Pagi ini, Buyuang tak ke rumah Iluh. Ia membawa tempurung kelapa dan turun menuju saluran air pinggir sawah. Mencari dan mengumpulkan siput. Iya, lewat kembali depan rumah 'uni Ani' yang rancak itu. Yang kata Iluh akan jadi bini dia nanti. Ah, iluh,...
"Anak yang kemaren kan? Mau kemana?" Buyuang terkejut! Ani !
Buyuang akan menjawab apa? Lihat , roman muka uni rancak ini, memegang entah apa, di tangannya berdiri di pagar rumahnya.
"Mancari
cipuk..." Buyuang menjawab terbata. Tapi matanya berseri-seri. Dan bagi anak-anak,
aura wajah itu sudah cukup untuk berkomunikasi. Uni Ani itu tersenyum.
"Cipuk? Apaan tuh?"
"Cipuk. Nen dimaken jo gulei daun ubi. Cipuk pek topi tobek. Pek sawah..." Buyuang menerangkan.
"Asyik. Ikutan?" Uni Ani itu tertarik. Mungkin ia penasaran.
"Ho-oh. Ho-oh." Buyuang menganggukkan kepala.
"Nek, nenek. Veny ke sawah. Ngambilin cipuk!" Uni Ani itu berteriiak arah ke rumah. Pamit sama neneknya. Veny? Jadi Veni nama dia? Alangkah bodohnya pertengkaran dengan Iluh kemarin, satu bilang Heny, dan dia beranggapan Ani. Sambil jalan beriringan, Buyuang geli mengingat perselisihan dengan Iluh. Duh!
"Cipuk? Apaan tuh?"
"Cipuk. Nen dimaken jo gulei daun ubi. Cipuk pek topi tobek. Pek sawah..." Buyuang menerangkan.
"Asyik. Ikutan?" Uni Ani itu tertarik. Mungkin ia penasaran.
"Ho-oh. Ho-oh." Buyuang menganggukkan kepala.
"Nek, nenek. Veny ke sawah. Ngambilin cipuk!" Uni Ani itu berteriiak arah ke rumah. Pamit sama neneknya. Veny? Jadi Veni nama dia? Alangkah bodohnya pertengkaran dengan Iluh kemarin, satu bilang Heny, dan dia beranggapan Ani. Sambil jalan beriringan, Buyuang geli mengingat perselisihan dengan Iluh. Duh!
"Itu
apo uni?" Buyuang menunjuk ke benda di tangan Veny.
Veny menyerahkan ke Buyuang. Palstik hitam segi empat yang didalamnya ada huruf-huruf abjad. Petak-petak kecil.
"Coba susun!" Veny menyruhnya menyusun abjad di kotak itu. Buyuang mencoba sambil mengepit tempurung di ketiaknya. He, ternyata huruf-huruf ini bisa digeser-geser! Mengagumkan!
Veny menyerahkan ke Buyuang. Palstik hitam segi empat yang didalamnya ada huruf-huruf abjad. Petak-petak kecil.
"Coba susun!" Veny menyruhnya menyusun abjad di kotak itu. Buyuang mencoba sambil mengepit tempurung di ketiaknya. He, ternyata huruf-huruf ini bisa digeser-geser! Mengagumkan!
Veny
tertawa senang saat sampai di pinggiran sawah. Ternyata yang dicari Buyuang
adalah keong. Keong kecil yang kadang menumpuk dua tiga ekor di lumpur.
"Keong!" Veny berteriak spontan.
"Iyo. Keong. Cipuk." kata Buyuang, yang segera ingat, bu guru pernah menyebut bahwa cipuk itu adalah keong.
Lalu Veny ikutan mengambili hewan kecil hitam itu. Memasukkannya ke tempurung di tangan Buyuang. Bahkan anak perempuan itu begitu gembira saat ia menemukan dan menemukan lagi keong di dekat pematang. Lalu temppurung jadi penuh...
"Lah ponuah. " Buyuang berucap.
"Ntar, masih banyak. Cari wadah lain!" Veny menanggapi.
"Jo daun taleh sa.." Buyuang memetik daun.
"Itu mah keladi!" pungkas Veny.
"Iyo, kaladi. Kaladi taleh!" jawab Buyuang senyum.
"Keong!" Veny berteriak spontan.
"Iyo. Keong. Cipuk." kata Buyuang, yang segera ingat, bu guru pernah menyebut bahwa cipuk itu adalah keong.
Lalu Veny ikutan mengambili hewan kecil hitam itu. Memasukkannya ke tempurung di tangan Buyuang. Bahkan anak perempuan itu begitu gembira saat ia menemukan dan menemukan lagi keong di dekat pematang. Lalu temppurung jadi penuh...
"Lah ponuah. " Buyuang berucap.
"Ntar, masih banyak. Cari wadah lain!" Veny menanggapi.
"Jo daun taleh sa.." Buyuang memetik daun.
"Itu mah keladi!" pungkas Veny.
"Iyo, kaladi. Kaladi taleh!" jawab Buyuang senyum.
Panas
mulai terik. Dan ini di bulan puasa. Angin bertiup menggoyang sisa tunggul
padi. Terkadang burung pipit bondol terbang berkelompok. Riuh rendah. Bagi dua
anak itu, entah karena asyik menemukan keong demi keong, melompat di pematang
sawah, melintas dsaluran air dan terkadang Veny berteriak ketika melihat ada
ikan di genangan air pembatas sawah, tak terasa waktu mendekati zuhur.
Bahkan, tiba-tiba Veny berteriak mengarahkan telunjuknya ke rumput yang rimbun. Ada apa?
"Telur! Telur itik!!" Ia girang. Buyuang segera mengambilnya. Ini pasti kawanan itik yang semalam tak sempat bertelur di kandangnya, lalu mengeluarkannya di rumput tebal. Buyuang memungutnya. Memberikan ke Uni Veny-nya. Wajah cantik berambut ikal itu puas sumringah menimang telur temuannya.
"Jangan-jangan masih ada lainnya.." ia memandang ke sekitaran. He he, berharap!
Bahkan, tiba-tiba Veny berteriak mengarahkan telunjuknya ke rumput yang rimbun. Ada apa?
"Telur! Telur itik!!" Ia girang. Buyuang segera mengambilnya. Ini pasti kawanan itik yang semalam tak sempat bertelur di kandangnya, lalu mengeluarkannya di rumput tebal. Buyuang memungutnya. Memberikan ke Uni Veny-nya. Wajah cantik berambut ikal itu puas sumringah menimang telur temuannya.
"Jangan-jangan masih ada lainnya.." ia memandang ke sekitaran. He he, berharap!
Suara azan
dari masjid terdengar sayup sampai. Buyuang tertegun. Kata Mak, jika sudah
azan, segera pulang. Sebab mak sudah memeras kelapa dan memetik daun ubi
singkong tentunya.
"Pulang lei,.." Buyuang memandang wajah Veny.
"Pulang? Buru-buru amat!" gadis kecil itu menjawab.
"Kato amak, keong ini akan digulei. " Buyuang ikutan menyebut 'keong'.
"Iya deh." Dan mereka berbalik, mengikuti pematang sawah, arah ke jalan besar. Tempurung dan bungkusan daun keladi penuh oleh siput.
"Besok nyari keong lagi nggak?" Veny bertanya.
Buyuang memandang. Berfikir.
"Ndak tau. Tanyoen ka amak dulu dih?"
"Kalo nyari, samperin ya?"
Buyuang tak mengerti samperin itu. Ia menoleh dengan mimik bingung.
"Kalau besok nyari keong lagi, boleh ikutan kan?"
"Oh, boleh. Buliah." Buyuang ketawa. Dan mereka berpisah di pagar rumah bagus penurunan. Sepintas terdengar neneknya bertanya, "Kemana Veny main? Kok lama benar? Nenek pandang-pandangi arah kesana tadi..."
"Pulang lei,.." Buyuang memandang wajah Veny.
"Pulang? Buru-buru amat!" gadis kecil itu menjawab.
"Kato amak, keong ini akan digulei. " Buyuang ikutan menyebut 'keong'.
"Iya deh." Dan mereka berbalik, mengikuti pematang sawah, arah ke jalan besar. Tempurung dan bungkusan daun keladi penuh oleh siput.
"Besok nyari keong lagi nggak?" Veny bertanya.
Buyuang memandang. Berfikir.
"Ndak tau. Tanyoen ka amak dulu dih?"
"Kalo nyari, samperin ya?"
Buyuang tak mengerti samperin itu. Ia menoleh dengan mimik bingung.
"Kalau besok nyari keong lagi, boleh ikutan kan?"
"Oh, boleh. Buliah." Buyuang ketawa. Dan mereka berpisah di pagar rumah bagus penurunan. Sepintas terdengar neneknya bertanya, "Kemana Veny main? Kok lama benar? Nenek pandang-pandangi arah kesana tadi..."
Saat
berbuka mak bicara. "Banyak Buyuang dapek cipuk sakaliko."
"Ditolong uni Veny mancarien cako. Uni rancak nen bagoduang di panurunan tih ha."
Maknya tersenyum. Bapaknya diam menyuap sambil menunduk.
"Kami dapek tolua itiek bagei cako!" Buyuang menambahkan.
"Uni rancak nen ma pulo tih." Kakaknya bertanya.
"Rumah panurunen. Ado oto liou."
"Cucu Ongku Datuakkayo. Nen baru pulang dari Banduang. Liou ken kabarolek duo ari sudah rayo. Adiek si Ida dapek junjuang urang Talago mudiek" maknya menerangkan. Sementara bunyi siput yang disedot dari bibir terdengar silih berganti.
"Ditolong uni Veny mancarien cako. Uni rancak nen bagoduang di panurunan tih ha."
Maknya tersenyum. Bapaknya diam menyuap sambil menunduk.
"Kami dapek tolua itiek bagei cako!" Buyuang menambahkan.
"Uni rancak nen ma pulo tih." Kakaknya bertanya.
"Rumah panurunen. Ado oto liou."
"Cucu Ongku Datuakkayo. Nen baru pulang dari Banduang. Liou ken kabarolek duo ari sudah rayo. Adiek si Ida dapek junjuang urang Talago mudiek" maknya menerangkan. Sementara bunyi siput yang disedot dari bibir terdengar silih berganti.
"Malam
bisuak kito sapokat mamasak-en gulei. Diansua marobuh robuang jo
cimbodak." Mak memberitahu. Mak memang Sudah terkenal di area jorong
sebagai orang yang cepatkaki ringan tangan until membantu keluarga empunya
hajat kenduri. Padahal fisij mak juga tidak kuat. Pernah mak demam lama sehabis
beberapa hari menolong acara pesta kawinan. Kata mantri di simpang Taeh Guguak
, mak Buyuang darah rendah. Entahlah.
"Den
puei mak. Kiun." Buyuang nyeletuk. "Janglei! Amak sampei puku saboleh
duoboleh. Kaweni adiek ang di rumah." Mak melarang. Padahal dia bisa main
nyusun huruf abjad sama ni Veny yg baik itu. Ndeee.
Dua hari
sebelum lebaran ini, Iluh yang datang ke rumahnya. Masih pagi. Tapi ada nan tak
biasa pada tampilan Iluh. Jalannya seperti tertahan-tahan. Namun wajahnya sumringah.
Ha?
Buyuang memandang ke kaki Iluh. Betul! Iluh memakai sandal tebal. Merah. Hampir 10 cm pijakannya. Gaya nih. Lagi model semenjak awal puasa. Tentulah Iluh butuh pengakuan eksistensi dari Buyuang. Sebab sandal serupa ini harganya Rp 700,- sangat mahal ketimbang sandal lili atau partakus.
"Ba dek ndak main ang ka rumah deen lei? Kabaruah wak melah..." Iluh menyapa. Buyuang senyum. Kagum juga. Ingin dia memiliki sandal seperti itu. Buat hari lebaran.
"Kabaruah wak mlah. Si Heny togak muko lamen liou cako.....ssst" Iluh lagi. Heny? Veny kale..... Buyuang senyum dikulum. Maknya mungkin di rumah uni rancak itu menolong memarut kelapa. Ah malu dia!
Buyuang memandang ke kaki Iluh. Betul! Iluh memakai sandal tebal. Merah. Hampir 10 cm pijakannya. Gaya nih. Lagi model semenjak awal puasa. Tentulah Iluh butuh pengakuan eksistensi dari Buyuang. Sebab sandal serupa ini harganya Rp 700,- sangat mahal ketimbang sandal lili atau partakus.
"Ba dek ndak main ang ka rumah deen lei? Kabaruah wak melah..." Iluh menyapa. Buyuang senyum. Kagum juga. Ingin dia memiliki sandal seperti itu. Buat hari lebaran.
"Kabaruah wak mlah. Si Heny togak muko lamen liou cako.....ssst" Iluh lagi. Heny? Veny kale..... Buyuang senyum dikulum. Maknya mungkin di rumah uni rancak itu menolong memarut kelapa. Ah malu dia!
Hari ini
hari Iluh mengalah. Sebab Buyuang tak dapat pergi 'malala', karena tak ada yang
menemani adiknya bermain. Si Akrimah, senang kalau Buyuang mengasuhnya,
sekalipun ada kakak.. Asyik juga main rumah-rumahan di bawah pohon nangka
besar. Seng, daun kelapa dan lain-lain disusun dan dibuat menjadi istana. Kursi
bekas ditidurkan berubah menjadi mobil. Akrimah, adik Buyuang asyik memandang
dari depan pintu.
Sorenya sebelum berbuka mak pulang. Ia menenteng rantang. Buyuang meneybutnya cirarak. Isinya gulai nangka panas. Juga gulai rebung. Ini kebiasaan kita di kampung. Yang menolong memasak mendapat seporsi untuk dibawa pulang. Mak Buyuang bukan hanya menolong, tapi ia sudah dapat dikatakan 'leader' untuk menentukan bumbu dan pola memasaknya.
Tahukan engkau, bagaimana bunyi kunyah Buyuang dan adiknya saat berbuka dengan gulai nangka? Karena bumbu untuk gulai keperluan pesta lebih lengkap, maka rasanyapun tentu enak. Kuahnya kuning kecoklatan. Aroma daun kunyit dan merica. Serta daun salam dan serai. Nasi padi yang dituai baunya harum. Ditanak dengan sedikit lunak, supaya beras tidak cepat habis. Begitulah biasanya mak mengatur makan mereka. Mak sendiri, seperti sudah bahagia saja melihat mereka lahap makan. Tak pernah mak tampak makan bertambuh banyak. Mak itu sederhana saja. Bapak bahkan sudah nambah dua kali. Apalagi Buyuang. Terimakasih Mak. Terimakasih Tuhan.
Sorenya sebelum berbuka mak pulang. Ia menenteng rantang. Buyuang meneybutnya cirarak. Isinya gulai nangka panas. Juga gulai rebung. Ini kebiasaan kita di kampung. Yang menolong memasak mendapat seporsi untuk dibawa pulang. Mak Buyuang bukan hanya menolong, tapi ia sudah dapat dikatakan 'leader' untuk menentukan bumbu dan pola memasaknya.
Tahukan engkau, bagaimana bunyi kunyah Buyuang dan adiknya saat berbuka dengan gulai nangka? Karena bumbu untuk gulai keperluan pesta lebih lengkap, maka rasanyapun tentu enak. Kuahnya kuning kecoklatan. Aroma daun kunyit dan merica. Serta daun salam dan serai. Nasi padi yang dituai baunya harum. Ditanak dengan sedikit lunak, supaya beras tidak cepat habis. Begitulah biasanya mak mengatur makan mereka. Mak sendiri, seperti sudah bahagia saja melihat mereka lahap makan. Tak pernah mak tampak makan bertambuh banyak. Mak itu sederhana saja. Bapak bahkan sudah nambah dua kali. Apalagi Buyuang. Terimakasih Mak. Terimakasih Tuhan.
Buyuang hafal sekali akan
gembira sambutan nenek dan kakeknya. Suasana hangat dan aura silaturrahmi. Ada
sepupunya juga di kaluden. Sepupu lebih tua, tapi sangat mengayomi. Buyuang
sering diajak menggembalakan sapi ke sawah, atau duduk di bawah pohon sambil
nyetel radio Ralin gelombang pemancar angkasa puri RTM Kuala Lumpur. Dendangan
Saloma, Syarifah Aini, Uji Rasheed dan Hail Ameer sangat disenangi Khoiri,
sepupunya.. Dan yang tak dapat dilupakan, nanti jika mereka pulang ke Tiakar, tentulah neneknya akan memberi oleh-oleh duit
jajan. Kebanggaaan membeli es-lilin di sekolah jika dapat uang jajan dari
neneknya itu , sungguh serasa membuat badan jadi membesar.
Kali ini, belum berapa lama
mereka duduk bercerita di rumah nenek, seorang bersepeda motor datang. Seperti
terburu-buru. Buyuang tau, itu pak Soemardi, penilik sekolah yang juga tetangga
mereka. satu-satunya orang yang punya motor di sekitaran pondok Buyuang. Ada
apa pak Soemardi datang ke rumah neneknya?
Buyuang tak perlu mencari
jawababn. Sebab ia segera dipanggil bapaknya dan diajak naik motor berboncengan
sama bapaknya di belakang sadel motor suzuki plat merah pak Soemardi. Maknya
pingsan saat memasak di rumah Ongku Datuakkayo. Sekarang dibawa ke rumah sakit
di Dangung-Dangung. Aduh, Mak, ...
Mereka langsung ke
Dangung-Dangung. Belok ke Puskesmas. Kakaknya dan Akrimah menangis di teras
luar. Beberapa tetangga kelihatan berwajah simpati. Lalu yang dia dengar adalah
ucapan menghibur orang-orang kepada bapaknya, "Soba dih Jun. Awak ken indak
bisa manulak takadie Tuhan do,.."
Kakaknya tersedu dekat tonggak teras. Kain panjang dia balutkan ke lehernya. Buyuang takj tau mau berkata apa. Tak mengerti hendak mengucapkan apa. "Amak awak mati diek,...." dia dengar kakaknya bicara.
Kakaknya tersedu dekat tonggak teras. Kain panjang dia balutkan ke lehernya. Buyuang takj tau mau berkata apa. Tak mengerti hendak mengucapkan apa. "Amak awak mati diek,...." dia dengar kakaknya bicara.
Samar-samar terdengar ada
yang menyebut darah rendah. Ada pula yang menyebut ginjal, dan terakhir dia
dengar blooding. Buyuang tak tau. Buyuang hilang kata-kata. Buyuang mencongkong
tak percaya. Nun, dekat kaki kakaknya, di tonggak teras puskesmas.
Banyak
yang ikut menyolatkan mak Buyuang. Dari lapangan Kubu, orang-orang berpindah ke
kuburan. Seperti biasanya jika orang kecil meninggal, maka prosesinya cukup
sebentar. Setelah itu semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Apalagi
jemput hantar, kunjung kunjungan silaturrahmi Idilfitri. Tawa canda anak-anak,
silang pintang tangan ke botol kue, aroma sirup dan tawa ibu-ibu yang bercerita
di rumah-rumah.
Tak begitu halnya dengan Buyuang. Bapaknya menerima tamu, satu dua orang. Ikut belasungkawa. Kakaknya tiduran di bilik sama si bungsu Akrimah. Dan Buyuang duduk di depan rumah, dekat pohon nangka. Tidak tau, harus berbuat apa. Tidak menegrti kenapa Tuhan mengambil maknya. Juga tak ingin pergi kemana-mana. Tak tertarik dengan kue-kue. Tak hendak makan kacang tujin. Memandang, menembus pagar daun puding, masuk ke kebun, terus melintas ke kelapa dan pohon pering. Apakah jika orang telah mati, tidak bisa bertemu lagi? Tidak bisa menegur lagi kalau berbuat khilaf. tak akan melepas baju kotornya, mengomelinya dan memberinya baju yang bersih. Atau menyiapkan makan berbuka dan ikut senyum jika dia dan adik serta kakkaknya cerita gorah-gorah.
Apa mak sekarang di surga? Apa mak masih bisa melihat dia duduk depan rumah? Maaak, desisnya, sambil melempar pagar dengan kerikil.
Tak begitu halnya dengan Buyuang. Bapaknya menerima tamu, satu dua orang. Ikut belasungkawa. Kakaknya tiduran di bilik sama si bungsu Akrimah. Dan Buyuang duduk di depan rumah, dekat pohon nangka. Tidak tau, harus berbuat apa. Tidak menegrti kenapa Tuhan mengambil maknya. Juga tak ingin pergi kemana-mana. Tak tertarik dengan kue-kue. Tak hendak makan kacang tujin. Memandang, menembus pagar daun puding, masuk ke kebun, terus melintas ke kelapa dan pohon pering. Apakah jika orang telah mati, tidak bisa bertemu lagi? Tidak bisa menegur lagi kalau berbuat khilaf. tak akan melepas baju kotornya, mengomelinya dan memberinya baju yang bersih. Atau menyiapkan makan berbuka dan ikut senyum jika dia dan adik serta kakkaknya cerita gorah-gorah.
Apa mak sekarang di surga? Apa mak masih bisa melihat dia duduk depan rumah? Maaak, desisnya, sambil melempar pagar dengan kerikil.
END
No comments:
Post a Comment