Thursday, January 2, 2020

Rumah Kecil Menghadap Sawah



Rumah kecil menghadap sawah. Sayur timun dan terung di pematangnya.
Hanifa Marisa, 2015.

Saya antar anak ke lebuh simpang. Jajan ringan katanya. Itulah. Saat menepi parkir wajah lama itu lewat. Dibonceng lelaki kurus pake motor. Entah kenapa dia juga memandang. Srak sau! Serasa akan runtuh bumi berpijak. Muka bulat telur dengan aura tatapan jelita. Ampun Tuhan!
"Ciki kan ayah?" anakku mengagetkan. Wajah bermata gemilang menunduk. Motornya makin jauh. Itukah suaminya?
"Ciki sama potato ya ayah" anakku merengek. "Iya iya. Eh jangan. Goreng pisang aja ya ..."
Kubimbing tangan si bungsu ke dalam "pajakkodei". Tapi mata tanpa tertahankan terus saja mengikuti motor nan menjauh. Mengapakah ada harapan ia kembali menoleh? Ah tenggen aku ini!
"Goreng pisang tapi ama ciki ya ayah" permintaan si kecil menyadarkan. Dan motor tadi telah berubah jadi bayang samar jauh. Oh angin bukit batu putih yang menelusuk jiwa....
Tidak. Aku tak dapat menahan mulut. Terloncat jua tanya. " Ken kobanyo jo naken Oji Iyan lah baiyo dulu. Nen manggonceng liou sontako sia tu mak?"
"Naken Oji Iyan. Jo pagawei depag lah kabajadian pulo. Jo guru olahraga sempe limposi lah bitu pulo. Tapi liou ajak urang muno sa. Manggeleng toruh. Tu ken uda inyo nen numur duo nen manggonceng tu. Samo-samo maurus TK-Paud di cirondang." Mak Mian menjelaslkan. Aku terduduk menghela nafas. Hhhhh...
.. 
"Bukain bungkusnya ayah!" Si bungsu merengek. Bungkus citato.
Mak Mian seperti tercenung sesaat. Aku menunggu kalimat yang akan terlompat dari bibirnya. Si kecil bahkan sudah memasukkan beberapa ciki ke mulutnya. Gemertak bunyi jajanan ber MSG itu terdengar lahap. Lalu akhirnya Mak Mian menjawab, "Ken itulah nen Napi. Batulak sa sado nen datang...." Hah?! Aku ingin melanjutkan pertanyaan, tapi.....
Entah kenapa kulingkarkan tangan ke leher si kecil. Sambil memandang ke jalan yang kini telah beraspal. Dulu wakgu SD, Ema itu adik kelasnya. Tapi karena cantik dan berambut panjang sering diganggu temannya. Nakal paja ketek! Dia sendiri tak berani ikut mengganggu. Malu. 
Di meja dan papan tulis nama Ema ditulis iseng. Ema = si fulan. Begitu juga saat pergi dan pulang sekolah. Heboh diletawain. Lalu suatu hari pulang sekolah Ema marah. Ia berteriak.
"Laki den isuak, da Nafi!*
Saya terkejut dg ucapannya itu. Bagi murid SD seumur kami berlaki bini itu tidak utuh gambarnya. Yang tergambar hanyalah kesawah bersama atau goncengan naik sepeda ke pokensotu lalu punya anak.
Namun sejak itu, jika kami bertemu , entah apa sebabnya, kami saling senyum. Ada bahagia kecil. Lalu angin guyonan kawankawan berubah drastis. Kini menjadi Ema = Napi. Malu....
Untunglah Ebta klas 6 segra tiba. Kesibukan ujian dan adik kelas diliburkan. Dilanjutkan pengumuman lulus serta mendaftar Smp. Setahun pertemuan hanya di jalan atau di masojiklamo kala lebaran.
Ketika Ema masuk pula Smp , keramaian kembali muncul. Rombongan bersepeda setiap pagi dan siang melintas di baruh titian sasak. Sawah membentang indah. Usil ema=napi kembali menyeruak. Justru di saat jiwa mulai remaja. Amboi.
"Napi a nen kabaminum? Kopi? Teh tolua?" Suara mak Mian memutus lamunan masa lalu. Aku tagalenjek. Oh iya. "Teh manih sa sagaleh mak. " aku menjawab. Cuaca rada mendung habis hujan semalam. Aspal di jalan basah mengkilat. Krah jaket ku eratkan ke leher. Dan anakku tak putus memindahkan jajan satu persatu ke mulutnya. 
"Sarang balom baru diantaan urang kapotang. Sadang elok bona doruak eh" mak Mian me
mbukak botol kaca.
Sarang balom itu tersusun rapi dalam botol kaca. Warnanya kuning kunyit. Irisan bawang dan seledri terlihat lengket. Pada bahagian tertentu sedikit coklat hangus. Dan saya suka yang rada gosong itu.
Namun tidak kali ini. Sebab fikiran meneraqang jauh ke sawah penurunan kubangtungkek. Padi nan menghijau itu jadi saksi kebodohan saya dulu. Ketika kami pulang sekolah bersepeda beriringan. Ah! Kalau saja Tuk Yasir atau Tuk Muas Murab ataupun Tuk Nius tau, tentulah saya sudah dikategorikan melakukan dosa. Dosa kecil. Saya ingat betul, dari titian sasak sampai kami berpisah di simpang rumah tak ada kata-kata terucap. Hanya wajah yg tertunduk. Dan bunyi pedal sepeda nan berdenyit. Astaghfirullah.
ham anak bungsuku tengadah. Mulutnya penuh sisa makanan. "Ayah" pintanya sambil memandang gelas. Dan aku segera sadar lalu mendekatkan bibir gelas ke mulutnya. Glk glk glk....
Yang paling indah dari masa lalu itu mungkin saat sandiwara di SD Guguk. Ketika kami remaja pemuda Tiakar hondohporoh kesana malam hari. Kami bahkan tak masuk ruangan tapi hanya "maota" panjang lebar di pojok luar. Bahwa nanti Ema ingin jadi guru seperti bu Hindun yg kami senangi di SD. Bahwa kami akan mbangun rumah kecil yang menghadap ke sawah. Ada timun dan terung serta kacangpanjang di pematang. Kalau terkumpul pitih lalu beli onda. O tentu enak sekali raun sama onda ke Tanjungbatauk...
Ketika ada rombongan da Tupik Kades dan kawankawan yang hendak lewat arah kami duduk, saya cepat menarik tangannya ke belakang pohon kembang. Jika ketauan bisa heboh jorong Tiakar! He kenapakah saya tak lagi grogi seperti di penurunan Kubangtungkek?
Dan kami memutuskan untuk berjalan pulang duluan. Dengan senter mengkilat eveready 2 batrai. Menyisir jalan kampung dan keluar di atas jembatan. Melintas sawah menuju caniago baruah. Tak ada rembulan sebab ini awal syawal. Tapi hati terasa terang purnama. Awan tedup di puncak Sago tapi benderang dalam genggaman tangan. Ah tak usah disebutlah!
"Ayah. Ilham pengen pipis." Anakku merengek. Aku bergegas membayar sarang balom dan minum. Lalu menggendong so bungsu ke APV carteran kami. Duh rumah kecil menghadap sawah dg sayur di pematang!
Namun seperti umum terjadi, kisah masa remaja itu berlalu sesuai waktu. Perjalanan hidup kemudian menjadi tak dapat diprediksi. Nasib membawa peruntungan ke kota besar di pulau lain. Sesuatu yang dulu tak pernah terbayangkan sedikitpun. Termasuk di dalamnya pertemuan dengan ummi Ilham.
"Pecah rupanya ban mobil ayahmu di jalan hingga lama kali kau pulang!" Itulah kalimat yg terluncur saat kami sampai di rumah. Apa perempuan memang tajam intuisinya?
Ummi Ilham dan Huda ini masih kerabat pengurus yayasan madrasah tempat aku mengajar. Ia tak seperti tipe wanita kraton yang penuh simbolik. Ia lebih mirip orang batak. Tembak langsung namun tak berkepanjangan. Namun bagi mak saya mungkin rada "mengatupkan bibir". Saya juga takmau menanggapi. Bukankah sebentar lagi kami mau mengajak anak-anak jalan ke Bukittinggi?
Cirarak penuh oleh nasi dan lauk. Goreng ayam ladomudo serta gulai nangka. Wadah tupperware itu juga ada kueh bolu. Di dalam kantong plastik juga ada pisang rebus dimasukkan nenek Huda. Jam 9.30 kami berangkat. Eh dinaiki banyak orang APV ini terasa seret apalagi saat belok keluar halaman. Sepertinya harus tambah angin ban depan kanan. Dekat simpang Taeh lopou Mak Pisol kami berehenti tambah angin. Dan inilah skenario Tuhan Maha Kuasa. Tiba-tiba honda bebek merah dikendrai lelaki kurus dan membonceng wanita bertekuluk pink dengan wajah bulat telur serta mata jelita juga berhenti disitu u nambah angin. Masya Allah!!!

Lelaki kurus itu memang Da Yun. Kakak nomor dua Ema. Dulu saat kami SMP dia sudah SMA. Hmm, kini apa yang harus aku lakukan?
Sepertinya Da Yun sudah membuka tutup pentil motornya. Dan wanita bertekuluk pink itu berdiri di sampingnya. Gurat wajahnya masih seperti dulu walau umur mengesankan perubahan. Entah mengapa tingkat kecerdasan saya menurun tiba-tiba.....Seperti 'salahtingkah'. Haruskah saya berdoa agar mereka tak melihat dan mengenaliku?
Hep- ta! Terjadilah apa yang harus terjadi! Apapun!
Kuambil ujung slang angin tukang tambal ban dan kugeret ke pentil roda belakang motor Da Yun. Si tukang tambal terperangah saja, duitnyapun belum kubayar....."Roda balakang yo Da Yun?" tanyaku sambil mencongkong di sebelahnya. Ujung slang angin langsung kupasangkan ke mulut pentil.
Da Yun ikut membantu memegang ujung slang. Tapi tiba-tiba ia menoleh. Mungkin heran mengapa tukang tambal ban pakai bajubatik dan beraroma parfum shower and shower. 
Sambil mengerinyitkan kening ia bertanya. Suaranya meninggi. " ang ko Napi?"
"Iyo da Yun" . Kupandang wajahnya. Tapi selintas sudut mataku juga mengamati wajah yg lain. Yang berdiri dan ikut kaget memandangku. Saya duluan menyalami da Yun. Seperti dulu , ia menyambut tangamku dg akrab erat. Da Yun ini dulu tidak kurus. Ia pintar main poli dan sepak bola. Kami anak amak kecil mengaguminya. Kepalanya segera menoleh pada adiknya. Yang ditoleh memperbaiki selendang dam seperti hendak menutup wajah. Dan saya segera berdiri mengulurkan tangan. Semeter di depan mobil yang berisi mak dan ummi Huda. Ndehtuan. Tangkapentong!!

Kami bersalaman. Dan dia menunduk. Saya tak mau dihadapkan pada situasi runyam begini. Segera saya bertanya pada da Yun,"Talicik paku uda gak nyeah. Ontah kok lai dek ari dingin sa, bakurang angin ban."
"Ontahlah. Lah di lobuah simpang sa taraso eah cako. Eh bilo pulang? Kobanyo lah bakaluarga pek eten? Bara urang paja?"
"Iyo Da.Lah baduo anak den. Lah tigo ari kami di rumah. Ko ka puei main ka Kiktinggih nyeagak. Tu lai amak bagei dalom oto..." dan entah kenapa mata saya beralih lagi memandang wajah Ema. Ia menunduk. Seperti berusaha menerima keadaan. Seperti menahan tuntutan tentang rumah kecil menghadap sawah, sayur timun dan kacang panjang di pematangnya... ah!

Saya mengaku sajalah. Bahwa ada tentram saat bergenggaman tangan. Walau hanya dua detik. Apalagi da Yun seperti membiarkan kami berdua dan mendekati Mak yg duduk di bangku depan. "Yo sijadieh etek lei. Poi baraun raun etek ieh. Main main jo cucu ha ha ha" katanya menyAlami amak. Dan wajah di depanku menunduk merapatkan bibir. Kalau saja,...ah tidak!

"Bilo uda pulang, Jalenlah ka rumah. Bao uni Ema jo anak-anak tih," lanjutnya. Saya terpana. Apa saya tidak dimarahi? Apa saya tidak patut kena tampar? Atau sekurangnya di acuhkan dengan membuang muka? Mengapa wajahnya berubah jadi seperti ustazah begitu? Tidak tau mau menjawab iya atau tidak, ku alihkan pandangan ke mobil, dimana da Yun bersalaman dengan mak dan anak istriku. Saat memutar kepala itu, terlihat Uda yang punya tambal ban menunggu, oh, duitnya belum kubayar!
Segera kualihkan aktifitas meraih dompet dan mengeluarkan isinya Rp 10.000,- Lalu memberikannya ke tukang tambal ban itu. "Ko Da. Kaduonyo, Ban oto jo onda uda ko!" kataku. Da Yun cepat menanggapi," Ndeh babayie en kami tu? Mokasih banyak ieh. Manyih rasoeh piti rang rantau ko ha ha ha" katanya memecah suasana. Saya, ikut tertawa.
Dan untunglah anak saya berteriak dari bangku tengah,"Ayo dong Ayah.....!" Lalu teriakan anakku itu menjadi sandaran untuk pamit. Ndeh, ...ntahlah!

Saya mengintip dari kaca spion. Melihat saja. Walau kami sudah masuk ke gigi porsneleng tiga. Motor bebek itu mengecil membonceng wanita bertekuluk pink. Wanita yang dulunya ceria, centil, asyik dan segalanya, lalu kini berubah jadi anggun berwibawa. Tenang dan berat. Sementara saya masih seperti dulu; cah piacah!
"Siapanya yang barusan bersalaman dengan kita Uda?" ummi Huda dan Ilham bertanya dari jok tengah. Oh, tak perlu lah diterangkan kronologis sejak dahulukala dengan Ummi. Mending kita nikmati tamasya bersama anak-anak dan mak ke jam gadang dan ngarai sianok.
"Orang kampung kita juga, Tiakar. Uda itu dulu pemain poli yang disenangi." jawabku mengarah ke da Yun. Padang Arei sudah terlewati dan kini masuk ke Tanah Mati dan Simpang Kuranji. Namun rumah kecil menghadap sawah dengan sayuran di pematang masih terkenang. Kucoba menyapu kaca depan untuk membersihkan pandangan. Seperti harapan membersihkan hatiku juga,....

Seperti kemarin, cuaca mendung. Awan berat. Seberat pelupuk mata Ema tadi. Tidak,..dia tegar! Akulah yang dadanya 'saromen kacang diobuh ciek'. Kundang-kundangi.....
Walau mentari tak bersinar, ternyata pelataran jam gadang ramai allohurabbi. Ibu-ibu dan anak-anak. Bapak-bapak yang membawa kamera mengambil momen indah keluarga. Termasuk saya. Setelah parkir mobil agak jauh di penurunan kampung cina, kami berjalan ke atas. Berbaur dengan pengunjung lain. Huda dan Ilham tentu senang. Mereka bahkan asyik rebutan kacang rebus, sementara kueh bolu yang dibawa tadi kalah pamor. Ketika ada wanita paroh baya menjual balon terbang, mereka beli satu masing-masing. Saya jepret sepuas-puasnya, termasuk momen ibunya yang duduk di shelter taman. Eh, bukankah disitu dulu Ema duduk bersamaku? Difoto oleh tukang foto amatir lalu dikipas-kipaskan beberapa detik dan jadi! Dimana foto itu sekarang?
"Tidaaak...huu huu.." kudengar Ilham menangis. Lalu dipeluk oleh neneknya. Teriakannya membuyarkan 'pangana lamo' ku. Aku berlari kesitu. Ternyata seorang badut berpakaian donald bebek coklat besar mendekatinya. Dan Ilham ngeri. Badut ngajak berfoto. Ilham memekik. Badut mengulurkan tangan bersalaman. Ilham makin ketakutan lalu meraung,"Tidaaaak...pergiii!!!" Saya cepat mendekat dan memeluknya. Neneknya tersenyum. Badut itu telah mengganggu wawasan kesenangannya. "Tidak apa-apa. Tak apa-apanya itu nak!" Umminya juga datang menghibur. Ada-ada saja.

"Ayah ingin ngajak kalian makan pisang panggang di pasar lereng" kataku. "Pisang panggang? Asyik tuh!" celetuk Huda. Lalu kami berpindah. Pisang panggang itu ditaburi kelapa muda. Dulu, suatu waktu, rasanya enak sekali. Tak perlulah kutulis, kapannya itu.
Bukan untuk menikam jejak, tapi untuk menutupnya! Ilham terlihat kesulitan menggigit makanan rada panas ini. Baunya harum. Mak dan Ummi Huda juga terlihat enjoy...
Dulu, kami, ah tak usah! Tak jadilah kusebutkan. Mendingan kita cerita tentang perjalanan ke Ngarai saja. yang kini dilengkapi dengan tangga seribu. Dulu belum ada tangga, dan banyak sekali monyet sekitar pohon. Ah, kenapa juga aku bercerita tentang 'dulu'? Yok, Huda dan Ilham berdiri sama Ummi dan Nenek, biar Ayah jepret. ......

Ngarai Sianok tetap cantik. Bahkan lebih jelita. Sayangnya cuaca mulai gerimis. Hingga kami tak jadi turun dan naik tangga seribu. Namun setidaknya anak-anak pada senang. Ntar kalau Huda libur, katanya mau tamasya kesini lagi. "Kalau duitnya cukup nak!" celoteh umminya. Ha ha ha.......
Menjelang sore kami turun ke Payakumbuh. Singgah di biro travel membeli tiket pesawat. Belum berangkat besok sih, tapi semingu lagi. Untuk empat orang bekeluarga, ludes dua setengah juta. Tapi tak apa-apalah. Sekali-sekali, toh bisa menemani neneknya dan makan bersama di rumah masa kecilku.
Ngarai Sianok tetap cantik. Bahkan lebih jelita. Sayangnya cuaca mulai gerimis. Hingga kami tak jadi turun dan naik tangga seribu. Namun setidaknya anak-anak pada senang. Ntar kalau Huda libur, katanya mau tamasya kesini lagi. "Kalau duitnya cukup nak!" celoteh umminya. Ha ha ha.......
Menjelang sore kami turun ke Payakumbuh. Singgah di biro travel membeli tiket pesawat. Belum berangkat besok sih, tapi semingu lagi. Untuk empat orang bekeluarga, ludes dua setengah juta. Tapi tak apa-apalah. Sekali-sekali, toh bisa menemani neneknya dan makan bersama di rumah masa kecilku.



Harau dan Ngalau sudah dijalani. Hari kedua carteran mobil, juga sudah ke Bukittinggi. APV sudah dikembalikan. Dan hari-hari menjelang berbalik ke rantau kami isi dengan memasak makanan kesukaan. Namun Huda dan Ilham masih ingin ke luar rumah, entah kemana aja. Sate di poken Sotu pun sudah kami 'lontuang'. Daging yang ditusuk dengan potongan besar itu terasa enak, apalagi bersama-sama. Bahkan kami sudah ke Simalonggang dan Taeh berputar - putar dengan sepeda motor.
"Mancing ke sungai Ayah!" usul Huda.
"Betul betul!" sambut Ilham.
Mancing di Namang? Ah paling juga dapat ikan apa? Kaporeh? Pantou? Atau mencari langkitang? "Tang namang lah somak Pi. Indak caro nen daulu lei. Kok nak poi mancari alo-alo, ado di sawah sampei ka mudiek ten" kata mak.
Alhasil kami membawa karung beras bekas dan berjalan sepanjang pematang. Memunguti alo-alo (tiram) untuk direbus lalu dipungut isinya dan digoreng dengan sambel. Kami bahkan sampai ke sawah mudiek Kubang Tungkek. Sambil menikmati angin bukit Nyunyuang yang lembut.
"Hoii rang rantau. A nen bacari tu?" tiba - tiba dari arah jalan da Yun lewat dengan motornya. Sendirian. Dari pematang sawah kami menjawab,"Ncari alo-alo Da. Ha ba dek sorang sa.?"
"Lah domom pulo nen kanduang tih. Sonjo sahari wak basobok sumari, lah tumbang. Angek pulo baden"
Saya terkejut. Jadi dia tegar hanya di penampakan luar saja? Lalu di dalam dia memendam perih?
"E, copek siet ndak eh ieh. Bara nomor hape liou Da?" kataku terlompat saja.
"Copek cegak dih. Napi" Saya mengirim pesan singkat, saat Huda dan Ilham sibuk di dapur sama umminya merebus alo-alo. Sekarung besar al-alo kami pikul pulang siang itu. Hati berdebar menungu jawaban. Dan setelah beberapa menit, betul, masuk pesan balasan;
"Tarimokasih doa uda. Domom dek ari paujen sa Da, mudah-mudahan bisuak lah cegak. Bilo kabaliek keen? Mudah-mudahan selamat di jalan. Salam" Entah bagaimana, saya iseng mengirim pesan singkat lagi. Taulah kan, saya ini tang kapentong, cah piacah,.....
"Mungkin lah parolu bakawen iduk gaknyo. smile emotikon "
Dan tak lama, datang pula balasan:
"Ema masih manjago kato kotu wak SD dulu Da, laki Ema da Napi. Kini sayang Ema ka Tuhan Nen Kuaso sorang sa lei. Kalau Tuhan mantakdirkan, Ema tarimo, walaupun saromen kaluarga Nobi saw"
Merinding. Terperangah! Keluarga rasul saw memang ada beberapa istri kan? Saya pencet tombol off ponsel dan langsung masuk kamar. Berjalan dari sudut ke sudut. Dari dapur terdengar canda mak dengan cucunya. Handeh!

Pesawat Lionair akhirnya take-off. Kami duduk di bagian tengah seat nomor 20-an. Belum ada kecelakaan Airasia waktu itu. Jadi kami tenang-tenang saja. Huda dan Ilham menengok-nengok ke luar jendela. Sawah dan hutan yang terhampar.
Saya berpagut tangan dengan kacamata hitam. Mencoba berjalan dengan tenang, walau rasa ada yang tidak cukup. Ganjil! Ah,...
"Ayah kau tak bicara-bicara dari tadi Ham. Mungkin hatinya tertinggal di Tiakar." Ummi Huda dan Ilham nyeletuk. Aka tergelenjek. Hah?
Langsung kucubit lengannya. Ummi senyum. Puas dia menganggu lamunanku.
(Rumah kecil menghadap sawah; sayur timun di pematangnya. TAMAT)


No comments:

Post a Comment