Suatu Hari di Homestay Hijau
oleh : Hanifa Marisa
Lelaki paruhbaya dengan rambut memutih. Muncul di pintu kaca lebar diterpa sinar mentari. Wajahnya lelah.
Aku segra berdiri di meja resepsionis. Memasang senyum teramah yang diajarkan manejer operasional. Di homestay / losmen kampung wisata pinggir sawah ini.
"Selamat pagiii...bisa kami bantu, perlu menginap uda?" sapaku, selembut mungkin. Dengan gestur hangat terbuka. Ia menoleh sejenak dan menunduk. Merogoh dompet lalu mengeluarkan kartu identitas.
"Numpang menginap sehari, eh dua hari!" ucapnya.
"Ok uda." jawabku, bukan memanggilnya bapak, supaya terkesan ia masih muda. Begitu diajarkan perusahaan jasa kami, masuk akal kan?
"Kamar singel ada dapurnya serta kamar mandi. Dilengkapi wifi dan pendingin udara. Jendelanya membentang ke sawah di pinggir sungai dan tebing batu, indah sekali, uda" kataku, membakar semangatnya. Tapi tak kulihat ekspresi dingin mukanya berubah.
"Berapa semalamnya?" ia bertanya, menunduk membuka dompet.
"Lagi promo akhir tahun uda. Tiga ratus ribu, sarapan pagi kami antar ke kamar...."
Ia tak bergeming. Mengeluarkan uang merah enam lembar dan memberikan padaku.
"Sendirian ya uda?" tanyaku sambil menulis kuitansi. Ia mendongak. Menatap mataku. Kosong. Lalu mengangguk.... Ah.
Kuberikan kuitansi dengan senyuman pelayanan terbaik. Walau ia tak berubah seperti onggokan batu gunung. Dengan cekatan kuambil kunci pavilyun samping, handuk, paket gundargigi dan odol kecil, lalu mengantarnya ke kamar. Langkah pantofelku berdetak di keramik mengkilat, tapi dia, "uda" itu berpindah seperti gerobak di pematang sempit. Beginilah. Bermacam profil konsumen datang dan pergi....
"Selamat menikmati istirahat ya uda. " sapaku lalu beranjak. Mungkin perlu energi ekstra merubah bapak, eh, uda itu. Aku menutup daun pintu, dan sejenak kulihat ia mendongak melihat tanda panah arah kiblat di plafon. Entahlah.…
Aku segra berdiri di meja resepsionis. Memasang senyum teramah yang diajarkan manejer operasional. Di homestay / losmen kampung wisata pinggir sawah ini.
"Selamat pagiii...bisa kami bantu, perlu menginap uda?" sapaku, selembut mungkin. Dengan gestur hangat terbuka. Ia menoleh sejenak dan menunduk. Merogoh dompet lalu mengeluarkan kartu identitas.
"Numpang menginap sehari, eh dua hari!" ucapnya.
"Ok uda." jawabku, bukan memanggilnya bapak, supaya terkesan ia masih muda. Begitu diajarkan perusahaan jasa kami, masuk akal kan?
"Kamar singel ada dapurnya serta kamar mandi. Dilengkapi wifi dan pendingin udara. Jendelanya membentang ke sawah di pinggir sungai dan tebing batu, indah sekali, uda" kataku, membakar semangatnya. Tapi tak kulihat ekspresi dingin mukanya berubah.
"Berapa semalamnya?" ia bertanya, menunduk membuka dompet.
"Lagi promo akhir tahun uda. Tiga ratus ribu, sarapan pagi kami antar ke kamar...."
Ia tak bergeming. Mengeluarkan uang merah enam lembar dan memberikan padaku.
"Sendirian ya uda?" tanyaku sambil menulis kuitansi. Ia mendongak. Menatap mataku. Kosong. Lalu mengangguk.... Ah.
Kuberikan kuitansi dengan senyuman pelayanan terbaik. Walau ia tak berubah seperti onggokan batu gunung. Dengan cekatan kuambil kunci pavilyun samping, handuk, paket gundargigi dan odol kecil, lalu mengantarnya ke kamar. Langkah pantofelku berdetak di keramik mengkilat, tapi dia, "uda" itu berpindah seperti gerobak di pematang sempit. Beginilah. Bermacam profil konsumen datang dan pergi....
"Selamat menikmati istirahat ya uda. " sapaku lalu beranjak. Mungkin perlu energi ekstra merubah bapak, eh, uda itu. Aku menutup daun pintu, dan sejenak kulihat ia mendongak melihat tanda panah arah kiblat di plafon. Entahlah.…
Hampir jam 5 sore. Matahari sudah condong di barat. Bayang besar gedung homestay tempat aku bekerja, menutup halaman. Menyungkup memeluk kembang pucukmerah di taman. Juga pohon mangga dan kelengkeng yang subur. Sebentar lagi, Hendra tentu datang, menggantikanku, untuk shift malam. Ruang tamu dan meja resepsionis aku rapikan. Ini SOP pesan manejer operasional. Jangan malas kalau tak ingin diganti! Ya kan?
Treng-treng-treng.....yamaha RX lama terdengar masuk di gerbang. Pasti Hendra. Tuh, betul! Pake helm butut seperti karyawan PU, celana jean dan baju seragam homestay seperti yang kupakai ini.
Seperti biasa aku bersiap p ulang. Setelah memperlihatkan buku catatan tamu padanya. Tak ada rekomendasi apapun. Kamar bawah dan lantai dua hampir penuh. Beberapa tamu menelpon akan masuk setelah maghrib. Pavilyun juga terisi.
Pavilyun! Ya. Bapak, eh, uda itu. Tak kulihat dia keluar kamar sejak mulai masuk tadi. Tidurkah dia sepanjang pagi sampai sore? Tidak makankah dia? Atau puasa? Bukankah di pojok simpang kanan ini, ada jualan nasi bahkan sate gerobak? Ah, untuk apa terlalu menelisik. Tugasku hanyalah menjaga agar para tamu nyaman , itu saja! Bpak itu, mau makan, mau puasa, mau tidur atau mau semedi seharian, bukan urusanku!
Aku akan pulang, kretika kulihat bapak itu berdiri di pintu kamarnya yang dibuka. Ho sudah bangun dia? Pakai kemeja putih dan rambut tersisir rapi, ia tersenyum. Kaku. Aku membalas ramah.
"Nyaman istirahat uda?" sapaku.
"Alhamdulillah. Warung nasi ada kan dekat sini?" tanyanya.
"Ya uda. Belok kanan. Seratusan meter. Saya bisa bantu belikan jika uda ingin santai di teras." jawabku menawarkan bantuan.
"Ah terimakasih. Saya saja, sekalian jalan sore" katanya. Lalu menutup pintu dan melangkah. Dingin. Panjang-panjang. Memandang ke sawah hijau dan tebing batu terjal. Uuuh..…
Treng-treng-treng.....yamaha RX lama terdengar masuk di gerbang. Pasti Hendra. Tuh, betul! Pake helm butut seperti karyawan PU, celana jean dan baju seragam homestay seperti yang kupakai ini.
Seperti biasa aku bersiap p ulang. Setelah memperlihatkan buku catatan tamu padanya. Tak ada rekomendasi apapun. Kamar bawah dan lantai dua hampir penuh. Beberapa tamu menelpon akan masuk setelah maghrib. Pavilyun juga terisi.
Pavilyun! Ya. Bapak, eh, uda itu. Tak kulihat dia keluar kamar sejak mulai masuk tadi. Tidurkah dia sepanjang pagi sampai sore? Tidak makankah dia? Atau puasa? Bukankah di pojok simpang kanan ini, ada jualan nasi bahkan sate gerobak? Ah, untuk apa terlalu menelisik. Tugasku hanyalah menjaga agar para tamu nyaman , itu saja! Bpak itu, mau makan, mau puasa, mau tidur atau mau semedi seharian, bukan urusanku!
Aku akan pulang, kretika kulihat bapak itu berdiri di pintu kamarnya yang dibuka. Ho sudah bangun dia? Pakai kemeja putih dan rambut tersisir rapi, ia tersenyum. Kaku. Aku membalas ramah.
"Nyaman istirahat uda?" sapaku.
"Alhamdulillah. Warung nasi ada kan dekat sini?" tanyanya.
"Ya uda. Belok kanan. Seratusan meter. Saya bisa bantu belikan jika uda ingin santai di teras." jawabku menawarkan bantuan.
"Ah terimakasih. Saya saja, sekalian jalan sore" katanya. Lalu menutup pintu dan melangkah. Dingin. Panjang-panjang. Memandang ke sawah hijau dan tebing batu terjal. Uuuh..…
Upik Depen adalah wanita empatpuluhan tahun. Ia dan suaminya berjualan makanan dan warung kopi. Memang profesi inilah yang cocok untuk Upik Depen. Hobinya sebagai penyalur berita terpuaskan. Apapun kabar dalam negri ini akan disampaikan melalui corong mulutnya. Mungkin itulah sebabnya ia dipanggil orang Upik Depen. Depen itu sebuah kementrian zaman Upik kecil, yang mentrinya menjadi sumber segala berita. Asal muasalnya Deppen, departemen penerangan. Namun di nama Upik, menjadi simpel, Upik Depen. Itulah!
Tak banyak juga orang seperti Upik. Mau bekerja apa saja. Membantu di sawah dan di ladang. Menolong di pasar dan pesta. Bahkan ikut mengguncang arisan dan menimbang balita di posyandu masjid. Masa gadisnya, kabarnya Upik merantau ke Batam. Beberapa tahun lalu pulang dan bersuami dengan pemuda kampung. Kutengok, mereka yang pernah merantau, tak gengsi untuk bekerja. Beda dengan remaja tamatan SMA yang gayanya parlente. Padahal beli satu sachet minyak rambut gatsby saja mereka merengek ke orangtua. Itulah!
Jam lima pagi Upik sudah di homestay. Ia memasak nasigoreng. Menyiapkan teh manis panas. Membagi nasi ke piring ukuran sedang lalu menyusunnya di meja belakang. Upik Depen dapat penghasilan tambahan tentunya. Dan tugasku jam enam sampai jam tujuh untuk mengantarkan piring-piring itu ke setiap tamu di kamarnya. Seperti halnya pagi inipun. Itulah!
Tak banyak juga orang seperti Upik. Mau bekerja apa saja. Membantu di sawah dan di ladang. Menolong di pasar dan pesta. Bahkan ikut mengguncang arisan dan menimbang balita di posyandu masjid. Masa gadisnya, kabarnya Upik merantau ke Batam. Beberapa tahun lalu pulang dan bersuami dengan pemuda kampung. Kutengok, mereka yang pernah merantau, tak gengsi untuk bekerja. Beda dengan remaja tamatan SMA yang gayanya parlente. Padahal beli satu sachet minyak rambut gatsby saja mereka merengek ke orangtua. Itulah!
Jam lima pagi Upik sudah di homestay. Ia memasak nasigoreng. Menyiapkan teh manis panas. Membagi nasi ke piring ukuran sedang lalu menyusunnya di meja belakang. Upik Depen dapat penghasilan tambahan tentunya. Dan tugasku jam enam sampai jam tujuh untuk mengantarkan piring-piring itu ke setiap tamu di kamarnya. Seperti halnya pagi inipun. Itulah!
Bunyi sendok gorengan Ni Upik di wajan panas lalu berpindah ke bibir piring kaca, khas. Kret kret, teng teng! Aku sudah hafal itu. Masuk ke ruang dapur , aku menyapa,"Assalamualaikum uni rancak. Sudah siap antar?"
"Ok boss!" jawabnya. He he, aku dia panggil bos, seenak perut dia saja. Tapi memang begitulah Upik Depen. Beberapa piring nasigoreng dan telur ceplok, dilengkapi gelas teh manis, kini ada di nampan besar untuk diantar ke kamar. Biasanya kamar bawah dulu. Lalu lanjut ke kamar atas.
"Kerupuk!" ni Upik mengingatkan. O iya!
"Ok boss!" jawabnya. He he, aku dia panggil bos, seenak perut dia saja. Tapi memang begitulah Upik Depen. Beberapa piring nasigoreng dan telur ceplok, dilengkapi gelas teh manis, kini ada di nampan besar untuk diantar ke kamar. Biasanya kamar bawah dulu. Lalu lanjut ke kamar atas.
"Kerupuk!" ni Upik mengingatkan. O iya!
Aku sudah beranjak tapi Upik Depen menambah pembicaraan. "Langganan warung uni kini ada shiftnya juga Nafi!" ujarnya. "Pagi setelah subuh, biasanya bapak-bapak pulang masjid. Ceritanya tentang anak muda ganteng yang akan membangkitkan ekonomi kita" sambungnya. Aku jadi tertahan langkah. Mau ngantar nasigoreng, entar dianggap tak menghiraukan celoteh Upik. "Nanti, sepulang uni dari sini, bapak-bapak dan uda-uda peminum kopi yang bangunnya agak siang dan pujaannya beda dengan yang shift subuh" lengkapnya. "Oh!" hanya itu reaksiku, lalu mulai mengantar sarapan. Kamar terdekat, lalu agak jauh dan berikutnya lantai atas. Dari dapur masih kudengar Upik Depen menyambung,"dah tinggi pengajian di warung daripada di sekolah universitas!" Itulah, biarkan sajalah dia berekspresi di dapur!
Terakhir ke pavilyun samping. Dah bangun kayaknya bapak, eh, uda itu. Kain gordin kamar sudah ke pinggir. Aku akan mengetuk pintu ketika dari kaca jendela terlihat ia sedang bicara , berdiri, memegang telepon.
"....untuk apa.....kan saya ini tak berguna.....rumah kendaraan dan perabot situ yang punya.......udahlah.....iya aku mengalah deh, bayarlah sekolah anak, belilah beras sendiri..... Apa? Sejak kapan? Berapa derajat? Lalu nginap? Ya ...ya...ya deh". Lalu kulihat telepon dimatikan, dan dia mengucek-ucek layar dengan jari kanan.
" Assalamualaikum...." aku permisi. Bapak itu membuka pintu. Memasang wajah ramah, walau dahinya berkerut.
"Semoga semalam tidur indah dan lega. Kita antar nasigoreng sama minum teh. " ucapku lemah lembut dan menata piring di meja kecil.
"O ya. Terimakasih" itu saja ucap yang keluar dari mulutnya. Lalu kulihat dia terus memencet layar gadjetnya. Sekilas terlihat tampilan seperti situs tiket onlaen.
"Jika mau jalan-jalan kita ada rentalan mobil , Uda. Harganya sesuai pasaran, tigaratus ribu sehari. Tambah tip untuk supir seikhlasnya. Siapatau mau lihat peternakan sapi, atau air terjun, atau rumahgadang berukir" saya menawarkan. Dia menoleh. Agak lama. Tapi tak bicara. Lalu menunduk lagi ke layar teleponnya.
"Semoga sesuai selera. Nasigoreng ini kesukaan paratamu biasanya,..." kataku lalu pamit.
Baru selangkah di luar, ia memanggil.
"Saya cek aut pagi ini. Tidak jadi dua hari" katanya. Lho?
"Oh. Tapi uda sudah bayar dua hari. Apa ada yg perlu dibantu?" jawabku.
"Tidak. Biarlah. Duit itu ambil untukmu, atau bagidua sama celengan masjid!" katanya. Sinar matanya pedih. Ada apakah ?
"Anak saya yang bungsu demam panas, mungkin diopname. Saya balik. Paling singgah dulu ke kampung satu-jam-an, langsung pulang. Ini tiket sudah Ok dipesan!" terangnya. Aku melongo. Bagi bujangan sepertiku, hidup ini masih banyak misteri. Terkadang diluar indah di dalam parah. Atau di luar kasar dapi di dalam manis. Entahlah!
Dan aku pamit setelah berterimakasih pada "uda" itu. Dia memasukkan bajunya ke tas dengan kepala tertunduk. Huuuh....
Terakhir ke pavilyun samping. Dah bangun kayaknya bapak, eh, uda itu. Kain gordin kamar sudah ke pinggir. Aku akan mengetuk pintu ketika dari kaca jendela terlihat ia sedang bicara , berdiri, memegang telepon.
"....untuk apa.....kan saya ini tak berguna.....rumah kendaraan dan perabot situ yang punya.......udahlah.....iya aku mengalah deh, bayarlah sekolah anak, belilah beras sendiri..... Apa? Sejak kapan? Berapa derajat? Lalu nginap? Ya ...ya...ya deh". Lalu kulihat telepon dimatikan, dan dia mengucek-ucek layar dengan jari kanan.
" Assalamualaikum...." aku permisi. Bapak itu membuka pintu. Memasang wajah ramah, walau dahinya berkerut.
"Semoga semalam tidur indah dan lega. Kita antar nasigoreng sama minum teh. " ucapku lemah lembut dan menata piring di meja kecil.
"O ya. Terimakasih" itu saja ucap yang keluar dari mulutnya. Lalu kulihat dia terus memencet layar gadjetnya. Sekilas terlihat tampilan seperti situs tiket onlaen.
"Jika mau jalan-jalan kita ada rentalan mobil , Uda. Harganya sesuai pasaran, tigaratus ribu sehari. Tambah tip untuk supir seikhlasnya. Siapatau mau lihat peternakan sapi, atau air terjun, atau rumahgadang berukir" saya menawarkan. Dia menoleh. Agak lama. Tapi tak bicara. Lalu menunduk lagi ke layar teleponnya.
"Semoga sesuai selera. Nasigoreng ini kesukaan paratamu biasanya,..." kataku lalu pamit.
Baru selangkah di luar, ia memanggil.
"Saya cek aut pagi ini. Tidak jadi dua hari" katanya. Lho?
"Oh. Tapi uda sudah bayar dua hari. Apa ada yg perlu dibantu?" jawabku.
"Tidak. Biarlah. Duit itu ambil untukmu, atau bagidua sama celengan masjid!" katanya. Sinar matanya pedih. Ada apakah ?
"Anak saya yang bungsu demam panas, mungkin diopname. Saya balik. Paling singgah dulu ke kampung satu-jam-an, langsung pulang. Ini tiket sudah Ok dipesan!" terangnya. Aku melongo. Bagi bujangan sepertiku, hidup ini masih banyak misteri. Terkadang diluar indah di dalam parah. Atau di luar kasar dapi di dalam manis. Entahlah!
Dan aku pamit setelah berterimakasih pada "uda" itu. Dia memasukkan bajunya ke tas dengan kepala tertunduk. Huuuh....
No comments:
Post a Comment