Memory bu Yulidar, SMP Dangung-Dangung.
BUAT NANDA
Dulu..., ke mana
di mana dikau nanda
tiada kabar berita...?
Entah siapa mejawab tanya
tak sengaja terbaca
terpampang sebuah nostalgia.
Nalar mencerna nama tak serupa
membetang kenang mulai samar
rupanya benar dikau sayang,
bahagia mengharu biru
biar aksara tampa suara
kita jumpa walau di maya.
Puluhan tahun sudah berlalu
bersama ibu menjemput piala itu
selanjutnya tiada jeda waktu
merindu nak jumpa demgamu
sayang, yang Kuasa belum memberi
waktu sa'at hari inilah baru...
Alhamdulillah Wa Syukurillah
semoga berlanjut Insya Allah.
300318
Dulu..., ke mana
di mana dikau nanda
tiada kabar berita...?
Entah siapa mejawab tanya
tak sengaja terbaca
terpampang sebuah nostalgia.
Nalar mencerna nama tak serupa
membetang kenang mulai samar
rupanya benar dikau sayang,
bahagia mengharu biru
biar aksara tampa suara
kita jumpa walau di maya.
Puluhan tahun sudah berlalu
bersama ibu menjemput piala itu
selanjutnya tiada jeda waktu
merindu nak jumpa demgamu
sayang, yang Kuasa belum memberi
waktu sa'at hari inilah baru...
Alhamdulillah Wa Syukurillah
semoga berlanjut Insya Allah.
300318
Surat undangan ke Padang
itu, kalau tak salah datang hari Selasa. Dan ibu bersama pak Hasan Basri Mairin
memanggil ke kantor. Mengabarkan bahwa kita akan ke Padang hari Jumat
"Sampaikan pada ibu dan bapak di rumah ya, ...."
Saya mengangguk. Gembira. Bahagia. Kota Padang! Bukankah itu tempat dulu bapakku bekerja? Kota propinsi yang jauh dan ada lautnya. Amboii. Pulang sekolah saya mendayung sepeda lebih cepat dari biasa. Ingin segera bertemu ibu bapak.
Saya mengangguk. Gembira. Bahagia. Kota Padang! Bukankah itu tempat dulu bapakku bekerja? Kota propinsi yang jauh dan ada lautnya. Amboii. Pulang sekolah saya mendayung sepeda lebih cepat dari biasa. Ingin segera bertemu ibu bapak.
Tahap pertama sebulan
lalu, kita mengirim lukisan sayembara ke Padang. Sekolah menengah seni rupa,
yang dulunya SSRI. Lukisan hitam putih tinta cina. Pemandangan sawah bukit dan
jalan raya. Sederhana saja. Tapi dibalut dengan permainan cahaya. Muncullah
keindahan darinya. Namun juri tak percaya begitu saja. Mereka ingin bukti bahwa
kita memang memainkan kuas dengan menari-nari. Ok, Sabtu nanti. Mendebarkan
memang. Apalagi wajah almarhum ibu dan bapak di rumah betubah sumringah.
"Jadi ka ka Padang ang ari Jumat?" tanya bapak. Saya memandang wajah
ibu. Lalu beralih ke bapak. "Iyo. Ibu Yulidar, guru nggambar nan ka maanta.
***
Pagi Jumat saya diantar
bapak dibonceng motor suzuki, lalu bertemu ibu Yulidar dan bapak kepala
sekolah. Setelah menitipkan saya, almarhum bapak melanjutkan ke kantor, nun di
Payakumbuh. Lalu kami pamit dengan guru-guru sambil pesan agar hati hati serta
berusaha untuk menang. Entah kenapa, saya rada yakin, sebab ibu adalah alumni
sekolah ybs, dan telah terbiasa di Padang. Lupa, bus apakah yang kita tumpangi
pagi itu. Bahagia? Sinamar? Rasanya bus mercedes 813 yang berwarna merah biru.
Sebiru hati yang mengkhayal tentang laut....
***
Dangung-Dangung ke Padang
itu jauh. Berangkat jam delapan bisa sampai jam duabelas lebih. Tapi duduk
dekat jendela kiri, didampingi ibu serasa nyaman tentram. Tak banyak kata-kata.
Sebab apalah yang akan saya ceritakan pada ibu? Saat itu, sungguh,
saya tak mengerti tentang beban ibu membimbing saya. Dan setelah menikmati
sawah membentang di Ujung Guguk, kota Bukittinggi, Padang Panjang, airterjun,
Sicimcin, Tabing, kita sampai di loket Andalas. Tentu saja saya mengekor saja,
sebab tak tau menginap dimana. Kata ibu, di rumah kawan. Lupa, entah di
Palinggam entah di Gantiang. Yang teringat adalah kita disambut hangat,
disediakan makan dan kamar tidur yang bersih lapang. Ini jauh berbeda dengan
kasur usang tipis di rumah saya yang warnanya kusam dan aromanya khas srjak SD.
***
Pagi Sabtu akhirnya datang. Ibu
membangunkan saya untuk shalat subuh. Mujurnya, kamar kita memiliki kamar
mandi, hingga tak harus keluar kamar buat wuduk. Rasanya, itulah pertama kali
dalam hidup saya, tinggal di kamar yang ada tempat mandinya sekaligus. Di
kampung, di Kotokociek, kamar mandi ada jauh dari bilik tidur, bahkan saya
sama Gulmihan M Yan dan Benny Fitria Noor, berjalan sepuluh menit untuk sampai
ke pincuran masjid buat mandi pagi sebelum sekolah.
Sarapan di meja makan, lalu kita pamit. Terbayang tawa canda ibu dengan pemilik rumah. Dan kemudian ibu menyetop oplet angkutan kota, jurusan arsh kampus SMSR di sekitar Muaro. Seperti kemarin di bus, di oplet kita hanya diam. Menikmati hembusan angin pagi dari jendela. Menenteng tas berisi kuas dan tinta cina hitam. Lalu akhirnya kita sampai. Ibu membayar ongkos oplet dan membimbing tangan saya arah lokasi. Sebuah sekolah yang seingat saya bangunannya sudah tua. Dipenuhi oleh karya karya seni. Tak hanya lukisan tapi juga patung-patung. Tapi saya tak peduli patung itu. Hati saya berdebar. Seperti apakah pertandingan atraksi melukis ini? Di pelototi juri yang tentu ahli. Bolehjadi bagai Basuki atau Wakidi. Dan bersaing dengan siswa dari seluruh kabupaten dalam propinsi. Detak sepatu ibu ditingkah bunyi telapak sepatu saya memecah anak tangga ke atas. Lalu kita sampai di ruang yang dimaksud. Ibu bicara dengan panitia. Saya menunggu. Lalu disuruh masuk. Menanti....
***
Panitia membagikan kertas.
Mengumumkan aturan main. Boleh memakai cat air boleh juga tinta cina. Peserta
lain mulai menekuni kertasnya. Saya memandang ke pintu. Dan ibu tak boleh lagi
mendampingi. Raut wajah ibu terbayang sabar menunggu. Saya mulai menggoreskan
pensil B3 untuk sketsa awal. Ibu tetaplah menunggu di luar pintu. Jangan pergi
jauh-jauh....
Wadah air bening, botol tinta cina, kuas kecil dan piringan pelarut tinta menemani saya melukis. Menumpahkan inspirasi. Tentang sawah, sungai, jalanan dan bukit dijaga gunung. Dari sapuan tipis hingga menguat bsyangan hitam. Celah-celah daun rerumputan. Juri berkeliling berjalan pelan. Saya tak berani memandang. Terkadang ia berhenti di sisi bangku. Saya ciut. Menjadi kecil seperti miniatur . Tapi saya tau, ibu menemani dengan hati, nun di luar ruangan.
Wadah air bening, botol tinta cina, kuas kecil dan piringan pelarut tinta menemani saya melukis. Menumpahkan inspirasi. Tentang sawah, sungai, jalanan dan bukit dijaga gunung. Dari sapuan tipis hingga menguat bsyangan hitam. Celah-celah daun rerumputan. Juri berkeliling berjalan pelan. Saya tak berani memandang. Terkadang ia berhenti di sisi bangku. Saya ciut. Menjadi kecil seperti miniatur . Tapi saya tau, ibu menemani dengan hati, nun di luar ruangan.
***
Pertandingan itu
dimulai jam 9 pagi. Kita diberi waktu satu jam. Sampai jam sepuluh tentunya.
Namun itu sudah cukup untuk para juri membuat penilaian. Terutama berkaitan
dengan teknik menggambar. Peserta lain saya lirik juga menyelesaikan karyanya.
Dari jauh, lukisan mereka bagus. Namun gambar perkampungan pinggir bukit
sekitar sawah yang saya buat semoga tak jauh kalah. Bukankah keputusan akhir
ada di tangan Tuhan via juri? Wakil dari kabupaten Pasaman dan kodya Padang,
seingat saya begitu indah. Ah biarlah. Lihat saja nanti. Malam pengumuman
sekaligus acara dies SMSR. Jika takdir takkan kemana, iya kan?
Ekspresi wajah ibu, setelah kita keluar menentramkan hati. Tak ada capek. Tiada lelah. Teduh. Setelah ibu memastikam jam jadwal acara malam nanti, kita lalu beranjak pulang. Saat ibu bertanya,"baa kiro-kiro hasilnyo Nifa..." saya tak mampu menjawab. Hanya senyum menghindar. Dan kita kembali ada dalam oplet menuju penginapan. Dihembus angin dari jendela. Angin pantai Padang yang sudah terbayang sejak dari Dangung Dangung....
Ekspresi wajah ibu, setelah kita keluar menentramkan hati. Tak ada capek. Tiada lelah. Teduh. Setelah ibu memastikam jam jadwal acara malam nanti, kita lalu beranjak pulang. Saat ibu bertanya,"baa kiro-kiro hasilnyo Nifa..." saya tak mampu menjawab. Hanya senyum menghindar. Dan kita kembali ada dalam oplet menuju penginapan. Dihembus angin dari jendela. Angin pantai Padang yang sudah terbayang sejak dari Dangung Dangung....
***
Selesai maghrib, pemilik rumah menyruh kita
makan. Hidangan yg di atas levelnya dibanding makan di kampung. Ada sayur dan
dendeng. "Makan dulu Dar, beko indak ado acara makan di sinan!" teman
ibu mengingatkan. Kembali kita duduk di meja makan. Ibu, sebenarnya hati saya
tak seratus persen menyuap hidangan. Hasil pertandingan yang akan diumumkan
sebentar lagi di acara itu menyelimuti dada saya. Entahlah, apakah ibu juga
demikian. Saya tak berani mengamati ekspresi wajah ibu dari dekat.
Bahkan setelah kita duduk di ruang aula acarapun, saya tak memandang wajah ibu. Yang teringat waktu itu kita duduk beberapa baris dari depan. Menanti pengumuman . Melewati pidato-pidato pembukaan. Juga disuguhi nyanyian merdu group band SMSR yang cukup mumpuni. Seorang siswa tingkat akhir didapuk menyanyi oleh temannya. Entah kebetulan, lagunya persis sama dengan senandung kaset di bus kita dari Dangung Dangung kemarin, Berita Kepada Kawan. Walau alat bandnya tak selengkap Billy J Budiardjo, tapi lengking suaranya mirip Ebiet G Ade. "Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan....sayang kau tak duduk di sampingku, kawan..
Bahkan setelah kita duduk di ruang aula acarapun, saya tak memandang wajah ibu. Yang teringat waktu itu kita duduk beberapa baris dari depan. Menanti pengumuman . Melewati pidato-pidato pembukaan. Juga disuguhi nyanyian merdu group band SMSR yang cukup mumpuni. Seorang siswa tingkat akhir didapuk menyanyi oleh temannya. Entah kebetulan, lagunya persis sama dengan senandung kaset di bus kita dari Dangung Dangung kemarin, Berita Kepada Kawan. Walau alat bandnya tak selengkap Billy J Budiardjo, tapi lengking suaranya mirip Ebiet G Ade. "Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan....sayang kau tak duduk di sampingku, kawan..
***
"Atau alam mulai enggan. Bersahabat dengan
kita. Coba kita bertanya. Pada rumput yang bergoyang...." persembahan itu
berakhir. Diikuti lagi dengan sambutan dan tarian. Sampailah akhirnya
pengumuman pemenang-pemenang berbagai lomba. Terakhir lomba lukis itu.
Saya menahan nafas. Ibu diam. Protokol mengumumkan juara tiga terlebih dulu,
Nama saya tak disebut. Juara tiga tampil ke depan ditemani gurunya. Lalu juara
dua disebutkan . Nama saya amblas, luput. Juara dua naik ke pentas bersama
gurunya. Terakhir, dan ini satu-satunya harapan, jika tidak maka akan pulang
dengan malu dan hampa. Pembawa acara menyebut; Hanifa Marisa, SMP negri
Dangung-Dangung!" Saya tersenyum. Walau saya tak melihat ke wajah ibu,
saya berharap ibu juga bahagia... Kita berdiri melangkah ke panggung. Tepuk
tangan penonton bergema panjang. Badan saya tiba tiba serasa ringan... Kepala
SMSR menyerahkan piala itu. Lalu ada yang memotret. Dan ucapan apa yang pantas
keluar dari bibir, kecuali syukur padaMu wahai Tuhan....?
***
Kita
sampai di penginapan hampir tengah malam. Dengan hati lega. Memegang piala
keemasan dan piagam penghargaan. Piagam penghargaan ini bersama piagan lomba
menulis penghijauan dirjen kehutanan serta piagam lainnya, suatu saat kelak
ikut membantu saya diterima studi pascasarna dengan beasisws dan tambahan
biaya hidup bulanan di ITB tshun 1988-1990.
Malam itu tidak langsung tidur, tapi bercerita panjang dengan pemilik rumsh. Saya duluan masuk ke kamar tapi mata sayapun lama untuk tdrpejam. Tidur sebentar, besoknya Minggu fajar saya dudah terbangun mendahlui ibu. Hasrat saya untuk bermain ke pantai sebelum pulang menggebubu. Itulah sbabnya selesai sarspan, sya mohon izin unyuk main keluad rumah. "Jan lamo-lAmo Nifa. Sudah zuhur awak kabarangmek pulang" pesan ibu. Dan saya seperti panah teflpas dari busurnya. Naik oplet setop di Muaro. Hoiii.... Inilah pazar tradisional tempat saya dan bspak serta kakak saya Fuad Madarisabermain dan membeli ikan ambu-ambu waktu masih bocah. Ambu ambu itu kini namanya mungkin tongkol. Atau tuna?
Malam itu tidak langsung tidur, tapi bercerita panjang dengan pemilik rumsh. Saya duluan masuk ke kamar tapi mata sayapun lama untuk tdrpejam. Tidur sebentar, besoknya Minggu fajar saya dudah terbangun mendahlui ibu. Hasrat saya untuk bermain ke pantai sebelum pulang menggebubu. Itulah sbabnya selesai sarspan, sya mohon izin unyuk main keluad rumah. "Jan lamo-lAmo Nifa. Sudah zuhur awak kabarangmek pulang" pesan ibu. Dan saya seperti panah teflpas dari busurnya. Naik oplet setop di Muaro. Hoiii.... Inilah pazar tradisional tempat saya dan bspak serta kakak saya Fuad Madarisabermain dan membeli ikan ambu-ambu waktu masih bocah. Ambu ambu itu kini namanya mungkin tongkol. Atau tuna?
***
Saya
kira ibu juga memanfaat waktu ssbelum zuhur untuk silaturrahmi. Saya
bersilaturrhmi dengan ombak. Dulu waktu awal SD zaya pernah melata di pasirnya.
Menggali pasir. Menangkap kdpiting. Dan merasakan sennsasi dijalari ombak sejak
kaki e lutut sampai paha. Memandang ke gunungPadang. Menyelipkkan penasarn
untuk menjejakkan kaki di sana. Dan inilah kesempatan saya. Waktu keckl dulu
tentu ibubapak saya melarang. Sekarangun, jika ibu tau, belum tenu jugA ibu
izinkan nyebrang sendirian.
***
Belum ada jembatan Siti Nurbaya waktu itu. Saya
lihat penduduk melintas pakai perahu. Mmbayar Fp 50.- Saya menghampir, dan
tukan g sampan bertanya," ka subarang ang?!"
Saya mengangguk dan melangkah masuk. Ibu, indah sekali menatap arah ke laut. Indah ibu...
TaK lama pdrahu merapat. Orang-orang turun. Saya gamang. Tak pernah sekaljpun dalam hidup melangkah dalam prahu dan harus loncat ke dermsga kayu. Jika taksadar bahwa saya sendirian, mungkin sudah terkellepar saya di bjbir sungai. Namun jika orang lain bisa kenapa saya tidak? Lompat, hop!!! Brhasl. Tak tergerapaj. Alhamdulillah. Setelah debar jantung reda, saya nikmati tanah Siti Nurbaya dengan lekat. Memandang ombak menghempas batu. Berdeck. Menghablur. Melupakan sejenak Kotokociek....
Saya mengangguk dan melangkah masuk. Ibu, indah sekali menatap arah ke laut. Indah ibu...
TaK lama pdrahu merapat. Orang-orang turun. Saya gamang. Tak pernah sekaljpun dalam hidup melangkah dalam prahu dan harus loncat ke dermsga kayu. Jika taksadar bahwa saya sendirian, mungkin sudah terkellepar saya di bjbir sungai. Namun jika orang lain bisa kenapa saya tidak? Lompat, hop!!! Brhasl. Tak tergerapaj. Alhamdulillah. Setelah debar jantung reda, saya nikmati tanah Siti Nurbaya dengan lekat. Memandang ombak menghempas batu. Berdeck. Menghablur. Melupakan sejenak Kotokociek....
***
Lama. Setelah puas barulah saya balik nyebrang
lagi dan langsung pulang ke penginapan. Itulah catatan dobel kelakuan saya pada
ibu di hari Minggu, membuat senang dengan prestasi dan membuat gundah kardna
sudah lewat jam sebelas baru saya tiba. "Kama sajo Nifa?" ibu
menyelidik lalu saya terangkan apa adanya. "Onde nak. Kalau sasek ilang
cilako, apo ka kato ibu?" Bu, maafkan say a
ya....
ya....
***
Kita makan siang dan shalat zuhur, lalu pamit
pulang. Saya lihat teman ibu merasa senang juga. Berikutnya kita tedduduk
kembali di bus dulu. Menikmati perjalanan sampai magrib. Jika penumpang lain
bertanya tentang piala yang saya genggam bu menjelaskan. Bangga .
Malam sampai di sekolah. Tidur sampai subuh dan tak sempat pakai seragam putih padahal ini sudah Senin. Syukurlah sekolah kita memberi previlage pada saya. Seragam abu-abu (seperti di foto) sudah dipakai juga hari jumat. SMP terbaik Asia Tenggara hari itu berbaik hati untuk pengecualian disiplin untuk saya. Terimakasih sekolahku. Tedimakasih ibu. Anggapsaja saya kini tengvah berlutut di depanmu..... Maaf dan terimakasih
Malam sampai di sekolah. Tidur sampai subuh dan tak sempat pakai seragam putih padahal ini sudah Senin. Syukurlah sekolah kita memberi previlage pada saya. Seragam abu-abu (seperti di foto) sudah dipakai juga hari jumat. SMP terbaik Asia Tenggara hari itu berbaik hati untuk pengecualian disiplin untuk saya. Terimakasih sekolahku. Tedimakasih ibu. Anggapsaja saya kini tengvah berlutut di depanmu..... Maaf dan terimakasih
Sabona hebat nandaku.Ingatkah dikau nak? wajah imutmu/tubuh mungilmu walau lah kls 2 SMP. Kita diberi tempat rehat di satu tompek nan ciek dek pemilik rumah. " anak Dar lai ketek ru ciek tampek se lah lalok yo Dar!" Kecek Uni Emi (pemilik rumah)...kecilnyo nanda dulu...he
ReplyDeleteAlhamdulillah Ibuuu
ReplyDelete