CAMAT KUSEN TERE
Kami sudah di penghujung cerita dan hendak beranjak pulang. Di pojok halaman masjid sudah mulai ramai oleh anak-anak penjual takjil makanan buka puasa. Saat itulah seorang tua kurus masuk masjid, setelah melepas sandal jepit usang yang warnanya sudah tak karuan lagi. Entah biru, entah merah entah coklat, atau lebih tepat hitam kelabu. Itulah Camat Kusen. Atau sering juga dipsebut aorang dengan Camat Tere. Bagus namanya sesungguhnya; Ahmad Husaini. Bagus kan? Tapi begitulah kebiasan di daerah kami, seorang bernama Ahmad Husaini bias berubah drastic menjadi Camat Kusen. Bahkan lelaki parobaya disampingku ini, Muhammad Syarif, biasa juga dipanggil Pak Carih. Yang lebih melenceng lagi, sebutan itu sesuai dengan jembbatan keledai orang-orang untuk mengingat. Seorang pak haji yang biasa memukul beduk sebelum azan di masjid, dulu, disebut Aji Beduk. Entahlah!
Lalu, Camat Kusen ini, karena belasan tahun terakhir ini berkurenah agak miring, bukan miring benaran, dipanggilkan orang Camat Tere juga. Tentu saja itu berawal dari sebutan orang-orang pinggir jalan, lalu dipopulerkan anak-anak. Dia sendiri, Ahmad Husaini, bolehjadi, tiada pernah mendengar CCamat Tere itu. Siapa pula yang berani memanggil dia Mat Tere secara langsung?
Namun inilah bukti ia memang tere, atau agak miring. Ia shalat seenaknya saja. Tentu tak pernah berjamaah. Datangnya sekehendak hati. Jumlah rakaatnyapun sesuka dia saja. Kadang ia berdoa lama sekali. Kadang bahkan dia sampai menangis terhuyu-huyu. Tak jarang pula ia tersenyum dalam menadahkan tangan. Tapi perlu dicatat, ia tak hilang ingatan tentang nilai uang kertas atau logam. Kenapa, tanyamu?
Sebab , ia memang orang kaya. Ia keturunan ‘ningrat’ di kampung ini, dulu zaman tahun sebelum merdeka, sampai setelah merdeka tahun limapuluhan. Rumah orangtuanya besar bertingkat dari kayu meranti. Jumlah sapi orangtuanya tak terhitung, dan digembalakan oleh beberapa orang suruhan di pinggir rawa atau bahkan di dalam rawa jika musim panas. Nasib Ahmad Husaini tak sebaik bapaknya. Ketika bujangan, memang ia ‘sugih’. Punya sepeda ‘raleigh’ yang jika lewat di jalanan ditandai dengan bunyi’tik-tik-tik-……tik—tik-tik….” Itu bunyi berasal dari gigi di sumbu roda belakang sepedanya yang mengkilat.
Dan Tuhan memang tak memberi semua yang dikendaki kayaknya. Sekalipun harta berlimpah, status social tinggi, namun kehidupan keluarganya tak indah. Istrinya cantik, namun punya perangai yang –tak elok jika kita tuliskan disini-, hingga ia kemudian kawin lagi dengan anak temannya, sesama seperjuangan hidup. Cantik juga, sangat muda belia, namun punya efek psikologis lain lagi. Wanita remaja itu , bersedia dikawinkan bapaknya dengan Ahmad Husaini, namun Ahmad, sepanjang waktu, tak pernah merasa memiliki istrinya itu. Diamnya menunduk. Tolehnya setengah. Batinnya terpaksa. Jiwanya bertabir. Ini, sungguh llebih menyiksa bagi lelaki, sekalipun Camat Kusen, ataupun Camat Tere tetap punya anak ddengan istri mudanya itu, seorang perempuan imut yang cantik juga, namun mewarisi psikologi ibunya, yang dihantui rasa takut, bahkan sekedar untuk melirik bapaknya, Camat Kusen, untuk sedetik saja……
Cerita tentang Camat Kusen ini telah umum diketahui orang komplek kami. Status daerah kami yang kini jadi kota satelit, dengan penduduk beranekragam, dan tingkat pendidikan naik, semakin membuat posisi hati Camat Kusen terjepit. Itulah, sekarangi, yang kami tonton, di masjid. Dia shalat ashar ataukah shalat subuh. Entah tumakninah entah tidak. Kadang ia terbatuk-batuk. Lalu terlihat kunisnya yang melengkung putih dari belakang bergerak ke atas, bagai singa jantan yang sudah afkir, nan berarti ia sedang senyum dengan Tuhan,…duh…. Lalu batuk. Batuk lagi, …berkali-kali. Dan terakhir, kami dengar dia ,…maaf… , kentut!
Pembaca budiman, Camat Tere, tetap melanjutkan shalatnya. Kondisi fisik, tak harus menghalangi pengabdian jiwa, mungkin begitu bisik hatinya. Subhanallah!
Saya mendekatkan mulut ke telinga Pak Syarif, berbisik,”Anak perempuannya itu sekarang dimana?” Pak Syarif menjawab pelan, menjaga jangan terdengar oleh Camat Kusen, “Menjadi guru kesenian, jauh di kota lain. Ia berhasil keluar dari cekikan psikologis karena banyak berteman dan dijaga oleh kakek neneknya..” jawab pak Syarif. Saya menghela nafas. Dalam-dalam.
“Wiiiiduriiii…….”tiba-tiba Camat Tere bernyanyi. Dalam shalatnya. Kami saling pandang. Pak Syarif cepat menunduk. Aku mulai ketakutan. “Widuri itu nama anak perempuan istri mudanya,….yok kita pulang yok, udah hampir berbuka juga!” Pak Syarif menarik tanganku. Kami buruan keluar masjid. Meninggalkan Camat Tere yang entah sedang shalat atau tengah bernyanyi.
“Widuriii, terdengar lembut syahduuuu,….”
Dari halaman masjid masih terdengar ia berpidato di mimbar. Entah shalatnya sudah selesai, entah belum. "Kalian semua tak mau diberitahu kebenaran. Atau memang sengaja kalian tutup mata hati. Bahwa cara kalianlah yang betul. Andai memang begitu tentulan imam masjid Mekah dan Madinah juga melakukan seperti itu. Kalian buat sekat -sekat lokal dalam beribadah..." hanya itu yang masih terdengar dari pidato Mat Tere tanpa jemaah sore itu. Setelahnya mungkin ia memekikkan lirik, "Widuri...bukalah puntu hatimuuuuuu..."
Dan memang cukuplah Mat yang tahu. Cukuplah dia yang merasakan. Terombang ambing dengan fisik makin layu. Bagai rumput hanyut di kali deras. Hilirnya tak jelas sampai muara. Akan berbalik mudik tak mungkin lagi. Kadang terserampang saja...
Mat Kusen melangkah limbung. Kalian semua jahat, fikirnya. Hanya kunang-kunang dan matahari yang baik padaku, desisnya. Juga dedaunan, tambahnya. Matanya tetiba redup. Denyut jantungnya mengencang. Pagar rumah yang dilewatinya seakan berubah menjadi dua-dua. Atap tinggi menjulang ke langit. Awan menari-nari. Mat terbahak. Tidak. Tidak terbahak. Ia menangis. Tersedu-sedu... Lalu makin gelap . Makin gelap..... Sampai ia lihat bidadari mirip Widuri trrbang mendekatinya. Tersenyum ramah penuh kasih. Mat terkesima. Mat haus sekali dengan keteduhan itu. Ia ternganga. Air ludahnya keluar. Sementara kakinya tak jelas, apakah ada di jalan atau di got atau terangkat ke awan.
***
Nyatanya esok pagi subuh corong mikrofon masjid mengumumkan Mat Kusen telah pergi. Ke alam barzah. Bersama bidadari Widurinya. Orang-orang menemukan mayatnya tertelungkup dalam got di ujung kampung...
No comments:
Post a Comment