Wednesday, January 1, 2020

NURI



N  U  R  I
Hanifa Marisa
       Apakah yang lebih memuncratkan bahagia, dibanding saat mengklik nomor ujian di kolom layar komputer, lalu muncul tulisan; selamat, anda diterima di universitas…..? Tulisan dengan huruf kapital itu, merubah denyut jantung dari 60 ke 80 per menit. Sungguh. Dan Nuri merasakan aliran darahnya hangat memagut seluruh tubuh. Kuliah!  Itulah cita-citanya. Lalu kini Tuhan, melalui layar komputer rental di sudut kota kecil tak jauh dari SMA nya yang asri, menyiramkan bangga ke sudut relung hatinya. Terimakasih Tuhan, terimakasih Tuhan, ….desisnya. Anak kedua, petani penggarap sawah itu sumringah wajahnya. Wajah bulat telur yang tidak cantik seperti bintang filem, namun cahaya matanya bebrinar. Entah karena innosen, atau karena hatinya sering ia ajak qiraah kitab suci.
       Itu bulan yang lalu, teman. Kini  Nuri, pagi-pagi jam empat sudah bangun. Menyiapkan sarapan ala kadarnya, sayur daun kubis dicampur mie rebus. Sebutir telur.  Pengumuman dari senior kemarin menyuruhnya hadir jam enam di depan rektorat. Tidak peduli, mahasiswa baru itu tinggal dimana.  Di sekitar kampus atau di kota propinsi. Di rumah orang tua atau di petak kamar kos.  Ataupun di atas langit sekalipun. Ah, mana ada mahasiswa kos di langit? Tidak sempat menjawab tanya yang kualitasnya dibawah normal itu, Nuri sudah menyeruput nasi sisa semalam dan kuah sayur kubis mie instan. Telur rebus yang di belah dengan sendok, dan kuningnya menyerbuk dalam kuah beraroma memanggil….bismillah.
       Seremoni di depan rektorat segera selesai. Mereka berbaris ke fakultas. Dipimpin senior.  Berbaju kaus seragam. Berlogo universitas dan berwarna fakultas.  Beginikah hidup di kampus? Ramai dan sahut bersahut dengan perintah  atasan.  Seperti ia mengomandoi anak-anak musholla desanya, nun di kota kecil perbatasan propinsi saat  sore jika mereka mengaji, anak-anak itu ia suruh berbaris, membaca al fatihah, salawat, dan lain-lain. Tapi dengan penuh kelembutan. Sebab anak-anak mesti direngkuh hatinya. Mendidik dengan nawaitu, begitu istilah pak ketua pengurus musholla. He, ini bukan anak kecil kampungmu, batinnya. Ini calon sarjana empat atau lima tahun lagi. Sarjana! Nuri tersenyum sendiri…. “He, jangan lembek! Baris yang tegap!” Terdengar bentakan. Nuri cepat bersikap tegak. Duh !
      Dalam susunan acara yang ia pegang, acara di fakultas dimulai jam delapan. Sekarang jam tujuhan. Artinya mereka akan duduk di fakultas menunggu? Atau dibariskan di halaman? Atau disuruh masuk ruangan lalu diceramahi? Ah, terserahlah. Ikuti aja. Toh, ini hanya akan sampai besok. Senin depan ia akan memakai baju bebas, menyandang tas, dan mendengarkan dosen member kuliah. Hiii,…anak emak yang di dusun sering dicandai kakaknya, kini berstatus ‘mahasiswa’. Cie..!
      Di depan bangunan bertingkat mereka berbaris. Jumlahnya kini mengecil. Tak lagi ramai. Paling juga seratusan. Atau malah kurang! Namun intimidasi senior mulai terasa. Awalnya memang perkenalan dengan ketua himpunan atau tadi kata kakak yang tinggi di baris depan itu, disebut berstatus bupati. Wow! Keren, ada bupati di depan situ.Pakai jaket seragam.  Bupati imut-imut? Ya, tidak seperti bupati di kabupatennya, yang waktu kelas satu SMA dulu pernah berkunjung ke sekolah. Tinggi besar dan jalannya cepat. Tunjuk sana sini. Tanya ini itu. Lalu kemudian naik mobil ukuran besar warna gelap. Dia dan temannya disuruh melanbaikan tangan. Lalu hilang di gerbang sekolah. Pergi.
      “Semua tas dikumpul di teras!” terdengar perintah. Dan mereka semua seperti kerbau dicocok hidung, patuh. Menggelimpangkan tas berbagai model dan warna di ubin yang redup.  “Semua alat komunikasi, henfon di masukkan ke kantong plastik dan diberi nama masing-masing. Kumpul dengan kakak di depan!!” perintah berlanjut. Kantong kresek kecil dibagikan. Handphone berbagai merek dan tipe, dari fitur sederhana sampai canggih, dalam masing-masing kantong digotong oleh senior berbadan tegap. Matanya tajam. Ih, ngeri. Menjadi tatapan mata puluhan orang di depan, puluhan lagi di samping dan belakang, jadi serba salah. Apalagi halaman gedung bertingkat ini tak begitu luas. Malah lebih luas halaman SMA dia di kota kecil pelosok sana. Eh, jangan judge dulu. Ini gedung kuliah. Tentu di dalamnya ada alat-alat canggih. Jangan-jangan ada scan jantung, USG, mikroskop elektron dan entah apa lagi. “He Bebek Dusun, kumpul handphone mu , cepat!!”  Nuri terkejut. Senior di depan barisan seperti membentaknya. Diakah yang di maksud? Nuri tersedak. Senior itu memandangnya tajam. “Ya , kamu! Budek apa kau?!”  Nuri cepat menyerahkan plastik berisi gajet tak mahal itu. Dengan mental tercerai berai. Tak biasanya dia dibentak di depan orang sebanyak ini. Hilang arwahnya…huh!
      Hape merek terkenal zaman dulu itu, mengerucut dalam kantong. Itu gajet turunan dari kakaknya. Seperti halnya juga sepeda untuk ke sekolah, tas bekas, bahkan sepatu butut. Bukan budaya, tapi memang begitulah bapak ibunya melakukan efisiensi dalam keuangan keluarga. Masih untung bisa sekolah. Kalau tidak? Tentulah ia kini di pematang sawah menghalau gulma di sekitar batang terung dan cabe. Membantu bapak dan ibunya. MasyaAllah,… “Masih melongo aja kau! Dasar anak haram! Tu otak buat belajar, bkan buat mikir yang lain-lain. Bangsa dan Negara ini membutuhkan generasi baru yang menang bersaing! Bukan tolol seperti kau!!!” ia dibentak. Bukan, ia di caci maki dan dihina! Anak haram? Judes amat tu senior. Masak laki-laki mulutnya comberan? Lagian, tau apa dia dengan mak? Orang suci yang menyayangi setiap sore dan pagi? Kalau di dusun sudah ia timpuk tu mulut pake batu! “Kenapa kau, melawan? Betulkan, ibumu pelacur, hingga anaknya bermental loyo?” senior  jangkung itu semakin gila. Durjana. Jumawa.Mulut melengkung.  Bagaikan  calon gubernur yang takut tak kepilih lagi. Ah sudahlah, untuk apa dilawan. Dia sadar betul, posisi sekarang ini. Yunior yang berbaris tunduk di depan tatapan mata  puluhan ratusan orang menunggu jam resmi untuk pekan pengenalan kampus. Jadi, yang sabar aja deh….
        Bupati telah memberi  sambutan. Datar aja. Formal-formal gitu.  Ucapan selamat. Penerimaan dalam himpunan. Nasehat supaya rajin belajar. Ikut kegiatan esktra kurikuler, jangan jadi mahasiswa kutu buku saja.  Jaga diri dari kegalauan sosial, racun narkoba dan yang sejenisnya. Uh. Sudah basi yang kayak gitu. Mulai SD, SMP dan di SMA nya. Selalu begini. Dan anehnya, dia juga selalu mengangguk. Mengiyakan.
     Seorang senior tampil ke depan setelah sang bupati. Ia bertugas memimpin nyanyi. Atau lebih tepat yel-yel. Jurusan mesti punya performa unggul apalagi jika nanti tampil diarena fakultas. Lirik diajarkan. Gerakan ditunjukkan. Semua ikut. Meliuk lucu. Melompat tegas. Dan kepalan tangan diacungkan, untuk nama jurusan yang diagungkan….ho-hooo, aneh tapi asyik. Lucu tapi tidak boleh tertawa. Calon pemimpin bangsa dan pekerja lapangan serta pendidik generasi seterusnya mesti disiplin dan smart, begitu pesan pak bupati jurusan tadi kan?
      Beberapa orang datang dari arah dekanat. Lalu berbisik ke ketua panitia. Bicara dengan pak bupati dan beberapa orang yang mungkin jajaran person vvip di himpunan. Vvip atau seakan-akan vvip, begitulah! Terlihat ketua melihat jam di tangannya. Arloji mewah pembelian orangtuanya. Ia bicara dengan utusan dari dekanat tadi. Memang waktu sudah mendekati jam delapan. Artinya sejenak lagi acara di faklutas yang melibatkan dekan, para pembantu dekan dan ketua jurusan segera dilangsungkan.  Para vvip kemudian mengumumkan, bahwa acara akan dilanjutkan di aula fakultas. Semua diminta kembali berbaris rapi. Siap mengambil tasnya masing-masing. Juga gajet hp akan dikembalikan.
       “Pastikan tasnya tidak tertukar, barang kecil urus sendiri!” terdengar perintah. Lalu handphone dalam plastic kembali diberikan pada para yunior. “Periksa! Pastikan pulsamu tak hilang dan kondisinya baik!” Lalu mereka buru-buru mengeluarkan hape masing-masing dari kantong kresek dengan bunyi khas. Berisik!
       “Auu..!!!” Nuri terbelalak, menjerit dan pandangannya memudar. Seekor ular hijau ternyata menemani hape murahnya dalam plastik, sesuatu yang diluar dugaannya. Ular!  Itu binatang yang sangat menimbulkan traumatis. Ia tidak hanya  ngeri dalam dunia real, tapi juga menjadi hantu dalam mimpi. Bukankah nabi Adam as dulu diceritakan diganggu iblis dalam syurga dengan memanfaatkan kelicikan kendraannya  binatang berbisa yang licin itu?
      Tetangganya di pelosok kabupaten, di pingir sawah malahan mati digigit ular sendok. Padahal sudah dilarikan ke puskesmas. Di filem-filem fauna televisi, hewan ini bahkan bisa mematuk sambil terbang. Dan kini ular hijau panjang terpegang olehnya saat mengeluarkan hape dari plastik warna hitam ditangannya ini. Nuri terlonjak. Ngeri. Memekik. Melemparkan semuanya. Hape, kantong kresekan dan ular jahanam itu. Melayang ke udara.
        Samar-samar ia dengar kelompok kecil senior tertawa. Bupati malah menatap lurus pada seorang senior jangkung rada gondrong. Yang mulutnya melengkung seperti atap pondok di pinggir sawah mak bapaknya.  Boleh jadi ia tahu betul, itu ular mainan yang sering ada di tas sang kawan. Siapa lagi, pasti ulah dia. Dan yang ditatap, melongos tertawa, curang. Nuri terduduk di rumput.  Spontan teman di sebelahnya menolong. Sebab ternyata ular hijau yang terpental itu adalah mainan karet. Ular karet atau ular apapun itu, sungguh mengerikan buat dia. Di rumah, beberapa bulan lalu, saat habis makan malam bersama dengan mak bapak serta kakaknya, bapaknya cerita tentang petinggi yang intervensi kitab suci agama dia. Ibu dan kakaknya ikut mengomentari perilaku tak terpuji dan primitif itu. Sekalipun bapaknya menerangkan bahwa untuk kekuasaan orang sering kehilangan akal sehat, namun bagi Nuri, cerita itu berdampak pada tidurnya. Dalam sebuah perjalanan, di belakang rombongan penista kitab suci itu, ia melangkah pelan. Sebab takut untuk mendekat. Orang – orang berwajah sangar menjaga sang penista. Tapi walau sudah melangkah hati-hati, sosok yang dibenci mak bapaknya itu  tiba-tiba menoleh ke belakang, ke arah Nuri. Astaghfirullah, dari mata, mulut, telinga dan ubun-ubun orang itu, keluar ular dengan lidah menjulur-julur. Nuri memekik. Histeris dan berlari. Menjauh dan memanggil maknya. Mak memang datang, tapi di kamarnya sendiri, membangunkan tidurnya. Uh,….
      He, bukankah yang tertawa puas itu adalah yang tadi bicara seenak perutnya menghina maknya? Ia tidak jadi kalah. Ia tak boleh pingsan.  Lelaki itu wajib diberi pelajaran. Sekurangnya ditimpuk dengan batu sebesar kepalan tangan! Ah tidak! Ia terbayang wajah teduh maknya, saat akan berangkat. “Mak dengar di tivi, mahasiswa baru mati di Jogya. Begitu juga di Palembang. Mak tidak berburuk sangka, tapi mak ingin kau berhati-hati betul. ….” Mak bicara dalam dan berat. Nuri tak mau menatap mata maknya.
Bukan tidak hormat, tapi ia mudah cengeng. Airmatanya bisa berserakan, jika tak terbendung rasa. Bapaknya kemudian membantu mengangkat koper ke pinggir jalan yang ada angkutan pedesaan.  Koper? Bukan, tas tua penuh pakaian dan makanan kering. Lalu kardus bekas berisi makanan mentah. Mak membekali dengan berbagai macam; kerupuk mentah, ikan kering, dan entah apa lagi. Jangan-jangan ada umbi jalar juga,…..
       “Calon sarjana latihan pegang ular ha ha ha,….” Ia dengar ocehan. Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba muncul ide dalam hatinya. Desakan untuk memberi pelajaran pada senior usil bermulut jamban itu. Ia memang bukan jago beladiri. Bukan murid perguruan silat apapun. Tapi jika ia fokus, dengan hati super dongkol, lalat kandang ayam tetangga, langsung mati ia tampar dengan telapak tangan, ….kecepatan hati kesal! Lalu tiba-tiba ia rasakan kakinya bergerak, berdiri dari terduduk. Teman-temannya senang ia tidak pingsan. Namun Nuri tak hanya berdiri, tapi berjalan, tenang, pelan ke hadapan senior jangkung berambut rada panjang itu. Dan kini ia hanya berjarak satu hasta. Teman-temannya terdiam dan heran menunggu. Senior lain juga seperti terhipnotis. Mahasiswi culun innosen, dengan mata berbinar berekspresi dingin. Lalu,…”Plak!!!” wajah senior durjana itu langsung miring ia tampar. Tamparan fakus dari kalbu dongkol. Tamparan mematikan lalat kandang ayam tetangga! Senior itu tersurut tiga lanhgkah. Matanya berkunang-kunang….
      Nuri tegak lurus di depan. Matanya seperti tak berapi. Tapi pipi dan gerahamnya seperti menahan beban. Beban berat. Ia memutar pandangannya ke semua senior. Dunia berubah diam. Kaku dan hening. Menunggu. “Jika saya salah saya ikhlas dihukum. Tapi jika saya tidak membalas, saya malu kepada nurani saya…” Nuri bicara berat. Berat untuk ukuran seorang perempuan seumur dia. Matanya mulai terlihat menggenang. Wajah maknya membayang. “Hati-hati nak, di rantau jauh….”
       Tidak satupun senior itu yang bergerak. Begitu juga barisan temannya yang terhipnotis melihat kenyataan diluar dugaan mereka. Mengapa semua seperti ternganga? Kecuali si jangkung berambut panjang yang mengusap wajahnya yang merah hitam. Untunglah suasana itu tak berlangsung lama. Seorang senior berjilbab tiba-tiba berjalan kea rah Nuri. Ia adalah Ayuk Setia yang juga ketua bidang Rohis di mushalla fakultas. Ia bolehjadi yang paling memahami suasana hati Nuri. Dia mendekat dan merengkuh pundak Nuri ke dadanya. Memeluk erat-erat….. Nuri jebol. Ia seperti dipeluk Mak,…. Dengan menggigit bibir ia sesungukan…..Bulir bening bagai memancar dari kelenjar air matanya.




No comments:

Post a Comment