N U
R I
Hanifa Marisa
Apakah yang lebih memuncratkan bahagia,
dibanding saat mengklik nomor ujian di kolom layar komputer, lalu muncul
tulisan; selamat, anda diterima di universitas…..? Tulisan dengan huruf kapital
itu, merubah denyut jantung dari 60 ke 80 per menit. Sungguh. Dan Nuri
merasakan aliran darahnya hangat memagut seluruh tubuh. Kuliah! Itulah cita-citanya. Lalu kini Tuhan, melalui
layar komputer rental di sudut kota kecil tak jauh dari SMA nya yang asri,
menyiramkan bangga ke sudut relung hatinya. Terimakasih Tuhan, terimakasih
Tuhan, ….desisnya. Anak kedua, petani penggarap sawah itu sumringah wajahnya.
Wajah bulat telur yang tidak cantik seperti bintang filem, namun cahaya matanya
bebrinar. Entah karena innosen, atau karena hatinya sering ia ajak qiraah kitab
suci.
Itu bulan yang lalu, teman. Kini Nuri, pagi-pagi jam empat sudah bangun.
Menyiapkan sarapan ala kadarnya, sayur daun kubis dicampur mie rebus. Sebutir
telur. Pengumuman dari senior kemarin
menyuruhnya hadir jam enam di depan rektorat. Tidak peduli, mahasiswa baru itu
tinggal dimana. Di sekitar kampus atau
di kota propinsi. Di rumah orang tua atau di petak kamar kos. Ataupun di atas langit sekalipun. Ah, mana
ada mahasiswa kos di langit? Tidak sempat menjawab tanya yang kualitasnya
dibawah normal itu, Nuri sudah menyeruput nasi sisa semalam dan kuah sayur
kubis mie instan. Telur rebus yang di belah dengan sendok, dan kuningnya
menyerbuk dalam kuah beraroma memanggil….bismillah.
Seremoni di depan rektorat segera
selesai. Mereka berbaris ke fakultas. Dipimpin senior. Berbaju kaus seragam. Berlogo universitas dan
berwarna fakultas. Beginikah hidup di
kampus? Ramai dan sahut bersahut dengan perintah atasan.
Seperti ia mengomandoi anak-anak musholla desanya, nun di kota kecil
perbatasan propinsi saat sore jika
mereka mengaji, anak-anak itu ia suruh berbaris, membaca al fatihah, salawat,
dan lain-lain. Tapi dengan penuh kelembutan. Sebab anak-anak mesti direngkuh
hatinya. Mendidik dengan nawaitu, begitu istilah pak ketua pengurus musholla.
He, ini bukan anak kecil kampungmu, batinnya. Ini calon sarjana empat atau lima
tahun lagi. Sarjana! Nuri tersenyum sendiri…. “He, jangan lembek! Baris yang
tegap!” Terdengar bentakan. Nuri cepat bersikap tegak. Duh !
Dalam susunan acara yang ia pegang, acara
di fakultas dimulai jam delapan. Sekarang jam tujuhan. Artinya mereka akan
duduk di fakultas menunggu? Atau dibariskan di halaman? Atau disuruh masuk
ruangan lalu diceramahi? Ah, terserahlah. Ikuti aja. Toh, ini hanya akan sampai
besok. Senin depan ia akan memakai baju bebas, menyandang tas, dan mendengarkan
dosen member kuliah. Hiii,…anak emak yang di dusun sering dicandai kakaknya,
kini berstatus ‘mahasiswa’. Cie..!
Di depan bangunan bertingkat mereka
berbaris. Jumlahnya kini mengecil. Tak lagi ramai. Paling juga seratusan. Atau
malah kurang! Namun intimidasi senior mulai terasa. Awalnya memang perkenalan
dengan ketua himpunan atau tadi kata kakak yang tinggi di baris depan itu,
disebut berstatus bupati. Wow! Keren, ada bupati di depan situ.Pakai jaket
seragam. Bupati imut-imut? Ya, tidak
seperti bupati di kabupatennya, yang waktu kelas satu SMA dulu pernah
berkunjung ke sekolah. Tinggi besar dan jalannya cepat. Tunjuk sana sini. Tanya
ini itu. Lalu kemudian naik mobil ukuran besar warna gelap. Dia dan temannya
disuruh melanbaikan tangan. Lalu hilang di gerbang sekolah. Pergi.
“Semua tas dikumpul di teras!” terdengar
perintah. Dan mereka semua seperti kerbau dicocok hidung, patuh.
Menggelimpangkan tas berbagai model dan warna di ubin yang redup. “Semua alat komunikasi, henfon di masukkan ke
kantong plastik dan diberi nama masing-masing. Kumpul dengan kakak di depan!!”
perintah berlanjut. Kantong kresek kecil dibagikan. Handphone berbagai merek
dan tipe, dari fitur sederhana sampai canggih, dalam masing-masing kantong digotong
oleh senior berbadan tegap. Matanya tajam. Ih, ngeri. Menjadi tatapan mata
puluhan orang di depan, puluhan lagi di samping dan belakang, jadi serba salah.
Apalagi halaman gedung bertingkat ini tak begitu luas. Malah lebih luas halaman
SMA dia di kota kecil pelosok sana. Eh, jangan judge dulu. Ini gedung kuliah.
Tentu di dalamnya ada alat-alat canggih. Jangan-jangan ada scan jantung, USG,
mikroskop elektron dan entah apa lagi. “He Bebek Dusun, kumpul handphone mu ,
cepat!!” Nuri terkejut. Senior di depan
barisan seperti membentaknya. Diakah yang di maksud? Nuri tersedak. Senior itu
memandangnya tajam. “Ya , kamu! Budek apa kau?!” Nuri cepat menyerahkan plastik berisi gajet
tak mahal itu. Dengan mental tercerai berai. Tak biasanya dia dibentak di depan
orang sebanyak ini. Hilang arwahnya…huh!
Hape merek terkenal zaman dulu itu,
mengerucut dalam kantong. Itu gajet turunan dari kakaknya. Seperti halnya juga
sepeda untuk ke sekolah, tas bekas, bahkan sepatu butut. Bukan budaya, tapi
memang begitulah bapak ibunya melakukan efisiensi dalam keuangan keluarga.
Masih untung bisa sekolah. Kalau tidak? Tentulah ia kini di pematang sawah
menghalau gulma di sekitar batang terung dan cabe. Membantu bapak dan ibunya.
MasyaAllah,… “Masih melongo aja kau! Dasar anak haram! Tu otak buat belajar,
bkan buat mikir yang lain-lain. Bangsa dan Negara ini membutuhkan generasi baru
yang menang bersaing! Bukan tolol seperti kau!!!” ia dibentak. Bukan, ia di
caci maki dan dihina! Anak haram? Judes amat tu senior. Masak laki-laki
mulutnya comberan? Lagian, tau apa dia dengan mak? Orang suci yang menyayangi
setiap sore dan pagi? Kalau di dusun sudah ia timpuk tu mulut pake batu!
“Kenapa kau, melawan? Betulkan, ibumu pelacur, hingga anaknya bermental loyo?”
senior jangkung itu semakin gila.
Durjana. Jumawa.Mulut melengkung. Bagaikan
calon gubernur yang takut tak kepilih lagi. Ah sudahlah, untuk apa
dilawan. Dia sadar betul, posisi sekarang ini. Yunior yang berbaris tunduk di
depan tatapan mata puluhan ratusan orang
menunggu jam resmi untuk pekan pengenalan kampus. Jadi, yang sabar aja deh….
Bupati telah memberi sambutan. Datar aja. Formal-formal gitu. Ucapan selamat. Penerimaan dalam himpunan.
Nasehat supaya rajin belajar. Ikut kegiatan esktra kurikuler, jangan jadi
mahasiswa kutu buku saja. Jaga diri dari
kegalauan sosial, racun narkoba dan yang sejenisnya. Uh. Sudah basi yang kayak
gitu. Mulai SD, SMP dan di SMA nya. Selalu begini. Dan anehnya, dia juga selalu
mengangguk. Mengiyakan.
Seorang senior tampil ke depan setelah
sang bupati. Ia bertugas memimpin nyanyi. Atau lebih tepat yel-yel. Jurusan
mesti punya performa unggul apalagi jika nanti tampil diarena fakultas. Lirik
diajarkan. Gerakan ditunjukkan. Semua ikut. Meliuk lucu. Melompat tegas. Dan
kepalan tangan diacungkan, untuk nama jurusan yang diagungkan….ho-hooo, aneh
tapi asyik. Lucu tapi tidak boleh tertawa. Calon pemimpin bangsa dan pekerja
lapangan serta pendidik generasi seterusnya mesti disiplin dan smart, begitu
pesan pak bupati jurusan tadi kan?
Beberapa orang datang dari arah dekanat.
Lalu berbisik ke ketua panitia. Bicara dengan pak bupati dan beberapa orang
yang mungkin jajaran person vvip di himpunan. Vvip atau seakan-akan vvip,
begitulah! Terlihat ketua melihat jam di tangannya. Arloji mewah pembelian
orangtuanya. Ia bicara dengan utusan dari dekanat tadi. Memang waktu sudah
mendekati jam delapan. Artinya sejenak lagi acara di faklutas yang melibatkan
dekan, para pembantu dekan dan ketua jurusan segera dilangsungkan. Para vvip kemudian mengumumkan, bahwa acara akan
dilanjutkan di aula fakultas. Semua diminta kembali berbaris rapi. Siap
mengambil tasnya masing-masing. Juga gajet hp akan dikembalikan.
“Pastikan tasnya tidak tertukar, barang
kecil urus sendiri!” terdengar perintah. Lalu handphone dalam plastic kembali
diberikan pada para yunior. “Periksa! Pastikan pulsamu tak hilang dan
kondisinya baik!” Lalu mereka buru-buru mengeluarkan hape masing-masing dari
kantong kresek dengan bunyi khas. Berisik!
“Auu..!!!” Nuri terbelalak, menjerit dan
pandangannya memudar. Seekor ular hijau ternyata menemani hape murahnya dalam
plastik, sesuatu yang diluar dugaannya. Ular!
Itu binatang yang sangat menimbulkan traumatis. Ia tidak hanya ngeri dalam dunia real, tapi juga menjadi
hantu dalam mimpi. Bukankah nabi Adam as dulu diceritakan diganggu iblis dalam
syurga dengan memanfaatkan kelicikan kendraannya binatang berbisa yang licin itu?
Tetangganya di pelosok kabupaten, di
pingir sawah malahan mati digigit ular sendok. Padahal sudah dilarikan ke
puskesmas. Di filem-filem fauna televisi, hewan ini bahkan bisa mematuk sambil
terbang. Dan kini ular hijau panjang terpegang olehnya saat mengeluarkan hape
dari plastik warna hitam ditangannya ini. Nuri terlonjak. Ngeri. Memekik.
Melemparkan semuanya. Hape, kantong kresekan dan ular jahanam itu. Melayang ke
udara.
Samar-samar ia dengar kelompok kecil
senior tertawa. Bupati malah menatap lurus pada seorang senior jangkung rada
gondrong. Yang mulutnya melengkung seperti atap pondok di pinggir sawah mak
bapaknya. Boleh jadi ia tahu betul, itu
ular mainan yang sering ada di tas sang kawan. Siapa lagi, pasti ulah dia. Dan
yang ditatap, melongos tertawa, curang. Nuri terduduk di rumput. Spontan teman di sebelahnya menolong. Sebab
ternyata ular hijau yang terpental itu adalah mainan karet. Ular karet atau
ular apapun itu, sungguh mengerikan buat dia. Di rumah, beberapa bulan lalu,
saat habis makan malam bersama dengan mak bapak serta kakaknya, bapaknya cerita
tentang petinggi yang intervensi kitab suci agama dia. Ibu dan kakaknya ikut
mengomentari perilaku tak terpuji dan primitif itu. Sekalipun bapaknya
menerangkan bahwa untuk kekuasaan orang sering kehilangan akal sehat, namun
bagi Nuri, cerita itu berdampak pada tidurnya. Dalam sebuah perjalanan, di
belakang rombongan penista kitab suci itu, ia melangkah pelan. Sebab takut
untuk mendekat. Orang – orang berwajah sangar menjaga sang penista. Tapi walau
sudah melangkah hati-hati, sosok yang dibenci mak bapaknya itu tiba-tiba menoleh ke belakang, ke arah Nuri.
Astaghfirullah, dari mata, mulut, telinga dan ubun-ubun orang itu, keluar ular
dengan lidah menjulur-julur. Nuri memekik. Histeris dan berlari. Menjauh dan
memanggil maknya. Mak memang datang, tapi di kamarnya sendiri, membangunkan
tidurnya. Uh,….
He, bukankah yang tertawa puas itu adalah
yang tadi bicara seenak perutnya menghina maknya? Ia tidak jadi kalah. Ia tak
boleh pingsan. Lelaki itu wajib diberi
pelajaran. Sekurangnya ditimpuk dengan batu sebesar kepalan tangan! Ah tidak!
Ia terbayang wajah teduh maknya, saat akan berangkat. “Mak dengar di tivi,
mahasiswa baru mati di Jogya. Begitu juga di Palembang. Mak tidak berburuk
sangka, tapi mak ingin kau berhati-hati betul. ….” Mak bicara dalam dan berat.
Nuri tak mau menatap mata maknya.
Bukan tidak hormat, tapi ia mudah
cengeng. Airmatanya bisa berserakan, jika tak terbendung rasa. Bapaknya
kemudian membantu mengangkat koper ke pinggir jalan yang ada angkutan
pedesaan. Koper? Bukan, tas tua penuh
pakaian dan makanan kering. Lalu kardus bekas berisi makanan mentah. Mak
membekali dengan berbagai macam; kerupuk mentah, ikan kering, dan entah apa
lagi. Jangan-jangan ada umbi jalar juga,…..
“Calon sarjana latihan pegang ular ha ha
ha,….” Ia dengar ocehan. Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba muncul ide dalam
hatinya. Desakan untuk memberi pelajaran pada senior usil bermulut jamban itu.
Ia memang bukan jago beladiri. Bukan murid perguruan silat apapun. Tapi jika ia
fokus, dengan hati super dongkol, lalat kandang ayam tetangga, langsung mati ia
tampar dengan telapak tangan, ….kecepatan hati kesal! Lalu tiba-tiba ia rasakan
kakinya bergerak, berdiri dari terduduk. Teman-temannya senang ia tidak
pingsan. Namun Nuri tak hanya berdiri, tapi berjalan, tenang, pelan ke hadapan
senior jangkung berambut rada panjang itu. Dan kini ia hanya berjarak satu
hasta. Teman-temannya terdiam dan heran menunggu. Senior lain juga seperti
terhipnotis. Mahasiswi culun innosen, dengan mata berbinar berekspresi dingin.
Lalu,…”Plak!!!” wajah senior durjana itu langsung miring ia tampar. Tamparan
fakus dari kalbu dongkol. Tamparan mematikan lalat kandang ayam tetangga!
Senior itu tersurut tiga lanhgkah. Matanya berkunang-kunang….
Nuri tegak lurus di depan. Matanya
seperti tak berapi. Tapi pipi dan gerahamnya seperti menahan beban. Beban
berat. Ia memutar pandangannya ke semua senior. Dunia berubah diam. Kaku dan
hening. Menunggu. “Jika saya salah saya ikhlas dihukum. Tapi jika saya tidak
membalas, saya malu kepada nurani saya…” Nuri bicara berat. Berat untuk ukuran
seorang perempuan seumur dia. Matanya mulai terlihat menggenang. Wajah maknya
membayang. “Hati-hati nak, di rantau jauh….”
Tidak satupun senior itu yang bergerak.
Begitu juga barisan temannya yang terhipnotis melihat kenyataan diluar dugaan
mereka. Mengapa semua seperti ternganga? Kecuali si jangkung berambut panjang
yang mengusap wajahnya yang merah hitam. Untunglah suasana itu tak berlangsung
lama. Seorang senior berjilbab tiba-tiba berjalan kea rah Nuri. Ia adalah Ayuk
Setia yang juga ketua bidang Rohis di mushalla fakultas. Ia bolehjadi yang
paling memahami suasana hati Nuri. Dia mendekat dan merengkuh pundak Nuri ke
dadanya. Memeluk erat-erat….. Nuri jebol. Ia seperti dipeluk Mak,…. Dengan
menggigit bibir ia sesungukan…..Bulir bening bagai memancar dari kelenjar air
matanya.
No comments:
Post a Comment