Talam Ramadhan
Menjelang sore, anak lelaki kecilnya pergi ke Dangung-Dangung, dibawa kakeknya. Katanya mencari pebukoan. Pastilah ia akan meminta beli aneka makanan kue nantiknya. Ia sendiri, entah kenapa, seperti tak bersemangat, dan tiduran di kamar. Suara televisi, sayup-sayup terdengar ke dalam. Ia tak peduli. Tiduran lagi, bisik hatinya. Lalu rebah di kasur.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu luar. Buru-buru ia membuka sambil mengusap mata. MasyaAllah, engkau nak? Gadis kecil remaja yang sangat ia kenal. Kini tumbuh agak lebih besar. Menating makanan di kedua tangannya. "Mama nyuruh berikan kolak untuk Papa..." katanya, sedikit menengadah. Ah, wajah yang sudah sangat dia hafal. Jatuh helai rambut yang sangat dia kenal. Anak gadis yang dulu ketika bayi adalah mataharinya. Dia cium dia gendong setiap pagi dan sore. Tak sedikitpun ia rela jika menangis. Kini tegak mematung di depannya. Membawa konji untuk berbuka. Tidak tau, entah kalimat apa yang akan ia sebut. Gadis kecil ini, bijak seperti ibunya, dan sensitif seperti dia. Antara terdengar dan tidak, ia memanggil nama,....".."
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu luar. Buru-buru ia membuka sambil mengusap mata. MasyaAllah, engkau nak? Gadis kecil remaja yang sangat ia kenal. Kini tumbuh agak lebih besar. Menating makanan di kedua tangannya. "Mama nyuruh berikan kolak untuk Papa..." katanya, sedikit menengadah. Ah, wajah yang sudah sangat dia hafal. Jatuh helai rambut yang sangat dia kenal. Anak gadis yang dulu ketika bayi adalah mataharinya. Dia cium dia gendong setiap pagi dan sore. Tak sedikitpun ia rela jika menangis. Kini tegak mematung di depannya. Membawa konji untuk berbuka. Tidak tau, entah kalimat apa yang akan ia sebut. Gadis kecil ini, bijak seperti ibunya, dan sensitif seperti dia. Antara terdengar dan tidak, ia memanggil nama,....".."
"Icel.." lirih. Ah, tidak, lebih cendrung tak terdengar. Tercekat. Tertahan di kerongkongan. Ingat mata bening berbinar ini, dulu kemasukan debu. Lalu mamanya memanggil-manggil, "Uda, tolong..." Gadis kecilnya ia peluk dan tiupkan matanya, beberapa kali. dengan lembut. Icel mengedipkan mata , lalu diam, dan akhirnya tersenyum. Debu itu sudah pergi. Dan ia merasa bahagia, telah menyelamatkan mata dan perasaan hati anak yang teramat dikasihinya ini.
"Papa,...." gadis kecil itu memanggilnya. Astaga, ya, ..ia telah mematung dan membiarkan kolak konji dalam rantang di tangan Icel lama tak ia sambut. Cepat ia raih wadah kolak itu dan buru-buru menaroknya di atas meja belakang.
"Papa,...." gadis kecil itu memanggilnya. Astaga, ya, ..ia telah mematung dan membiarkan kolak konji dalam rantang di tangan Icel lama tak ia sambut. Cepat ia raih wadah kolak itu dan buru-buru menaroknya di atas meja belakang.
Tidak ! Jangan dicuci dulu. Biar agak lama, biar anaknya main disini dulu, bersamanya. Ia beralih ke ruang tengah dan memindahkan canel tv ke acara anak-anak. Nah, ini dia tau persis, sangat disenangi Icel. Lalu ia beranjak ke pintu dan menatap putrinya lurus-lurus. Seakan bicara melalui frekuensi aura. "Anak papa tentu mau nemani papa dulu kan? Tuh, acara kesayangan Icel, di Tivi!" ia menoleh ke layar. Icel mengikuti dengan mata. Duh, bolamata gadis kecil bidadari ! Bukan hanya tatap mata, anak rambut, bahkan helaan nafas dan bau kencur putrinya amat ia hafal.
Putrinya melangkah pelan, masuk dan memandang layar tivi. Bagai bidadari surga. Pintu yang terkuak membuat angin leluasa masuk. Masuk dan menerpa kain yang tergantung. Lalu berpindah meniup dingin di kepala. "Temani papa berbuka untuk hari ini saja ya sayang ya?"
Icel duduk manis di depan tivi. Film Upin Ipin mengambil perhatiannya. Di luar, di halaman, kedengaran suara motor masuk pekarangan. Pasti Sutan Kayo, bapaknya, bersama Arta, adik Icel. Mereka pulang dari pasar Sore Dangung-Dangung. Di gantungan bawah stang, asoi berisi makanan kecil penuh. Sutan kayo parkir persis di samping motor yang di bawa Icel. Hatinya berdegup. Kesinikah mantan menantunya?
Tapi, adalah kebiasaan Sutan kayo untuk sanggup menahan hati. Dengan lambat ia matikan mesin motor, lalu menyuruh Arta turun pelan, mengambil kantong makananan dari gantungan dan masuk ke rumah dengan rada menunduk. Berat bagi perasaannya, melihat nasib yang menimpa anak cucunya. Tapi, apa yang hendak ia katakan, takdir membuat garis hidup. Sudahlah!
Arta yang cepat meluncur ke ddalam mendahului kakeknya. Ia mengira tentu ada mama dan Ni Icel di dalam rumah. Sandal ia terbangkan di depan pintu, dan langsung masuk ke ruang tamu. Pandangannnya bertemu dengan uninya. Dan seperti lazimnya anak-anak, keduanya seperti otomatis lengket dan duduk berdampingan.
Icel ini nama panjangnya Marcelia. Marcelia itu pilihan mamanya. Walau ia menginginkan nama seperti Siti Anisah, atau halimah, tapi istrinya dulu menginginkan nama yang lebih modern. dan akhirnya digabung jadi Marcelia Hanafi . Jalan tengah!
Saat Arta lahir, istrinya tak mau lagi mengalah. Nama anaknya dia inginkan Smart, artinya pintar. lalu dimodifikasi jadi Smarta. Dan ia akhirnya mengalah. Apalah arti sebuah nama,....
Kelahiran dua putri putra itu menandai semakin realistisnya mama mereka dalam menatap hidup. Ia ingin mengganti vespa butut dengan mobil kecil. Ia ingin membuat warung di rumah kredit sederhana mereka yang belum lunas. Niat itu bahkan ia wujudkan, ketika ia pulang dari kantor sebagai pegawai rendah, dengan vespa butut, menemukan dua orang tukang kayu sudah bekerja di pojok depan halaman sedang membuat warung kayu. Ia seperti menjadi kecil dan dilangkahi. Ah,...
"Opa, mak dulu cantik tak?" Upin bertanya pada neneknya di layar tivi. "Cantik!" kakak mereka langsung menjawab. "Iyaa, cantiik dan baik.." Opa menjawab lembut. Dan Ipin mengulang, "Cantik-cantik-cantik!" Untuk film Upin Ipin ini, Icel dan Arta sama -sama suka. Tapi kalau lagi rebutan remot, Icel biasanya lebih suka film Dora yang mendidik teka teki hitungan, dan Arta lebih senang film monster robot. Kini, kedua anak itu ia tatap dari belakang dengan perasaan campur aduk. Ia lalu mendekat. Dan tak tertahankan, kedua kepala anaknya ia rangkul.....
Dialog Upin Upin dan Opanya itu mengingatkan Icel pada pesan mamanya. "Jan main pulo dulu, copek pulang! Hati-hati ba onda di jalan!" Icel segera bangkit dari sofa dan memandang kepada papanya. Ia menatap sepenuh hati pada anak gadis kecilnya.
"Icel pulang dulu ya Pa?" pintanya. Dada serasa berdegup. Tapi ia sudah melatih untuk lebih sabar. Ia mulai paham, bahwa hidup ini tak pernah berhenti dari cobaan, dan pepatah lama yang mengingatkan; Nan Tuo Manangguang ragam....
"Iya deh. Iya. Bentar, papa rapiin dulu mangkok kolaknya ya. Ntar bilang mama, papa senang dikirimi kolak, papa terimakasih banget, gitu ya?" Icel mengangguk. Rambutnya menjuntai di kening. Lurus hitam.
Arta seperti tak rela. Ia menoleh pada keprgian Uninya. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia sejak ikut dengan papa, dan pisah dengan mama serta ni Icel, terkondisi untuk 'tak banyak kehendak' dan relatif menerima. Papa memang tidak memearahi berlebihan, tapi entah kenapa, sorot mata Papa jika sedang tak setuju, begitu tajam dan menusuk sampai ke hati. Arta takut. Tapi sinar matanya, tetap mengikuti ni Icel yang mengambil mangkok konji dan berjalan keluar. Angin kembali masuk saat pintu terbuka. dan kain kembali melambai. Ucapan salam memisahkan anak-anak kecil itu. Ah,...
Ia melepas sampai ke halaman. Tidak, tidak hanya sampai ke halaman, bahkan sampai belok ke kiri menuju arah Simpang Bakie. Sepeda motor yang dipakai Icel itu dulu adalah hasil perjuangan kredit saat masih punya warung di kota tempat mereka tinggal. Bunyi mesinnya familiar sekali di telinga. Laba warung mamanya, yang dihimpun dan pinjam sedikit di kantor. Sebab mobil kecil belum kesampaian. Motor akhirnya belok dan hilang di tikungan. Namun bayang punggung Icel, dengan rambutnya, tetap ada di ruang mata. Aduh nak,...
Ia kembali ke dalam. Arta terlihat merebahkan badan di sofa depan tivi. Nak, hati bapakmu inipun sudah rebah, bahkan setahun yang lalu, bisiknya sendiri. Lalu pandangannya beralih ke mangkok kolak konji di meja. Ada getir nan menggigit. Sebab dulu, saat pertama mengontrak rumah, dia yang mengajari Ilen, mama Icel, memasaknya. Santan kelapa yang masih belum tua, gula enau yang dicampur gula putih, dan pandan serta sebiji cengkeh.Baunya sangat menggoda selera. Kini dibukanya tutup kolak itu. Dan persis! Ia tersenyum, pahit. Pertengkaran yang menumpuk, emosi yang tak terkendali, lalu, ah sudahlah! Tak usah dikenang lagi. Kepalanya akan berbinar-binar dan harus ditidurkan, jika ingat setiap kali Ilen melawannya.
Tapi sepertinya ia belum diizinkan istirahat. Suara motor terdengar lagi di halaman. Siapa?
Dua pemuda tanggung turun. Berpeci putih satunya dan bersisir rapi yang lainnya. Siapa ya? Ia membuka pintu dan mencoba tersenyum ramah. Entahlah, entah ramah antah pencong!
"Assalamualaikum Uda!" sapa mereka.
"Alaikumslaam, naiaklah, Sia iko yo? Apo kobea?"
Kedua pemuda itu duduk dan mengutarakan niatnya. "Tuak Sati indak bisa maagieh caramah kultum malam biko da. Kato pak Icun, Uda mungkin bisa manggontian. Tuak sati poi ka Pokanbaru, ka tompek anaknyo potang."
Alamak! Apa pula ini? Bukankah ini pekerjaannya para ustad dan buya? Atau sekurangnya guru? Bukan pegawai rendah puskesmas seperti dia ini?
"Jan lai! Jan lai! Cari se lah nan lain! A pulo nan ka obeh dek deen ? Sikola tinggih indak, mangaji indak pulo! Jan lai!" ia menampik."Nan lain sadonyo mamintak ka uda. Katonyo, salagi uda lai di rumah, mintaklah sapatah duo ayat, panambah-nambah ilemu kami di kampuang. Isuak sudah rayo, uda lah ka babaliek pulo ka suborang" jawab pemuda remaja masjid itu.
"Kok buliah batanyo, kalian ko sia ko?"
"Den cucu Mak Tuah lakang pajak Irin da. nan iko anak tek sani simpang ompek."
"E yayai! Dusanak deen kasadonyo! tapi, apolah nan ka den kecek-an biko ko?"
"Tasorah udalah. Kami manampuang ajo... he he he"
Berjalan kembali ke depan tivi, menemani Arta. Anak itu meremas-remas remot dengan tangannya. Suara sandal kakeknya terdengar diseret-seret dari dalam toilet.
Fikiran kini menumpuk pada kultum nantik malam, sehabis isya. Mau nyampaikan apa? Yang ia hafal hanya satu ayat, al baqarah 183; bahwa puasa wajib untuk meraih takwa. Itu saja. Itupun karena sering diulang-ulang oleh penceramah. Udahlah, sampaikan ayat itu sajalah malam nanti. Bukankah jika disampaikan oleh person berbeda, walau materinya sama, namun memiliki 'ruh' yang berbeda? Ini menyangkut nawaitu penyampai dan pemahamannya, kan? Hop, tunggu dulu! Ia ingat, di puskesmasnya di seberang sana, dokter pernah bilang; puasa akan membuat tubuh melakukan detoksifikasi pada racun dalam lemak tubuh. Racun yang sering masuk melalui sayur yang disemprot insektisida dan lain-lain. Puasa juga bisa meng-inisiasi awet muda, sebab proses-proses dalam tubuh jadi melambat. Energi yang biasa diarahkan ke perut, kini bisa dimanfaatkan untuk berfikir ataupun melawan penyakit. Makanya, kata dokter, sering orang sembuh oleh puasa. Nah! Ide bagus kan?
Masuk masjid ia sudah seperti demam, Perut seperti merambat-rambat. Jantung berdetak lebih kencang. Shalat sunat tahyatul masjid berlalu. Ada yang qomat. Lalu Pak Icun maju memimpin shalat Isya, diikuti shalat sunah rawatib. Dan kini! Giliran dia! Duh ya Allah, selamatkan akuuuuu......
Sejenak terbayang wajah Arta yang menunggunya di rumah. Ia sudah prakondisikan tadi, bahwa papa akan pulang lebih lambat, sebab diminta ngasih kultum di masjid; jadi kalau biasanya papa shalat witir di rumah, sepulang tarawih di masjid, maka malam ini, papa witir di masjid dan mungkin tanda tangan buku anak-anak sekolah yang ditugaskan guru agamanya mencatat, lalu mungkin akan bincang-bincang sejenak dengan tetua-tetua masjid, barulah pulang. Arta tadi mengangguk mengiyakan. Ia tak berani menatap mata tajam papanya. Iya kan?
Tapi, tunggu dulu. Bukankah diantara jemaah yang hadir itu, ada Pak Akim? Ya, ia duduk malahan dekat saf pertama. Mau tau siapa pak Akim? Ia bapak Ilen, mertuanya dulu! Onde mandeh! Batapa beratnya beban menyampaikan materi agama di depan orang kampungnya, di depan cerdik pandai jemaah masjid, dan di depan mantan mertua. Lebih berat dari menghadap dokter kepala puskesmas di Bogor! Atau kepala dinkes sekalipun! Ampun Tuhan,...
"Saya sebenarnya tak berkompetensi menyampaikan ini pak, buk, dunsanak semua!" ia memulai." Ilmu dan pemahaman saya jauh di bawah bapak, ibu dan uda semua," tambahnya. Suaranya bergetar. Tapi satu hal yang dijaganya; niat! "Syukur atas kepercayaan bapak pengurus memberi kesempatan pada saya untuk belajar, sebab jika saya tunggu ilmu dan ketakwaan saya mumpuni, sempurna; jangan-jangan sampai meninggalpun, saya belum sampai taraf itu. Jadi,saya coba menguatkan hati, untuk berbagi apa yang saya tahu pada bapak, ibu, uda semuanya." tandasnya. Sedikit-demi sedikit groginya hilang. Nawaitunya hanya untuk beribadah, lain tidak! Intonasi lurus tabung, tentu berbeda dengan intonasi jika punya hajat untuk jadi kades atau caleg,...
Benar-benar tak dia sangka, audiens justru terengkuh hatinya dengan kesederhanaan ini. Tak ada pantun. tak ada lelocon. Tak ada pepatah petitih. Ya, kurus tabung saja. Kecuali bahwa niat tetap ia jaga, jangan meleset se inci pun! Begitu ia selesai, bapak-bapak yang didekatnya pada menyalami tangannya. Bahkan setelah selesai shalat witirpun, mereka masih duduk berkeliling, saling tanya dan berberita. Dan tak terkecuali pak Akim. Tangan pak Akim ikut ia salami, yang membuat ingatan melayang belasan tahun lalu, di masjid ini, tangan yang sama ia genggam depan petugas KUA. Sekat-sekat yang pernah terbangun, malam ini justru menjadi cair dalam silaturrahmi bersama. Hal lain, yang menyimpul di hatinya adalah: Nampaknya jika jadi singa dipodium, maka jemaah merasa teragitasi otoriter, tapi kalau jadi 'bilang-bilang rendah, justru diseruduk-i".
Berkah berikutnya, yang tak ia duga adalah, setelah selesai silaturrahmi itu,saat keluar dari masjid, Pak Akim menggaet tangannya dan membawa berunding arah ke pinggir halaman masjid. "Ananda, lah tibo masonyo gaknyo, mauleh nan putuh, mampatauk-an nan rotak,,," katanya. Ia cepat mafhum maksud bekas mertuanya ini. Sejenak ia terdiam. Kolak yang ia makan saat berbuka tadi teringat-ingat manisnya.
"Lah ibo bona ati apak manengok Ilen jo Icel,... Apak tanyoan ka Ilen, lai manangkuk ajo inyo. Malahan titiek aie mato." Pak Akim menambahkan. Ah, kalau saja ia mengikuti kerasnya hati, ingin ia berteriak; 'katonyo nyo bisa iduk sorang, indak ka peolu jo den lai!". Tapi mungkin oleh karena umur, dan semakin bertambahnya pengalaman hidup, ia diam saja. Bukankah manusia memang tempat beradanya kesalahan, kata temannya di Bogor, dulu. Okelah. "Mangcek den jo apak jo amak dulu dih pak.." jawabnya. Setelah itu mereka berpisah setelah kembali berjabat erat.
Tiga hari setelah itu, Ilen yang berkerudung putih, pakaian atasan dan bawahan putih barendo, diantar bapak ibunya serta mamaknya ke mudik. Icel juga. Mereka membawa talam yang entah apa isinya. Begitu sampai, Ilen lansung sujud ke pangkuannya. Dan ia, tak kuasa menahan hati. Sebab Icel dan Arta juga memandangnya dengan mata bening. O Tuhan Allah nan Kayo....
Puasa 20 hari dan lebaran kami lalui di kampung. Tentu dengan kebahagiaan berkah Tuhan. Dengan senyum simpul sanak keluarga semua. Kini , rutinitas tugas,s ebagai pegawai kecil harus kembali dijalani. Ruang adminstrasi obat di puskesmas pinggiran Bogor!
Kami memesan 4 tiket Bus Bintang Kejora AC jurusan Payakumbuh Jakarta Bandung. Ia dan Ilen duduk di bangku tengah. Icel dan Arta duduk di depan kami. Suprisenya adalah, bahwa Ilen sejak diantar pak Akim ke mudik, tak pernah lagi memandang wajahnya dengan menantang. Ia selalu menunduk. Paling banter tersenyum dan kembali menunduk.
"Mama, lapar..." Arta memanggil dari kursi depan.
"Iya, ntar. ada lepat kucung di plastik asoi atas kepala papa. Tolong dong pa..." Ilen menjawab. Ya, kami bawa makanan di plastik asoi yang ditempatkan samping tas bagasi atas kepala.
Asoi lepat itu ia jangkau. Ilen membukanya den mengambil sepotong. Arta cepat meraih dari tangan mamanya.
Kami memesan 4 tiket Bus Bintang Kejora AC jurusan Payakumbuh Jakarta Bandung. Ia dan Ilen duduk di bangku tengah. Icel dan Arta duduk di depan kami. Suprisenya adalah, bahwa Ilen sejak diantar pak Akim ke mudik, tak pernah lagi memandang wajahnya dengan menantang. Ia selalu menunduk. Paling banter tersenyum dan kembali menunduk.
"Mama, lapar..." Arta memanggil dari kursi depan.
"Iya, ntar. ada lepat kucung di plastik asoi atas kepala papa. Tolong dong pa..." Ilen menjawab. Ya, kami bawa makanan di plastik asoi yang ditempatkan samping tas bagasi atas kepala.
Asoi lepat itu ia jangkau. Ilen membukanya den mengambil sepotong. Arta cepat meraih dari tangan mamanya.
"Icel mau juga?" Ilen bertanya pada yang sulung. Tangannya megambil potongan yang lain. Icel ikut mengambil, tapi tak secepat raihan tangan Arta. Ilen mengambil sepotong lagi, dan memberikan padaku. Oh,...
Yang ia tetap perhatikan, Ilen tetap tak pernah memandang sorot mata. Ia menunduk.Takut jika Ilen terlalu tertekan perasaan. Tak sampai hati juga. Ketika lepat telah selesai ditarok, dan tangan telah dibersihkan, ia rangkul kepala Ilen pelan-pelan. Ilen merebahkan badan patuh. Sekan berpesan; iduk Ilen saratuh poresen wak sarahkan ka Uda.... Ia usap-usap ubun-ubun istrinya......... Bogor, kami datang!
Yang ia tetap perhatikan, Ilen tetap tak pernah memandang sorot mata. Ia menunduk.Takut jika Ilen terlalu tertekan perasaan. Tak sampai hati juga. Ketika lepat telah selesai ditarok, dan tangan telah dibersihkan, ia rangkul kepala Ilen pelan-pelan. Ilen merebahkan badan patuh. Sekan berpesan; iduk Ilen saratuh poresen wak sarahkan ka Uda.... Ia usap-usap ubun-ubun istrinya......... Bogor, kami datang!
Ndeh Ilen
ReplyDelete