Katidieng Boruak
Uwin Tinggih memperhatikan latihan dengan serius. Senang hatinya, dapat hiburan gratis. Sandiwara akan digelar beberapa hari selesai lebaran. Dan, pemuda pemudi, sibuk memeprsiapkan. Termasuk Uda Marsal, yang berperan sebagai mahasiswa di Padang, pulang sambil menyandang jaket. Sayang, tautan hatinya, di Tiakar, telah bertando dengan yang lain. Sungguh menarik ceritanya. Uwin tinggih, kadang - kadang senyum melihat akting Uda dan Uni di ruang SD. Matanya tak berkedip melihat Yeni, yang coga bukan main, dan sering tersenyum. Ah,..
Lamik Dalimo disebut demikian bukanlah karena ia bersuku Dalimo. Tapi karena ia sayang sekali sama batu cincin di jari manisnya berwarna merah muda. Di lepau simpang, di masjid, di sawah, di pincuran atau luwak mandi, orang-orang sudah hafal dengan perangai Lamik Dalimo. Kelebihan Lamik adalah ia pandai bergaul, dekat dengan muda-mudi, murah senyum dan pintar menari. Itulah sebabnya, ia yang sehari-harinya mencangkul dan beternak sapi, menjadi 'pelatih tari' dadakan setiap lebaran dan sandiwara. Lihat saja, betapa Lamik serius membimbing remaja menari Mak Inang Pulau Kampai. Tape recorder kaset ditarok di kursi. Bunyinya nyaring, Zaman itu belum ada tip bas yang empuk. Terkadang, iri Uwin dengan kurenah Lamik. Tapi apa mau dikata, ia memang Uwin Tinggih, remaja jolong godang yang biasa-biasa saja. Kumis baru tumbuh.
Tidak mungkin; bisiknya dalam hati. Lihat, dia begitu banyak dikelilingi teman sesama pemain dan penari. Ada uni Susi, ada uni Mijol, dan lain-lain. Namun, untuk menjujurkan hati, dia tatap juga wajah itu dengan sudut mata. Dari atas pentas yang belum dihias, uda Jon latihan lagu Broery, Angin Malam. Melodinya mengalun pelan. Sudut mata Uwin makin sejuk melihat kain tekuluk Yeni yang melambai. Remaja tahun 1980-an,....
Rinal sudah datang. Da Farid dan da An mulai memainkan gitar. Rinal menggebrak drum dengan atraktif. Remaja-remaja mulai mengarahkan perhatian ke pentas atas. Tapi, anak-anak kecil, masih berkerumun di latihan tari lokal bawah. Uwin sebenarnya menggejolak juga hatinya ke arah pentas. Namun lenggok Yeni yang sedang latihan tari, senyumnya, buai selendangnya,....terasa berat untukditinggalkan. Entahlah,...
"Ha, lah rami. Lai ka malogu?" Da Cilan, yang rambutnya berdiri tegak, mengamit bahu Uwin. Ia menyandang kain sarung. Baru datang dari rumahnya di belakang rumah mak Pian, pajak Lili.
Uwin Tinggih beranjak arah ke pentas. Da An dan da Farid menyetel suara gitar. Rinal, menunggu sambil menabuh-nabuh drum dengan lembut. "Iyo, dari G lansuang pindah ka A-minor.." terdengar da Farid bicara. Da An dan da Am mengangguk-angguk. "Berhembus angin malaaaaaaam,.,......" terdengar suara berat. Rinal melakukan appresiasi dengan tabuhan drum saat masuk dari intro. Da Farid mengangguk. Da An, senyum. Uwin Tinggih terpana. Lagu itu terasa merdu. Apalagi, sudut matanya, melirik ke Yeni, yang wajahnya lembut mempesona.
Senja jatuh di puncak bukit Nyunyuang. Latihan tari kelihatan bubar. Mungkin dilanjutkan malam nanti. Nyanyi "benci tapi rindu' selesai digarap oleh group band dadakan. Dari segi kebutuhan jiwa, Uwin sudah senang. Dari segi lain, ia hanya bisa menatap Yeni pulang bersama kawannya arah ke timur,... Da Cilan sibuk membersihkan ruang. Magrib segera datang. Uwin mengayuh sepeda resing perlahan. Saat mendahului rombongan Yeni dengan kawan-kawannya, hatinya seperti diterpa angin limbubu. Kerikil seperti berubah jadi besar, dan ban sepeda terasa melonjak-lonjak. Tak sedikitpun ia sanggup menoleh, atau menyapa, .... Bahkan ia seperti hilang ditelan udara, ketika didengarnya diantara rombongan yang di dahuluinya berciloteh usil,"Ha, Uwin, ..sorang sa,...bisa mbonceng awak mah."
Pak Junik Tando sedang menyuruh ayamnya masuk ke kandang. Tek Limah datang dari kebun belakang rumah membawa daun kates. Magrib telah tiba. Di masjid orang terdengar azan. Uwin Tinggik membelokkan sepeda ke halaman. "Dari ma ajo ang, ayom lah apak nen maagieh maken!" Ni Jet menegur. Uwin meneruskan sepeda ke dapur, dan menjawab"Nengok urang latihen, di SD". "Soto ang main tu?" "Indak, nengok sa. Urang main band." "Nengok urang main band atau nengok urang manari?" Ni Jet menyerocos terus. Tapi Uwin tak menjawab. Ia langsung ke sumur untuk ambil wuduk. Tak usahlah ia sampaikan jerit-dadanya pada ni Jet. Malu !
Lamik Dalimo disebut demikian bukanlah karena ia bersuku Dalimo. Tapi karena ia sayang sekali sama batu cincin di jari manisnya berwarna merah muda. Di lepau simpang, di masjid, di sawah, di pincuran atau luwak mandi, orang-orang sudah hafal dengan perangai Lamik Dalimo. Kelebihan Lamik adalah ia pandai bergaul, dekat dengan muda-mudi, murah senyum dan pintar menari. Itulah sebabnya, ia yang sehari-harinya mencangkul dan beternak sapi, menjadi 'pelatih tari' dadakan setiap lebaran dan sandiwara. Lihat saja, betapa Lamik serius membimbing remaja menari Mak Inang Pulau Kampai. Tape recorder kaset ditarok di kursi. Bunyinya nyaring, Zaman itu belum ada tip bas yang empuk. Terkadang, iri Uwin dengan kurenah Lamik. Tapi apa mau dikata, ia memang Uwin Tinggih, remaja jolong godang yang biasa-biasa saja. Kumis baru tumbuh.
Tidak mungkin; bisiknya dalam hati. Lihat, dia begitu banyak dikelilingi teman sesama pemain dan penari. Ada uni Susi, ada uni Mijol, dan lain-lain. Namun, untuk menjujurkan hati, dia tatap juga wajah itu dengan sudut mata. Dari atas pentas yang belum dihias, uda Jon latihan lagu Broery, Angin Malam. Melodinya mengalun pelan. Sudut mata Uwin makin sejuk melihat kain tekuluk Yeni yang melambai. Remaja tahun 1980-an,....
Rinal sudah datang. Da Farid dan da An mulai memainkan gitar. Rinal menggebrak drum dengan atraktif. Remaja-remaja mulai mengarahkan perhatian ke pentas atas. Tapi, anak-anak kecil, masih berkerumun di latihan tari lokal bawah. Uwin sebenarnya menggejolak juga hatinya ke arah pentas. Namun lenggok Yeni yang sedang latihan tari, senyumnya, buai selendangnya,....terasa berat untukditinggalkan. Entahlah,...
"Ha, lah rami. Lai ka malogu?" Da Cilan, yang rambutnya berdiri tegak, mengamit bahu Uwin. Ia menyandang kain sarung. Baru datang dari rumahnya di belakang rumah mak Pian, pajak Lili.
Uwin Tinggih beranjak arah ke pentas. Da An dan da Farid menyetel suara gitar. Rinal, menunggu sambil menabuh-nabuh drum dengan lembut. "Iyo, dari G lansuang pindah ka A-minor.." terdengar da Farid bicara. Da An dan da Am mengangguk-angguk. "Berhembus angin malaaaaaaam,.,......" terdengar suara berat. Rinal melakukan appresiasi dengan tabuhan drum saat masuk dari intro. Da Farid mengangguk. Da An, senyum. Uwin Tinggih terpana. Lagu itu terasa merdu. Apalagi, sudut matanya, melirik ke Yeni, yang wajahnya lembut mempesona.
Senja jatuh di puncak bukit Nyunyuang. Latihan tari kelihatan bubar. Mungkin dilanjutkan malam nanti. Nyanyi "benci tapi rindu' selesai digarap oleh group band dadakan. Dari segi kebutuhan jiwa, Uwin sudah senang. Dari segi lain, ia hanya bisa menatap Yeni pulang bersama kawannya arah ke timur,... Da Cilan sibuk membersihkan ruang. Magrib segera datang. Uwin mengayuh sepeda resing perlahan. Saat mendahului rombongan Yeni dengan kawan-kawannya, hatinya seperti diterpa angin limbubu. Kerikil seperti berubah jadi besar, dan ban sepeda terasa melonjak-lonjak. Tak sedikitpun ia sanggup menoleh, atau menyapa, .... Bahkan ia seperti hilang ditelan udara, ketika didengarnya diantara rombongan yang di dahuluinya berciloteh usil,"Ha, Uwin, ..sorang sa,...bisa mbonceng awak mah."
Pak Junik Tando sedang menyuruh ayamnya masuk ke kandang. Tek Limah datang dari kebun belakang rumah membawa daun kates. Magrib telah tiba. Di masjid orang terdengar azan. Uwin Tinggik membelokkan sepeda ke halaman. "Dari ma ajo ang, ayom lah apak nen maagieh maken!" Ni Jet menegur. Uwin meneruskan sepeda ke dapur, dan menjawab"Nengok urang latihen, di SD". "Soto ang main tu?" "Indak, nengok sa. Urang main band." "Nengok urang main band atau nengok urang manari?" Ni Jet menyerocos terus. Tapi Uwin tak menjawab. Ia langsung ke sumur untuk ambil wuduk. Tak usahlah ia sampaikan jerit-dadanya pada ni Jet. Malu !
Begitu selesai berbuka puasa, Uwin Tinggih cepat pergi shalat tarawih. Cendol sagu yang dibuat Tek Limah, ibunya, diminum setengah gelas. Berikutnya adalah hilang di gelap batang rambutan depan rumah, lalu belok ke mudik, arah masjid. Bertemu dengan Endi, Suwir dan lain-lain lalu mebicarakan keindahan mata Yeni, adalah sesuatu yang memikat. Bahkan sangat membuai! Pak Yasir kadang sudah memulai shalat Isya, mereka, para pemuda tanggung masih duduk dekat batu halaman masjid, dengan setengah berbisik,”cako kotu latihan nari, rancak bona liou...” Aduh,...
"Lai omuah ang den tunjuak-en? Bueaklah sureak, katoen kinyo.....adinda bagai ratu purnama..." Suwir yang lebih duluan setahun dari Uwin di kelas SLTA, bertanya. Di dalam mesjid, shalat sudah masuk rakaat ke dua. "Hah? Sureak? ...." Uwin seperti melihat secercah harapan. Mayang rambut Yeni, bagai ratna mutu manikam. Handeh!
Sudah hampir rakaat ke empat shalat Isya, mereka baru masuk. Lansung menyelip di shaf paling belakang. Merasa beruntung, tak perlu lama-lama mengikuti imam... Dan ritual kemudian berlanjut dengan ceramah sebelum shalat tarawih. Malam ini pak Muas Murab mendapat giliran. Ia memiliki kemampuan menguasai audiens. Lihat, bagaimana ia menerangkan orang-orang yang terkadang berpuasa ada tapi tetap saja tidak shalat. Dalam hadis beliau mencontohkan; "orang-orang yang berpuasa ada tapi bersembahyang tidak, seperti bagaikan orang-orang yang berbaju ada bercelana tidaaaaaakk!!" tegasnya, sambil telunjuknya bergerak dari arah dada ke sisi kanan, sebuah gesture yang membuat Endi, Suwir serta Uwin tersenyum geli.
"Den ado pantun,..." Suwir bebrisik ke telinga Uwin. Uwin memandang Suwir tak sabar. Pak Muas Murab masih menerangkan perilaku orang tak bersembahyang. Namun Suwir sudah menggelar pantunnya, yang tak ayal membuat Endi juga mengalihkan perhatian, dari gestur tangan pak Muas ke mulut Suwir.
"Ayom janten rambaian toduang,
Ikua manjelo masuak padi.
Dalom nagori kalilieng kampuang,
Indak ado nen saromen Yeni..."
Lalu Suwir terkikik menahan tawa. Endi juga. Uwin Tinggih merah mukanya.
Cekikikan tawa pemuda tanggung itu segera terhenti. Tuk Ociek berdiri dari saf depan dan berjalan ke belakang. Tuk Ociek berbadan kecil karena mungkin kecelakaan sejak masa kanak-kanak. Tapi kami semua tahu, ia memiliki kinerja dan kekuatan hidup yang kuat. Dengan memegang kain sarung, ia lewat depan Endi, Suwir dan Uwin. Sambil senyum ke remaja itu, Tuk Ociek berkata,"Ka lakang ciek lu, lopeh uluak.." Alhamdulillah, ternyata mereka tidak kena tegur.
"Lai omuah ang den tunjuak-en? Bueaklah sureak, katoen kinyo.....adinda bagai ratu purnama..." Suwir yang lebih duluan setahun dari Uwin di kelas SLTA, bertanya. Di dalam mesjid, shalat sudah masuk rakaat ke dua. "Hah? Sureak? ...." Uwin seperti melihat secercah harapan. Mayang rambut Yeni, bagai ratna mutu manikam. Handeh!
Sudah hampir rakaat ke empat shalat Isya, mereka baru masuk. Lansung menyelip di shaf paling belakang. Merasa beruntung, tak perlu lama-lama mengikuti imam... Dan ritual kemudian berlanjut dengan ceramah sebelum shalat tarawih. Malam ini pak Muas Murab mendapat giliran. Ia memiliki kemampuan menguasai audiens. Lihat, bagaimana ia menerangkan orang-orang yang terkadang berpuasa ada tapi tetap saja tidak shalat. Dalam hadis beliau mencontohkan; "orang-orang yang berpuasa ada tapi bersembahyang tidak, seperti bagaikan orang-orang yang berbaju ada bercelana tidaaaaaakk!!" tegasnya, sambil telunjuknya bergerak dari arah dada ke sisi kanan, sebuah gesture yang membuat Endi, Suwir serta Uwin tersenyum geli.
"Den ado pantun,..." Suwir bebrisik ke telinga Uwin. Uwin memandang Suwir tak sabar. Pak Muas Murab masih menerangkan perilaku orang tak bersembahyang. Namun Suwir sudah menggelar pantunnya, yang tak ayal membuat Endi juga mengalihkan perhatian, dari gestur tangan pak Muas ke mulut Suwir.
"Ayom janten rambaian toduang,
Ikua manjelo masuak padi.
Dalom nagori kalilieng kampuang,
Indak ado nen saromen Yeni..."
Lalu Suwir terkikik menahan tawa. Endi juga. Uwin Tinggih merah mukanya.
Cekikikan tawa pemuda tanggung itu segera terhenti. Tuk Ociek berdiri dari saf depan dan berjalan ke belakang. Tuk Ociek berbadan kecil karena mungkin kecelakaan sejak masa kanak-kanak. Tapi kami semua tahu, ia memiliki kinerja dan kekuatan hidup yang kuat. Dengan memegang kain sarung, ia lewat depan Endi, Suwir dan Uwin. Sambil senyum ke remaja itu, Tuk Ociek berkata,"Ka lakang ciek lu, lopeh uluak.." Alhamdulillah, ternyata mereka tidak kena tegur.
Ingin benar Uwin mengetahui, sebelah manalah duduknya Yeni di barisan saf ibu-ibu. Sekilas, dilayangkannya pandang ke belakang. Tapi, sulit menidentifikasi, wajah-wajah yang semuanya tertutup balutan mukenah. Jika dinanapkannya agak lama, malu pula hatinya. jangan-jangan, Tek Limah, ibunya, memperhatikannya pula. Atau ni Jet yang bisa saja mencecarnya nanti di rumah. Namun, entah kenapa, dalam pura-pura melengong, tetap saja matanya mencari wajah damai bulat telur itu. Nde, pancirugahan, baa lah ko?
Satu-satunya harapan adalah menyapa saat pulang tarawih nanti. Mudah-mudahan,...ia memanjatkan doa. Tentulah, Yeni akan berjalan beriringan ceria gelak tawa dengan teman-temannya. Tentulah ia akan berombongan sama Ita, Ijun, Munis dan lain-lain. Bayangan pulang dari masjid itu, mengganggu dalam shalat tarawih. Betapa lama rasanya 11 rakaat ini. Adakah ayat pendek yang lebih pendek lagi? Astaghfirullah...
Dan akhirnya terdengar juga ucapan salam dari depan. Anak-anak kecil berhamburan keluar, riuh rendah. Diantara mereka ada yang main bedil korek api, ada yang membawa lupi bekas kotak rokok. Endi mulai berdiri, diikuti Suwir dan tentunya Uwin.
Sementara bapak-bapak, terlihat masih terpaku dalam zikir. Pak Budiman NS, yang wajahnya mudah senyum, tafakur di saf depan belakang imam. Sementara Uwin, sedang menyiapkan kata untuk ditembakkan di jalan sepulang tarawih. "Yeni...." Ontahlaaaaah....
Entah karena dikabulkan Tuhan, belum sampai di pinggir jalan berkerikil, di halaman masjid saja mereka telah bertemu. Dan entah kenapa pula, mata Yeni bertemu tatap di terangnya cahaya lampu. Debar jantung tiba-tiba menjadi tak terkendali. Serasa hendak pecah! Aura indah memancar dari mata bercahaya itu. Ataukah ini perasaan Uwin saja?....... Oleh karena gugup, tak ada yang tersampaikan. Tak muncul panggilan "Yeni.." yang telah disiapkan tadi. Hilang menguap ka udara dan terbang ke atas bukit Batu Putih.
"Uwin nyampeien salom.." malah Suwir yang merepet mulutnya. Dan Uwin tambah tak tentu yang akan disebut. Entah pucat entah senyum. Entah gugup entah akan bicara. Ponah!
Munis langsung menunjuk arah ke wajah Yeni. Entah apa maksudnya. Ita juga mendehem-dehem. Sambil senyum. Dan Yeni, jadi seperti bika yang dipanggang, segera mencubit lengan Munis. Mencubit dari balik mukenah yang tersandang. Terdengar pekikan tertahan. Lalu Endi dan Suwir seperti menikmati suasana dan beranjak menjauh, ke gerbang masjid. Uwin seperti disengat listrik. Dia kalah oleh perasaannya sendiri. Segera pula ia ikut Suwir dan Endi, dengan menanggung malu seberat batu di punggung bukit Nyunyuang.
"Cindua cako ado juo dalom cirarak,..." Tek Limah yang bicara saat membuka pintu rumah, sedikit menentramkan hati Uwin. Sejenak, cindua sagu berwarna coklat merah itu meredam denyut di hatinya. Lalu akhirnya Uwin terhampar di bilik kamar, menatap loteng. Loteng tadir yang seakan dipenuhi oleh wajah seseorang, Tersenyum lembut, mata bercahaya, hidung mancung dan bibir delima. Baa dek cando iko bona kooo...
Satu-satunya harapan adalah menyapa saat pulang tarawih nanti. Mudah-mudahan,...ia memanjatkan doa. Tentulah, Yeni akan berjalan beriringan ceria gelak tawa dengan teman-temannya. Tentulah ia akan berombongan sama Ita, Ijun, Munis dan lain-lain. Bayangan pulang dari masjid itu, mengganggu dalam shalat tarawih. Betapa lama rasanya 11 rakaat ini. Adakah ayat pendek yang lebih pendek lagi? Astaghfirullah...
Dan akhirnya terdengar juga ucapan salam dari depan. Anak-anak kecil berhamburan keluar, riuh rendah. Diantara mereka ada yang main bedil korek api, ada yang membawa lupi bekas kotak rokok. Endi mulai berdiri, diikuti Suwir dan tentunya Uwin.
Sementara bapak-bapak, terlihat masih terpaku dalam zikir. Pak Budiman NS, yang wajahnya mudah senyum, tafakur di saf depan belakang imam. Sementara Uwin, sedang menyiapkan kata untuk ditembakkan di jalan sepulang tarawih. "Yeni...." Ontahlaaaaah....
Entah karena dikabulkan Tuhan, belum sampai di pinggir jalan berkerikil, di halaman masjid saja mereka telah bertemu. Dan entah kenapa pula, mata Yeni bertemu tatap di terangnya cahaya lampu. Debar jantung tiba-tiba menjadi tak terkendali. Serasa hendak pecah! Aura indah memancar dari mata bercahaya itu. Ataukah ini perasaan Uwin saja?....... Oleh karena gugup, tak ada yang tersampaikan. Tak muncul panggilan "Yeni.." yang telah disiapkan tadi. Hilang menguap ka udara dan terbang ke atas bukit Batu Putih.
"Uwin nyampeien salom.." malah Suwir yang merepet mulutnya. Dan Uwin tambah tak tentu yang akan disebut. Entah pucat entah senyum. Entah gugup entah akan bicara. Ponah!
Munis langsung menunjuk arah ke wajah Yeni. Entah apa maksudnya. Ita juga mendehem-dehem. Sambil senyum. Dan Yeni, jadi seperti bika yang dipanggang, segera mencubit lengan Munis. Mencubit dari balik mukenah yang tersandang. Terdengar pekikan tertahan. Lalu Endi dan Suwir seperti menikmati suasana dan beranjak menjauh, ke gerbang masjid. Uwin seperti disengat listrik. Dia kalah oleh perasaannya sendiri. Segera pula ia ikut Suwir dan Endi, dengan menanggung malu seberat batu di punggung bukit Nyunyuang.
"Cindua cako ado juo dalom cirarak,..." Tek Limah yang bicara saat membuka pintu rumah, sedikit menentramkan hati Uwin. Sejenak, cindua sagu berwarna coklat merah itu meredam denyut di hatinya. Lalu akhirnya Uwin terhampar di bilik kamar, menatap loteng. Loteng tadir yang seakan dipenuhi oleh wajah seseorang, Tersenyum lembut, mata bercahaya, hidung mancung dan bibir delima. Baa dek cando iko bona kooo...
Adakah kita pernah mendengar petuah; apa yang terlalu menyita perhatian di siang hari, sering menjadi mimpi di malam hari? Itulah agaknya yang terjadi pada Uwin Tinggih. Wajah menawan di loteng bilik kamarnya betul-betul datang ketika ia memasuki frase tidur. Tidak jelas asal mulanya, ia telah berjalan di baruah pincuren, di pematang sawah, lalu mendaki bukit Nyunyuang bersama Yeni. Tentu dengan dada yang dipenuhi oleh kembang aneka warna. Meniti jalan setapak, mendaki menyibak daun pimping. Menikung batu dan tanah merah. Saat naik di batu-batu sebesar kerbau, dan Yeni kesulitan, ia bantu menarik tangan lembut Yeni. Seperti di alam kayangan. Baruh Kubang Tungkek, Baruh dangung-Dangung terlihat indah dijaga pohon kelapa nan hijau.
Mereka berhenti di air lanteh batu. Sebuah panorama yang tidak saja indah, tapi mengagumkan. Bagaimana mungkin air yang lunak menembus batu besar setelah mungkin ratusan tahun. Di bagian yang agak landai, dekat batu besar yang terjal curam, mereka duduk di pinggir air. Rumput hijau berseri. Lalu sama-sama memasukkan tangan ke air. Ikan kaporeh kecil-kecil, yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba mendekat. Seperti mengucapkan selamat datang. Yeni terdenyum. Uwin juga. lalu Yeni berusaha menangkap salah satu ikan itu dengan jemarinya. Tentu saja ikan - ikan kecil itu lari dan kemudian datang lagi. Ah, tolong katakan pada ikan kecil-kecil itu, Yeni adalah orang sangat anggun, dan indah. .....
Tiba-tiba Yeni mengarahkan telunjuknya ke pinggir air di ujung batu. Anak rambutnya terbuai di pelipis dan bergoyang ditiup angin Bukit Batu Putih. Uwin mengikuti arah telunjuk Yeni. Dan, ah, keindahan tumbuhan Katidieng Boruak, atau kantong semar, menyelinap disana. Warna kantongnya hijau berbintik kemerahan. Diujung daun yang melambai bergoyang. Menjalar dekat curamnya batu.
"Katidieng boruak!" Uwin berucap.
"Iyo. Katidieng boruak. Rancak na .... aienyo bisa diminum tih."
"Ho-oh. Ambiek nah?"
Uwin terhenti. Rada bahaya menggapai kantong semar itu. Sebab menjulur dan terlalu di badan air. Belum sempat Uwin bereaksi, Yeni sudah berdiri dan mencoba meraihnya. Dan yang ditakutkan Uwin betul-betul terjadi, Yeni jatuh ke air dan tengglam. Tak ayal, Uwin segera membantu. Tapi karena ini arena mimpi, Yeni telah terlanjur hilang dalam telaga air. Uwin panik dan terjun. Ia berteriak, "Yeniiii...!!!"
"Win! Uwin!! Barasien ang nak?!" Tek Limah masuk ke bilik.
"Jagolah, maken porak siang!" Tek Limah melanjutkan sambil mengguncang tangan Uwin. Antara gundah dan bahagia hati Tek Limah, mendengar anak lelakinya memanggil Yeni di tengah malam menjelang fajar ini. Tak terasa waktu berlalu, dan Uwin sudah SMA,.....nak janten jolong godang!
Mereka berhenti di air lanteh batu. Sebuah panorama yang tidak saja indah, tapi mengagumkan. Bagaimana mungkin air yang lunak menembus batu besar setelah mungkin ratusan tahun. Di bagian yang agak landai, dekat batu besar yang terjal curam, mereka duduk di pinggir air. Rumput hijau berseri. Lalu sama-sama memasukkan tangan ke air. Ikan kaporeh kecil-kecil, yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba mendekat. Seperti mengucapkan selamat datang. Yeni terdenyum. Uwin juga. lalu Yeni berusaha menangkap salah satu ikan itu dengan jemarinya. Tentu saja ikan - ikan kecil itu lari dan kemudian datang lagi. Ah, tolong katakan pada ikan kecil-kecil itu, Yeni adalah orang sangat anggun, dan indah. .....
Tiba-tiba Yeni mengarahkan telunjuknya ke pinggir air di ujung batu. Anak rambutnya terbuai di pelipis dan bergoyang ditiup angin Bukit Batu Putih. Uwin mengikuti arah telunjuk Yeni. Dan, ah, keindahan tumbuhan Katidieng Boruak, atau kantong semar, menyelinap disana. Warna kantongnya hijau berbintik kemerahan. Diujung daun yang melambai bergoyang. Menjalar dekat curamnya batu.
"Katidieng boruak!" Uwin berucap.
"Iyo. Katidieng boruak. Rancak na .... aienyo bisa diminum tih."
"Ho-oh. Ambiek nah?"
Uwin terhenti. Rada bahaya menggapai kantong semar itu. Sebab menjulur dan terlalu di badan air. Belum sempat Uwin bereaksi, Yeni sudah berdiri dan mencoba meraihnya. Dan yang ditakutkan Uwin betul-betul terjadi, Yeni jatuh ke air dan tengglam. Tak ayal, Uwin segera membantu. Tapi karena ini arena mimpi, Yeni telah terlanjur hilang dalam telaga air. Uwin panik dan terjun. Ia berteriak, "Yeniiii...!!!"
"Win! Uwin!! Barasien ang nak?!" Tek Limah masuk ke bilik.
"Jagolah, maken porak siang!" Tek Limah melanjutkan sambil mengguncang tangan Uwin. Antara gundah dan bahagia hati Tek Limah, mendengar anak lelakinya memanggil Yeni di tengah malam menjelang fajar ini. Tak terasa waktu berlalu, dan Uwin sudah SMA,.....nak janten jolong godang!
Tak terasa, hari beranjak senja. Begitu selesai shalat ashar, Uwin sudah menuju ke SD. Untuk apa lagi, kalau bukan meramaikan latihan sandiwara, nyanyi dan tari. Dan tujuan instruksional khususnya adalah; ingin ada dekat Yeni. Tak tau, ia tak mengerti perasaan yang menggegap gempita ini. Wajah bulat telur, mata benderang, hidung mancung, dan bibir delima. Senyum memanggil-manggil, rambut mayang.
Da Farid, da Jon, da An dan Rinal sudah duluan hadir. Sepertinya Eja dan Ica sedang latihan nyanyi ‘Mungkinkah’ yang ditenarkan oleh Diana Nasution. Lagu itu berat dan banyak pindah-pindah kord-nya. Begitu masuk, sudah terdengar suara Eja memulai dari mikrofon, “Dimalam,(di maaalam; Ica menyambut dengan merdu)...”.dimalam yaaaang dingin dan sesunyi ini,..” Eja melanjutkan.....”teringat aku akan diiirimu sayang,” Lalu dilanjutkan dengan paduan suara mereka berdua,”hanyaaa engkaulah kasihku seorang...” “Mungkinkah,” Ica melanjtkan solo. Begitu seterusnya sampai selesai. Beberapa kali da Farid minta diulang dari intro, sebab lagu ini memang membutuhkan konsentrasi selain appresiasi yang penuh. Uwin tak begitu mengerti. Ia hanya berharap, orang yang menari di pojok bawah sana, tau perasaan hatinya. Ndeee,... ntahlah.
Da Farid, da Jon, da An dan Rinal sudah duluan hadir. Sepertinya Eja dan Ica sedang latihan nyanyi ‘Mungkinkah’ yang ditenarkan oleh Diana Nasution. Lagu itu berat dan banyak pindah-pindah kord-nya. Begitu masuk, sudah terdengar suara Eja memulai dari mikrofon, “Dimalam,(di maaalam; Ica menyambut dengan merdu)...”.dimalam yaaaang dingin dan sesunyi ini,..” Eja melanjutkan.....”teringat aku akan diiirimu sayang,” Lalu dilanjutkan dengan paduan suara mereka berdua,”hanyaaa engkaulah kasihku seorang...” “Mungkinkah,” Ica melanjtkan solo. Begitu seterusnya sampai selesai. Beberapa kali da Farid minta diulang dari intro, sebab lagu ini memang membutuhkan konsentrasi selain appresiasi yang penuh. Uwin tak begitu mengerti. Ia hanya berharap, orang yang menari di pojok bawah sana, tau perasaan hatinya. Ndeee,... ntahlah.
“Win, win! Kaniaklah sabonta!” ni Yulidar yang juga pelatih dan pengarah sandiwara memanggil Uwin. Ia melangkah ke lokal latihan sandiwara. Tentu dengan hati penuh tanya.
“Win, ang jadi adiek si Amelia dih. Tugas ang sakadar mangecek-en ka da Marsal baso Amelia sadang indak ado di rumah katiko liou datang. Biko ang diimbau dek Amelia , disuruah mambukak-en pintu, sudahtu da Marsal manjanguah di pintu batanyo uni ang, katoen kinyo: “Uda mencari ni Amel? Aduh, barusan dia pergi sama mama ke pasar.” Itu sa nen ka ang kecek-en. Ok?”
Uwin Tinggih ragu. Apakah dia akan bisa berperan seperti yang dimintakan Uni Yulidar. Pemain yang lain kelihatan menunggu jawaban Uwin, mata mereka penuh harap.
“Iyo Win. Tolonglah Win. Awak mancari nan ketek untuak kajadi adiek si Amelia, nan seakan-akan bamasalah etongan jo da Marsal ko ha” Da Piri ikut pula mendesak. Dan seperti dihipnotis, Uwin mengangguk. Semua lalu senyum lega.
Lalu latihan dilanjutkan. Pintu diketuk beberapa kali. Amelia yang ada di dalam mengintip dari kain jendela. Ia segera memanggil Uwin dan seakan-akan bebrisik. Setelah itu Amelia meninggalkan ruangan. Uwin berjalan ke pintu dan membuka. Da Marsal sudah berdiri di situ, menyandang jaket levis. “Assalamualaikum,,…o, Aris ya? Ni Amelia ada?”
“Uda mencari ni Amel? Aduh, barusan dia pergi sama mama ke pasar.”
Da Marsal kelihatan terhenti. Mencoba memandang ke dalam ruang. Kosong. Lalu ia pamit sambil mengucap terimakasih dan salam.
Uwin tergagap. Agak pucat. Sebab tak biasanya ia diperhatikan seluruh mata. Apalagi diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak ada dalam hatinya; acting seni peran!
“Win, ang jan takuik-takuik. Biaso sa lah. Tampak-en pek aie muko ang baso ang jujur mangatoan uni ang sadang indak binyo,…” ni Yulidar menginstruksikan. Uwin mengangguk-angguk berkeringat. Ia mencoba mengendalikan perasaan. Apa nanti Yeni selesai latihan menari, lalu ikut menonton.?. Onde mak! Inikah pelajaran berdusta?
“Win, ang jadi adiek si Amelia dih. Tugas ang sakadar mangecek-en ka da Marsal baso Amelia sadang indak ado di rumah katiko liou datang. Biko ang diimbau dek Amelia , disuruah mambukak-en pintu, sudahtu da Marsal manjanguah di pintu batanyo uni ang, katoen kinyo: “Uda mencari ni Amel? Aduh, barusan dia pergi sama mama ke pasar.” Itu sa nen ka ang kecek-en. Ok?”
Uwin Tinggih ragu. Apakah dia akan bisa berperan seperti yang dimintakan Uni Yulidar. Pemain yang lain kelihatan menunggu jawaban Uwin, mata mereka penuh harap.
“Iyo Win. Tolonglah Win. Awak mancari nan ketek untuak kajadi adiek si Amelia, nan seakan-akan bamasalah etongan jo da Marsal ko ha” Da Piri ikut pula mendesak. Dan seperti dihipnotis, Uwin mengangguk. Semua lalu senyum lega.
Lalu latihan dilanjutkan. Pintu diketuk beberapa kali. Amelia yang ada di dalam mengintip dari kain jendela. Ia segera memanggil Uwin dan seakan-akan bebrisik. Setelah itu Amelia meninggalkan ruangan. Uwin berjalan ke pintu dan membuka. Da Marsal sudah berdiri di situ, menyandang jaket levis. “Assalamualaikum,,…o, Aris ya? Ni Amelia ada?”
“Uda mencari ni Amel? Aduh, barusan dia pergi sama mama ke pasar.”
Da Marsal kelihatan terhenti. Mencoba memandang ke dalam ruang. Kosong. Lalu ia pamit sambil mengucap terimakasih dan salam.
Uwin tergagap. Agak pucat. Sebab tak biasanya ia diperhatikan seluruh mata. Apalagi diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak ada dalam hatinya; acting seni peran!
“Win, ang jan takuik-takuik. Biaso sa lah. Tampak-en pek aie muko ang baso ang jujur mangatoan uni ang sadang indak binyo,…” ni Yulidar menginstruksikan. Uwin mengangguk-angguk berkeringat. Ia mencoba mengendalikan perasaan. Apa nanti Yeni selesai latihan menari, lalu ikut menonton.?. Onde mak! Inikah pelajaran berdusta?
Kekhawariran Uwin terbukti. Latihan sandiwara ini belum selesai, rombongan latihan tari sudah beranjak keluar. Mereka terdengar ramai keluar lewat pintu lokal. Sebagian ada yang mencoba melihat arah ke kelompok latihan sandiwara. Uwin mencari-cari dengan mata . Dengan harap-harap cemas. Dan, glegar! Yeni bersama temannya terlihat, memandang dan beradu tatap. Jantung Uwin berdegup seperti generator pak Imua yang dipencet gas di Lobuah Simpang. Yeni cepat menunduk dan seperti menyembunyikan senyum. Uwin seakan berteriak ke Uni Yulidar untuksegera menyudahi latihan ini. tapi manalah mungkin. Duh, o dinding kelas, o loteng tadir, o batang kelapa, o awan yang berarak, o sinar mentari jingga,.....
"Kalau indak copek ang, di dului urang Win!" Endi menyampaikan malamnya, di palung masjid. Mareka duduk sambil berbelit kain sarung. Walau wajah Endi tidak kelihatan jelas, tapi intonasi suaranya terdengar serius.
Copek? Copek bagaimana pula ? Betemu pandang saja, lututnya sudah guyah. Apalagi mengirim surat lamaran, seperti yang biasa dilakukan teman-teman yang sudah duluan. Tapi, kalau didahului 'urang'? ........ Ha, ko iyo bedo bona ko !
Copek? Copek bagaimana pula ? Betemu pandang saja, lututnya sudah guyah. Apalagi mengirim surat lamaran, seperti yang biasa dilakukan teman-teman yang sudah duluan. Tapi, kalau didahului 'urang'? ........ Ha, ko iyo bedo bona ko !
Uwin mengalih duduknya lebih dekat ke Endi. Suwir menggoncang-goncangkan senter nya,
"Sia nen nampak katuju pulo jo inyo Ndi?" Uwin setengah berbisik.
Endi diam berfikir. Lalu menjawab,"Nan tacelak parumahan data , pasti banyak nen katuju Win. Potang urang-urang rantau lah ado nen pulang. Nan baranak bujang, nan manengok-nengok tompek balabuah di kampuang, pasti banyak..."
Agak jauh pandangan Uwin mendengar keteranganb Endi. Masuk akal juga. Apalagi sebelum hari raya nanti, tentulah makin banyak orang rantau yang pulang kampung. Uwin , meremas -remas gulungan kain sarung di perutnya. Entah kenapa....
"Sia nen nampak katuju pulo jo inyo Ndi?" Uwin setengah berbisik.
Endi diam berfikir. Lalu menjawab,"Nan tacelak parumahan data , pasti banyak nen katuju Win. Potang urang-urang rantau lah ado nen pulang. Nan baranak bujang, nan manengok-nengok tompek balabuah di kampuang, pasti banyak..."
Agak jauh pandangan Uwin mendengar keteranganb Endi. Masuk akal juga. Apalagi sebelum hari raya nanti, tentulah makin banyak orang rantau yang pulang kampung. Uwin , meremas -remas gulungan kain sarung di perutnya. Entah kenapa....
"Iyo. Mak Anih lah pulang dari Medan nyen urang potang. Tapi liou indak ado baranak janten bujang do.." Suwir menimpali.
"Si Cap Ilie ken lah olah pulo sumari?! Dari Jakarta!" cepat Endi menambahkan.
Uwin berusaha menenangkan hati. Andai ada orang yang duluan, lalu mau apa? Bukankah ia hanyalah paja bujang baru godang yang masih sekolah? Sama seperti Yeni juga, yang sering terlihat mendayung sepeda ke Guguk berkerudung putih? Tapi, seumur remaja begini, belum ada terbayangkan tentang beban hidup berdua. Yang muncul dalam benak adalah: berdekatan, saling pandang lalu senyum penuh arti. E yeyei !!!
"Si Cap Ilie ken lah olah pulo sumari?! Dari Jakarta!" cepat Endi menambahkan.
Uwin berusaha menenangkan hati. Andai ada orang yang duluan, lalu mau apa? Bukankah ia hanyalah paja bujang baru godang yang masih sekolah? Sama seperti Yeni juga, yang sering terlihat mendayung sepeda ke Guguk berkerudung putih? Tapi, seumur remaja begini, belum ada terbayangkan tentang beban hidup berdua. Yang muncul dalam benak adalah: berdekatan, saling pandang lalu senyum penuh arti. E yeyei !!!
Suwir itu orangnya ringan. Tak begitu mengambil hati. Tak banyak fikir. Optimismenya besar. Bagi dia, semua seperti enteng saja.
"Win den ado pantun..." selanya ketika Uwin mengarahkan pandangan ke mudik. Ke api rokok yang bergerak-gerak di pinggir jalan.
"Maninjau jalan bakelok,
Kalason oto manambah sansei.
Tabuwang nasi den suwok,
Yeni tabayang dalom gulei...."
Uwin senyum manyun. Endi terbahak. Sewir terkekeh-kekeh.
Titik merah api rokok makin mendekat. Pastilah rombongan bapak-bapak. Namun makin dekat ke palung, makin kentara suara anak-anak. Dan benar, di terang cahaya lampu; nyata sudah, ini Pulin, Isen dan kawan-kawannya, yang masih SD, tapi sudah mencoba-coba merokok. Tentulah pasti tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
"Win den ado pantun..." selanya ketika Uwin mengarahkan pandangan ke mudik. Ke api rokok yang bergerak-gerak di pinggir jalan.
"Maninjau jalan bakelok,
Kalason oto manambah sansei.
Tabuwang nasi den suwok,
Yeni tabayang dalom gulei...."
Uwin senyum manyun. Endi terbahak. Sewir terkekeh-kekeh.
Titik merah api rokok makin mendekat. Pastilah rombongan bapak-bapak. Namun makin dekat ke palung, makin kentara suara anak-anak. Dan benar, di terang cahaya lampu; nyata sudah, ini Pulin, Isen dan kawan-kawannya, yang masih SD, tapi sudah mencoba-coba merokok. Tentulah pasti tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
Uwin mencoba mengingat orang-orang rantau yang pulang. Memang terlihat beda. Mobil Mak Ingan berkilat; anaknya kecil-kecil gembrot. Mak Anih membawa minibus yang muat 7-9 orang, penuh oleh anak dan famili ketika kemarin mereka pergi ke pekan Dangung-Dangung. Wajah mereka pada umumnya bersih berseri. Malam kemarin, Uda Puwan, yang berumah dekat simpang, pergi shalat tarawih ke masjid dan sejadahnya sangat lebar. Ada bulatan kompas di tempat sujudnya. Warnanya merah coklat. dan yang menambah minder hati; bau parfum Uda Puwan semerbak merasuk mulai dari saf depan sampai saf belakangnya. Jadi, jika Yeni diintai oleh orang-orang yang pulang dari rantau; yo ndak gorah-gorah kaji lai tih!
Itulah sebabnya, siang ini, Uwin mendayung sepeda arah ke Guguk. Membeli kertas surat yang berwarna-warni, serta amplop bergambar daun keladi, sesuai saran Endi dan Suwir. Walau puasa, irama dayung sepeda Uwin tak berubah, malahan di pendakian arah ke simpang Guguk, selepas titian, ia melaju makin cepat. Pajak Mak Pisol sudah terbayang. Dan lembaran kertas warna - warni, yang baunya bagai mawar. Krit,..kriiit,...kriiiit.....
Itulah sebabnya, siang ini, Uwin mendayung sepeda arah ke Guguk. Membeli kertas surat yang berwarna-warni, serta amplop bergambar daun keladi, sesuai saran Endi dan Suwir. Walau puasa, irama dayung sepeda Uwin tak berubah, malahan di pendakian arah ke simpang Guguk, selepas titian, ia melaju makin cepat. Pajak Mak Pisol sudah terbayang. Dan lembaran kertas warna - warni, yang baunya bagai mawar. Krit,..kriiit,...kriiiit.....
Tahukah kenapa Uwin tak emncari kertas berbunga di Tiakar? Jawabnya; malu! Kalau dibeli di lObuah Simpang, lalu ada yang bertanya, "untuak kirin ka sia?" mau dijawab apa? Jadi, jika siang ini Uwin memilih melintas baruh Caniago, diterpa panas di jalan tengah sawah, lalu meniti jembatan dan mendaki, serta belok ke kanan ke kedai mak Pisol; itu sudah sebuah keputusan yang berhati-hati. Bukankah duit sisa belanja yang dikasih ibunya beberapa hari lalu ada di kantong celana seragam sekolah?
Di kedai Gugukpun, ia berdebar-debar. Tak berani ia memandang roman wajah mak Pisol saat mengambilkan lima lembar kertas dan dua amplop. Uwin menunduk saja. Segera membayar dan buru-buru mendayung sepeda lewat jalan kampung, belok kanan kembali ke tengah sawah. Dalam kondisi hati seperti ini, tak tertarik ia memandang ke hilir, ke gunung Sago yang tersenyum geli. Malu-malu sogen sa liou!
Di kedai Gugukpun, ia berdebar-debar. Tak berani ia memandang roman wajah mak Pisol saat mengambilkan lima lembar kertas dan dua amplop. Uwin menunduk saja. Segera membayar dan buru-buru mendayung sepeda lewat jalan kampung, belok kanan kembali ke tengah sawah. Dalam kondisi hati seperti ini, tak tertarik ia memandang ke hilir, ke gunung Sago yang tersenyum geli. Malu-malu sogen sa liou!
Jadi andai kita berada di Baruah caniago atau Lobuah Simpang saat itu, tentu kita akan ketemu Uwin Tinggih yang mendayung sepeda dari Guguk. Tentu juga tak akan kelihatan dia membawa kertas berbunga. Sebab benda itu ia simpan rapi dalam baju kaus. Tidak dalam kantong celana takut remuk dan tidak dipegang di tangan khawatir ditanya uni Jet sesampai di rumah. Joleh ken?
Apa daya, ni Jet tetap saja rewel bertanya ketika ia membelok ke halaman. Persis dekat kebun bunga uninya, di bawah bayang bunga ros merah muda keputihan yang diterpa terik matahari.
"Dari ma ang?"
"Ndak. dari lobuah sa..."
Uwin menjawab. Keringat terasa mengalir di badan. Astaghfirullah, apakah kertas kembang itu basah oleh peluh? Jang!! Yobona jang lei!!!
Apa daya, ni Jet tetap saja rewel bertanya ketika ia membelok ke halaman. Persis dekat kebun bunga uninya, di bawah bayang bunga ros merah muda keputihan yang diterpa terik matahari.
"Dari ma ang?"
"Ndak. dari lobuah sa..."
Uwin menjawab. Keringat terasa mengalir di badan. Astaghfirullah, apakah kertas kembang itu basah oleh peluh? Jang!! Yobona jang lei!!!
Sesampai di bilik, Uwin segera mengeluarkan kertas bunga merah jambu. Baunya seperti mawar merekah. Dada berdebar, hati berharap. Aduh, ternyata kertas mulia ini telah dibasahi peluh. Lembab!
"Win, tolong amak maangkek-en ikua cipuk nyak Win! Amak ka porak maambiek daun pisang!" terdengar Tek Limah dari dapur. Ha, pastilah Bapaknya subuh tadi sudah ke Tang Namang mencari langkitang. Siput panjang itu, memang banyak di bebatuan dan empuk jika digulai. Uwin cepat-cepat menjemur ketas merah jambu lembab di atas buku di meja, lalu menutup pintu dan lansung ke dapur. Oi, langkitang!!!
Tek Limah datang membawa gulungan daun pisang. Hijau muda di tangan kanan. Uwin menyelesaikan tugasnya, membuang ekor siput langkitang.
"Apak ang baposen cako, jang lupo ma asak jawuh!" Tek Limah bicara. Uwin mendongakkan kepala, lalu segera mafhum. Sapi piaraan itu sedang hamil dan ditambatkan di kebun dekat tebing sawah. Ia memang biasa mendapat tugas itu.
Namun, kali ini, tentulah akan menjadi 'beban' yang membuat rencana tentang 'surat indah' akan dikansel. Ti-anlah,...
Eh, ada yang lebih mustahak. Ni Jet senyum-senyum dari depan arah ke dapur.
"Kok di tungkuh langkitang deah jo karoteh babungo, mungkin rancak lo gaknyo yieh?" ucapnya. Uwin cepat memandang curiga. Tek Limah menenangkan hati sendiri. Dari wajah ni Jet, Uwin segera mengalihkan mata ke pintu bilik. Dan benar, pintu itu sudah terbuka separo! Ni Jet!!!
O dusanak semuanya, akhirnya di bawah batang kelapa, di kebun pinggir tebing sawah, konsep surat dituntaskan. Di sini tak ada gangguan. Tak ada Ni Jet, tak ada bapaknya, dan tak ada ibunya. Di sini lebih tenang dan damai.
"Menemui Yeni di rumah,...." Uwin membatin. Duh, sebaiknya ditulis menemui Yeni di rumah atau di Tiakar ya? Tanyanya dalam hati. Bukankah ini surat tentang suasana hati, tentang maksud yang menggelora, jadi, tak perlulah dibuat resmi tempatnya. Cukuplah; "Menemui Yeni di rumah". Lalu, apa tidak sebaiknya ditulis: Menemui yts Yeni" begitu? Yts itu kan singkatan dari yang tersayang kan? Ataukah lebih tepat: yang selalu di hati,.....
"Plok!!" Uwin menampar keningnya. Bukan bingung, tapi pedih karena nyamuk besar kebun kelapa menggunakan kesempatan itu untuk melakukan agitasi,.....
"Menemui Yeni di rumah,...." Uwin membatin. Duh, sebaiknya ditulis menemui Yeni di rumah atau di Tiakar ya? Tanyanya dalam hati. Bukankah ini surat tentang suasana hati, tentang maksud yang menggelora, jadi, tak perlulah dibuat resmi tempatnya. Cukuplah; "Menemui Yeni di rumah". Lalu, apa tidak sebaiknya ditulis: Menemui yts Yeni" begitu? Yts itu kan singkatan dari yang tersayang kan? Ataukah lebih tepat: yang selalu di hati,.....
"Plok!!" Uwin menampar keningnya. Bukan bingung, tapi pedih karena nyamuk besar kebun kelapa menggunakan kesempatan itu untuk melakukan agitasi,.....
Sungguh, sebaiknya, janganlah diceritakan seelengkapnya, apa yang ditulis di kertas konsep ini. Sudah termasuk pada kategori teramat rahasia. Namun jika ada yang ingin tau, baiklah disampaikan intinya saja. Bahwa, pada saatnya nanti, Uwin ingin hidup bersamamu Yeni.... itu saja. Tak cukup satu halaman. Bahkap boleh jadi hanya setengah halaman saja. Sunyi dari kata -kata pujian. Kecuali pada bagian awal , yang menyebut bahwa : moohan wak kok manggaduah, sobob cahayo mato nen maruntuah, jo budi Yeni nan malintuah,.... Lalu dia lipat dan simpan di kantong. Mohon jangan ditanya isi selengkapnya, sebab nyamuk yang berdengung dan sapi yang merumputpun tak diperkenankan tahu,.....
Suwir yang dititipi surat itu sebelum ashar, menitipkan lagi ke Irat yang rumahnya berdekatan dengan Yeni. Rumah Yeni dan Irat bahkan boleh dikatakan satu halaman. Bedanya, Irat sekolah di Dangung-Dangung, dan Yeni sekolah di Guguk. Irat berpakaian seragam biasa, sedangkan Yeni berseragam balilik/kerudung.
Ketawa-ketawa kecil saja Irat menyerahkan surat warna - warni itu. Yeni jadi penasaran.
"Ado pakirin istimewa!" kata Irat.
"Apo?"
"Kaniaklah sabonta,...biko nampak dek amak!"
"Apo tu?"
"Rahasio. Durien runtuah! He he he", tawa tertahan.
"Apo, tengok den!"
"Iyo untuak Yeni. Wak manyampaian sa nyo. Tapi jonji dulu dih; tolong pulo wak isuak...he he he."
Yeni menerima surat itu di bawah pohon manggis. Bagian belakang halaman rumah.
"Dari sia ko Rat?"
"Cubo tokok!"
"Ntah. sia goren?"
"Suwir!"
"Suwir?" Yeni bertanya agak tertahan. Seperti tidak puas.
"Iyo. Liou nen maagiehan cako. Nen mangirim , Uwin. Uwin tek Limah."
Yeni berdegup. Daun manggis coklat jatuh melayang. Diterpa angin. Jatuh di dekat pagar. Yeni, segera pamit ke bilik hendak membaca. Sehelai lagi, daun manggis melayang, nun ke dalam kebun.
Ketawa-ketawa kecil saja Irat menyerahkan surat warna - warni itu. Yeni jadi penasaran.
"Ado pakirin istimewa!" kata Irat.
"Apo?"
"Kaniaklah sabonta,...biko nampak dek amak!"
"Apo tu?"
"Rahasio. Durien runtuah! He he he", tawa tertahan.
"Apo, tengok den!"
"Iyo untuak Yeni. Wak manyampaian sa nyo. Tapi jonji dulu dih; tolong pulo wak isuak...he he he."
Yeni menerima surat itu di bawah pohon manggis. Bagian belakang halaman rumah.
"Dari sia ko Rat?"
"Cubo tokok!"
"Ntah. sia goren?"
"Suwir!"
"Suwir?" Yeni bertanya agak tertahan. Seperti tidak puas.
"Iyo. Liou nen maagiehan cako. Nen mangirim , Uwin. Uwin tek Limah."
Yeni berdegup. Daun manggis coklat jatuh melayang. Diterpa angin. Jatuh di dekat pagar. Yeni, segera pamit ke bilik hendak membaca. Sehelai lagi, daun manggis melayang, nun ke dalam kebun.
Jika ada anak gadis yang senyum sendiri di kamarnya, sambil dengan hati-hati membuka amplop surat saat ini, ia adalah Yeni. Ini surat dari Uwin, pemuda remaja yang entah kenapa, jika beradu pandang dengannya di SD, atau di masjid, ataupun di jalan; membuat terkesima. Ia tak mengerti juga tentang bagaimana munculnya perasaan ini. Seperti tak diundang, bagai bunga yang berkembang....
Dan jemari halus itu mulai membuka lem aplop dengan hati-hati. Jangan sampai robek. Sedikitpun. Ia sudah pernah mendengar dari teman-teman tentang surat yang dikirim dengan amplop berbunga. Jadi, jika sekarang ia menerimanya untuk pertama kali, tetap saja memunculkan aroma sensasi. Maaf, kalau diisukan 'bercingkirieng' dengan teman sekelas, ia sudah sering. Kalau ditulis di meja sekolah, Yeni = Pulan, itu juga sudah biasa. tapi membuka surat bergambar bunga mawar pink, itu memang sekaranglah ia alami. Sssssst........!!!
Dan jemari halus itu mulai membuka lem aplop dengan hati-hati. Jangan sampai robek. Sedikitpun. Ia sudah pernah mendengar dari teman-teman tentang surat yang dikirim dengan amplop berbunga. Jadi, jika sekarang ia menerimanya untuk pertama kali, tetap saja memunculkan aroma sensasi. Maaf, kalau diisukan 'bercingkirieng' dengan teman sekelas, ia sudah sering. Kalau ditulis di meja sekolah, Yeni = Pulan, itu juga sudah biasa. tapi membuka surat bergambar bunga mawar pink, itu memang sekaranglah ia alami. Sssssst........!!!
Inilah dampak selembar surat. Bisa membuat senyum-senyum sendiri. Bisa membuat berubah dari duduk ke telungkup, dari telugkup ke telentang. dan dari telentang, ke memejamkan mata. Ingin memandang tapi malu. Ingin bertemu tapi janganlah dulu!!
Efek lain dari surat itu adalah, bermenung di pinggir dipan. Membayangkan wajah orang. Lalu kembali merebahkan diri di kasur. Telungkup, telentang, telungkup lagi. Ndak karuwen raso eah lei !!
Dapat diterima akal jika pergi latihan tari sore ini, Yeni, lebih rapi rambutnya. Bendo berhias kembang plastik. Kain selendang orange muda. Bedak viva tipis di pipi. Dan lebih sering mematut diri. Jika nanti bertemu Uwin di SD, ia akan bicara apa ya? Ontahlah tueen !!
Efek lain dari surat itu adalah, bermenung di pinggir dipan. Membayangkan wajah orang. Lalu kembali merebahkan diri di kasur. Telungkup, telentang, telungkup lagi. Ndak karuwen raso eah lei !!
Dapat diterima akal jika pergi latihan tari sore ini, Yeni, lebih rapi rambutnya. Bendo berhias kembang plastik. Kain selendang orange muda. Bedak viva tipis di pipi. Dan lebih sering mematut diri. Jika nanti bertemu Uwin di SD, ia akan bicara apa ya? Ontahlah tueen !!
Teman-teman Yeni senyum tersipu. Lalu menjauh. Suwir mengepal-ngepalkan jemarinya, seperti memberi semangat. Uwin tiba-tiba berubah menjadi makhluk kecil tak berdaya. Ia adalah orang yang mengirim surat kemarin dulu. Ia harus bertanggung jawab atas hal itu. Namun, ini adalah arena umum, tempat latihan tari, lokal SD. Lagipula, kan belum ada balasan suratnya dari Yeni? Belum samasekali ! Statusnya masih abal-abal. Entah diterima entah tidak. Dalam gugup itu, lalu ucapan apa yang bisa dia keluarkan untuk memulai sapa? Ucapan apa?.... Oh Tuhan Allah Nen Kayooooo,......
”Latihan.....?” tersendat ia menegur. Sambil badan seperti menggigil. Suaranya pun bagai tertahan di kerongkongan. Aduh, astaghfirullah,...bukankah ini memang latihan? Mengapa pula itu yang ia tanyakan? Kenapa tidak, “Lah lamo Yeni tibo?” atau “Buliah awak sato mancaliak ?” Ntahlah,...Omieklah den!
Yeni juga merasa seperti objek tatapan mata. Ia memilih untuk menunduk. Walau hatinya ingin menjawab perkataan Uwin. Menjawab dengan mata berbinar, dan tangan menutup wajah, mungkin pilihan terbaik. Namun, yang muncul kemudian hanyalah sebuah anggukan. Tak ada suara. Tak ada kata-kata. Bahkan tak mampu menatap. Mengapa ia harus terpojok dalam situasi seperti ini? Sementara temannya mulai geli sendiri. Duh..!
”Latihan.....?” tersendat ia menegur. Sambil badan seperti menggigil. Suaranya pun bagai tertahan di kerongkongan. Aduh, astaghfirullah,...bukankah ini memang latihan? Mengapa pula itu yang ia tanyakan? Kenapa tidak, “Lah lamo Yeni tibo?” atau “Buliah awak sato mancaliak ?” Ntahlah,...Omieklah den!
Yeni juga merasa seperti objek tatapan mata. Ia memilih untuk menunduk. Walau hatinya ingin menjawab perkataan Uwin. Menjawab dengan mata berbinar, dan tangan menutup wajah, mungkin pilihan terbaik. Namun, yang muncul kemudian hanyalah sebuah anggukan. Tak ada suara. Tak ada kata-kata. Bahkan tak mampu menatap. Mengapa ia harus terpojok dalam situasi seperti ini? Sementara temannya mulai geli sendiri. Duh..!
"Ha, lah rami, melah mulai wak!" Uni Yulidar, yang datang bersama da Teti masuk dari pintu. Hal ini membantu memecahkan suasana. Seperti bubar dari drama setengah babak!
Di belakang mereka terlihat da An, da Am dan da Farid. Da Jon sudah dari tadi menyetel-nyetel gitar, dibantu oleh da Icon yang ahli dalam alat pengeras suara.
Ini adalah rombongan grup Sparta Ria yang generasi terakhir. Dulu pernah ada da Jon, da Af, da Sarul dan lain-lainnya. Tapi, semua seperti berakhir. Cikal bakal grup musik Orkes Seni Mardeka yang berubah jadi Sparta Ria ini kini hilang ditelan masa.
Di belakang mereka terlihat da An, da Am dan da Farid. Da Jon sudah dari tadi menyetel-nyetel gitar, dibantu oleh da Icon yang ahli dalam alat pengeras suara.
Ini adalah rombongan grup Sparta Ria yang generasi terakhir. Dulu pernah ada da Jon, da Af, da Sarul dan lain-lainnya. Tapi, semua seperti berakhir. Cikal bakal grup musik Orkes Seni Mardeka yang berubah jadi Sparta Ria ini kini hilang ditelan masa.
No comments:
Post a Comment