Saturday, May 28, 2022

BUKITTINGGI


 

Bukittinggi.
Bondan Winarno telah menulis dengan baik tentang Bukittinggi. Terasa betul, Bondan memang pernah merasakan indahnya Bukittinggi. Buyuang Mipih di waktu lain, membawa keluarganya kesini. Berkeliling Benteng Kebunbinatang dan Jamgadang. Terasa lebih bersih dan rapi. Ketimbang dulu saat masa sekolah. Anaknya yang kecil merengek minta jus buah. Di pelataran jam gadang. Cuaca dingin begini mau nyedot jus? Tapi yang namanya anak -anak, susah ditolak. Maka masing-masing mulai memegang gelas plastik jus merah ungu. Tapi tiba-tiba anaknya yang bungsu memekik. Menangis dan berlari memegang kaki bapaknya. Ada apa? Dua badut yang sedari tadi menari-nari, mendekati anak Buyuang. Bagi si Bungsu itu mengerikan. Anak lain malah senang berfoto sama badut, ia takut. Bolehjadi ukuran badut yang besar, atau wajah yang menganga seperti tawa, tak memberi kesan jujur pada anak Buyuang. Maka ia lari dan menangis. Terpaksa ibunya membujuk dan menerangkan. "Makhluk itu tak seberbahaya bayangan!"
Kala yang lain, Buyuang Mipih menikmati Bukittinggi berdua saja dengan si Sulung. Taroklah sebagai hadiah lulus kuliah dengan IP tak di bawah 3. Nginap di Dymens.
Pagi sebelum sarapan Buyuang joging sendiri. Anaknya ditinggal di kamar. Melintas perumahan elit pinggir ngarai. Yang dulu mengalun instrumental lembut. Kini berubah nuansa pasar. Ada yg jadi kantor, butik dan salon. Nun di belakang rumah sederhana bersusun pondok dari kayu. Penjual mie serta kopi.
Buyuang menengok ke jurang. Pohon _Arenga, Ficus, Mallotus dan Macaranga serta Bambusa_ di hinggapi burung terkuku. Dan lihat! Belasan ekor monyet ekor panjang mengais makanan di timbunan sampah tebing jurang! Demi melihat Buyuang, monyet itu berlarian. Sampah makanan harian. Monyet pemulungnya! Adakah jika buangan sampah distop, monyet akan masuk ke perumahan?

SODIK


 

SODIK
Engku Datuk Meruyung tak menyangka jika Calya putih baru yang berhenti depan tokonya adalah seorang yang bukan hendak membeli obat. Sebab, jika bukan pedagang farmasi, biasanya konsumen. Lelaki muda ganteng yang turun dari jok sopir membuka kacamata hitamnya. Memindahkan ke kantong kemeja biru bergaris. Rapi. Style bintang film. Tigapuluh lima atau mungkin 37 tahunanlah. Engku memandang sejenak. Mengelus rambut gondrongnya dengan jemari. Dan menjawab salam anak muda itu. "Alaikumsalam..." Nah. Berarti bukan konsumen. Konsumen kan biasanya langsung nanya, "Bang minta promagnya sekeping!" atau "Pak, ada vicks?" Bulan puasa gini, orang-orang butuhnya obat demam batuk pilek serta maag.
"Pak Datuk Engku Meruyung kan? Atau dulu di Singgalang Jaya, uda Buyuang Inop?" ranya anak muda itu mengulurkan tangan. Bersalaman. Hangat dan erat! Bahkan anak muda itu mencium tangan Engku Daatuk!
Tentu Engku bingung. Siapa ya? Sales obat? Keluarga dari Lintau? Anak teman seangkatan kuliah? Engku memandang menelusik wajah...
"Saya Sodik Uda Buyung!" katanya.
Sodik? Sodik mana? Perasaan tak ada anak keponakan bernama Sodik?
"Tentu Uda Buyung lupa. Sudah 30 tahun.
"Lihat ini Uda!" Ia menyingkap jatuhan rambut di pelipis. Bekas luka!
Oooo...anak kecil yang dulu tiap hari menunggu belas kasihan di sudut depan RM Singgalang Jaya? Singgalang Jaya itu nama RM Sederhana dulu. Punya Inyik Bustamam. Pilihan terakhir perantau Lintau ke Betawi zaman tahun 90an adalah bekerja di rumah makan beliau. Waktu itu baru buka dimana-mana di Jakarta. Dan Buyuang Inop, sebelum memilih berjualan obat, terdampar jadi karyawan disitu. Dua tahun.!
Saat itulah, Uda Armen yang manajer di rumah makan, mengode Buyuang. "Yuang. Paja ketek tu, baa caronyo! Agak sagan awak jo tamu, nyo mintak-mintak tiok hari di muko tu!"
Buyuang berfikir. Akan dia usir? Dengan menggulung lengan baju, membelalakkan mata, bisa saja dia usir anak ini. Tapi tidak. Buyuang mengajaknya bicara. Dan ternyata anak itu mencari sesuap nasi, mengemis untuk dia, dan adiknya perempuan kecil yang tinggal di emperan seperti tikus. Buyung kasihan."Gini deh. Lu kagak perlu bediri di halaman gini. Gua bungkusin lu sisa makanan. Banyak kok. Orang-orang kadang nyisain nasi dan lauk. Lu ambil. Tapi jangan mantep sini terus. Jauh sana!"
"Bener bang? Ok bang. Makasih banget ya bang!"
"Iye. Ntar gua bungkusin pake kresek!"
Anak itu pergi dengan wajah berseri. Dia mungkin merasa mendapat durian runtuh...
Sejak itu, sisa cincang, telur dan ikan ditarok Buyung di kresekan. Nasi tidak. Nasi sudah diudek-udek oleh pembeli. Dan tiap habis zuhur, Buyuang Inop memberi anak itu, yang keningnya ada bekas luka, setumpuk lauk tambah nasi secukupnya. Anak itu tak lagi berdiri mematung menunggu kasihan pelanggan ...sampai ia tahu nama anak kecil itu Sodik, dan Sodik tau ia bernama Buyung. Dah. Gitu!
"Elu Sodik kecil depan sudut halaman Singgalang Jaya? Keren amat lu sekarang?!" Dan mereka kembali bersalaman.
Sodik menurunkan kain sarung, baju taqwa, roti kaleng buah apel pear dan kue bolu dari mobilnya.
"Untuk da Buyung! Kata orang rumah makan, uda ada disini jualan obat!" Sodik memberinya pakaian dan makanan yang amat banyak!
"Elu?"
"Iya Uda Gua kerja sana sini. Banting tulang. Kini di taksi online. Adalah beberapa mobil. Ini yang gua pake. Calya."
Engku Datuk terperangah! Tak dia sangka! Sungguh!!
"Ayok ngobrol di dalam!" Engku menarik tangan Sodik. Masya Allah!

Kacang Tujin

Kacang Tujin.
"Ngiuuuut....klak!" Itu pasti bunyi pintu rumah Bu Rosna. Handelnya memang begitu senandungnya jika dibuka. Tak pelak lagi. Buyuang Inop masuk terburu.
"Ang tu Yuang?" suara bu Rosna dari ruang dapur.
"Iyo Bu!" Buyuang menyusul ibunya ke dapur. Pastilah ibunya sibuk memasak pabukoan. Nasi dan ikan sudah selesai di meja. Ditutup sungkupan plastik.
"Kama sajo ang nak. Lah hampia babuko. Cubo tolong ibu ambiakkan kacang nan bajamua di halaman tu lah!"
"Dari tapi Batang Sinama Bu. Mandi. Main badia-badia batuang!"
"Oo itu nan malatuih dari tadi tu?"
"Iyo Bu. Badia da Mogek, da Liman, kareh bunyinyo!"
"Tolong ambiak kacang di nyiru di halaman Yuang!"
"Saripah se suruah Bu. Nyo ma nyo? Main yo"
"Usah pabingik tu nak. Waang nan ibu suruah! Adiak ang tu lo nan disabuik!"
"Nde ibu!" Buyuang mengeluh. Tapi tetap ia turuti permintaan ibunya. Mengambil nyiru tampian yang dipenuhi kacang tanah. Dijemur ibunya sejak tadi pagi.
Buyuang senang sekali dengan kacang tujin buatan ibunya. Dimasak diberi bawang dan garam. Disimpan dalam botol. Disusun dalam almari kaca. Karena kacangnya dijemur maka jika digoreng menjadi rapuh. Beda sekali dengan kacang yang direbus lalu dikelupaskan kulit arinya.
Bapak Buyuang Inop lain pula seleranya. Kacang yg tak dikelupas kulit tipisnya langsung digoreng dan ditaburi garam. Tanpa bawang dan seledri. Itulah kesukaan bapak. Dan ibu memasak dua -duanya. Dijemur dikelupas lalu digoreng serta campur bumbu, dan tak dikelupas dengan hanya canpur garam.
Tak lama, Buyiang sudah menatiing nyiru kacang ke dapur.
"Lamo babuko lai bu?" celetuk Buyuang.
"Saba nak. Ulanglah mandi waang lah! Indak barasiah di batang Sinama tu! Ganti baju. Pakai sabun!" Ibu Buyuang cepat sekali menengarai kondisi bau badan Buyuang!
🙏🙏


 

SIPUIK


 

 

SIPUIK

 

Hanifa Marisa

 

 

"Inoop.. Inoooop!!" Pagi-pagi Madi dah tiba di halaman. Bersama Utut. Dan Keling. Pastilah mereka ngajak main. Apalagi awal puasa begini. Sekolah libur. Kesempatan emas buat anak-anak ksmpung Inop untuk main bersama.

Demi mendengar panggilan, Inop langsung berlari keluar rumah. Membuka pintu dan sumringah menyambut. "Main wak?"

"Iyo. Ikuik da Liman mancari ikan melah!"

"Adih. Tunggu nta yo!" Inop berbalik dan memanggil maknya. "Maaak. Maaak. Wak pai ka sawah samo kawan!" Entah terdengar entah tidak, Inop langsung saja gabung dengan Madi, Utut dan Keling. Arah ke sawah!

 

"Da Liman mambali panciang tadi. Limo buah. Di lapau Wak Uban. Katonyo ngayia baluik jo nyari ikan di banda mudiak!"

"Sero tumah. Dulu kami banyak dapek ikan puyu sinan!"

"Iyo. Capeklah!"

"Da Liman hebat nangkok baluik diang. Nyo cakau kuduaknyo jo jari!"

"Ho-oh!"

 

 

Dari jalan kampung mereka berbelok ke penurunan. Yang ada pohon tarab serta bambu pering. Lalu berbelok memintas pematang kolam ikan dan sampai di sawah. Tuh, jauh kelihatan, da Liman menunduk di hijaunya padi, ...pasti lagi nangguk ikan atau mancing belut. Inop mempercepat langkah. Madi juga. Setengah berlari. Sambil senyum dengan nafas rada tersengal...

 

Dalam hitungan beberapa menit saja mereka sampai di banda mudiak. Di tempat Liman menunduk mencari lubang belut.

Langkah kaki ke empat anak itu membuat da Liman menoleh.

"Nyari ikan da?" Tanya Inop. Dilihatnya ember kecil dan tangguk di pematang. Ember itu sudah berisi ikan sepat, ikan puyu dan banyak pantau.

Tentu da Liman senang ditemani. Empat anak kecil ini memang sering membuntutinya. Nyari ikan . Mandi sungai. Main layangan. Serta ke surau, mengaji!

"Lai puaso kalian?" Liman menyapa. Bibirnya senyum.

"Lai da!" Serentak terdengar jawaban.

"Utut indak Da! He he..." Madi menyela. Utut memang yang terkecil. Adiknya si Keling. Belum sekolah. Utut senyum malu. Sambil menghapus ingusnya dengan punggung tangan. Mencongkong di pematang!

 

 

Da Liman terus menunduk di aliran air sawah. Tangannya rajin meraba pematang. Di sela rumputan Axonopus dan Paspalum. Kadang ada Caladium, _Phyllanthus niruri_ dan Euphorbia hirta. Sekali tangannya bertemu lobang kecil, ia berhenti. Mengambil pancing berumpan cacing, lalu membenamkannya dengan kayu kecil ke mulut lubang. Menjentik-jentikkan jemari ke air bandar hingha menimbulkan bunyi, lalu berpindah mencari lubang berikut. Keempat anak kecik kelas tiga dan dua serta Utut yang belum sekolah, terus mengikuti dengan seksama... Asyik!

 

Pancing kelima sudah ditanamkan. Da Liman puas. Ia meluruskan badan dan membuat gerakan memutar-putar badan.

"Panek juo marunduak taruih....eh manyo embe tadi? Ambiak kan ciek!"

"Utut. Ambiak Tut!" Inop memerintah Utut. Dia jongkong paling belakang. Tentu Utut nurut saja. Ember hitam puluhan meter dia ambilkan. Ikan kecil sudah mati di dalamnya. Utut memberikan ke Keling di depannya. Keling mengoper ke Madi. Madi menyerahkan ke Inop. Inop mengambil lalu memberikan ke da Liman. Tapi sambil menenteng, Inop membaca tulisan di ember itu, "Anti Pecah!"

"Anti pecah ember uda ko! Hebat!"

Da Liman tertawa.

"Ha ha apolo nan anti pecah. Diampehan ka batang karambia ntun, pacah mah!"

 

Da Liman tersenyum. Inop dan tiga lainnya ketawa. Rambut mereka memirang diterpa cahaya matahari. Siang semakin terik. Di bandar, air mengalir tak henti. Menyapa ujung tumbuhan Eclipta alba dan Spilanthes, hingga bergoyang-goyang disenggol arus.

"Berarti urang manjuwa embe di pasa pakan tu baduto yo Da?" tanya Madi.

"Pabriknyo dan baduto. Urang manjua sato sakaki!"

"Baskom cucian amak di rumah, anti pecah juo. Tapi hancua dek Utut nyo jadikan tampek mandi!" tambah Keling.

"Aaah uda iyo lulo!" Utut membela diri.

"Utut malah mancilok kacang tujin dalam almari!"

"Uda iyo lulo! Uda duo kawuik!"

"Alah mah. Parangai kalian lah tau aden. Kato Buya di surau, makin tuo urang makin tuo pulo dutonyo. Makin tinggi pangkat urang makin tinggi pulo dutonyo. Makin bakuaso urang makin hebat pulo dutonyo!" ujar da Liman menengahi.

"Jadi plesiden jendal jo Inyiak Modol paliang gadang dutonyo yo Da?" tanya Utut rada cadel. Inyiak Modol itu orang tua penghuni pondok pinggir sawah yang sehari-hari memancing ikan sungai.

 

"Antah! Tanyolah ka Buya di surau beko malam. Kan alah sumbayang tarawieh nan ka duo malam beko!" jawab da Liman sekenanya. Ia tak tertarik menjawab tanya Utut. Ia lebih perhatikan ujung rumput dan keladi punggir bandar untuk dilayangkan tangguknya. Siapa tau dapat puyu atau sepat lagi. Tapi nihil. Ikan sudah keburu lari. Hanya ada siput ketangkap.

"Sipuik! Lamak juo ko digulai samo daun ubi!"

Da Liman menangkapi beberapa siput lainnya. Inop Madi dan Keling akhirnya ikut masuk ke saluran air sempit itu. Basah. Berlumpur. Tapi "managiah"!

"Ssst...lihat itu!" Da Liman menunjuk ke pesawahan hijau. Nun jauh, seorang dengan topi hitam dan selendang kaun sarung, berjalan ke arah sungai membawa tangkai pancing. Inyiak Modol!

 

 

Mereka saling pandang. Lalu tersenyum. Kenapa?

Karena Inyiak itu menurut cerita orang-orang, selain tak pernah shalat, juga menggunakan _zirit_ nya untuk umpan pancing. Ah, itu sangat menjijikkan!

Kata saudara Inop yang paling tua, yang udah kuliahan di Padang, kerjaan memegang feses itu hanya dilakukan mahasiswa Ilmu Pengetahuan Alam yang membutuhkan cacing perut untuk dipelajari di kampus mereka. Uda Inop, Piri namanya, pernah menyogok anak tetangga kost nya dengan permen asalkan mau minum combantreen. Lalu besoknya zirit anak itu dia tampung dengan kresekan, diudek-udek dengan sendok buat nemukan cacing...iiiiih.... Inop biarlah sekolah pertanian saja, yang kerjaannya nanam padi dan nyari belut!

 

 

"Ssssst..sikolah den katokan! Inyiak itu indak amuah dikawani pai mangayie. Umpannyo rahasia!" da Liman setengah berbisik. Utut paling terkejut. Mulutnya menganga. Ingusnya meleleh dua baris...

"Iyo. Ciriknyo kan?" jawab Inop.

"Ho-oh! Kato urang di lapau, iyo!" tambah Madi.

Lalu diam sejenak. Saling pandang. Senyum!

"Wak cibuakkan melah!" Ide nakal muncul dari Da Liman. Yang lain semangat. Itu seperti tantangan. Tantangan yang misterius!

Lalu keempat lainnya setuju. "Sentak dulu tali panciang baluik! Mungkin alah dimakan!" kata da Liman. Dan mereka kembali berjalan arah ke hilir. Memeriksa lima pancing di lubang pematang. Alhamdulillah, satu dari lima pancing itu mengena! Belut besar kelonjotan di pegang da Liman. Lalu dipukul kepalanya dengan batu dan masuk ke ember "anti pecah"...

Selesai! Kini saatnya berjalan mengendap-endap arah ke sungai di jalur pematang berbeda dengan yang digunakan Inyiak Modol! Sambil saling pandang, senyum dan dada berdebar, intipan dimulai!

 

Sungai itu berarus tak deras. Banyak batu kerikil. Di bagian tertentu ada palung dalam. Ikan mansai, ikan tibarau, ikan lonjiang bahkan kura-kura. Pinggiran sungai dipenuhi semak Eupatorium, Melastoma, Mimosa, dan Casia. Di titik tertentu ada Bambusa dan Dillenia yang buahnya sebesar kepala bayi. Di bawah batang Dillenia itulah Inyiak mungkin berada. Sebab kelihatan tangkai pancingnya dari jauh. Jika demikian, maka jalan mengendap-endap, bagaikan upin-ipin mencari pencuri ayamnya atuk-, mesti dibelokkan ke kanan , melewati semak Mimosa pigra yang dipenuhi ujungnya oleh kumbang Rhinoceros, gerombolan Eupatorium dan Casia tora, lalu mulai menurun pinggiran sungai tanah lembut.

Da Liman berhenti. Tangannya memberi kode agar waspada. Tubuh Inyiak terlihat di sela daun Mikania yang menjalar tinggi. Betul! Tak salah lagi! Lihat! Di sisinya teronggok zat organik terdekomposisi berwarna kuning kecoklatan!

Mereka saling dempet. Di tanah miring lunak. Bawah rindang semak berbalut daun Mikania. Bau badan dan keringat masing-masing ditahankan. Utut paling berdebar. Ia sedari tadi selalu di belakang . Maka penasaran, ia merangsek menimpa Keling Madi dan Inop di depan. Karena ia lagi ingusan, dada berdebar, nafas memburu, bercampur bau tubuh empat lainnya, alergi hidungnya muncul. "Hatchiiin!!!" Tak tertahankan, Utut bersin. Da Liman kaget. Ia menoleh marah! Dempetan anak- anak itu terguling. Tanah lunak miring. Dan Inyiak Modol menoleh. Pakai topi bersandang kain sarung! Astaghfirullah! Alamat kena cengkram kuduk oleh Inyiak yang mengerikan itu!

 

 

Inyiak itu cepat menutup umpan pancing "rahasia hak paten"nya. Dengan daun Dillenia lonjong bertulang daun menonjol. Lalu bangkit gemas berjalan ke semak yang bergerak dan ada suara bersin barusan.

"Sia tu?!" hardiknya.

Da Liman melompat meraih ember anti pecahnya dan cigin dengan kecepatan 3 m/dtk. Di belakangnya Inop dan Madi. Lalu Keling dan adiknya Utut. Utut pucat pasi. Tak hanya wajahnya yang putih tapi juga tapak kakinya. Ia lari paling belakang. Bayangan Inyiak serasa ada di atas kuduknya. Mencengkram dan melemparkannya ke sungai! Ketakutan tak terperikan itu membuat langkahnya sembarangan hingga terpeleset ke sawah. Penuh lumpur!

"Ampuuuun!" tangisnya muncul. Keling menoleh. Tak tega, ia berbalik menolong adiknya. Nun di pinggir sungai, Inyiak Modol terlihat mencak-mencak...

Duh! Untung Inyiak itu tak berlari menyusul!

 

Malam tarawieh ke 2 kini. Malam pertama kemarin, kaji Buya di surau Parik, tentang syarat rukun puasa. Malam ini berkenaan dengan tujuan puasa. Agar orang beriman menjadi taqwa, kata beliau.

Anak-anak ikut mendengarkan. Mereka membawa buku catatan. Setelah shalat tarawiah nanti, buku itu dimintakan tandatangan Buya. Termasuklah da Liman yang kelas Enam, Inop dan Madi klas tiga dan Keling klas 2. Utut tak ikut. Sejak siang tadi sepulang dari sawah badannya panas demam. Bapaknya melarang ikut ke surau. Lagian, anak kecil begitu, paling juga ikut main saja. Dorong-dorongan saat shalat, lalu cepat-cepat mengambil posisi "khusuk" jjka imam sudah tahyat terakhir menjelang salam.

"Ado nan kaditanyokan apak. Ibuk?" kata Buya. Diam.

"Anak-anak. Ado nan kaditanyokan?" sambung Buya lagi.

"Saya bertanya sikit Engku Buya. Tadi di sawah kata da Liman, makin tinggi pangkat orang makin besar pula dustanya. Kata dia, Engku Buya yang menyampaikan"

"Iya. Jika dia berbuat salah. Salahnya orang besar lebih bahaya dari salahnya orang kecil seperti kita ini"

"Jadi jika buya yang ilmu agamanya sudah tinggi sekali, jika salah juga lebih gedang akibatnya tu Buya?" tanya Inop lagi.

"Iya! Jadi buya tidak mudah. Ada buya yang ngajak orang jadi baik tapi dia sesatkan setelah itu. Ada juga buya yang mengkorupsi ayat. Sudah jelas ayatnya mengatakan halal istri dan hamba sahaya, dia bilang hamba sahaya itu tak ada. Padahal diam-diam melimpah hamba sahaya tertangkap dikirim ke utara dan timur tengah. Namanya human traficking!" Jelas buya itu. Inop tak memahami maksud buya itu. Yuman trefiking itu entah apa! Ah sudahlah!

"Ya Buya. Sudah" kata Inop. Lalu ia melipat buku Ramadannya untuk ditanda tangani Buya nanti sebelum pulang.

TAMAT

ENGKU DATUK MERUYUNG

Engku Datuk Meruyung.

 

Oleh Hanifa Marisa

 

 

Jalan Meruyung ini terasa begitu padat sekarang. Hampir tak berhenti kendraan lewat. Siang ini, Engku Datuk memandang ke luar. Mobil pribadi. Mobil pikap. Angkot biru. Motor. Tak ada hentinya. Semua meraung dengan urusan sendiri-sendiri. Bertahun lalu, disini masih rada sepi. Begitulah pinggiran ibukota, berubah setiap saat. Seperti jarum jam di belakang Engku Datuk, yg tersangkut di dinding toko obatnya.

"Siang Bang. Biasa! Mohon partisipasi untuk tujuhbelasan!" seorang lelaki muda keriting kulit hitam masuk ke terasnya. Engku Datuk memandang. Lelaki 20an tahun, berbadan gempal, berwajah khas debt collector. Matanya tajam. Ada aroma alkohol...

"Tujuhbelas apaan? Masih Maret ini!" Engku Datuk menjawab. Dengan wajah tenang menelisik.

"Eh. Anu. Israk Mikraj Bang. Seadanya!" tambah pemuda itu. Ia kini berdiri di seberang etalase Engku Datuk. Dekat!

"Lho. Apaan sih? Israk Mikraj kan udah selesai? Yg bener aja!" Engku Datuk tetap tenang. Maaf. Udah berbilang tahun Engku bertoko obat disini. Dan belum ada yg berani mengganggu. Tetangga Rt Rw srmua segan. Di masjid juga tergolong jemaah rajin. Bahkan bebetapa aparat Samsat Cinere yg kantornya tak jauh, adalah teman dekat Engku Datuk.

Pemuda ini, yg entah siapa, Jornelius atau Martinis atau apapun, kini memandangnya dengan aura intimidatif. Ini pantangan benar bagi Engku Datuk. Cuma karena umur sudah di atas 50, Engku tak mau juga sembarangan.

Namun, justru pemuda ini yang makin berani.

"Ah. Ngerti ajalah Bang! Kita udah biase gaya Jakarta. Tak ada seratusan, limapuluh juga cukup!" Pemuda itu merapat ke etalase kaca. Engku Datuk mulai meningkat denyut jantungnya. Qul a'u zubirabbil falaq. Min sarri ma khalaq...

Sadar dengan situasi begini, Engku Datuk memandang pemuda itu persis di biji matanya.

"Tak ada partisipasi atau apapun! Pergilah baik-baik!" Ujar Engku Datuk.

"Snap!" Pemuda itu menjangkau krah baju Engku.

"Cepat sajalah Bang! Gua tak punya banyak waktu!!"

Krah baju makin ditarik. Dan Engku Datuk sampai jua di batas. Tiba-tiba tangan kirinya memegang jemari yg mencengkram dan memutarnya ke kiri! Pegangan di krah terlepas dan sikunya menekuk. Pemuda itu meringis terpekik!

Tak dia sangka lelaki parobaya rambut gondrong urakan ini memiliki kemampuan begitu. Padahal, teknik itu, pelajaran dasar saja di banyak sasaran latihan di Kumango Lintau sana.

Tentu tak mau dia segera menyerah. Tangannnya dia tarik kuat! Tenaga alkohol! Engku melepaskan. Dengan harapan ini selesai. Tapi tidak! Tangan yg terlepas itu kini melayang memberi hook! Tepat ke wajah Engku Datuk!

"Klop!" Pergelangannya ditangkap Engku Datuk dan kembali diputar. Tak hanya diputar, tangan kanan Engku menampar pangkal telinganya. Plak!! Pemuda ikal hitam gempal itu kembali terpekik! Engku Datuk menarik sedikit pegangannya. Begitu tubuhnya condong ke depan, didorong Engku ia ke halaman. Engku tak mau kaca etalasenya jadi korban!

Dan pemuda itu terjajar di lantai. Orang yg lewat melihat. Sebentar. Lalu kembali melanjutkan urusan masing-masing. Di Betawi ini, mending tak punya urusan dg preman timur!

 

 

Engku Datuk segera keluar. Maksudnya supaya bakuhantam tak mencedrai barang toko. Tapi lelaki itu menganggap Engku kembali menyerangnya. Makanya ia segra berdiri tertatih dan mengambil jurus langkah seribu! Lari!

 

Kejadian tadi siang, preman timur pemalak, membuat Engku agak lama termenung sehabis shalat. Sehabis salam ke kanan dan ke kiri, batin Engku masih masgul. Makanya dalam zikir dan doa, ia memasang nawaitu. "Shalat tahajud lah beko malam. Mungkin Tuhan mambori isyarat!" gumamnya dalam hati. Dan memang! Jika niat sudah terpasang, Engku Datuk terbangun di sepertiga malam. Segra ia wudhuk dan shalat dua rakaat. Tak puas dua rakaat, ia tambah dua lagi. "Salamoko zakat jo sadaqah lai lancar ambo tunaikan, kan Tuhan?" Engku berbisik pada Allah SWT. "Jadih malah Tuhan. Ambo tambah gadangkan sadaqah bisuak-bisuak..." Engku melanjutkan. Frekuensi hatinya berkelindan dengan Tuhan yg dicintainya.

Tak terasa sudah hampir subuh. Engku berjalan ke kamar. Memandang istrinya yg masih tidur. Ooo sudah puluhan tahun wanita ini mendampingi hidupnya. Dalam susah dan bahagia. Dari kondisi nol ke punya rumah toko seperti sekarang. Muncul kasih dalam hatinya. "Erna. Erna..." Engku membangunkan pelan. Erna membuka mata. Menggeliat. Menggosok kening.

"Uda sumbayang subuah di musajik kubah ameh yo! Lah lamo indak ka sinan"

Erna mengerinyitkan kening. Memandang. "Jadih Da" jawabnya lalu kembali melengkung memeluk guling.

Kendraan Engku masuk ke halaman madjid. Cahaya taman terang benderang. Pohon pohon kurma dan buah serta kembang. Dian Almahri menjadi tokoh inspiratif amalan Engku Datuk. Pengusaha wanita Banten yg sukses di Malaysia bahkan sampai ke Arab. Ribuan masjid sudah ia bangun. Dan kubah emas ini yg paling fenomenal. Lapisan emas 22 dan 24 karat di kubahnya. Halaman nan luas. Suasana timur tengah! Di dalam sudah banyak orang hadir. Boleh dibilang, ini jemaah orang makmur tapi tak lupa Tuhan. Subhanallah. Alhamdulillah. Allahuakbar!

 

Masjid tinggi dan lapang. Di deretan depan sudah rada penuh. Engku mengembang sajadah di saf tengah. "Allahuakbar..." dengan khusuk dia mulai shalat Tahyatul Masjid. Tiadakah pantas dia muliakan rumah Tuhan yang begini megah berselaput emas, dengan ruku' dan sujud dua rakaat?

Setelah salam, ia beranjak ke saf depan. Engku melihat masih ada ruang kosong. Ia berdiri dan mengangkat sajadah. Saat hendak melangkah, bahunya di tempeli seseorang dari belakang. Aroma minyak kesturi semerbak. Engku menoleh. Hai! "Pak Dokter!" Engku berbalik, dan mereka bersalaman. Dokter Faisal! Anak muda yang dulu ketika baru diangkat di puskesmas di jalan Grogol sering bertemu. Bapaknya orang Solok, ibunya Payakumbuh. Keluarga sederhana. Tapi anaknya berhasil jadi dokter. Engku Datuk malah berperan serta dalam perkenalan dan pernikahan dokter ini. Diskusi tentang medis dan obat sering mereka lakukan. Setiap arisan keluarga minang, mereka bertemu. Ide Dokter Faisal membantu anggota IKM yang kesulitan selalu didukung Engku Datuk. Terakhir, membantu modal Rahima, yang suaminya PHK karena pandemi. Rahima kini berjualan kue pagi, di simpang masjid.

"Eee dokter! Baa kaba? " Mereka bersalaman. Dan Engku Datuk mengurungkan niat mengisi saf depan. Mereka duduk berdampingan. Sambil "maota lamak" menanti iqomah.... MasyaAllah...🙏🙏

 

 

 

 

Ota Engku Datuk terlihat makin serius. Dan terlihat Dokter Faisal rada berbisik,"baitulah posisi kami kini Engku...." Engku Datuk terdiam sejenak. Lalu balas berbisik," Tahun anampuluahan dulu jo cilurit dan peluru tantara sarato ummat dihabisi, nan kini, jo ketakutan psikologis..." "Batua Engku!"

Bisikan kedua jemaah subuh itu terhenti . Dari depan terdengar suara iqomah."Allahuakbarulllahuakbar!"

Jemaah serentak berdiri. Umumnya berpakaian putih atau warna lembut polos. Aroma kesturi. Suasana khusuk. Jemaah makmur sejahtera. Dengan parkiran mobil berderet mengkilap.

Selesai shalat , berdoa dan zikir, diantara jemaah masih ada yg duduk menanti duha. Tapi umumnya pulang balik ke rumah. Aktifitas harian sudah menunggu. Kantor, rumah, dan pasar. Begitu juga Engku Datuk dan Dkkter Faisal. "Baa. Ka dicaliak progres usaho si Rahima? Sambia mambali kue pagi, Engku?" Dokter Faisal bertanya saat keluar masjid. Engku tersenyum. "Jadih! Nan kato urang, salain kue, nasi uduk gai lah nyo jua."

Engku membiarkan innova reborn putih Dokter Faisal jalan duluan. Dia mengikuti di belakang dengan MPV nya. Tidak baru, tapi juga belum lebih lima tahunan. Sudah tiga kali dia bawa pulang kampung ke Tanah Datar. Nun di sawah dan bukit yang indah, ranah Lintau.

Dokter Faisal berhenti di pinggir. Engku ikutan di belakang. Pojok Rahima terlihat ramai. Nasi Uduk dia jual dibungkus. 30 bungkus habis. Empat puluh bungkus pun laris. Kini 50 bungkus, tersisa sedikit. Berkah nampaknya rezeki "ponakan" ini.

Lokasi jualan ini depan rumah Haji Chaeruddin. Orang Betawi. Tapi kenal dekat dengan Engku. Dulu ia sering belanja obat. Tapi sejak disarankan Engku konsumsi jelly Gamat, ia sehat bugar. Jelly itu ekstrak timun laut diawetkan. Hasil pengembangan ketettarikan Dr Mahathir pada tradisi kampungnya di pulau Langkawi. Ibu hamil mengkonsumsi itu sebelum melahirkan. Lalu ia suruh tim dokter bersama ahli Jepang mempelajari . Bethasil! Jelly itu bagai pelumas untuk usus. Dan mengandung mineral laut yg esensial. Haji Chaeruddin sembuh. Dan tak lagi rajin beli obat ke Engku. Itulah sebabnya, ia membalas budi Engku, dengan mempersilakan Rahima berdagang makanan pagi di depan rumahnya. Di simpang jalan Meruyung ini. Hanyasaja, Rahima harus menjaga durasi dari habis shalat subuh ke pukul 7. Pukul tujuh, polisi pamong praja mulai berkeliling. Tapi tak mengapa. Waktu 2 jam itu sudah sangat cukup untuk mengumpulkan rezeki. Tak banyak melimpah, tapi cukup berkah!

Dokter Faisal dan Engku Datuk ikut antri beli. Rahima terkejut. "Onde Datuak jo uda dotor! Ambiaklah ma nan katuju ! Usah dibayia pulo!!" Rahima senang dikunjungi. Dokter muda itu tersenyum ramah. Engku Datuk mengangguk-angguk. Senang!

Tapi senang bahagia itu berubah tiba-tiba. Bunyi kaca pecah terdengar keras! Krak!! Saw!!

Orang-orang terkejut. Lalu menoleh ke arah datangnya suara. Seorang lelaki berlari menyebrang jalan dari belakang mobil Datuk. Dan kaca belakang mobil Engku Datuk, hancur berantakan! Astaghfirullah!

 

 

Engku berjalan memeriksa buntut mobilnya. Berantakan! Sebuah batu rada besar duduk teronggok di sela pecahan kaca. Nun di belakang jok. Tempat dimana biasanya Engku menyusun kotak doze obat dari belanja grosir.

Dokter Faisal sampai pula di samping Engku. Ikut memeriksa. Dia heran. Motif perilaku apaan ini. Segera dokter itu teringat temannya di reskrim. Pamen senior yang anaknya pernah dia tolong anak gadisnya dari vonis operasi usus buntu. Perlakuan obat radang infeksi dicampur dengan latihan mirip yoga dan pengaturan pola makan melalui puasa Senin Kamis, berhasil menolong anak bungsunya. Mereka jadi akrab. Lebih tepatnya, pamen itu sering datang silaturrahmi dan menganggap dokter Faisal seakan saudaranya. Dan kini dia berniat mengontak yang bersangkutan.

Beberapa orang konsumen Rahima ikut menengok. Mereka heran dan geram. "Ade yang diambil barangnye nyak Bang?" Ada yang bertanya. Engku menggeleng. Sebab memang tak ada apa-apa di dalam mobilnya. Tak ada notebook ataupun HP. "Dasar tikus corot!" Ada yang ngedumel.

"Tanang Angku. Wak bantu mampeloki. Tunggulah. Ditalepon kawan di reskrim. Mudah-mudahan indak lamo main pajako!"

"Bialah Sal. Indak ka barapo bana. Kapatang memang ado nan sakik ati ka ambo!"

"Apo masalahnyo Angku?"

Engku menerangkan kejadian kemarin. Dokter Faisal mengangguk-angguk. Lalu mulai mencari nomor telepon tertentu.

Engku Datuk memegangi pecahan kaca yang berderai. Mengkilap. Hitam bening. Seperti biasa, sesaat rame namun segera kembali semula, karena setiap orang punya urusan masing-masing!

Engku pun meraih telepon genggam dari kantong. Membuka daftar kontak. Dan berhenti di nama Mat Bronk. Menekannya, lalu terlihat ia bicara.

"Mat. Iye. Assalamu'alaikum. Bekabar aje ni. Kecil tapi lu mesti gua kasih tau lah! Iye. Kemaren itu, ade yang maen ke toko. Biase. Mintak sumbangan....iye. Iye. Item keriting duapuluhan lah! Iye. Iye. Gua serahin lu aja deh! Iye. Makasih ya Mat! Iye. Iyeeee. Alaikumsalam!"

Belanja kue dan silaturrahmi dengan Rahima dilanjutkan. Lalu keduanya berpisah di pengkolan. Duh! Membawa mobil kesayangan dengan kaca belakang hancur, gak enak beneran! Sumpah!

 

 

 

 

 

"Elok bana Dokter Faisal ka kito. Murah juo lah rasakinyo yo Da" Erna menyambut makanan kecil dari tangan Engku Datuk. Lalu mengambil wadah untuk dimakan bersama. Anak-anak juga sudah lama tak menyicip lapeh bugih bika kukus ini.

"Uda hubungi si Mat? Beko gadang pulo masalah nan tibo!"

"Iyo. Tadi lansuang Uda telepon"

Erna cemas. Bukan apa-apa. Dia faham benar jika Engku Datuk bertindak. Semasa baralek kawin dulu di Lintau, Tan Angkang babak belur dia buat. Tan itu se jorong dengan Erna. Badannya tinggi besar. Dan sialnya, dia "katuju bana" dengan Erna. Di pasar Lintau, tak segan dia mengiringi Erna dan maknya belanja. "Erna ko jadi bini ambo sajo yo mak!" katanya pada mak Erna. Erna jadi salah tingkah beneran. Sebab hatinya sudah terpaut dengan Engku, yang dia pupuk sejak Engku masih bolak-balik Lintau -Gadut menjalani kuliah. Kata orang-orang, kuliah di Gadut itu akan menjadi ilmuwan dan penemu sains. Wah, keren juga itu! Apa nanti ia akan jadi ibu darmawanita dosen peneliti? Amboi!!

Lalu ketika "etongan" sudah masak, hari pernikahan direncanakan, Tan Angkang mendatangi rumah Engku Datuk. Ya. Waktu itu panggilan Engku adalah Buyuang Inop. Orangnya supel. Mudah senyum. Rambutnya panjang sampai ke kuduk. Oleh karena ia oramg kuliahan, akhlaknya baik, mak Erna jatuh pula hatinya. "Satiok patah nyo mangecek, sajuak se amak mandanga" kata Mak. Lalu kini Tan berdiri di halaman rumah bagonjong Buyuang Inop. Dia menghardik, "Nop! Iyo lai jantan waang? Turunlah!"

Terkesima Buyuang Inop mendengar. Dia sudah tau jika Tan jatuh cinta setengah mati pada Erna. Erna semok elok perangai. Mulut manis kucindan murah. Baso-basi ketuju pula. Alu tertarung patah tiga. Semut terinjak takkan mati...

"Jan dilayani pulo Nop!" Ibu Buyuang Inop memohon. Tak mau ia anaknya yg calon pengantin, berkelahi.

"Takuik ang! Den baka janjang rumah mayai waang ko?!"

Gelisah Buyuang Inop. Ini sudah perkara kehormatan. Siri kata orang Bugis! Jenjang rumah ibunya dibakar di hadapan matanya, lalu dia akan diam? Ah! Tidak! Mending jangan jadi lelaki jika demikian! Maka muncullah Buyuang Inop di pintu. Dengan wajah tenang. Walau menahan emosi. Jika bukan dalam kondisi begini, dia layani lelaki bertubuh besar ini agak sejurus dua jurus. Ganti memperpasih-pasih langkah. Untuk pembuang peluh buruk!

"E lai banyali juo ang?! Lah gata tangan den ka malampang!" Tan Angkang segera melangkah ke ujung jenjang kayu di depan Buyuang Inop. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Indak diinyo, di awak! Anak ibu bapantang lari jiko musuah tibo mancari. "Assalamualaikum ya ibuku, bumi dan segenap alam. Tunjukkan jalan yg lurus" bisik Buyuang Inop mengalirkan energi tubuhnya dari perut ke ujung tangan dan kaki. Di depannya, jarak beberapa langkah, Tan Angkang siap menerkam!!

 

 

Buyuang Inop ini tak seganteng ambo, salah pilih si Erna ini...mungkin begitu fikiran Tan Angkang. Makanya ia segera melompat, menampar pipi Buyuang Inop. Plak!!

Sungguh. Buyuang Inop hendak mengajak bicara baik-baik. Bukankah rencana nikah ini sudah selesai,? Tinggal menanti hari H saja kan? Untuk apalah bermain emosi? Perilaku bertempur memperebutkan pasangan itu adanya di mamalia primitif. Atau hewan pisisi evolusi di bawah primata. Begitu kan kuliah dari bapak ibu dosennya di Gadut?

Tapi yang dia hadapi sekarang adalah Tan Angkang. Lelaki tinggi besar yang di pekan Lintau tak segan-segan membuntuti Erna serta mak nya belanja!

Plak! Bunyi itu adalah terpaan punggung tangan kirinya menangkis tamparan bertenaga kuat tangan kanan Tan Angkang.

Di Lintau ini, setiap lelaki adalah pendekar. Bahkan juga sebagian perempuan. Termasuk Tan. Dan tamparan itu tadi, hanyalah serangan bunga pembukaan saja rupanya. Tak dinyana, kaki Tan sudah menusuk sisi luarnya ke dada Buyuang Inop. Seperti anak panah! Jika tidaklah Buyuang siaga, sudah dimakannya ulu hati! Refleks Buyuang berkelit. Sambil kaki kiri diseret ke belakang. Dan siku kanan Buyung menghantam tempurung kaki Tan. Terdengar bunyi tak enak. Entah tulang entah urat kaki. Dan Tan Angkang meringis! Pecahkah tempurung kakinya?

"Lai barisi juo anak Suna ko!" Ia berucap. Nama ibu Buyuang Inop memang Rosna. Biasa dipanggil Suna. Lalu ternyata pancingannya itu berhasil. Buyuang Inop menggelegak jika ibunya disebut-sebut. Bagi dia, ibunya itu lebih dari bidadari. Ia adalah malaikat suci yg arif dan penuh sayang. Tempat Buyuang Inop meminta merengek dan bermanja. Maaf, usahlah menyebut ibunya dua kali! Bisa menyesal nanti!!

Betul! Energi tubuh Buyuang menyentak. Tan seketika menjadi kecil dia lihat. Sebesar nyamuk!

Dan ini dia!! Giliran kaki Buyuang Inop pula meluncur. Lurus ke kerampang. Tan surut selangkah. Kaki Buyuang menerpa angin. Tapi itu juga bunga pembuka. Berikutnya berubah jadi tendangan tajam, lebih tinggi ke dagu. Gerakannya secepat kilat! Sepak daguak! Refleks! Teknik dasar saja. Bedanya dilakukan oleh seorang Buyuang Inop. Yang dadanya menahan api tersebab jenjang ibunya akan dibakar dan tak sedikitpun hormat menyebut si Suna! Akumulasi itu menyatu dalam gerakan kaki tak tertahankan. Blug!! Dagu Tan terdorong ke atas dan menghantam rahang atas! Giginya menjepit dan entah ada yang patah. Nyerinya mendenyut ke kepala! Tan tersurut. Selangkah. Tidak! Dua langkah!! Hoyong! Berkunang! Buyuang Inop tak membuang kesempatan. Ia melompat. Kakinya kembali menjulur. Lebih dari menjulur. Menghunjam!! Tan menangkis dengan tangan. Tapi terlambat! Bahunya seperti diterpa benda sebesar pohon kelapa tumbang! Ia jatuh tertelungkup. Saat itulah tumit Buyuang memakan kuduknya! Suara tulang berderak! Pekik Tan menggema. Begitu juga teriak histeris ibu- ibu yang melihat dari jendela. Jika fisik tak sebesar sekuat Tan, sudah sampai ajalnya!!

"Buyuaaang! Istighfar nak...." dia dengar ibunya menangis dari jendela. Buyuang terhenti....

 

Begitulah karakter Buyuang Inop. Kanduanyo badantiang-dantiang. Tagangnyo maleo-leo. Penghormatannya pada ibunya adalah 100 persen. Dan maaf ibunya, akan menghentikan amarahnya juga. Teman, taukah engkau, Buyuang Inop yang membantu membawa Tan Angkang setelah itu berobat ke Puskesmas Lintau Buo Utara Dua? Lalu tak ada tuntutan apa-apa dari pihak keluarga Tan, sebab bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak; Tan Angkang lah yang membuat "salah langkah" ke rumah ibu Buyuang Inop. Sayangnya, sejak kejadian itu, Tan Angkang walaupun pulih, tapi agak berubah kelakuannya. Kadang dia bicara sendiri. Kala lain ia bermenung di pematang sawah. Dan sampai sekarang tak ada yang mau bersuami dengan dia. Begitulah makan tangan Buyuang Inop!

Erna faham betul kelakuan suaminya ini. Sebab bukan sekali itu ia mengalami. Masih terbayang ketika mereka baru menikah dulu, lalu tak sampai sebulan, Buyuang Inop yang diberi gelar Datuk saat pernikahan, "dicubo" preman di loket Aur Kuning, Bukittinggi. Mereka menunggu mobil ANS AC di terminal. Setelah lebih sejam, mobil datang dari pool Jambu Air. Sudah terisi penumpang lebih separo. Ia dan Engku Datuk disilakan naik sesuai nomor tiket di deretan ke dua. Tak lama kemudian, beberapa pedagang asongan naik. Umumnya orang membeli makanan. Karena ini mobil AC, pedagang hanya punya kesempatan sebentar untuk mengais rezeki. Di antara mereka ada yang menjajakan buku TTS. Menawarkan pada setiap penumpang. Entah kenapa, mungkin karena melihat wajah Engku yang innosens sedang bulan madu dan rambut gondrong, penjual buku TTS itu tak menawarkan buku itu pada Engku, namun memilih buku yang terselip paling bawah bergambar perempuan tak berpakaian selembar benangpun! "Barang bagus Diak! Baru tibo dari Batam! Limo ribu sajo!" penjual itu rada berbisik ke Engku Datuk. Engku melihat ke buku itu. Lalu menduga, ini mungkin majalah porno. Atau semacam itulah. Dan tentu saja Engku menolak. Tak ada yang lebih cantik dari Erna di antero Lintau sana. Lagian yang begitu, maaf, sampah tak berguna! Engku menggeleng dengan tetap memasang wajah ramah. Penjual itu, lelaki 30an tahun, gigih menawarkan. Ia menarok buku di pangkuan Engku Datuk. "Murah tu Diak! Harago subanano sapuluah ribu! Asyik pokokno!"

"Mokasih sajolah Da. Baoklah baliak!" Engku Datuk mulai tak enak hati. Dia kembalikan buku itu ke tumpukan buku di pegangan si penjual. Tapi si penjual kembali menarok di paha Engku dan nyeletuk,"Tigo ribu ambiaklah sanak!"

"Indak!" Engku membulalakkan mata. Dan uda penjual TTS itu tersinggung. "Samo jantan awakkono sanak! Jan sok suci pulo lai!" Dia dorongkan buku itu ke wajah Engku. Tentu reflek Engku menepis. Hep!!

Maka mendidih emosi uda Penjual itu. Di terminal Aur ini, tak ada yang tak kenal dengan dia! Reman Ralu! Pemakan masak mentah! Kiri kanan ok! Maka dia kasih penumpang ANS ini hadiah bogem mentah. Di arah pelipis berambut gondrong! Hop!!

 

 

Teman. Berat hati Engku Datuk mengotori perjalanan pertamanya setelah tiga minggu menikah di kampung. Inginnya dia, naik oplet dari Lintau ke Bukittinggi dan naik ANS dari Bukittinggi ke Jakarta dengan membawa "rang rumah" ini, baik-baik saja. Jika bisa, ya romantis lah...gitu.

Namun harapan itu buyar. Preman Aur Kuning yang satu ini memasukkan setetes nila dalam belanga susu perjalanannya. Apa boleh buat!

Itulah sebabnya Engku menangkap pergelangan tangan Reman Ralu dan memutarnya ke kanan. Plok! Heit!!

Reman melengkung meringis. Tumpukan buku di tangan kirinya berserakan di lantai mobil. Sebagian lagi, terkapar di ujung kaki penumpang. Sialnya, buku yang disusun di bagian bawah menjadi terdedah di bagian atas, hingga terlihat jelas oleh penumpang deretan Engku dan belakang. Rasa malu ketauan membuat Reman cepat menyentak tangannya. Engku, karena tak ingin berpanjang masalah, melepaskan "piuah" kunci tangannya. "Alah tumah Da indak elok/" sehingga itu Engku bicara, Reman telah mengeluarkan pisau dari pinggang celana jeannya. Dan segera menghunjamkannya ke wajah Engku.

E ko bapantang diagiah hati komah?

Engku cepat mengelak. Kulit jok mobil tembus beberapa sentimeter... dan Erna langsung memekik, "Udaaaa!"

Sungguh tak ada pilihan lain bagi Engku. Menunggu hunjaman kedua, dan yak, menangkap pergelangan tangan, menumpu sikunya dari bawah dan secepat kilat menampar jemarinya. Pisau terlempar ke atas, dan jatuh di dekat penumpang baris ke tiga. Penumpang lain ikut memekik. Engku merubah arah tamparan menjadi serangan dengan siku ke rusuk. Brak! Reman terbeliak. Ia memukul membabi buta. Dan itulah yang disukai Engku Datuk, tupang daguak beriring dengan sundak lutut. Reman terkapar di lorong antar jok bus. Dan orang loket berhamburan naik. Mereka memegangi Reman dan menyeretnya turun.

"Baa sababnyo Da?" tanya stokar.

"Agak kareh baso-basinyo bajaga buku!" jawek Datuk.

"Daram pajatu. Syetan tumah!" Teriak penumpang yang lain. Dan kepala loket bus, Irman, yang badannya besar bertopi moris, memberi penjual buku TTS itu tinju berkekuatan 10 m /detik. Buk!!! Pangkal telinganya menjadi sasaran. Ia terdorong tiga langkah dan telungkup di aspal dekat roda belakang bus.

"Ampun da Ir. Ampun da Iiiir...." lulungnya. Dasar kuciang air!!

Aneh juga, yang dihantam tinju pangkal telinganya, yang berdarah mengalir justru hidungnya

 

 

Orang-orang jadi ramai depan loket . Mereka ingin tau apa yang terjadi. Mengapa lelaki kurus pake jean ini meraung minta ampun. Apa dia nyopet?

Penumpang ANS turun semua. Bapak yang duduk di belakang mengulurkan pisau pada Irman. "Ko pisaunyo Da! Barang bukti! Baoklah ka pos polisi!" Ujar bapak itu. Irman mengambil pisau itu dan mengantonginya sambil bersungut-sungut , "Pasisia waden ang karajoan...haragoi urang saketek...jan nan kalamak diawak sajo..."

"Iyo Da Ir. Ampun wak. Awak nan salah! Usah dibaok ka pos Da Iiiir" Reman itu berlutut ke kaki Irman.

"Mintak mooh ang ka panumpang ambo tu lah!" kata Irman. Dan si Reman langsung berlari ke kaki Engku Datuk. Darah masih mengalir di hidungnya. Sambil memegang kaki Engku, ia bagai anak kecil merengek minta dimaafkan.

"Lantuang sakali lai sanak!" Terdengar seorang penumpang memprovokasi. Engku diam. Tak sampai hati juga dia. Apalagi niatnya hendak berjalan baik-baik ke Jakarta. Menggunggung membawa terbang perempuan tercantik seantero Lintau. Hingga yang dilakukannya justru memegang ubun-ubun lelaki pesakitan itu, dan meniupnya dengan pelan. Sambil membaca surat Al Ikhlas...

"Naiaklah! Naiaklah! Apak Ibu Uda Uni Adiak! Oto ka barangkek!" Sopir berteriak. Dan keramaian itu bubar. Di atas mobil, para penumpang masih riuh membicarakan sang Reman. Mereka akhirnya jadi seperti keluarga saling tanya dan berbagi. Erna, yang dari tadi diam, akhirnya juga nyeletuk, " Abih darah Erna tadi Da....indak disangko!"

Engku Datuk tersenyum tipis. Lalu meraih kepala Erna rebah ke bahunya....

 

 

Bus sudah menurun ke Padang Panjang. Larinya terasa cepat. Kadang per nya berayun-ayun. Penumpang mulai diserang kantuk. Dan Erna tersandar teduh di dekap suaminya.

Di loket, Reman tertatih duduk ke dinding loket. Meratapi untungnya. Sebab, sedari pagi ia belum sarapan apapun. Kecuali sebuah godok diberi temannya. Seorang pegawai agen bus memberinya segelas teh manis. Diikuti oleh da Irman, memesankan sepiring lontong sayur. Maka bercampurlah kuah lontong dengan air matanya. Hidup, rasanya seperti tebing terjal. Tapi kebanyakan justru karena resulrante ulah kuta juga. Bukankah dulu di Pekanbaru ia sudah agak mapan membantu mekanik bengkel motor? Tapi gegara tergelincir menakali anak ibu kost nya yang masih klas 6 SD, hampir mati pula dia diamuk orang. Di Aur Kuning ini saja, sudah beberapa kali ia mendapat hadiah bogem mentah. Tapi nasibnya begitu-begitu jua. Kehidupan di terminal kadang penuh warna-warni. Kasihan dan setiakawan sesama preman bercampur dengan amarah emosi dan carut marut. Ucapan 'kandiak' 'karapai' 'kalera' bahkan yang lebih kasar dari itu, sudah jadi makanan sehari-hari!

Tentu berbeda dengan Erna. Ia mulai menjadi suri rumah tangga menemani Engku Datuk di Betawi. Bermula dari rumah sederhana. Makan dan pakaian seadanya. Sampai akhirnya punya anak, bertambah rezeki dan punya toko sendiri. Bukan tak ada aral melintang. Sindiran cimeeh ulat bulu, sering juga muncul. Namun Engku Datuk mengajarnya tabah. Hingga akhirnya, mapan seperti sekarang. Khayal tentang ibu darmawanita dosen peneliti litbang, sudah ia kubur dalam-dalam. Kata Engku, kita bisa bermanfaat di posisi apapun. Toh terbukti sekarang, sudah banyak sanak keluarga bisa dibantu. Rumah dan kendraan cukup sudah. Bahkan berlebih. Rumah di kampungpun telah direhab. Jika Engku pingin ganti Mpv jadi SUV ia tak bersuara. Mau beli motor gede, iapun diam menerima. Bagi Erna, selagi anak-anak sehat dan sekolahnya baik-baik saja; itu sudah cukup. Malah kini sudah berlimpah ruah. Semakin ia dan suaminya bersedekah, semakan datang saja amanah. Ini contohnya; bel pagarnya berbunyi. Dan karyawan Auto2000 datang membawa kaca belakang serta kotak peralatan. Katanya disuruh bos pagi-pagi. Bos itu temanan dekat dengan Dokter Faisal. Itupun karena jasa dokter itu yang menyarankan Opanya minum air nira aren secara teratur untuk mengontrol diabetnya. "Tinggalkan gula tebu dan pemanis buatan. Gula aren dan niranya rendah indeks glikemiknya" begitu nasehat Faisal, dan terbukti Opanya sehat segar kembali. Hidup, tak sekedar bertukar barang dan uang, tapi lebih dari itu, memberi manfaat dengan ikhlas!

Dalam setengah jam, kaca mobil dia, kelar beres tokcer!! Nikmat Tuhan manalagi yang akan kita nafikan?

 

 

Dua mekanik mobil itu pamit. Dia membungkuk memberi salam pada Engku Datuk dan Erna. Engku senang. Erna juga tersenyum lebar. Menjelang naik ke mobil perusahaannya, Engku menyelipkan lembaran uang merah ke kantong mereka.

"Aduh Bapak. Jangan. Maaf. Tidak usah! Boss pesan, semua sudah selesai dengan pak Dokter. Kami bisa kena marah sama boss. Maaf. Bapak. Ibu. Jangan...." kata yang badannya agak besar dan duduk di bangku sopir.

"Ambil aja. Buat jajan anak!" kata Engku. Namun keduanya berkeras tak mau."Beneran pak. Buk. Jangan!" katanya lagi.

"Ya udah. Ibu ngasih makanan aja. Buat cemilan!" Erna beranjak ke dalam. Di almari ruang tengah banyak sekali biskuit kaleng. Ada yang dibeli dan ada yang dihadiahi rekanan. Erna memasukkan masing-masing satu kaleng ke kantong kresekan besar dan memberikannya pada mereka.

"Aduh si Ibuk. Baik banget. Pak Dokternya kata Boss baik juga. Orang-orang Padang itu pada baik-baik semua yah!" yang nyupir memuji. Sepertinya itu pujian "bisnis". Tapi bagi Erna, membuat sejuk perasaan. Engku Datuk tersenyum saja. "Manggak bapak. Ibuk. Assalamu'alaikuuum..." kata mereka melambaikan tangan. Engku Datuk menghirup nafas panjang. Erna senyum sambil melangkah ke dalam rumah.

"Tiiin!!" Klakson mobil terdengar di pagar. Eh. Silih berganti aja tamu nih? Rezeki lagi kayaknya ini!

Engku memutar badan dan kembali ke pagar menyambut. Dari mobil innova hitam turun Mat Bronk.

Dari jauh dia udah tersenyum.

"Pak Uda! Sini liat!" dia memanggil Engku. Selain Mat Bronk, seorang polisi muda juga terlihat turun dari mobil. Ahai, lai barisi jalo pukek?

Setelah menyalami Engku Datuk, Mat menggandeng Engku ke mobil. Polisi muda itu membuka puntu tengah. Dan, yess! Lelaki yang kemarin dia jatuhkan di depan toko. Yang bayangannya berkelebat melinras jalan tadi pagi di tempat Rahima jualan. Ikal gempal hitam. Entah Jornelius atau Martinis atau apapunlah! Duduk di jok menunduk dan kedua tangannya terikat borgol. Didampingi seorang polisi lagi. Engku memandang seksama. Lelaki itu melihat sejenak lalu kembali menunduk. Wajahnya bercampur tekanan marah serta keterpaksaan.

"Nyang ini kan? Bener kagak Pak Uda?" Mat nyerocos. Sejak pertama kenal, ia selalu memanggil Engku dengan Pak Uda. Sudahlah Pak,; Uda, pula! Engku mengangguk.

"Kalo Pak Uda mau ngasih tanda mata, kami purak- purak beli rokok sono bentar!"

Tanda mata? Ah tak perlu. Dengan tangan diborgol begitu, jika ulu hatinya ditinju Engku dari bawah, bisa ke rumah sakit ni orang!

 

"Pecatan kuli jalan tol yang ambles kemarin. Baru datang dari kampung. Ada kasus nyolong hape juga. Emang tekanan ekonomi dan pola hidup hedonis" polisi yang di bawah, bergumam. Seakan tau, apa yang difikirkan Engku Datuk. Engku memandang dan mengangguk-angguk. Ragam fenomena hidup muncul dalam kondisi serba berubah. Engku faham betul!

Si Jornelius, atau Martinis atau siapapun namanya, menunduk ke lantai mobil. Dari pelipisnya turun keringat walau pendingin mobil dihidupkan. Entah apa yang dia fikirkan. Entah apa pula yang dia rasakan....

"Jika tak keberatan mobil Engku kami foto. Dan kepingan sisa kaca kami bawa ke kantor..." polisi itu minta izin.

"Ok. Ok. Silakan mas. Silakan. Dengan senang hati!" Engku menjawab. Lalu buntut mobil Engku difoto. Dan pecahan kacanya dibawa tim polisi itu. Lantas mereka pamit. "Jika tak keberatan, paling dalam tiga minggu ini Engku Datuk kita mohonkan kesaksiannya. Paling sejam dua jam. Dianya udah ngaku kok!" Polisi itu menambahkan. Engku tentu welcome saja. Hal begini sudah beberapa kali ia alami. Di Jakarta dan di Depok ini, dengan populasi manusia super padat, interaksi sosial memang mesti dihadapi dengan lapang hati. Ok lah!

Mat Bronk dan tiga lainnya berangkat. Setelah bersalaman. Dan seperti tadi, Erna memberi masing-masing satu kaleng roti yang mulutnya dihias rantai gemerlap keemasan. Mat Bronk tentu senang banget. Ia dulunya satuan seragam hijau. Karena suatu dan lain hal, berhenti. Beralih jadi sopir online. Serta kepala keamanan informal di Parung Bingung ini. Jika malam Minggu suka main gaple sama anak-anak RW. Disitulah ia kenalan dengan Engku Datuk...

"Buek sambalado tanak Na! Raso kalamak makan beko!" Engku merengek pada istrinya. Hatinya sejuk setelah urusan "Jornelius atau Msrtinis atau siapapun lah namanya" ini selesai. Erna tersenyum. Dan langsung beranjak ke dapur. ....teri Padang petai dan limau kapas, ada!

TAMAT