SODIK
Engku Datuk Meruyung tak menyangka jika Calya putih baru yang berhenti depan tokonya adalah seorang yang bukan hendak membeli obat. Sebab, jika bukan pedagang farmasi, biasanya konsumen. Lelaki muda ganteng yang turun dari jok sopir membuka kacamata hitamnya. Memindahkan ke kantong kemeja biru bergaris. Rapi. Style bintang film. Tigapuluh lima atau mungkin 37 tahunanlah. Engku memandang sejenak. Mengelus rambut gondrongnya dengan jemari. Dan menjawab salam anak muda itu. "Alaikumsalam..." Nah. Berarti bukan konsumen. Konsumen kan biasanya langsung nanya, "Bang minta promagnya sekeping!" atau "Pak, ada vicks?" Bulan puasa gini, orang-orang butuhnya obat demam batuk pilek serta maag.
"Pak Datuk Engku Meruyung kan? Atau dulu di Singgalang Jaya, uda Buyuang Inop?" ranya anak muda itu mengulurkan tangan. Bersalaman. Hangat dan erat! Bahkan anak muda itu mencium tangan Engku Daatuk!
Tentu Engku bingung. Siapa ya? Sales obat? Keluarga dari Lintau? Anak teman seangkatan kuliah? Engku memandang menelusik wajah...
"Saya Sodik Uda Buyung!" katanya.
Sodik? Sodik mana? Perasaan tak ada anak keponakan bernama Sodik?
"Tentu Uda Buyung lupa. Sudah 30 tahun.
"Lihat ini Uda!" Ia menyingkap jatuhan rambut di pelipis. Bekas luka!
Oooo...anak kecil yang dulu tiap hari menunggu belas kasihan di sudut depan RM Singgalang Jaya? Singgalang Jaya itu nama RM Sederhana dulu. Punya Inyik Bustamam. Pilihan terakhir perantau Lintau ke Betawi zaman tahun 90an adalah bekerja di rumah makan beliau. Waktu itu baru buka dimana-mana di Jakarta. Dan Buyuang Inop, sebelum memilih berjualan obat, terdampar jadi karyawan disitu. Dua tahun.!
Saat itulah, Uda Armen yang manajer di rumah makan, mengode Buyuang. "Yuang. Paja ketek tu, baa caronyo! Agak sagan awak jo tamu, nyo mintak-mintak tiok hari di muko tu!"
Buyuang berfikir. Akan dia usir? Dengan menggulung lengan baju, membelalakkan mata, bisa saja dia usir anak ini. Tapi tidak. Buyuang mengajaknya bicara. Dan ternyata anak itu mencari sesuap nasi, mengemis untuk dia, dan adiknya perempuan kecil yang tinggal di emperan seperti tikus. Buyung kasihan."Gini deh. Lu kagak perlu bediri di halaman gini. Gua bungkusin lu sisa makanan. Banyak kok. Orang-orang kadang nyisain nasi dan lauk. Lu ambil. Tapi jangan mantep sini terus. Jauh sana!"
"Bener bang? Ok bang. Makasih banget ya bang!"
"Iye. Ntar gua bungkusin pake kresek!"
Anak itu pergi dengan wajah berseri. Dia mungkin merasa mendapat durian runtuh...
Sejak itu, sisa cincang, telur dan ikan ditarok Buyung di kresekan. Nasi tidak. Nasi sudah diudek-udek oleh pembeli. Dan tiap habis zuhur, Buyuang Inop memberi anak itu, yang keningnya ada bekas luka, setumpuk lauk tambah nasi secukupnya. Anak itu tak lagi berdiri mematung menunggu kasihan pelanggan ...sampai ia tahu nama anak kecil itu Sodik, dan Sodik tau ia bernama Buyung. Dah. Gitu!
"Elu Sodik kecil depan sudut halaman Singgalang Jaya? Keren amat lu sekarang?!" Dan mereka kembali bersalaman.
Sodik menurunkan kain sarung, baju taqwa, roti kaleng buah apel pear dan kue bolu dari mobilnya.
"Untuk da Buyung! Kata orang rumah makan, uda ada disini jualan obat!" Sodik memberinya pakaian dan makanan yang amat banyak!
"Elu?"
"Iya Uda Gua kerja sana sini. Banting tulang. Kini di taksi online. Adalah beberapa mobil. Ini yang gua pake. Calya."
Engku Datuk terperangah! Tak dia sangka! Sungguh!!
"Ayok ngobrol di dalam!" Engku menarik tangan Sodik. Masya Allah!
No comments:
Post a Comment