SIPUIK
Hanifa Marisa
"Inoop.. Inoooop!!" Pagi-pagi Madi dah tiba di halaman. Bersama Utut. Dan Keling. Pastilah mereka ngajak main. Apalagi awal puasa begini. Sekolah libur. Kesempatan emas buat anak-anak ksmpung Inop untuk main bersama.
Demi mendengar panggilan, Inop langsung berlari keluar rumah. Membuka pintu dan sumringah menyambut. "Main wak?"
"Iyo. Ikuik da Liman mancari ikan melah!"
"Adih. Tunggu nta yo!" Inop berbalik dan memanggil maknya. "Maaak. Maaak. Wak pai ka sawah samo kawan!" Entah terdengar entah tidak, Inop langsung saja gabung dengan Madi, Utut dan Keling. Arah ke sawah!
"Da Liman mambali panciang tadi. Limo buah. Di lapau Wak Uban. Katonyo ngayia baluik jo nyari ikan di banda mudiak!"
"Sero tumah. Dulu kami banyak dapek ikan puyu sinan!"
"Iyo. Capeklah!"
"Da Liman hebat nangkok baluik diang. Nyo cakau kuduaknyo jo jari!"
"Ho-oh!"
Dari jalan kampung mereka berbelok ke penurunan. Yang ada pohon tarab serta bambu pering. Lalu berbelok memintas pematang kolam ikan dan sampai di sawah. Tuh, jauh kelihatan, da Liman menunduk di hijaunya padi, ...pasti lagi nangguk ikan atau mancing belut. Inop mempercepat langkah. Madi juga. Setengah berlari. Sambil senyum dengan nafas rada tersengal...
Dalam hitungan beberapa menit saja mereka sampai di banda mudiak. Di tempat Liman menunduk mencari lubang belut.
Langkah kaki ke empat anak itu membuat da Liman menoleh.
"Nyari ikan da?" Tanya Inop. Dilihatnya ember kecil dan tangguk di pematang. Ember itu sudah berisi ikan sepat, ikan puyu dan banyak pantau.
Tentu da Liman senang ditemani. Empat anak kecil ini memang sering membuntutinya. Nyari ikan . Mandi sungai. Main layangan. Serta ke surau, mengaji!
"Lai puaso kalian?" Liman menyapa. Bibirnya senyum.
"Lai da!" Serentak terdengar jawaban.
"Utut indak Da! He he..." Madi menyela. Utut memang yang terkecil. Adiknya si Keling. Belum sekolah. Utut senyum malu. Sambil menghapus ingusnya dengan punggung tangan. Mencongkong di pematang!
Da Liman terus menunduk di aliran air sawah. Tangannya rajin meraba pematang. Di sela rumputan Axonopus dan Paspalum. Kadang ada Caladium, _Phyllanthus niruri_ dan Euphorbia hirta. Sekali tangannya bertemu lobang kecil, ia berhenti. Mengambil pancing berumpan cacing, lalu membenamkannya dengan kayu kecil ke mulut lubang. Menjentik-jentikkan jemari ke air bandar hingha menimbulkan bunyi, lalu berpindah mencari lubang berikut. Keempat anak kecik kelas tiga dan dua serta Utut yang belum sekolah, terus mengikuti dengan seksama... Asyik!
Pancing kelima sudah ditanamkan. Da Liman puas. Ia meluruskan badan dan membuat gerakan memutar-putar badan.
"Panek juo marunduak taruih....eh manyo embe tadi? Ambiak kan ciek!"
"Utut. Ambiak Tut!" Inop memerintah Utut. Dia jongkong paling belakang. Tentu Utut nurut saja. Ember hitam puluhan meter dia ambilkan. Ikan kecil sudah mati di dalamnya. Utut memberikan ke Keling di depannya. Keling mengoper ke Madi. Madi menyerahkan ke Inop. Inop mengambil lalu memberikan ke da Liman. Tapi sambil menenteng, Inop membaca tulisan di ember itu, "Anti Pecah!"
"Anti pecah ember uda ko! Hebat!"
Da Liman tertawa.
"Ha ha apolo nan anti pecah. Diampehan ka batang karambia ntun, pacah mah!"
Da Liman tersenyum. Inop dan tiga lainnya ketawa. Rambut mereka memirang diterpa cahaya matahari. Siang semakin terik. Di bandar, air mengalir tak henti. Menyapa ujung tumbuhan Eclipta alba dan Spilanthes, hingga bergoyang-goyang disenggol arus.
"Berarti urang manjuwa embe di pasa pakan tu baduto yo Da?" tanya Madi.
"Pabriknyo dan baduto. Urang manjua sato sakaki!"
"Baskom cucian amak di rumah, anti pecah juo. Tapi hancua dek Utut nyo jadikan tampek mandi!" tambah Keling.
"Aaah uda iyo lulo!" Utut membela diri.
"Utut malah mancilok kacang tujin dalam almari!"
"Uda iyo lulo! Uda duo kawuik!"
"Alah mah. Parangai kalian lah tau aden. Kato Buya di surau, makin tuo urang makin tuo pulo dutonyo. Makin tinggi pangkat urang makin tinggi pulo dutonyo. Makin bakuaso urang makin hebat pulo dutonyo!" ujar da Liman menengahi.
"Jadi plesiden jendal jo Inyiak Modol paliang gadang dutonyo yo Da?" tanya Utut rada cadel. Inyiak Modol itu orang tua penghuni pondok pinggir sawah yang sehari-hari memancing ikan sungai.
"Antah! Tanyolah ka Buya di surau beko malam. Kan alah sumbayang tarawieh nan ka duo malam beko!" jawab da Liman sekenanya. Ia tak tertarik menjawab tanya Utut. Ia lebih perhatikan ujung rumput dan keladi punggir bandar untuk dilayangkan tangguknya. Siapa tau dapat puyu atau sepat lagi. Tapi nihil. Ikan sudah keburu lari. Hanya ada siput ketangkap.
"Sipuik! Lamak juo ko digulai samo daun ubi!"
Da Liman menangkapi beberapa siput lainnya. Inop Madi dan Keling akhirnya ikut masuk ke saluran air sempit itu. Basah. Berlumpur. Tapi "managiah"!
"Ssst...lihat itu!" Da Liman menunjuk ke pesawahan hijau. Nun jauh, seorang dengan topi hitam dan selendang kaun sarung, berjalan ke arah sungai membawa tangkai pancing. Inyiak Modol!
Mereka saling pandang. Lalu tersenyum. Kenapa?
Karena Inyiak itu menurut cerita orang-orang, selain tak pernah shalat, juga menggunakan _zirit_ nya untuk umpan pancing. Ah, itu sangat menjijikkan!
Kata saudara Inop yang paling tua, yang udah kuliahan di Padang, kerjaan memegang feses itu hanya dilakukan mahasiswa Ilmu Pengetahuan Alam yang membutuhkan cacing perut untuk dipelajari di kampus mereka. Uda Inop, Piri namanya, pernah menyogok anak tetangga kost nya dengan permen asalkan mau minum combantreen. Lalu besoknya zirit anak itu dia tampung dengan kresekan, diudek-udek dengan sendok buat nemukan cacing...iiiiih.... Inop biarlah sekolah pertanian saja, yang kerjaannya nanam padi dan nyari belut!
"Ssssst..sikolah den katokan! Inyiak itu indak amuah dikawani pai mangayie. Umpannyo rahasia!" da Liman setengah berbisik. Utut paling terkejut. Mulutnya menganga. Ingusnya meleleh dua baris...
"Iyo. Ciriknyo kan?" jawab Inop.
"Ho-oh! Kato urang di lapau, iyo!" tambah Madi.
Lalu diam sejenak. Saling pandang. Senyum!
"Wak cibuakkan melah!" Ide nakal muncul dari Da Liman. Yang lain semangat. Itu seperti tantangan. Tantangan yang misterius!
Lalu keempat lainnya setuju. "Sentak dulu tali panciang baluik! Mungkin alah dimakan!" kata da Liman. Dan mereka kembali berjalan arah ke hilir. Memeriksa lima pancing di lubang pematang. Alhamdulillah, satu dari lima pancing itu mengena! Belut besar kelonjotan di pegang da Liman. Lalu dipukul kepalanya dengan batu dan masuk ke ember "anti pecah"...
Selesai! Kini saatnya berjalan mengendap-endap arah ke sungai di jalur pematang berbeda dengan yang digunakan Inyiak Modol! Sambil saling pandang, senyum dan dada berdebar, intipan dimulai!
Sungai itu berarus tak deras. Banyak batu kerikil. Di bagian tertentu ada palung dalam. Ikan mansai, ikan tibarau, ikan lonjiang bahkan kura-kura. Pinggiran sungai dipenuhi semak Eupatorium, Melastoma, Mimosa, dan Casia. Di titik tertentu ada Bambusa dan Dillenia yang buahnya sebesar kepala bayi. Di bawah batang Dillenia itulah Inyiak mungkin berada. Sebab kelihatan tangkai pancingnya dari jauh. Jika demikian, maka jalan mengendap-endap, bagaikan upin-ipin mencari pencuri ayamnya atuk-, mesti dibelokkan ke kanan , melewati semak Mimosa pigra yang dipenuhi ujungnya oleh kumbang Rhinoceros, gerombolan Eupatorium dan Casia tora, lalu mulai menurun pinggiran sungai tanah lembut.
Da Liman berhenti. Tangannya memberi kode agar waspada. Tubuh Inyiak terlihat di sela daun Mikania yang menjalar tinggi. Betul! Tak salah lagi! Lihat! Di sisinya teronggok zat organik terdekomposisi berwarna kuning kecoklatan!
Mereka saling dempet. Di tanah miring lunak. Bawah rindang semak berbalut daun Mikania. Bau badan dan keringat masing-masing ditahankan. Utut paling berdebar. Ia sedari tadi selalu di belakang . Maka penasaran, ia merangsek menimpa Keling Madi dan Inop di depan. Karena ia lagi ingusan, dada berdebar, nafas memburu, bercampur bau tubuh empat lainnya, alergi hidungnya muncul. "Hatchiiin!!!" Tak tertahankan, Utut bersin. Da Liman kaget. Ia menoleh marah! Dempetan anak- anak itu terguling. Tanah lunak miring. Dan Inyiak Modol menoleh. Pakai topi bersandang kain sarung! Astaghfirullah! Alamat kena cengkram kuduk oleh Inyiak yang mengerikan itu!
Inyiak itu cepat menutup umpan pancing "rahasia hak paten"nya. Dengan daun Dillenia lonjong bertulang daun menonjol. Lalu bangkit gemas berjalan ke semak yang bergerak dan ada suara bersin barusan.
"Sia tu?!" hardiknya.
Da Liman melompat meraih ember anti pecahnya dan cigin dengan kecepatan 3 m/dtk. Di belakangnya Inop dan Madi. Lalu Keling dan adiknya Utut. Utut pucat pasi. Tak hanya wajahnya yang putih tapi juga tapak kakinya. Ia lari paling belakang. Bayangan Inyiak serasa ada di atas kuduknya. Mencengkram dan melemparkannya ke sungai! Ketakutan tak terperikan itu membuat langkahnya sembarangan hingga terpeleset ke sawah. Penuh lumpur!
"Ampuuuun!" tangisnya muncul. Keling menoleh. Tak tega, ia berbalik menolong adiknya. Nun di pinggir sungai, Inyiak Modol terlihat mencak-mencak...
Duh! Untung Inyiak itu tak berlari menyusul!
Malam tarawieh ke 2 kini. Malam pertama kemarin, kaji Buya di surau Parik, tentang syarat rukun puasa. Malam ini berkenaan dengan tujuan puasa. Agar orang beriman menjadi taqwa, kata beliau.
Anak-anak ikut mendengarkan. Mereka membawa buku catatan. Setelah shalat tarawiah nanti, buku itu dimintakan tandatangan Buya. Termasuklah da Liman yang kelas Enam, Inop dan Madi klas tiga dan Keling klas 2. Utut tak ikut. Sejak siang tadi sepulang dari sawah badannya panas demam. Bapaknya melarang ikut ke surau. Lagian, anak kecil begitu, paling juga ikut main saja. Dorong-dorongan saat shalat, lalu cepat-cepat mengambil posisi "khusuk" jjka imam sudah tahyat terakhir menjelang salam.
"Ado nan kaditanyokan apak. Ibuk?" kata Buya. Diam.
"Anak-anak. Ado nan kaditanyokan?" sambung Buya lagi.
"Saya bertanya sikit Engku Buya. Tadi di sawah kata da Liman, makin tinggi pangkat orang makin besar pula dustanya. Kata dia, Engku Buya yang menyampaikan"
"Iya. Jika dia berbuat salah. Salahnya orang besar lebih bahaya dari salahnya orang kecil seperti kita ini"
"Jadi jika buya yang ilmu agamanya sudah tinggi sekali, jika salah juga lebih gedang akibatnya tu Buya?" tanya Inop lagi.
"Iya! Jadi buya tidak mudah. Ada buya yang ngajak orang jadi baik tapi dia sesatkan setelah itu. Ada juga buya yang mengkorupsi ayat. Sudah jelas ayatnya mengatakan halal istri dan hamba sahaya, dia bilang hamba sahaya itu tak ada. Padahal diam-diam melimpah hamba sahaya tertangkap dikirim ke utara dan timur tengah. Namanya human traficking!" Jelas buya itu. Inop tak memahami maksud buya itu. Yuman trefiking itu entah apa! Ah sudahlah!
"Ya Buya. Sudah" kata Inop. Lalu ia melipat buku Ramadannya untuk ditanda tangani Buya nanti sebelum pulang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment