Sunday, May 29, 2022

MAMAK RUMAH


 

 

 

MAMAK RUMAH

 

 

Hanifa Marisa

 

 

Engku Datuk Meruyung sedang asyik melihat layar hp nya ketika telepon seluler itu berbunyi nada panggilnya. Penelusurannya tentang kategorisasi "aka" pun terhenti. Tanda terima dia tekan dan menengok sejenak pada yang nelpon. Halimah! Sepupu sanak niniak di kampung. Ada apa gerangan? Jadikah Halimah berminantu?

"Alaikumsalam dik kanduang. Sajuak ati uda manarimo talepon. Baa kaba?"

"Uda Datuak. He he. Pandai bana Uda manyanangkan hati Imah. Lai kaba baiak Uda. Etongan si Eti. Nampaknyooo...sabelok sudah rayo kadilansuangkan karajo elok ko! Ka sia kami tampek mangecek, kok tumbuah elok jo buruak, salain ka Uda Datuak? Jadi bari jalehlah Imah dek Uda. Kan lai jadi Uda pulang di hari rayo?"

"Onddee diak kanduang! Nan kandak hati, indak bana lah si Eti ka ba junjuang, Uda taragak juo nak pulang . Tapi kondisi nagari kan bantuak ko kini diak. Jaleh lah dek adiak uda daripado dek Uda. Urang tapacik di hulu. Kito tapagang di mato. Kareh awak, nyo sentak dek urang, luko di awak!"

"Onde Uda. Ijan kato manduo denai diagiah Da. Bimbang adiak uda jadinyo"

"Eee nan lai patuik jo salareh kan banyak di kampuang?"

"Dek Imah jo Uda mako kasanang. Usah Uda manggeleang pulo!"

"Kok baitu janyo kau diak, Uda usaokan malah. Indak sabalun rayo, sasudah rayo uda tabang malinteh langik!"

"Aaaaa iyo baitu dek kami nan katuju Uda. Sanang dalam hati . Sajuak di kiro-kiro. Kami nanti uda jo samba "buruak-buruak" mandiang niniak kito!"

"Onde Imah. Jadih. Jadih malah!"

Halimah menghentikan panggilannya. Engku Datuk memandang ke luar. Pandang jauh dilayangkan. Pandang dekat ditukikkan. Engku mencoba mengkalkulasi jadwal dan biaya. Lalu mengangguk-angguk sendiri....

 

Erna muncul di pintu. Pakai daster.

"Sia nan manalepon Uda. Dari kampuang yo?" Tentu Erna bisa menerka dari bahasa dan logat suaminya saat bicara tadi.

"Limah! Jadi si Eti bajunjuang sabelok sudah rayo katonyo. Manyuruah kito pulang"

Erna menunduk saja. Menunggu suaminya melanjutkan. Sekalipun dalam hatinya bicara, "sajak lah tanah kopa balaia, lai banyak nan maimbau dusanak, nan jauah alah dakek, nan dakek lah saraso kanduang..."

"Kan iyo baitu. Adaik iduik di dunia. Samo manjago silaturahmi. Lai mandapek kito, dibantu dusanak nan paralu" Engku seperti membaca rasa hati istrinya.

Erna hanya diam.

"Pulang Uda wak ikuik. Lah lamo pulo rasonyo hari tigo taun disungkuik korona ko!" Erna menjawab.

"Iyo. Pulang wak basamo-samo. Indak talok mambaok oto, jo kapatabang kito usaokan. Halimah ko ibunyo kan sepupu jo ibu Uda. Pandai-pandailah Erna basalaman jo inyo jolong tibo nanti!"

Erna tersenyum. Dia faham arah narasi suaminya.

"Bara diagiah Da?"

"Sikua kambiang cukuik"

Erna diam.

"Beko kok tibo pulo giliran anak si Irul, kito agiah pulo. Kok paralu, duo kambiang!" Engku Datuk membaca fikiran rang rumahnya. Erna, demi mendengar 'anak Irul duo kambiang' langsung senang hatinya. Irul itu adik Erna yang bungsu di kampung.....

"Bapitawaik bana kito ka Mat Bronk yo Da. Jago toko elok-elok. Jan nyo bukak gembok tu diurang maliang!" jawab Erna.

"Eh iyo. Tantu iyo!"

Engku Datuk mengunci laci duit di meja. Sebab dari menara masjid sudah terdengar azan ashar....

 

 

Istinjak buang air kecil di toilet, Engku Datuk tersenyum. Sedikit yang masuk sedikit pula yang keluar, gumamnya. Maklum puasa, tentulah air yang keluar tak sederas yang biasa. Setelah uduk dan berbenah, Engku keluar dari kamar mandi yang cukup luas dengan keramik menjulang sampai ke plafon.

"Halimah tu kan adiak da Unggik nan sarobok wakatu Rayo tigo taun lapeh kan Da?" Engku terhenti langkahnya.

'Iyo" jawabnya sambil meraih kain sarung wadimor warna hitam. Engku tak mau berpanjang kata tentang si Unggik itu. Ini bulan puasa. Dan lagipula ia segera ke masjid.

Tapi bagi Erna, teringat dengan jelas. Lelaki perokok yang jika bicara selalu "maraso di ateh". Tak ada orang lain sehebat dia! Kerjanya, mengumpulkan hasil pertanian di kampung, lalu dibawa ke Pekanbaru untuk dijual. Kadang memang banyak untungnya. Pisang ambon, kelapa dan ikan kolam. Ikan Lintau ini terkenal manis dagingnya. Hanya saja, begitu duitnya banyak, dia berbini lagi. Hingga kini sudah 3 istrinya dan 7 anaknya. Istri pertama di Lintau Buo. Kedua di Pekanbaru. Dan ketiga di Bangkinang. Jika sedang kepepet, jangankan memberi, sawah Iniak yang di kaki bukit dia jual. Katanya buat modal beli mobil pikap. Begitulah, kini ia juga berdagang buah pinang, alpukat dan beras. Bahkan jengkolpun ia kumpulkan. Sayang dusanak saudaranya sudah tak ambil peduli. Bagi kaum , asal Da Unggik sehat dan tak menjual sawah atau kebun, itu sudah cukup.

"Uda ka musajik. Assalamualaikum" Engku Datuk memutus lamunan Erna.

"Iyo Da. Alaikumsalam"

 

Masjid sejuk berpendingin. Jemaah ashar 4 shaf. Engku di shaf depan agak ke kanan. Shalat ashar dengan perut kosong. "Assalamu'alaikum warahmatullaaah..." Imam menoleh ke kanan. Salam lagi sambil menoleh ke kiri. Lalu ia memutar duduknya menghadap jamaah dan membiarkan jamaah berzikir serta doa sendiri-sendiri.

Engku Datuk selesai berdoa. Ia mengusap telapak tangan ke wajah. Sejuk. Tentram..

Dan menoleh ke kanan kiri serta belakang. Tersisa beberapa jamaah. Ada yang menunduk dan ada anak muda yang mulai qiraah dengan Quran kecil. Di belakang ada seorang bapak-bapak. Eh, sepertinya Mat Bronk?

Jarang Mat ikut jamaah zuhur dan ashar. Ia muter-muter nyari dan ngantar penumpang. Atau ngetem di parkiran yang rame. Engku mendekat ke Mat. Dia lihat wajah Mat mengandung beban. Tak lugas seperti biasa.

"Mat. Kenape lu?" ujar Engku duduk berdekatan.

"Entah pak Uda! Gua ketiban sial!"

"Nape....?"

"Itu. Nyong baru pindah semingguan di rumah baru direhab di pojok. Ngaduin gua ke polisi!"

"Lho . Ape masalahnye....?"

"Biase. Kan gua ndatangin warga baru. Buat ngingatin iyuran keamanan. Eh dia bilang, negara ini kagak diatur dengan premanisme. Kontan gua naik pitem. Entah bawaan puase kali ye. Gua jalanin tugas bro, silakan kalo gak mau, cuman kalo ade ape-ape jangan nyesel!"

"Terus?"

"Gua laporin lo ya! Biar warga disini sekalian tau gua siapa!"

"Emang dia sape?"

"Gua nyari tau, dienye pengacara!"

"Ooo..."

"Dan ini. Surat panggilan polisi. Gua dituduh ngancem! Kalo gua abis pikiran gelap mata, gua tembak aje jidatnya sekalian!" Mat Bronk kelihatan emosi. Engku Datuk faham. Mat bisa saja mencari senjata api. Lalu mengulangi ilmu perangnya di rumah baru direhab itu! Besar urusannya ini!!

 

Tak lama seorang lelaki berkaos krah merah dan celanan jean, terlihat di pintu. Diikuti putrinya memegang bola basket. Ia mendekat ke pintu pagar dengan mata tajjam dan kening berkerut . Engku mengikuti irama langkahnya. Bahkan Engku menghitung tarikan nafas lelaki tersebut. Rambutnya rapi dan tampilannya memang style pop.

Pada langkah kaki ke tujuh, Engku sudah merekam pola bioactivity nya. Ini ilmu "ulu ambek". Sebuah mutiara yang didapatkan Engku semasih tahun akhir kuliah dulu. Nun di pesisir Pariaman. Ulu Ambek sangat merakyat di sepanjang pesisir pantai. Dahulu kala merupakan alat pertahanan kerajaan Pagaruyung dari serangan musuh yang masuk dari pantai. Gerakannya sepintas biasa saja. Seperti tarian randai. Tapi di dalamnya, mengandung keahlian "rasa" kemampuan membaca gerak lawan. Runcing jangan sampai mencucuk, tajam usah dapat melukai. Belum terkilat sudah berkelam! Instink memahami gerak lawan. Bukan sekedar dari kaki dan tangan. Tapi juga dari tarikan nafas dan pandang mata. Salah sedikit, bulus akibatnya!

Engku Datuk, dulu senang mencari yang beginian. Ia "malala" ke Painan, ke Pariaman dan Tiku. Hasilnya ia mempelajari ini bersama teman kost nya di Simpang Gadut. Efek sampingnya adalah, Buyuang Inop, dulu masih bujangan, peka pada perasaan orang lain. Dan skripsinya hampir terkendala.

Ingat dulu, pembimbingnya sampai memanggilnya melalui pesan pada teman. Kenapa Buyuang Inop tak ada progres sudah beberapa bulan?

Buyuang Inop akhirnya menghadap pembimbing dua. Di ruangnya di kampus. Dengan membawa draft skripsi. Namun Buyuang masuk mengetuk pintu dengan berbekal Ulu Ambek. Nafas dan langkah dia atur. Duduk di kursi depan Profesor/pembimbingnya dengan langkah berirama. Sesuai dengan nafas, pandang mata dan gaya duduk bapak pembimbing. Memberi salam dan menjabat Profesor itu dengan bioactivity terukur!

Begitu ia disuruh duduk, Buyuang Inop duduk. Gerakannya pelan. Sambil mengintip gerak dada dan mata sang profesor...

Klak!!

Tiba-tiba bapak itu menghentakkan sepatunya ke lantai! Refleks Buyuang Inop melakukan gerakan sama! Dan bapak itu tertawa terbahak.

"Patuik angku hilang babulan-bulan! Pai baguru kironyo!"

Buyuang Inop tersipu malu. Ternyata bapak profesor pembimbingnya menguasai ilmu yang sama. Wajar. Beliau putra pesisir juga. Nun dari Pasaman....

Sejak itu, urusan skripsinya lancar. Dan akhirnya tamat dengan mempelajari hutan Bukit Harau!

Lalu kini, "rasa" itu pula yang dipakai Engku Datuk menunggu sang Pengacara membuka pintu pagarnya. Belum lagi pintu didorong, Engku sudah berteriak,"Amboi dah lamanya kami pengen menikmati rumah megah bak istana ini! Tentram kali rasanya!"

Pengacara itu tertegun. Engku menghitung detak jantung dan tarikan nafasnya! Ulu Ambek!!!

 

 

"He ini bapak yang ngancam-ngancam dua minggu lalu kan?" Pengacara itu kaget lihat Mat Bronk. Mat Bronk diam. Aturan yang dibuat di masjid tadi, dia harus diam sebelum diminta "pak Uda" untuk bicara.

"Itulah Bang. Makanya kami kemari. Sebagai tanda syukur ada orang hebat seperti abang jadi warga kami. Eh apa tak sebaiknya kita menikmati senja di teras yang sejuk itu?" Engku menjawab persis di ujung kalimat si Pengacara. Sebelum hirupan nafas selanjutnya ia lakukan. Dan bahu pengacara itu ia sentuh dengan telapak tangan. Aneh, sang Pemgacara tunduk, dan berubah ramah lalu mengajak duduk di kursi kayu mengkilap, pelataran teras nan lapang. Keramiknya mengkilap.

"Ini putri abang ya? SMA? SMP?" Engku menoleh ke remaja berkaos rambut ikal manis itu.

"Iya..... itunya kami senang pindah kesini. Dia ini badannya saja yang besar. Padahal baru klas 3 SMP. Ini di Talang Kuning!"

"Hobi basket ya? SMP 1 guru olah raganya pak Indra kan? Yang suka guyon dan ramah?" Engku bertanya pada anak itu.

"Iya Om. Pak Indra itu orangnya baik. Anak-anak pada suka sama dia" jawab anak itu.

"Emang bapak kenal ya sama guru olah raganya?"tanya si Pengacara.

"Ya iya! Istrinya itu hitung-hitung masih sodara!"

Dan Bang Pengacara itu mulai berubah ramah.

"Duduk! Ayo silakan! Maaf ini. Sebagian masih berantakan!" katanya.

Engku mulai melirik gerak gesture nya. Berikut tarikan nafasnya. Dan di timing yang tepat, Engku pun membawa arah bicara pada kasus Mat Bronk. Bahwa di RW ini masyarakat bersepakat memberikan kepercayaan tugas keamanan pada beberapa satpam yang legal terdaftar. Berseragam. Duduk di posko mulut jalan alias gerbang. Dan Mat Bronk adalah ketua pembinanya. Bukan liar atau premanan!

Awalnya agak kenceng juga tuh si Abang. Namun Engku menepuk pahanya sendiri dengan frekuensi suaara klop! Si Pengacara tiba-tiba berubah jadi baik dan ramah.

"Alah, salah sangkanya awak ni! Besok awak cabutlah laporan itu. Maaf ya pak ya? Pak apa? Pak Mat? Maaf ya..."

Engku mengerdip mata ke Mat. Itu tanda dia sudah boleh nimbrung. Dan ujungnya pembicaraan jadi hangat serta bersahabat. Ulu Ambek!!

 

Teman.

Taukah engkau betapa senangnya hati Mat Bronk ketika meninggalkan rumah Abang Pengacara itu? Ah serasa akan dia peluk dan angkat Engku Datuk. Bagi Mat, berfikir jelimet di ruang pengadilan dengan fasal pengancaman itu sangat berat. Dia tak biasa berdebat. Jika periuk nasinya sudah penuh, jalan keluarnya bakuhantam! Menang kalah urusan belakangan!

Sambil jalan ke halaman masjid tempat mobil Mat parkir, Mat mengambil seluruh isi dompetnya. Sejuta lebih tigaratus empat puluh dua ribu! Dan semuanya dia genggam lalu sorongkan ke kantong Engku Datuk. "Saya tak tau bagaimana berterima kasih pada pak Uda! Ini buat beli bukaan puasa sama anak-anak!" ujarnya.

Tentu saja Engku Datuk tak mau menerima. Tidak! Sedari awal, nawaitu Engku untuk ibadah. Perkara duit, sudah berlebih dikasih Tuhan. Rumah sudah selesai bagus. Kendraan cukup. Sekolah anak selesai. Sudah! Mencari objek ibadah justru kadang Engku bingung. Sebab tak banyak lagi fakir miskin di RW mereka. Tuh contohnya! Si Abang Pengacara warga baru. Mewahnya bukan alang kepalang!

"Mat. Ambillah. Buat anakmu. Engkau lebih membutuhkan uang ini!" kata Engku. Mat tak berkutik.

Dia tatap wajah Engku lurus-lurus.

"Pak Uda. Jika ada apa-apa bilang saya ya! Tak kan ada yang akan ganggu pak Uda dan toko pak Uda!"

jawab Mat. Dia bagai singa penguasa yang tunduk mencair di depan keikhlasan Engku. Ah, susah untuk dituliskan!

"Naiklah pak Uda! Saya antar pulang!"

'"Deket gini Mat. Saya biasa jalan kaki! Makasih"

"Apa pak Uda ingin saya menangis sampai pingsan di sajadah nanti malam?"

"Ya janganlah Mat!"

"Ayo naik! Saya ini orang kecil Pak Uda. Amalan saya kecil juga.!" Lalu pintu depan dibuka. Dan Engku naik sambil menutupkan pintu. Bub!

Malompek sabalun jatuah, maminteh sabalun anyuik, mailak sabalun kanai.

Dan nikmatMu yang mana lagi yang akan kami dustakan, wahai Tuhan....

 

 

"Lah jadi sarobok Uda jo Mat? Lai lah bisa nyo diamanahi manjago toko jo rumah kito?" Erna bertanya saat sahur tadi. Sebab jika positif jadi pulang di Lintau lebaran, tentu disiapkan makan di jalan, pakaian, serta moda transpirtasi. Jika kehendak boleh, pintak berlaku, bisa lah pulang dengan menantu juga. Ya. Anak Engku yang tua, Arin, sudah bersuami. Bekerja di pemda/Laznas DKI. Anak nomor dua sudah tamat kuliah laki-laki. Aldi namanya. Anak nomor 3 Aini, masih SMA. Andai bisa pulang konvoi dua mobil, mungkin akan "menakah" juga dilihat orang kampung. Ya kan? Terbawa anak dan menantu. Terurus pula kemenakan! Dipangku dan dibimbing, bak kata orang bijak.

"Lai. Basuo di musajik patang. Bisa. Lai amuah nyo manjago" jawab Engku.

"Di telepon Arin jo lakinyo baa Uda. Duo oto awak pulang. Uda bisa baganti mambaok jo Aldi. Arin baitu pulo jo suaminyo. Barangkek awak sasudah sumbayang zuhur, mugarik lah di kapa. Sahur di Palembang. Sore lah masuak awak di Lintau..."

Engku diam berfikir. Masuk akal juga.

"Jadih. Telepon lah anak kau tu"

Lalu Erna langsung mencari nomor anaknya dan menekan ikon panggilan.

Begitu Arin menjawab, Erna senang hatinya.

"Jadih Bunda. Tapi kami indak bisa sabelok sudah rayo di kampuang. Abang kan harus masuak karajo. Libur 28 sampai tanggak 6. Tanggal 4 lah harus babaliak Arin bunda".

"Yo ndak baa do. Kan lah dapek juo basalaman jo keluarga Ayah kau".

"Iyo Bunda. Kantua Abang kan disiplin bana kini. Hari ko sajo mungkin lembur abang Bunda. Ado 'gerakan mambaco Al Quran se DKI. Abang meliput di berbagai lokasi. Sorenyo di rapekkan dan sakaligus manyalurkan zakat nan mungkin agak banyak jumlahnyo dari tahun lalu"

"Gerakan mangaji apo tu Rin?"

"Kapatang kan 17 Ramadhan Nuzul Quran bundo. Peringatannyo indak seremonial tradisional sajo lai do. Maningkek ka operasional aplikatif. Jadi warga basamo-samo jam 10 beko mambaco Quran. Al fatiha jo Arrahman. Bahkan di level operasional internasional stadion JIS diresmikan pulo semalam Bunda!"

"Aaa indak mangarati bunda level operasonal aplikatip tu do. Nan penting anak bundo lai ka pulang kampuang samo-samo kan?"

"Iyo Bunda. Iyo. Beko atau bisuak, Arin babuko di Parung lah. Bia kito rencanakan. Aldi jo Aini baa ? Sehat?"

"Aaa iyo baitulah! Mantap. Hebat anak Bunda!"

"Assalamualaikum bunda"

"Alaikumsalam!"

Erna tersenyum puas. Lalu mengalihkan pandang pada suaminya. Engku Datuk Meruyung!

 

Sudah tersiar kabar di kampung. Engku Datuk kan pulang lebaran. Sekalian membantu pesta kawin anak Bu Halimah, si Eti. InsyaAllah si Eti akan diberi Tuhan jodoh. Teman dia sesama mengajar di SD, Ali Yamin namanya, kelahiran Sungai Limau 27 tahun lalu. Maka senanglah hati keluarga besar. Senyum dikulum anggota kaum. Bagaimana tidak? Jika Engku pulang, alamat selesai kerja besar. Dia memenej sambil ketaawa saja. Pura-pura marahpun dia, orang tertawa juga. Dengan yang tua dia hormat. Dengan kawan sesama umur dia "pegarah" dan dengan anak-anak dia penyayang. Jika Engku Datuk datang ke lepau kopi pagi, tentu gratis sudah minum orang yang di dalam. Andai Engku datang ke surau, anak-anak tak dia bentak jika bermain hiruk pikuk. Jadi tentramlah hati kaum kerabat.

Tak begitu halnya dengan Bu Halimah pagi ini. Ia kesal gusar dan cemberut.

"Lah dipakakan bana ka talingo da Unggik ko patang! Kok ka Pakanbaru Uda, manompang awak sampai Pikumbuah. Diansua mambali karambia!" ujarnya.

Lantas?

"Eh pagi-pagi tadi bininyo manyabuik alah barangkek Uda Niii...."

Aduh!

"Dusanak nan surangko sabana 'rancak' parangainyo! Rancak!!"

Ngedumel terus.

"Bialah Umi. Eti sajo bisuak jalan ka Pikumbuah. Kok bisa singgah pulo ka Baso. Mancaliak pisang..." Eti anaknya menengahi. Bu Halimah mengurut dada!

 

Etek Isah yang membisikkan ke bu Halimah. Sejak pertemuan rapat di rumah gadang kemarin, da Unggik lah marah besar kabarnya. Pertama, pertemuan itu dilakukan sehabis ashar sebelum berbuka. Itu saat yang krusial bagi da Unggik. Ia tak bisa bicara di dalam rapat jika tak sambil menghisap rokok. Pening kepalanya jika tak ada tembakau menyala di selip jarinya. Kedua, saat shalat ashar jemaah sebelum rapat, di surau, terompahnya hilang. Ternyata bukan hilang tapi disusun anak-anak dg rapi di bangku sisi surau. Da Unggik sudah "kalimpasingan" mencari mana sandal nya. "Kok ka ba ibadah ijan manyusahkan urang!" gerutunya. Ketiga, rapat kaum memutuskan hanya mobil pribadi saja yg ikut rombongan mengantar "tanda jadi" ke Sungai Limau di hari lebaran ke 2. Artinya, pikap da Unggik tereliminasi. Ya, rombongan tak mungkin naik mobil pikap lalu disetop polisi di jalan. Da Unggik, akhirnya cigin ke Pekanbaru pagi sehabis sahur. Aduh!

 

Bapak si Eti, Acik namanya. Ia mendengar "caco ciloteh " kesal Umi si Eti. Tapi ia diam saja. Lelaki berkulit gelap berambut ikal dan tinggi 170 cm itu memang tak banyak bicara. Kesehariannya bertani dan berkebun karet di bukit. Matanya bundar seperti orang India. Eti boleh dibilang ratna mutu manikam hidupnya. Anak yang ia besarkan dengan jerih payah banting tulang. Maka jika "alek" anaknya ini terkendala, sungguh ia tak mau.

Lalu pagi besoknya, giliran Acik yang hilang selesai subuh. Entah kemana. Menjelang zuhur sebuah granmax datang membawa kelapa penuh di bak belakang. Acik duduk di samping sopir dengan bibir terkunci!

Kelapa itu ia borong di pasar Ibuah. Diikat sepuluh-sepuluh buah. Satu ikatan dengan tarikan kulit sabut itu disebut satu "tanjua". Dan entah berapa puluh tanjua dia borong. Halimah ternganga!

"Berang Tuan?" bisik Halimah. Dan seperti biasa, mulut Acik terkunci. Dia tak pandai berbicara banyak. Dia merespon dengan perbuatan. Acik!

Teman ingin tau nama panjangnya? Muhammad Yazid. Tapi entah kenapa, sedari kecil, di kampungnya teman memanggilnya Acik. Jauh juga "pronounsiasi" Yazid dengan Acik ya? Tapi begitulah di kampung. Lintau Buo nan indah!

Di Bangkinang Da Unggik berhenti di warung pinggir jalan. Di rumah makan mbak Sarkiyem. Dia merasa lapar dan memilih tak puasa. Dia babat habis nasi sambel tempe dan oseng-oseng dua piring. Setelah itu dia isap rokok dalam-dalam. Hsssssh.....asap mengepul. Mbak Sarkiyem pura tak menoleh. Da Unggik menggerutu dalam hati," Dasar kampret! Urang kampuang ko indak ado nan cerdas surang juo! Indak ka maju-maju Lintau ko doh!"

 

Hari Kamih di pagi nangko. Ramilah urang pasa Balai Tangah. Kamih kaduo manjalang Rayo. Ibu jo Amai tumpah ruah.

Lah tahampa sado barang. Mulai pakaian sampai makanan. Haragonyo naiak elok ditimbang. Dibali sakadar nan dibutuhkan.

Mako bajalan umi Halimah. Dikawani dek Etek Isah. Lewat di muko los tarompah. Malinteh mancari bumbu rempah.

Hiruak pikuak jua bali. Ado nan duduak ado pulo badiri. Payuang biru palinduang matoari. Mato sigap tangan mangamehi.

"Wak cari baluik masiak yo Kak" kata Umi Halimah. Tek Isah mengangguk. Mereka mengarah ke los sayur dan makanan.

Celaka tak dapat ditolak untung tak bisa diraih. Atas takdir Yang Maha Kuasa, ada saja yang menjual belut kering. Mungkin pedagang dari Situjuah atau Dangung-Dangung. Langsung diborong Umi Halimah. Bukankah ia sudah berjanji dengan Engku Datuk Meruyung, akan memasak "samba buruak-buruak" khas kesukaan Iniak almarhunah? Nah. Randang Baluik adalah salah satunya!

Kelapa sudah tersedia banyak. Jahe laos bawang merah dan bawang putih, serta kemiri dan daun kunyit, lengkap dengan daun jeruk daun salam, semua dibungkus....

Sudah terbayang oleh Umi, akan mencari daun mali-mali _Leea indica_ dan daun asam jati _Richardia_ daun surian _Toona sureni_ bahkan jelatang kecil _Laportea_ lengkap dengan akar talut asam . Agar rasanya makin menggigit, dimasukkan teri agak segenggam. Karena Engku sudah biasa di Betawi Depok, mungkin lidahnya familiar dengan rada manis. Maka ditambah sebongkah kecil gula aren. Amboi!

Sudah terbayang sedap aromanya di atas tungku!!

 

Da Unggik sudah selesai makan. Dua piring penuh. Sudah habis juga rokok dua batang. Dan kopi segelas! "Berapa ya Mbak? Nasi sambel tempe nambah. Sayor oseng!" "Sepuluh ribu saja Mas!" jawab mbak Sarkiyem dari pojok dapur. Da Unggik girang. Kopi tak dihitung si Mbak. Maka dia dorong gelas kopi perlahan ke pinggir meja sebelah sana. Cepat dia ambil duit sepuluh ribuan sambil senyum. "Indak di kampuang sajo urang pandia ruponyo do, di tapi jalan Bangkinang ko lugu bodoh pulo!" Begitu duit pindah ke tangan si Mbak, Unggik cepat memutar badan. Terburu- buru pergi. Itulah salah Unggik. Tergesa. Hingga tak sengaja lututnya menabrak tonggak meja kayu. Duh ngilu! Cepat tangannya memegang lutut. Saking cepatnya tangan, gelas kopi tersambar. Plak krang ting! Jatuh ke lantai dan pecah berserakan! "Oalah! Piye toh Maas? Gelase pecah yo? Eh. Iyo. Kopine belum dihitung Mas!" Unggik tak dapat berkelit. Lututnya sakit! Dan sambil meringis memegang kakinya, kopi dan gelas dia bayar Rp 10.000 lagi. Eee cimpapuih!

 

Engku Datuk selonjoran depan teras. Di kursi kayu yang ceper. Santai sambil zikir. Toko sudah tutup tadi. Dan yang ia tunggu datang!

Sedan Vios biru muda. Langsung mekar senyum Engku Datuk demi melihat Arin dan suaminya turun dari mobil. Bundanya serta Aldi dan Aini ikut ke depan. Bahkan menyongsong ke mobil.

"Assalamualaikum Ayaaah...bundaaa..." lalu Engku Datuk dipeluk. Dicium tangannya. Juga bunda dan adik-adiknya. Kadang Jakarta Selatan ke Depok terasa jauh sebab kini sudah jadi keluarga baru. Rasa sayang Engku Datuk pada Arin usahlah ditanya. Setiap bapak anak perempuan merasakannya. Sama seperti Acik pada Eti!

Betullah janji Arin kemarin. Sehari setelah hari Jakarta Mengaji, ia akan ke Parung Bingung buka puasa bersama.

Erna lebih sumringah. "Apo nan babaok ko Rin?" tanya bundanya ketika Arin menurunkan bungkusan dari jok belakang.

"Baju rayo untuak ayah bundo dan si ganteng jo si cantik ko ha!" jawab Arin memegang kepala kedua adiknya. Aldi dan Aini senyum senang.

"Yang babungkuih ko?"

"O itu gulai kapalo kakap. Kami singgah ka Sederhana dulu tadi. Takana dek Rin, ayah suko!"

"Ondeee anak ayah ko lai!"

"Nostalgia Yah! Ayah dulu kan karajo Singgalang Jaya!" tukas Aldi.

"Iyo. Padahal ayah sarjana biologi ha ha ha..." tambah Aini. Sambil membopong bungkusan masuk ke rumah. Sore ini sore yang berkah. Berbuka bersama anak menantu!

"Ayah kalian suko gulai kakap mungkin dek nyo baraja Biologi di Padang!"

"Iyo yo Yah? Apo namo ilmiah ikan kakap ko Yah?"

"Ma tau Ayah! Ayah kan bidang Vegetasi. Di Harau!"

"Apo vegetasi tu Yah?"

"Sakalompok tumbuhan berbagai jenis nan iduik di suatu tampek. Mereka saliang berkaitan. Kok lah tua bana Ayah, masih takana di Ayah he he!"

"Itu tu komunitas tu Ayah!" Aini membantah.

"Komunitas tu bisa dipakai untuak hewan sarupo kakap dkk, bisa pulo untuak tumbuhan. Vegetasi hanyo untuak tumbuahan sajo, anak ayah sayang!"

"Wah ayah pinter!"

"Pinter tapi ijazahnya nganggur. Malah jadi penjual obat!" tukas Aini lagi. Si bungsu ini memang "nyenyes"!

"Coba aja kau , ntar kuliah apa kerjaan apa!" bela Aldi.

"Aku sarjana Ekonomi UI. Ntar mengelola harga obat biar Ayah makin kaya!" jawab Aini. Dia memang paling sering bertengkar dengan Aldi. Jika Aldi merasa kepepet, hidung Aini di pencet. Lalu Aldi dipukul pake bantalan kursi. Ah!

 

 

Umi Halimah sudah masak rendang belutnya. Komposisi bumbunya betul-betul serasi. Terasa garamnya. Mencubit asamnya. Manis residu minyak kelapanya. Harum daun jeruk dan salamnya. Serta gurih daging belutnya. Warnanya coklat kehitaman. Rada rapuh. Target umi Halimah, sekali memanaskan lagi, maka optimal "arus gelombang" rasanya di lidah. Cocok sekali untuk menanti orang rantau pulang di Hari Raya.

Maka dimasukkan Umi semangkok kecil untuk Da Unggik. Adat hidup di kampung, beri memberi. Tercium bau masakan kita oleh tetangga, berat rasanya jika tak berbagi.

"Samba pairiang urang mamasak baralek. Cubolah agak saketek!" kata Umi ke bini da Unggik.

"Onde Uni. Barasaki juo kami. Tarimokasih banyak yo Ni. Alamat ka batambuah makan paraksiang beko mah Uni!"

"Uda kau ma nyo? Sumbayang tarawiah?"

"Apo dek Uni ko! Lah bataun-taun nyo indak sumbayang tarawiah. Nan wajib limo wakatu sajo, acok tingga! Urang ka musajik nyo pai maota ka lapau. Mungkin di simpang Koto Bulek nyo mah Uni!"

"Ooo iyolah! Pulanglah uni daulu. Si Eti masih ado nan nyo karajokan di rumah. Assalamu'alaikum!"

"Alaikumsalam. Miokasih Ni!"

Umi Halimah berbalik ke rumahnya.

Nun di simpang Koto Bulek, Da Unggik memarkir pikapnya. Dekat halaman kantor Walinagari. Lalu berjalan ke lepau minum. Di lepau ada si Gator, si Lisuk dan ya, ada Tan Angkang bermenung di sudut bangku.

Gator itu preman balai juga. Tak hendak ia shalat ke masjid. Kerjanya mengumpulkan buah yg terserak ke aspal, lalu dia jual lagi. Atau membantu mengangkat barang dagangan. Namanya Ali. Karena kurenahnya seperti buaya, dipanggilkan oranglah dia Aligator. Justru lebih dikenal sebagai Gator ketimbang Ali. Sedangkan Lisuk, sopir tembak truk kuning 3/4. Biasa ke Muaro, Batusangkar, Bukittinggi dan Payakumbuh. Sesekali diajak orang ke Pekanbaru, Jambi dan Jakarta. Akan halnya si Tan Angkang, kita sudah tau. Lelaki yang teramat ingin jadi suami Erna. Yang kini kerjanya malala dan bermenung! Jadi cocoklah, preman cap kunci, menghindari shalat tarawiah yang berkelindan dengan kultum, ....duh ngebosanin. Dan bikin ngantuk ....

Begitu Da Unggik datang, Lisuk, Gator dan Tan Angkang diam. Unggik memesan rokok sebungkus. Lalu menghidupkan apinya terus ikut duduk.

"Jadi baa curitonyo galeh kopi nan talewa di Bangkinang tadi Suk?" tanya Aligator setelah Da Unggik menghisap rokoknya. Lisuk senyum. Tan Angkang menganga mulutnya. Dan da Unggik terkejut!

 

Entah bagaimana "Alam" mengatur dirinya, begitu da Unggik pergi dari warung mbak Sarkiyem, truk Lisuk yang disopiri Epon, mampir pula makan kesitu. Epon itu suami Inang kawan Lisuk waktu SMP. Epon orang Tasikmalaya. Bertemu Inang di Pekanbaru, lalu berjodoh. Nikah dan pulang kampung ke Lintau buka warung kecil dan usaha angkutan truk. Lisuk ikut jadi sopir dua!

"Sik sik mas. Ojo masuk dulu. Lagi tak bersihin lantaine dari pecahan beling!" Mbak Sarkiyem cepat mengumpulkan pecahan gelas.

"Kenapa mbak? Lagi marahan ya? Gelas kok dihancuri!" Epon berguyon.

"Lha itu. Langganan mbak yg dari Lintau barusan kejeduk bangku. E tanganne malah nyamber gelas. Ya pecah!"

"Lintau? Siapo mbak? Truk kuniang yo?" tanya Lisuk menunggu si Mbak merapikan lantainya.

"Ora. Itu lho. Yang kumisan mobil pikap coklat. Biasa bawa ikan ama sayur!"

"Da Unggik tu mah!" jawab Lisuk.

"Paniang nyo mah. Galeh nyo pacahan!"

"Itu. Apa. Mau buru buru pergi habis bayaran. Kopine belum dihitung. Eh malah kakine kejeduk bangku. Tangan nyamber gelas. Ya pecah sekalian!" Si Mbak menerangkan. Lisuk dan Epon ketawa nyengir. Lalu melangkah masuk warung sambil menyibakkan kain penutup pintu. Ahai, carito lamak di kampuang tu mah! Kopi Bangkinang!!

Itulah topik Lisuk dan Gator tadi di lepau simpang Batu Bulek ini. Ditemani Tan Angkang yang entah mengerti entah tidak. Ia kadang seperti ikut tertawa ...

Sampai akhirnya pikap coklat datang dan parkir di halaman kantor Wali.....

 

Dari terkejut, da Unggik beubah menjadi kecut. Kecut -kecut malu. Lalu bermetamorfosis pula menjadi marah. Lisuk ini sopir tembak baru kemarin sore. Umurnya juga baru setahun jagung. Jangan-jangan separo umur da Unggik yang sudah 50an tahun. Maka merengutlah da Unggik, "Sasamo sopirko saliang manjago. Usua pareso paralu dikamukokan. Usah picayo sajo ka urang bajaga tapi jalan. Bisa bacirik muncuang dinyo!"

Lisuk badannya memang tak sebesar da Unggik. Dia pun jauh lebih muda. Maka tak penuh mentalnya melawan kata-kata da Unggik. Hanya Gator yang berciloteh," Jadi tabaia juo kawan kito tu jadinyo yo Suk? Kopi sagaleh jo galeh-galehnyo sakalian!" Lisuk melirik ke da Unggik. Mukanya kelihatan merah padam. Hingga Lisuk tak menjawab. Ia hanya senyum garuk-garuk kepala.

"Waang apo nan ka tantu di ang?!" Da Unggik mendorong bahu Gator. Lisuk kecut. Tan Angkang senyum. Tan Angkang apalah artinya bagi dia, antara senyum dengan menggerutu. Antara diam dengan bicara sendiri. Hanya da Unggik saja yang sedang sensitif.

"Apo nan waang galakkan? Diri waang sajo indak sanereh !" Bentak da Unggik.

"Iyo! Tan ko mangopi sajo indak! Ma lo nyo tau raso tarabo lutuik jo tonggak meja!" celetuk Gator. Gator kan orang pasar. Mulutnya tak ada bandrol. Tak manenggang perasaan orang!

Jadi wajar da Unggik makin naik pitam.

"Waang nan dalang ruponyo?!" emosi da Unggik meluap. Plak! Kepala Gator dia tampar!

Teman. Bukankah sudah disampaikan dulu, seluruh lelaki di Lintau ini adalah pendekar. Bahkan juga sebagian perempuan. Jadi, simpel bagi Gator menarok tangan di pelipisnya, hingga tamparan da Unggik menerpa punggung telapak tangannya. Tentu dengan sedikit memiringkan kepala.

"Baa ko? Garah di lapau ko biaso/" sehingga itu kalimat Gator menanggapi tamparan, ujung kaki da Unggik sudah merangsek ke rusuknya! Krug!!

Nah, yang ini cepat datangnya! Ngilu sampai ke perut. Dan membuat Gator terpuruk ke bawah meja! Tangannya berpegangan di bibir meja. Hape android nya yang tadi di bibir meja ikut mengalami nasib sial. Terpelanting di lantai. Lisuk yang duduk di bangku seberang meja, makin menciut. Emosional da Unggik ini. Apa dia hipertensi? Atau ginjalnya kepayahan bawa pikap pulang pergi?

Tan Angkang yang tadi ternganga, tiba-tiba meraung! Memori ketika dihabisi Buyuang Inop tiba-tiba muncul melihat Gator terperosok ke bawah bangku.

"Indak! Ampunnn!! Ambiaklah si Erna tu dek waang Buyuaaaang!" Tan berteriak histeris. Hingga Uwak Rasyidah, pemilik kedai minum, turun dari lantai dua. Tergopoh-gopoh. Memakai mukena. Dan dilihatnya Gator keluar dari bawah meja, dengan wajah berang!

"Manga kalian ko?! Bagaluik? Di lua sinan lah kok kabasilek! Pacah boto peyek jo roti Uwak ko beko!" ujar Uwak Rasyidah.

"Lai ka batambuah ang?! Melah kalua!" Tantang da Unggik. Gator seperti tak acuh. Ia mengambil hape nya di lantai. Mengusap rusuknya. Berjalan ke luar. Ke pinggir jalan aspal. Da Unggik masih mengikuti dengan jemari terkepal.

"Krasak!!!" Tiba-tiba kaki Gator naik sampai ke leher da Unggik. Serangan tiba-tiba! Sempat sih da Unggik mengelak, tapi bahunya tetap tersambar kaki berterompah kulit. Mungkin karena sedang marah, maka tak dipedulikan da Unggik sakitnya. Malahan da Unggik berniat segera meluncurkan serangan balasan. Dengan kaki juga. Hop!

Sayang. Begitu da Unggik melayangkan kaki, Gator sudah menjatuhkan badan dan menggunting kaki kiri da Unggik dengan kekuatan dan kecepatan tinggi!

Gedebuk! Da Unggik terjatuh. Gator cepat mengambil posisi kuda-kuda!

"Sudahlah Buyuuuuuang! Ikhlas ambo. Ambiaklah si Erna tuu..." Tan Angkang makin histeris. Wak Rasyidah hilang akal. Suami dan para lelaki tokoh Simpang Koto Bulek, semua sedang di masjid, tarawiah!

 

Jatuh disambar kaki lawan itu, perkara biasa dalam latihan. Begitu di setiap sasaran silat. Bahkan ada jurus, yang sengaja memancing lawan menyambar kaki, asal siaga dengan lompatan rendah.

Da Unggik, karena sudah kepalang jatuh, cepat kedua telapak tangannya menempel di tanah. Dan otomatis, kakinya balas menggunting. Gator tak melawan guntingan da Unggik. Dia ikuti irama itu. Hingga iapun jatuh serta memutar badan. Saat memutar badan itu, tumit kirinya singgah di pelipis da Unggik. Untunglah cepat da Unggik melindungi kepala dengan jemari tangan. Ini setara dengan tamparan da Unggik yang mengawali perkelahian tadi. Bunyinya berdepis!

Lisuk mulai mengemasi hape nya ke kantong. Akan dilerai, badan dia kecil. Akan menolong Gator, bisa berabe jika ketemu da Unggik di jalan. Sudah! Mending ngacir diam-diam. Melangkah arah halaman kantor Walinagari dan lenyap di bayangan jalan.

Sementara, Tan Angkang, mulai sesak nafasnya. Bak kata orang, kereta api yang mendaki, "hangap" dia yang sesak! Tak dapat lagi dibedakan, apa Tan merarau, histeris, melulung atau mengigau! Sedangkan Wak Rasyidah melangkah ke lepau seberang jalan. Memanggil- manggil....

"Mayaaaa....kak Sumiii...lai ado kau di dalam? Tolonglah iko ha! Lah bacakak tangah labuah!"

Tentu uni Maya dan Kak Sumi segera keluar. Tak biasanya Wak Rasyidah memanggil dengan suara sekeras itu. Bahkan cucu dan pinakan mereka ikut nyembul di pintu. Penasaran, ada apa di jalanan...

Da Unggik sudah kembali mengambil posisi. Kuda-kuda yang siaga. Jemari tangannya seperti menari. Menari atau menggigil? Entah!

Gatorpun mengatur langkah. Tangan kirinya menjaga dada. Tangan kanan menyilang menjaga perut. Matanya awas seperti mata elang. Jelas berbinar di cahaya lampu neon lepau wak Rasyidah. Saling tatap! Saling intip!

 

Ini psikologi umur. Orang tua biasanya lebih sabar. Hingga da Unggik yang tadinya emosional mulai memainkan tempo. Maju selangkah tapi tiba-tiba berkelit dari hadap kanan ke hadap kiri. Gator siaga satu. Rusuknya tadi masih terasa sakit. Ia membalas menggelek ke kanan. Namun jarak semakin dekat. Dalam jarak begini Gator kembali berinisiatif. Kaki kanannya naik sehingga perut. Itu sekedar pemecah konsentrasi. Da Unggik faham. Maka ujung kaki Gator dia kibaskan saja dengan tangan. Dan, hep! Da Unggik membalas cepat. Terompah jepangnya sampai ke wajah Gator. Plak! Untung Gator cepat mundurkan kepala sedikit. Se senti dari telapak kaki da Unggik. Kibasan udara sandal itu aromanya tak sedap! Entah da Unggik habis nginjak apaan! Gator menyeringai. Namun berikut pukulan ke dada. Tepatnya ke ulu hati! Gator memiringkan badan. Tinju dia tangkis dengan sisi luar pergelangan tangan. Hop! Sayang tinju itu berubah bentuk menjadi serangan sisi dalam ke dagu. Tak pelak, kena! Kluk! Di saat yang sama Gator sempat memasukkan tendangan ke pinggang. Sambil mundur dan menahan pedih di gerahamnya! Sementara da Unggik, agak ngilu pinggangnya. Jadi susah membuat kuda-kuda kokoh. Gator melihat ketimpangan itu. Cepat dia sarangkan kakinya ke mulut da Unggik! Da Unggik kaget. Ujung kaki dia tahan dengan tangan sambil melangkah mundur! Hiat.....

Dan emak-emak lalu memekik. Mereka sudah berkeliling. Bahkan ada sepeda motor lewat , ikut melambat, nonton!

"Oi lah jadi syetan kalian ko! Tobat! Ko bulan puasooo!!" Wak Rasyidah, Maya dan Sumiii berteriak melerai.

Dan kawan-kawan. Begitulah umumnya lelaki Minang. Dimanapun. Perseteruan jika dilerai "emak-emak" segera bubar. Segala ilmu, semua marah, sirna oleh ikut campurnya perempuan dalam gelanggang. Status ibu di masyarakat, seperti sakti. Dihormati. Apalagi ada beberapa anak kecil melihat. Malu!

Sudahlah tak shalat tak puasa, bikin gaduh pula!

Hingga keduanya mundur. Gator surut. Da Unggik menunduk. Memijit-mijit pinggangnya. Tapi masih sempat menggertak," Awas waang kok batamu di nan langang!"

Gator tak kalah mental. Dia menjawab," Waden tiok hari ado di pasa. Datanglah! Kok lah taragak bini jadi jando atau anak barubah yatim!"

 

Gator ngacir. Da Unggik minggat. Tan Angkang saja yang terperangah. Traumatik. "Erna ikhlas untuak Angku Nop!" desisnya lagi. Air ludahnya jatuh ke baju. Duh, Tan Angkang...

Da Unggik memutar pikapnya. Pinggangnya pegal. Tapi tak ia pedulikan. Keluar halaman kantor Wali lalu berbelok arah ke rumahnya.

Bininya membukakan pintu, begitu L300 coklat itu terdengar masuk halaman. Da Unggik turun dan mengunci pintu mobil.

"Lah makan uda di lapau? Kok alun, tu ado randang baluik dari uni Halimah..:

"Alun! Baru makan parangai! Ma nyo randang tu?"

"Di meja. Dalam cawan putiah"

Da Unggik membalaskan kesal hatinya ke nasi rendang belut. Bakucapak bakucepong! Habis dua piring. Emang enak sih!

Pagi Jumat sudah rame di Parung Bingung. Tante Yasni mengantarkan kue dan oleh-oleh. Untuk di jalan dan di kampung. Istri pak Indra juga. Tetangga sebelah pun begitu. Dan tak ketinggalan Mat Bronk. Pagi sebelum nyari penumpang ia datang bersama istrinya. Memberi kue bolu besar dan makanan kecil. Si Aini bahkan dibelikan Mat Bronk jilbab yang sewarna dengan kaos kaki. Jadi tinggal melaksanakan shalat Jumat, lalu menunggu Airin dan suaminya, berangkat pulang kampung! Semoga lancar di jalan dan penyebrangan ya teman-teman..🙏

 

Boleh dibilang, lancar. Pulang dari Depok ke Lintau. Macet sedikit masuk Merak. Terus keluar Palembang. Dah. Itu saja. Kecuali ada insiden kecil sore di keluaran tol Merak. Banyak kendraan merayap lambat. Apalagi penuh sesak oleh motor. Depan belakang kiri kanan, seakan semuanya motor. Dengan knalpot memekakkan telinga. Dan lazimnya, semua orang, jika memasuki magrib , seakan terburu saling mendahului. Aldi , yang nyopir dari Parung. Engku Datuk duduk di sebelahnya. Lalu begitu mau bergerak lagi habis macet, motor depan kiri ngambil agak ke tengah. Aldi cepat goyang setir ke kanan dikit, biar tak senggolan. Eh taunya motor yang sebelah kanan, abang-abang goncengan dua orang, kaget merasa dipepet dan memiringkan motornya ke kanan. Nyaris!

"He Celeng Utan! Elo preman apa? Kalo gak bisa nyopir sini gua yang bawa! Main srempet aja!" Aldi dimaki.

"Maap bang ! Yang kiri ni, ngambil kanan tadinya!" Jawab Aldi setelah menurunkan kaca sopir. Entah karena hiruk pikuk, atau bawaan syetan magrib, si Abang itu malah marah dan ngajak berenti.

"Apa lu bilang?! Brenti depan. Gua kasih pelajaran lu!"

Orang itu mungkin salah paham , dia kira Aldi melawan.

Mobil dia pukul-pukul ngajak setop. Emosi banget ni orang!

Aldi meminggirkan SUV dan menurunkan kaca sampai penuh.

"Elo punya SIM gak?" Aldi dihardik. Engku Datuk cepat memasang jaket, menyelipkan botol air mineral kecil di pinggang dan menutupnya dengan baju kaus. Segra turun dari pintu kiri dan mendatangi kedua pemotor itu.

"Sore Boss. Ngepam dimana ya?" tanya Engku "memegang" bahu si Abang. Sambil sedikit senyum.

Si Abang, melihat lelaki berbadan besar rada gondrong pake jaket, dan ada yang menyembul di pinggang bawah baju kaos, segera turun spaningnya.

"Eh. Maaf Pak. Anu. Tadi kami kurang siap aja. Maaf Pak!" Ia menunduk dan meraih tangan Engku untuk disalami.

"Udah. Yang baik-baik aja!" Engku tak enak hati juga lihat mereka berubah manis!

Ah. Ada- ada saja!

Sesampai di kapal mereka mengambil satu meja dan makan malam. Asyik juga makan sekeluarga di kapal penyebrangan. Di saat penumpang lain sibuk dengan urusannya masing-masing. Aldi dan Aini mesti memilih ayam goreng cabe hijau. Airin dan suaminya serta Engku, mengambil ikan bandeng presto. Dan bunda, makan tentu pakai rendang. Semua ada dalam wadah bertingkat.

"Nape Aldi lelet masuk kapalnya? Kan keluar tol barengan?" tanya Airin dan suaminya.

"Dicegat jawara Merak!" Aini menjawab.

"He. Masalah apa?"

"Nyaris keserempet aje. Marahnya gak ketulungan"

"Terus?"

"Untuang Ayah turun tangan. Pake mantra Inyiak Lintau ha ha ha"

"Emang Ayah punya elmu batin kanuragan ya?"

"Ya iyalah. Ya kan Yah?"

"Ah enggak. Ayah cuma pegang bahunya sama menatap biji matanya dengan getaran kasih sayang!"

"Nah tu kan? Ilmu pendekar Padang he he..."

"Jangan-jangan dulu Ayah pake ilmu begitu pdkt sama bunda ha ha.."

"Iya ya Bunda?"

"Iya ajalah. Ayah dulu kan hitam kerempeng hi hi hi..."

Tak terasa pelabuhan Bakauheni sudah dekat.

 

Begitu ban mobil menginjak tanah Sumatra, keluar dari ferry, rasanya plong banget. Sebentar udah masuk tol dan sebelum sahur jam 3 malam sudah di RM Sederhana Palembang.

Istirahat makan di Sederhana ini bukan hanya karena lapang dan bersih serta pelayanan prima. Tapi ikatan emosional Engku Datuk dengan Singgalang Jaya. Dua tahun berkerja di rumah makan Inyiak Bustamam. Setiap kali pelayan menghidang menu lengkap, terbayang kerja Engku puluhan tahun lalu. Ah..

Sebelum tengah hari sudah di Tempino dan zuhur masuk di Muarabungo. Jam lima sore, belok kanan di simpang Muaro. Dah! Belokan Muaro Sijunjuang ini jadi batas psikologis serasa sudah di kampung! Sebentar sudah melintasi pasar, belok kanan di pertigaan, lewat jembatan, lalu ambil kiri. Nah mulai jalan kecil. Sedan vios butuh hati-hati menghadang lubang jalanan. Lampu mobil tiap sebentar di kode jauh kan. Lawan kadang muncul dari balik tebing bukit mendaki. Lalu hampir sejam, sawah Lintau mulai terlihat disinari lampu mobil. Rasa sejuk menyelinap ke dalam dada. Sudahlah. Shalat magrib jamak isya dulu saja di SPBU sisi kiri jalan. Sambil melepas penat. Bukankah udara kampung sudah jelas tercium di dada? Bukankah bunyi jangkrik pinggir semak, bernyanyi mendendangkan irama kehidupan? Tanah pusako tempat kelahiran, sebentar lagi kami tiba.....

 

Penutup

Urang Lintau pai basiang. Nan ka pulang ari lah sanjo. Jiko badan batenggang surang. Ka ma untuang ka dibao.

Urang lLintau pai manggaleh. Mambao ikan nan jo sangkanyo. Oi badan usah pamaleh. Urang pamaleh acok taibo.

Urang Lintau pulang basamo. Di Tanjuang Gadang sumbayang mugariknyo. Oi kampuang kami lah tibo. Lah tabaun dapua rumah bundo.

Urang Lintau makan baselo. Di musola tampek maisi bensin. Curito Angku Datuak kito cukuikkan sampai disiko. Salah jangga kami mintak izin.

Maaf sakalian salamaik Idilfitri...

Saturday, May 28, 2022

BUKITTINGGI


 

Bukittinggi.
Bondan Winarno telah menulis dengan baik tentang Bukittinggi. Terasa betul, Bondan memang pernah merasakan indahnya Bukittinggi. Buyuang Mipih di waktu lain, membawa keluarganya kesini. Berkeliling Benteng Kebunbinatang dan Jamgadang. Terasa lebih bersih dan rapi. Ketimbang dulu saat masa sekolah. Anaknya yang kecil merengek minta jus buah. Di pelataran jam gadang. Cuaca dingin begini mau nyedot jus? Tapi yang namanya anak -anak, susah ditolak. Maka masing-masing mulai memegang gelas plastik jus merah ungu. Tapi tiba-tiba anaknya yang bungsu memekik. Menangis dan berlari memegang kaki bapaknya. Ada apa? Dua badut yang sedari tadi menari-nari, mendekati anak Buyuang. Bagi si Bungsu itu mengerikan. Anak lain malah senang berfoto sama badut, ia takut. Bolehjadi ukuran badut yang besar, atau wajah yang menganga seperti tawa, tak memberi kesan jujur pada anak Buyuang. Maka ia lari dan menangis. Terpaksa ibunya membujuk dan menerangkan. "Makhluk itu tak seberbahaya bayangan!"
Kala yang lain, Buyuang Mipih menikmati Bukittinggi berdua saja dengan si Sulung. Taroklah sebagai hadiah lulus kuliah dengan IP tak di bawah 3. Nginap di Dymens.
Pagi sebelum sarapan Buyuang joging sendiri. Anaknya ditinggal di kamar. Melintas perumahan elit pinggir ngarai. Yang dulu mengalun instrumental lembut. Kini berubah nuansa pasar. Ada yg jadi kantor, butik dan salon. Nun di belakang rumah sederhana bersusun pondok dari kayu. Penjual mie serta kopi.
Buyuang menengok ke jurang. Pohon _Arenga, Ficus, Mallotus dan Macaranga serta Bambusa_ di hinggapi burung terkuku. Dan lihat! Belasan ekor monyet ekor panjang mengais makanan di timbunan sampah tebing jurang! Demi melihat Buyuang, monyet itu berlarian. Sampah makanan harian. Monyet pemulungnya! Adakah jika buangan sampah distop, monyet akan masuk ke perumahan?

SODIK


 

SODIK
Engku Datuk Meruyung tak menyangka jika Calya putih baru yang berhenti depan tokonya adalah seorang yang bukan hendak membeli obat. Sebab, jika bukan pedagang farmasi, biasanya konsumen. Lelaki muda ganteng yang turun dari jok sopir membuka kacamata hitamnya. Memindahkan ke kantong kemeja biru bergaris. Rapi. Style bintang film. Tigapuluh lima atau mungkin 37 tahunanlah. Engku memandang sejenak. Mengelus rambut gondrongnya dengan jemari. Dan menjawab salam anak muda itu. "Alaikumsalam..." Nah. Berarti bukan konsumen. Konsumen kan biasanya langsung nanya, "Bang minta promagnya sekeping!" atau "Pak, ada vicks?" Bulan puasa gini, orang-orang butuhnya obat demam batuk pilek serta maag.
"Pak Datuk Engku Meruyung kan? Atau dulu di Singgalang Jaya, uda Buyuang Inop?" ranya anak muda itu mengulurkan tangan. Bersalaman. Hangat dan erat! Bahkan anak muda itu mencium tangan Engku Daatuk!
Tentu Engku bingung. Siapa ya? Sales obat? Keluarga dari Lintau? Anak teman seangkatan kuliah? Engku memandang menelusik wajah...
"Saya Sodik Uda Buyung!" katanya.
Sodik? Sodik mana? Perasaan tak ada anak keponakan bernama Sodik?
"Tentu Uda Buyung lupa. Sudah 30 tahun.
"Lihat ini Uda!" Ia menyingkap jatuhan rambut di pelipis. Bekas luka!
Oooo...anak kecil yang dulu tiap hari menunggu belas kasihan di sudut depan RM Singgalang Jaya? Singgalang Jaya itu nama RM Sederhana dulu. Punya Inyik Bustamam. Pilihan terakhir perantau Lintau ke Betawi zaman tahun 90an adalah bekerja di rumah makan beliau. Waktu itu baru buka dimana-mana di Jakarta. Dan Buyuang Inop, sebelum memilih berjualan obat, terdampar jadi karyawan disitu. Dua tahun.!
Saat itulah, Uda Armen yang manajer di rumah makan, mengode Buyuang. "Yuang. Paja ketek tu, baa caronyo! Agak sagan awak jo tamu, nyo mintak-mintak tiok hari di muko tu!"
Buyuang berfikir. Akan dia usir? Dengan menggulung lengan baju, membelalakkan mata, bisa saja dia usir anak ini. Tapi tidak. Buyuang mengajaknya bicara. Dan ternyata anak itu mencari sesuap nasi, mengemis untuk dia, dan adiknya perempuan kecil yang tinggal di emperan seperti tikus. Buyung kasihan."Gini deh. Lu kagak perlu bediri di halaman gini. Gua bungkusin lu sisa makanan. Banyak kok. Orang-orang kadang nyisain nasi dan lauk. Lu ambil. Tapi jangan mantep sini terus. Jauh sana!"
"Bener bang? Ok bang. Makasih banget ya bang!"
"Iye. Ntar gua bungkusin pake kresek!"
Anak itu pergi dengan wajah berseri. Dia mungkin merasa mendapat durian runtuh...
Sejak itu, sisa cincang, telur dan ikan ditarok Buyung di kresekan. Nasi tidak. Nasi sudah diudek-udek oleh pembeli. Dan tiap habis zuhur, Buyuang Inop memberi anak itu, yang keningnya ada bekas luka, setumpuk lauk tambah nasi secukupnya. Anak itu tak lagi berdiri mematung menunggu kasihan pelanggan ...sampai ia tahu nama anak kecil itu Sodik, dan Sodik tau ia bernama Buyung. Dah. Gitu!
"Elu Sodik kecil depan sudut halaman Singgalang Jaya? Keren amat lu sekarang?!" Dan mereka kembali bersalaman.
Sodik menurunkan kain sarung, baju taqwa, roti kaleng buah apel pear dan kue bolu dari mobilnya.
"Untuk da Buyung! Kata orang rumah makan, uda ada disini jualan obat!" Sodik memberinya pakaian dan makanan yang amat banyak!
"Elu?"
"Iya Uda Gua kerja sana sini. Banting tulang. Kini di taksi online. Adalah beberapa mobil. Ini yang gua pake. Calya."
Engku Datuk terperangah! Tak dia sangka! Sungguh!!
"Ayok ngobrol di dalam!" Engku menarik tangan Sodik. Masya Allah!

Kacang Tujin

Kacang Tujin.
"Ngiuuuut....klak!" Itu pasti bunyi pintu rumah Bu Rosna. Handelnya memang begitu senandungnya jika dibuka. Tak pelak lagi. Buyuang Inop masuk terburu.
"Ang tu Yuang?" suara bu Rosna dari ruang dapur.
"Iyo Bu!" Buyuang menyusul ibunya ke dapur. Pastilah ibunya sibuk memasak pabukoan. Nasi dan ikan sudah selesai di meja. Ditutup sungkupan plastik.
"Kama sajo ang nak. Lah hampia babuko. Cubo tolong ibu ambiakkan kacang nan bajamua di halaman tu lah!"
"Dari tapi Batang Sinama Bu. Mandi. Main badia-badia batuang!"
"Oo itu nan malatuih dari tadi tu?"
"Iyo Bu. Badia da Mogek, da Liman, kareh bunyinyo!"
"Tolong ambiak kacang di nyiru di halaman Yuang!"
"Saripah se suruah Bu. Nyo ma nyo? Main yo"
"Usah pabingik tu nak. Waang nan ibu suruah! Adiak ang tu lo nan disabuik!"
"Nde ibu!" Buyuang mengeluh. Tapi tetap ia turuti permintaan ibunya. Mengambil nyiru tampian yang dipenuhi kacang tanah. Dijemur ibunya sejak tadi pagi.
Buyuang senang sekali dengan kacang tujin buatan ibunya. Dimasak diberi bawang dan garam. Disimpan dalam botol. Disusun dalam almari kaca. Karena kacangnya dijemur maka jika digoreng menjadi rapuh. Beda sekali dengan kacang yang direbus lalu dikelupaskan kulit arinya.
Bapak Buyuang Inop lain pula seleranya. Kacang yg tak dikelupas kulit tipisnya langsung digoreng dan ditaburi garam. Tanpa bawang dan seledri. Itulah kesukaan bapak. Dan ibu memasak dua -duanya. Dijemur dikelupas lalu digoreng serta campur bumbu, dan tak dikelupas dengan hanya canpur garam.
Tak lama, Buyiang sudah menatiing nyiru kacang ke dapur.
"Lamo babuko lai bu?" celetuk Buyuang.
"Saba nak. Ulanglah mandi waang lah! Indak barasiah di batang Sinama tu! Ganti baju. Pakai sabun!" Ibu Buyuang cepat sekali menengarai kondisi bau badan Buyuang!
🙏🙏


 

SIPUIK


 

 

SIPUIK

 

Hanifa Marisa

 

 

"Inoop.. Inoooop!!" Pagi-pagi Madi dah tiba di halaman. Bersama Utut. Dan Keling. Pastilah mereka ngajak main. Apalagi awal puasa begini. Sekolah libur. Kesempatan emas buat anak-anak ksmpung Inop untuk main bersama.

Demi mendengar panggilan, Inop langsung berlari keluar rumah. Membuka pintu dan sumringah menyambut. "Main wak?"

"Iyo. Ikuik da Liman mancari ikan melah!"

"Adih. Tunggu nta yo!" Inop berbalik dan memanggil maknya. "Maaak. Maaak. Wak pai ka sawah samo kawan!" Entah terdengar entah tidak, Inop langsung saja gabung dengan Madi, Utut dan Keling. Arah ke sawah!

 

"Da Liman mambali panciang tadi. Limo buah. Di lapau Wak Uban. Katonyo ngayia baluik jo nyari ikan di banda mudiak!"

"Sero tumah. Dulu kami banyak dapek ikan puyu sinan!"

"Iyo. Capeklah!"

"Da Liman hebat nangkok baluik diang. Nyo cakau kuduaknyo jo jari!"

"Ho-oh!"

 

 

Dari jalan kampung mereka berbelok ke penurunan. Yang ada pohon tarab serta bambu pering. Lalu berbelok memintas pematang kolam ikan dan sampai di sawah. Tuh, jauh kelihatan, da Liman menunduk di hijaunya padi, ...pasti lagi nangguk ikan atau mancing belut. Inop mempercepat langkah. Madi juga. Setengah berlari. Sambil senyum dengan nafas rada tersengal...

 

Dalam hitungan beberapa menit saja mereka sampai di banda mudiak. Di tempat Liman menunduk mencari lubang belut.

Langkah kaki ke empat anak itu membuat da Liman menoleh.

"Nyari ikan da?" Tanya Inop. Dilihatnya ember kecil dan tangguk di pematang. Ember itu sudah berisi ikan sepat, ikan puyu dan banyak pantau.

Tentu da Liman senang ditemani. Empat anak kecil ini memang sering membuntutinya. Nyari ikan . Mandi sungai. Main layangan. Serta ke surau, mengaji!

"Lai puaso kalian?" Liman menyapa. Bibirnya senyum.

"Lai da!" Serentak terdengar jawaban.

"Utut indak Da! He he..." Madi menyela. Utut memang yang terkecil. Adiknya si Keling. Belum sekolah. Utut senyum malu. Sambil menghapus ingusnya dengan punggung tangan. Mencongkong di pematang!

 

 

Da Liman terus menunduk di aliran air sawah. Tangannya rajin meraba pematang. Di sela rumputan Axonopus dan Paspalum. Kadang ada Caladium, _Phyllanthus niruri_ dan Euphorbia hirta. Sekali tangannya bertemu lobang kecil, ia berhenti. Mengambil pancing berumpan cacing, lalu membenamkannya dengan kayu kecil ke mulut lubang. Menjentik-jentikkan jemari ke air bandar hingha menimbulkan bunyi, lalu berpindah mencari lubang berikut. Keempat anak kecik kelas tiga dan dua serta Utut yang belum sekolah, terus mengikuti dengan seksama... Asyik!

 

Pancing kelima sudah ditanamkan. Da Liman puas. Ia meluruskan badan dan membuat gerakan memutar-putar badan.

"Panek juo marunduak taruih....eh manyo embe tadi? Ambiak kan ciek!"

"Utut. Ambiak Tut!" Inop memerintah Utut. Dia jongkong paling belakang. Tentu Utut nurut saja. Ember hitam puluhan meter dia ambilkan. Ikan kecil sudah mati di dalamnya. Utut memberikan ke Keling di depannya. Keling mengoper ke Madi. Madi menyerahkan ke Inop. Inop mengambil lalu memberikan ke da Liman. Tapi sambil menenteng, Inop membaca tulisan di ember itu, "Anti Pecah!"

"Anti pecah ember uda ko! Hebat!"

Da Liman tertawa.

"Ha ha apolo nan anti pecah. Diampehan ka batang karambia ntun, pacah mah!"

 

Da Liman tersenyum. Inop dan tiga lainnya ketawa. Rambut mereka memirang diterpa cahaya matahari. Siang semakin terik. Di bandar, air mengalir tak henti. Menyapa ujung tumbuhan Eclipta alba dan Spilanthes, hingga bergoyang-goyang disenggol arus.

"Berarti urang manjuwa embe di pasa pakan tu baduto yo Da?" tanya Madi.

"Pabriknyo dan baduto. Urang manjua sato sakaki!"

"Baskom cucian amak di rumah, anti pecah juo. Tapi hancua dek Utut nyo jadikan tampek mandi!" tambah Keling.

"Aaah uda iyo lulo!" Utut membela diri.

"Utut malah mancilok kacang tujin dalam almari!"

"Uda iyo lulo! Uda duo kawuik!"

"Alah mah. Parangai kalian lah tau aden. Kato Buya di surau, makin tuo urang makin tuo pulo dutonyo. Makin tinggi pangkat urang makin tinggi pulo dutonyo. Makin bakuaso urang makin hebat pulo dutonyo!" ujar da Liman menengahi.

"Jadi plesiden jendal jo Inyiak Modol paliang gadang dutonyo yo Da?" tanya Utut rada cadel. Inyiak Modol itu orang tua penghuni pondok pinggir sawah yang sehari-hari memancing ikan sungai.

 

"Antah! Tanyolah ka Buya di surau beko malam. Kan alah sumbayang tarawieh nan ka duo malam beko!" jawab da Liman sekenanya. Ia tak tertarik menjawab tanya Utut. Ia lebih perhatikan ujung rumput dan keladi punggir bandar untuk dilayangkan tangguknya. Siapa tau dapat puyu atau sepat lagi. Tapi nihil. Ikan sudah keburu lari. Hanya ada siput ketangkap.

"Sipuik! Lamak juo ko digulai samo daun ubi!"

Da Liman menangkapi beberapa siput lainnya. Inop Madi dan Keling akhirnya ikut masuk ke saluran air sempit itu. Basah. Berlumpur. Tapi "managiah"!

"Ssst...lihat itu!" Da Liman menunjuk ke pesawahan hijau. Nun jauh, seorang dengan topi hitam dan selendang kaun sarung, berjalan ke arah sungai membawa tangkai pancing. Inyiak Modol!

 

 

Mereka saling pandang. Lalu tersenyum. Kenapa?

Karena Inyiak itu menurut cerita orang-orang, selain tak pernah shalat, juga menggunakan _zirit_ nya untuk umpan pancing. Ah, itu sangat menjijikkan!

Kata saudara Inop yang paling tua, yang udah kuliahan di Padang, kerjaan memegang feses itu hanya dilakukan mahasiswa Ilmu Pengetahuan Alam yang membutuhkan cacing perut untuk dipelajari di kampus mereka. Uda Inop, Piri namanya, pernah menyogok anak tetangga kost nya dengan permen asalkan mau minum combantreen. Lalu besoknya zirit anak itu dia tampung dengan kresekan, diudek-udek dengan sendok buat nemukan cacing...iiiiih.... Inop biarlah sekolah pertanian saja, yang kerjaannya nanam padi dan nyari belut!

 

 

"Ssssst..sikolah den katokan! Inyiak itu indak amuah dikawani pai mangayie. Umpannyo rahasia!" da Liman setengah berbisik. Utut paling terkejut. Mulutnya menganga. Ingusnya meleleh dua baris...

"Iyo. Ciriknyo kan?" jawab Inop.

"Ho-oh! Kato urang di lapau, iyo!" tambah Madi.

Lalu diam sejenak. Saling pandang. Senyum!

"Wak cibuakkan melah!" Ide nakal muncul dari Da Liman. Yang lain semangat. Itu seperti tantangan. Tantangan yang misterius!

Lalu keempat lainnya setuju. "Sentak dulu tali panciang baluik! Mungkin alah dimakan!" kata da Liman. Dan mereka kembali berjalan arah ke hilir. Memeriksa lima pancing di lubang pematang. Alhamdulillah, satu dari lima pancing itu mengena! Belut besar kelonjotan di pegang da Liman. Lalu dipukul kepalanya dengan batu dan masuk ke ember "anti pecah"...

Selesai! Kini saatnya berjalan mengendap-endap arah ke sungai di jalur pematang berbeda dengan yang digunakan Inyiak Modol! Sambil saling pandang, senyum dan dada berdebar, intipan dimulai!

 

Sungai itu berarus tak deras. Banyak batu kerikil. Di bagian tertentu ada palung dalam. Ikan mansai, ikan tibarau, ikan lonjiang bahkan kura-kura. Pinggiran sungai dipenuhi semak Eupatorium, Melastoma, Mimosa, dan Casia. Di titik tertentu ada Bambusa dan Dillenia yang buahnya sebesar kepala bayi. Di bawah batang Dillenia itulah Inyiak mungkin berada. Sebab kelihatan tangkai pancingnya dari jauh. Jika demikian, maka jalan mengendap-endap, bagaikan upin-ipin mencari pencuri ayamnya atuk-, mesti dibelokkan ke kanan , melewati semak Mimosa pigra yang dipenuhi ujungnya oleh kumbang Rhinoceros, gerombolan Eupatorium dan Casia tora, lalu mulai menurun pinggiran sungai tanah lembut.

Da Liman berhenti. Tangannya memberi kode agar waspada. Tubuh Inyiak terlihat di sela daun Mikania yang menjalar tinggi. Betul! Tak salah lagi! Lihat! Di sisinya teronggok zat organik terdekomposisi berwarna kuning kecoklatan!

Mereka saling dempet. Di tanah miring lunak. Bawah rindang semak berbalut daun Mikania. Bau badan dan keringat masing-masing ditahankan. Utut paling berdebar. Ia sedari tadi selalu di belakang . Maka penasaran, ia merangsek menimpa Keling Madi dan Inop di depan. Karena ia lagi ingusan, dada berdebar, nafas memburu, bercampur bau tubuh empat lainnya, alergi hidungnya muncul. "Hatchiiin!!!" Tak tertahankan, Utut bersin. Da Liman kaget. Ia menoleh marah! Dempetan anak- anak itu terguling. Tanah lunak miring. Dan Inyiak Modol menoleh. Pakai topi bersandang kain sarung! Astaghfirullah! Alamat kena cengkram kuduk oleh Inyiak yang mengerikan itu!

 

 

Inyiak itu cepat menutup umpan pancing "rahasia hak paten"nya. Dengan daun Dillenia lonjong bertulang daun menonjol. Lalu bangkit gemas berjalan ke semak yang bergerak dan ada suara bersin barusan.

"Sia tu?!" hardiknya.

Da Liman melompat meraih ember anti pecahnya dan cigin dengan kecepatan 3 m/dtk. Di belakangnya Inop dan Madi. Lalu Keling dan adiknya Utut. Utut pucat pasi. Tak hanya wajahnya yang putih tapi juga tapak kakinya. Ia lari paling belakang. Bayangan Inyiak serasa ada di atas kuduknya. Mencengkram dan melemparkannya ke sungai! Ketakutan tak terperikan itu membuat langkahnya sembarangan hingga terpeleset ke sawah. Penuh lumpur!

"Ampuuuun!" tangisnya muncul. Keling menoleh. Tak tega, ia berbalik menolong adiknya. Nun di pinggir sungai, Inyiak Modol terlihat mencak-mencak...

Duh! Untung Inyiak itu tak berlari menyusul!

 

Malam tarawieh ke 2 kini. Malam pertama kemarin, kaji Buya di surau Parik, tentang syarat rukun puasa. Malam ini berkenaan dengan tujuan puasa. Agar orang beriman menjadi taqwa, kata beliau.

Anak-anak ikut mendengarkan. Mereka membawa buku catatan. Setelah shalat tarawiah nanti, buku itu dimintakan tandatangan Buya. Termasuklah da Liman yang kelas Enam, Inop dan Madi klas tiga dan Keling klas 2. Utut tak ikut. Sejak siang tadi sepulang dari sawah badannya panas demam. Bapaknya melarang ikut ke surau. Lagian, anak kecil begitu, paling juga ikut main saja. Dorong-dorongan saat shalat, lalu cepat-cepat mengambil posisi "khusuk" jjka imam sudah tahyat terakhir menjelang salam.

"Ado nan kaditanyokan apak. Ibuk?" kata Buya. Diam.

"Anak-anak. Ado nan kaditanyokan?" sambung Buya lagi.

"Saya bertanya sikit Engku Buya. Tadi di sawah kata da Liman, makin tinggi pangkat orang makin besar pula dustanya. Kata dia, Engku Buya yang menyampaikan"

"Iya. Jika dia berbuat salah. Salahnya orang besar lebih bahaya dari salahnya orang kecil seperti kita ini"

"Jadi jika buya yang ilmu agamanya sudah tinggi sekali, jika salah juga lebih gedang akibatnya tu Buya?" tanya Inop lagi.

"Iya! Jadi buya tidak mudah. Ada buya yang ngajak orang jadi baik tapi dia sesatkan setelah itu. Ada juga buya yang mengkorupsi ayat. Sudah jelas ayatnya mengatakan halal istri dan hamba sahaya, dia bilang hamba sahaya itu tak ada. Padahal diam-diam melimpah hamba sahaya tertangkap dikirim ke utara dan timur tengah. Namanya human traficking!" Jelas buya itu. Inop tak memahami maksud buya itu. Yuman trefiking itu entah apa! Ah sudahlah!

"Ya Buya. Sudah" kata Inop. Lalu ia melipat buku Ramadannya untuk ditanda tangani Buya nanti sebelum pulang.

TAMAT