Ahsanul Qisah; Yusuf Alaihi Salam.
Oleh Hanifa Marisa
Ahsanul Qisah
Senja di padang pasir
tandus. Anak lelaki kecil duduk di batu cadas. Roman mukanya tampan. Tak hanya
tampan, tapi indah. Untai rambut lurusnya bergoyang ringan ditiup angin. Jatuh
di sela ikat kepala. Diterpa matahari jingga. Ia menatap jauh. Boleh jadi
menunggu saudara-saudaranya pulang menggembalakan biri-biri. Yakup
memperhatikan dari rumah. Ia takjub. Anak kecil berwajah menawan. Menawan
hatinya,
Tampan umumnya adalah keserasian antara ukuran
mata , hidung dan bibir. Tapi jika wajah begitu
ditempati oleh kalbu yang jujur, bersih, maka cahayanya memancar ke bola mata,
ke aura pipi dan kening. Itulah kini yang ada. Menakjubkan yang memandang.
Senyum sendiri Yakup menikmati karunia Tuhan nan membahagiakan ini. Duabelas
anaknya terdahulu, tak satupun serupa ini. Anak lelaki kecil itu, Yusuf,
menoleh ke arah pintu rumah. dan Yakup cepat beranjak seakan tak mengagumi
wajah putranya. MasyaAllah,...masyaAllaaaaah,...
Rombongan anak remaja
terlihat tumpukan hitam dari jauh. Senja kemilau semakin jatuh. Makin lama
makin kentara. Itu adalah kakak-kakaknya. Berombongan menggiring domba. Sambil
bercanda ria tentunya.
Yusuf kecil manalah tau. Ia hanya berkhayal,
suatu saat ikutan rombongan itu. Tiadalah ia faham, bahwa mereka berbeda ibu.
Baginya , kakak-kakaknya orangnya asyik; berkisah tentang padang gembala
berbatu-batu. Terkadang ada kadal, burung dan bahkan serigala bertemu. Itu
sungguh menggetarkan. Menggairahkan. Membangkitkan
semangat kelaki-lakian!
Yusuf keci bangkit ketika domba-domba mendekat.
Beriring berjalan menuju kandang. Tangannya terentang menyapa domba dan
menyentuh bulu telinganya. Tatap sayang terpancar dari mata Yusuf pada
ternaknya. Dan pandang kagum terpancar untuk kakak-kakaknya yang gagah
bertelanjang dada pulang magrib. Senja makin temaram. Dan mereka masuk ke
rumah. Assalamualaikum ya ahlil baiiit.....
Menjelang malam
mereka makan bersama. Anak-anak itu, mulai dari yang tua sampai terkecil,
berkeliling duduk di ruang keluarga. Diterangi lampu obor yang tergantung di
dinding. Dan seperti laiknya fitrah di keluarga manapun, anak tertua duduk
paling jauh dari bapak ibu mereka, sedang Yusuf kecil duduk tawaduk dekat lutut
bapaknya. Masing-masing dibagikan ibunya sebuah roti Huzb disertai ikan kuah
bumbu. Yusuf kecil, hanya makan sepertiga bagian saja dari roti bapaknya. Itu
sudah cukup. Makanan itu berkah bukan dari
kuantitasnya, tapi dari hati nan bersyukur. Iya kan?
Sehabis makan anak lelaki kecil yang di atas Yusuf,
bertanya, "Bapak, kenapa siang hari tadi masih ada bulan di langit?"
Yakup menerangkan bahwa bulan pada waktu baru munculnya, memang masih tersisa
di pagi hari. Ia terlihat pucat, tapi tetap bulat. Seakan memandang anak
manusia dari ketinggian.
"Adik tadi meukisnya di pasir, Bapak. Bulan
putih di sela daun kurma. Di lengkungnya punggung bukit....." anak leaki
tertua menambahkan. Mereka tau, anak lelaki nomor 12, memang senang mengamati
alam dan melukiskannya. Yusuf, terpesona dengan cerita kakak-kakaknya. Dalam
gambaran fikirnya, bulan indah tersenyum di balik untaian daun kurma.
Perlahan-lahan memudar. Di lengkung bukit pasir bebatuan. O, itu indah sekali,
khayalnya. Memory tentang bulan di belakang daun kurma itu memenuhi kalbunya.
Alangkah asyiknya jika ia juga ikut bersama saudaranya itu menggembalakan
domba. Duduk di batu. Memandang ke awan. Ada bulan putih di daun kurma yang
melambai. Ooo,....
Tak lagi Yusuf memperhatikan cerita selanjutnya
dari saudara-saudaranya yang mentertawakan kakak nomor 10, yang tadi memarahi
domba jantan, yang dianggapnya jahat. Domba itu menaikkan kedua kakinya ke
punggung seekor domba betina. Ia segera memarahi domba jantan, dan memecutnya
dengan ranting kayu. Kakak tertua dan kedua, tertawa terkekeh. Yakup senyum
dikulum. Sedangkan Yusuf kecil, mulai mengantuk, merebahkan kepala di paha
bapaknya. sambil terus membawa bulan putih di daun kurma....bismiKa, Allahumma
ahyaa, wa amuut.....
Entah ada
hubungannya, entah tidak; khayal tentang rembulan dan langit ditoreh daun kurma
itu , akhirnya terbawa tidur. Ia mengalir dalam urat darah. Menggelitik di
simpul-simpul saraf. Yusuf, terbang dalam mimpi indah. Ia seakan - akan betul
betul ada di perbukitan batuan berpasir yang ada pohon kurmanya. Ada beberapa
rumput liar yang survival di gurun dan pohon Conocarpus yang berbuah bulat.
Yusuf, yang amat ingin ikut pergi ke alam luas dengan domba-domba yang jinak,
yang bulu telinganya lembut, merasa keindahan
memeluk tubuhnya. Ia terpesona. Dan ya TUhan, bukan hanya bulan putih yang ia
lihat. Ada sebelas bintang, bulan dan matahari di langit biru muda.
Amboooiii...cantiknya. Ini lebih berperi ketimbang yang ia khayalkan. Dan Ya
Tuhan, bulan, matahari dan gemintang itu seperti punya mulut dan mata.
Memandang kepadanya. Yusuf bergetar. Yusuf menggigil. Ia terpana. Ia tak dapat
berkata-kata. Belum sempat ia menyadari yang ia lihat, tiba-tiba sebelas benda
langit yang seakan tersenyum itu bergerak serentak, turun ke kakinya. Bulu
tubuhnya berdiri. tak hanya di kuduk tapi juga di punggung, di tangan, di kaki
dan di perut. Ya di seluruh tubuh. Indahnya, indahnya. Mempesona, mempesona.
Lalu, benda-benda langit itu sujud ke haribaannya. Yusuf ingin memekik
memanggil ibunya. Memanggil bapaknya. Melantunkan ucapan puja-puji untuk
Tuhannya. Tapi bibirnya seperti kaku. Lidahnya kelu. Dalam ekstasi yang tiada
pernah terbayangkan itu, ingin ia mengelus benda langit itu. Ingin ia
memeluknya. Namun, tiba-tiba, ia terjaga. Benda-benda itu hilang sesuai
hadirnya kesadaran. Tapi jiwanya masih tergetar. Lama Yusuf terkaku, sambal
memejam-mejamkan mata. Bahkan ingin ia segera tertidur lagi dan bertemu sang
rembulan dan matahari serta gemintang itu. Namun semua sudah berlalu. Ya
Rabbiii,Anta jamiiil, …..
Yusuf menunggu untuk
didatangi bulan dan matahari itu lagi. Ia pejamkan mata. Lama,...... lama. Ah,
tak ada lagi. SEbelas bulan matahari dan bintang itu telah pergi. Padahal, jiwa
Yusuf masih belum luput dari madunya pertemuan. Dan akhirnya ia duduk. Duduk
sambal memeluk kedua lututnya. Memandang ke bapaknya yang nyenyak lelap.
Memperhatikan wajah pulas saudara-saudaranya. Tidak. Tak ada lagi sebelas
bintang bulan dan matahari. Semua sudah sirna. Yang ada adalah ia terduduk , berlinang air mata. Merasakan lkesyahduan nan
terpenggal. Menunggu fajar dalam kegelisahan anak lelaki kecil yang lugu. Yang
bola matanya lebih indah ketimbang bola pingpong. Yang roman mukanya tak
sepadan dengan pauh dilayang. Ia mungkin seperti boneka imut yang menggemaskan
setiap orang nan memandang. Yusuf kecil, engkau takkan pernah tau terjalnya
cadas kehidupan. Pedihnya hari-hari yang mungkin menggayuti. Yang semua itu,
mesti dilalui, dijalani, bahkan dinikmati. Wahai Tuhan, Anta Qadiir,...
Subuh mungkin masih
lama. Tapi mimpi aneh barusan tetap memagut dada. Diantara kantuk dan bingung,
Yusuf kembali merebahkan badan. Sesekali matanya terbuka menatap langit-langit
bilik . Seakan di situ ada bulan matahari dan bintang tengah senyum. Ah, tidak.
Tak ada. Lalu ia menguap. Dan akhirnya terpejam jua.
Pagi-pagi semua sibuk mandi berbersih serta
sarapan. Saudara-saudaranya seperti biasa menghalau domba ke gurun luas. Nun di
bukit yang melengkung, dan kurma yang daunnya melambai.
Yusuf kecil masih tercenung. Ia berjalan menghampiri bapaknya dengan langkah
pelan. Ingin ia ceritakan mimpi semalam. Tentang gemintang dan matahari. Serta
tentang rembulan nan senyum lembut.
"Ya Abiii,...semalam nanda bermimpi aneh
sekali..." Yusuf menengadah mamandang bapaknya.
"Mimpi aneh? Seperti apa...." tanya
bapaknya menjongkok, persis di depan Yusuf. Yusuf memandang kedua mata
bapaknya. Menyelami keteduhan kasih sayang. Membalut dalam aura batin penuh
arti.
"Sebelas bintang, bulan dan matahari tersenyum
dan datang ke hadapan saya. Di tengah ketakjuban, mereka seperti sujud,
semuanya...."
"Yusuf!" Yakup terperanjat. Yusuf takut
melihat respon bapaknya. Adakah mimpi itu bertakwil jahat?
"Abi. Apakah
mimpi itu ber...."
"La'. Tidak. Itu mimpi baik. Itu isyarat
Yang Maha Kuasa..." Yakup memotong tanya anaknya dan memegangi wajah Yusuf
dengan kedua tangannya. Jemari empu ia usapkan di kedua belah pipi. Yusuf
terpana. Bapaknya pun terhenyak.
"Demi Tuhan. Janganlah engkau ceritakan
mimpimu ini pada siapapun, nak. Bahkan pada saudara-saudaramu pun!"
Yusuf terheran. Ia menatap mata bapaknya.
Mencari keteguhan dalam sinar bola mata Yakup. Dan Yakup menatap penuh kasih, ...
"Naam ya Abii. Saya akan menyimpannya dengan
baik!"
Yakup langsung memeluk Yusuf erat-erat. Menempatkan
kepala anaknya di dadanya. Mengusap-usap ubun-ubun lelaki kecil itu dengan hati
penuh perlindungan.
HIdup menyimpan
rahasia itu, berat. Apalagi bagi anak kecil yang terbiasa jujur lugu. Itulah
yang menimpa Yusuf. Mimpi aneh dan takwil yang membebani dari bapaknya, membuat
sedikit perubahan di tingkah lakunya keseharian. Yakuppun begitu. SEjak cerita
Yusuf berkenaan mimpinya melihat rembulan, matahari dan gemintang sujud, merubah
rasa dan perhatian Yakup pada Yusuf ke level lebih tinggi. Tak ingin Yakup
seekor nyamukpun menghisap dan menempel di kening atau ujung kakinya saat
tidur. Tak rela Yakup, sebutir debu masuk ke mata Yusuf nan berbinar. Maaf, tak
berkenan ia Yusuf ikut menggembala ternak ke padang pasir luas sana, di bukit
yang melengkung dan daun kurma nan melambai. Rasa-rasanya, Yusuf ada di sekitar
pengawasannya sajalah, setiap waktu. Kulli makaaan, kulli waqttihaaa....
Teman, adakah yang
lebih kuat instinknya ketimbang 'hati'? Hati inilah yang segera mafhum jika
pasangannya mulai menjarak. Hati jugalah yang berdebar ketika pertama melihat
kecocokan. Hati itu sensitive.. Ianya lurus.
Lalu , hati itu pulalah yang membisikkan pada
saudara-saudara Yusuf; bapak kita telah mulai memberikan kasih sayang lebih
pada saudara tiri kita Yusuf, dan kita menjadi terbiar.
"Kalian lihat bagaimana Abi memandang roman
muka Yusuf? Kalian pernah merasakan itu ?"
tanya kakak yang tertua, di hamparan pasir berbatu, di bukit yang melengkung, di
bawah rumpun kurma. Tempat mereka biasa mengobrol sambil menunggui domba-domba
makan rumput kering. Adik-adiknya terdiam dan merasakan kebenaran dalam tanya
kakaknya. Putra ke empat bernama Yahuda, lalu menyela,"Betul. Bahkan jika
Yusuf hendak bermain agak jauh sedikit saja dari rumah, Abi segera mencarinya.
Sedangkan kita? Kita padahal anak Abi yang lebih tua, yang membantu beliau
sehari-hari."
Adik-adik yang lain terbius. lalu
mengangguk-angguk. Kecemburuan, rasa hasad, menyelinap di tengah padang pasir
itu, di siang ini. La hawla wa la quwwata illa billah,...
Muara dari rasa iri
adalah benci. Perasaan yang kemudian bergelombang menjadi amarah terpendam.
Yusuf itu adalah orang lain yang muncul kemudian, dan merampas bapak dari kita
semua. Yusuf itu jahat. Yusuf itu pecundang. Dan, lebih ngeri lagi,, Yusuf itu
mesti diberi 'pelajaran'... Ya Rabbiiii....
Teman, dimasa
kanakmu, pernahkah engkau merasa ditatap dengan sorot tajam ? Dilirik sudut
mata benci? Bahkan dalam acuhpun, engkau mafhum, orang lain sesungguhnya
menolak kehadiranmu!
Bagi anak seumur Yusuf, merasakan kondisi itu,
ditambah beban menyimpan rahasia takwil mimpi; tidaklah mudah. Bukankah bukan
dia yang menghendaki jadi anak bungsu saat ini? BUkankah ia tak pernah tau akan
bermimpi aneh dan harus menutup rapat peristiwa itu dari sesiapapun? Andai
boleh memilih, ia mungkin jadi anak tertua yang
bertubuh kekar, menggiring domba, menghalau serigala dan burung elang, memimpin
saudara-saudara lain, dan ditakuti adik-adiknya...... Namun ini sudah semula
jadi. Ini takdir yang harus ia jalani. Menghindar dari sorot sinar mata
saudaranya adalah beban. Mematuhi nasehat bapaknya, itupun suatu keharusan.
Yusuf kadang merasa berdiri di titian yang sempit. Kadang ingin ia membuktikan
pada saudaranya, ia bukan anak manja pemalas rumahan, yang juga sanggup
menggembala domba di gurun panas. Di bukit yang melengkung. Di langit berhias
daun kurma nan melambai. Aduh!
Gejolak iri - bingik,
dalam hati saudara Yusuf, sebenarnya menyala jika sedang di luar rumah. Saat mereka
berjalan ke padang penggembalaan atau ketika duduk ngobrol di bawah rumpun
batang kurma. Di rumah, mereka seperti mati kutu saja. Sebab bapak mereka,
Yakup, memang tiada pernah berprilaku berlebihan. Bapak sesungguhnya orang yang
baik santun. Tak pernah marah. Jika bapak tak suka, bapak akan menyampaikannya
dengan kalimat nan elok. Bapak mereka, belum pernah terlihat emosional.
Yusuf pun berakhlak baik. Berada dekat Yusuf,
sungguh, serasa di syurga. Tatapan matanya indah. Wajah paras mukanya, innosen.
Senyumnya, memikat. Natural. Jadi memang tak ada sesuatu yang salah diantara
bapak serta Yusuf. Iya kan?
Namun entahlah, ketika di jalan dan di area
penggembalaan, bisikan makhluk jahat, menggoda hati mereka. "Engkau lihat
bagaimana Abi membagi roti khuzb tak hanya seperempat buat Yusuf, tapi kini
separo?" "Kemarin sore, setelah mandi, Abi membantu Yusuf memasangkan
baju, dan Abi iseng meletakkan wajahnya di perut Yusuf, hingga Yusuf tertawa
kegelian?" "O, malam tadi Abi mengantar Yusuf ke toilet luar, bagai
Yusuf akan dilarikan orang saja?" "Ayah terlalu sayang sama Yusuf,
dan kita seperti menjadi anak tiri!" "Yusuf baiknya ditampar
saja!!" bisikan negatif itu makin brutal. "Tidak cukup ditampar, tapi
dilempar!" lagi, makhluk negatif menginspirasi. Fikiran-fikiran seperti
itu, membuat jantung berdenyut lebih kuat, dan wajah lebih merah dari apa
adanya. Padang penggembalaan, berubah menjadi arena melepaskan caci maki,
akhirnya. Perasaan benci menyala, dan entah kenapa, jika pulang, lalu
terpandang wajah Yusuf, seketika sirna. Senyum Yusuf, bagai membilas semua
luka.... MasyaAllah!
"Kita sedang
menjadi budak penggembala, dan Pangeran Muda Gagah duduk berselonjor di
istana," seorang dari kakak Yusuf merengut besoknya sambil menggiring
domba. Instinktif, dia sepak pantat domba yang ada di depannya. Domba itu
terlompat dan berlari ke depan. Rasain anta!
"Iya. Sebentar lagi tentu ia disuapi roti
khuzb yang lezat!" yang lain menimpali. Keningnya mengkerut.
"Anak kecil pemalas. Mestinya ia diajar
menggiring domba sampai ke oase di balik bukit melengkung sana!"
"Jangan-jangan ia kini tiduran di atas paha
Abi!"
"Jahanam itu adik. Sebaiknya ia tak ada saja
di rumah kita!"
"Na-am! Semoga ia dimakan singa siang
ini!"
"Atau diinjak unta hingga mati."
"Unta siapa?"
"Terserah unta siapa saja. Atau boleh juga ia
tetimpa batu besar yang menggelinding dari belakang rumah!"
"Syukurin!"
"Ha ha ha, boleh jadi kepalanya sudah tak ada
karena dipatuk elang gurun nanti siang,...."
"Ha ha ha..."
"He he he.."
Puas hati mereka bergunjing sepanjang jalan. Yakup,
bapak mereka adalah representasi orang tua yang berat sebelah, sementara Yusuf
adalah anak kecil tampan yang merusak rezki kasihsayang orang tua ,.... Itulah
konklusinya!
Teman-teman, boleh
jadi kita bertanya, mungkinkah anak-anak didikan seorang nabi, saling bunuh
diantara mereka? Maka jawabnya, bukan mungkin, tapi nyata! Kabil adalah putra
Nabi Adam as; dan disebabkan nafsunya memilih saudara kembarannya untuk
dikawini, ia bunuh Habil! Habil itu, adik dia sendiri. Adik kandung. Seibu
sebapak! Di saat belum ada persaingan sumber daya alam, semua melimpah, yang
ada hanya mereka sekeluarga! Nauzubillah!
JIka Allah mentakdirkan, dengan skenarioNya sendiri, apa susahnya memasukkan makhluk jahat ke
hati saudara-saudara Yusuf? Maka berujarlah kakak tertua diantara mereka,
sambil duduk bertelekan dua tangan ke belakang, di bebatuan gurun
pasir,"Yang paling afdhal, Yusuf memang kita 'hilangkan'!"
"Besok ajak dia ikut menggembalakan domba, dan
kita habisi bersama-sama di padang tandus ini!" timpal adiknya. "Ya.
Tapi kakak tertua saja yang mengeksekusi!" timpal yang lain, sebab ia
sungguh tak kuasa mencelakai adik nya itu, demi mengenang tatap tak berdosa
mata bulat cemerlang Yusuf. Itu berat!
"Tidak! Jangan! Jangan saya!" jawab kakak
tertua, sebab hati dan tangannya mungkin akan menggigil melakukan itu. Wajah
seperti Yusuf akan dia bantai? Tidak! Itu pedih dan menyayat hati! Bisa-bisa,
jika tak kuat hati, berubah gila! Menceracau sendiri sepanjang jalan padang
pasir, penuh sesal, sambil memegang pedang runcing,.....hiii, la'; tidak!
Kakak Yusuf yang ke
empat, yang akhirnya memberi ide. Ia mendongakkan kepala, setelah dari tadi
memukul-mukul mata kakinya dengan pelepah tangkai buah kurma.
"Tak seorangpun dari kita yang sanggup
membunuh Yusuf. Kita berkelahi dengan nurani kita sendiri. Jadi, cukuplah Yusuf
kita singkirkan dari rumah, dengan membuangnya ke dalam sumur tua di seberang
bukit."
"Ia tetap akan mati. Sumur itu dalam
sekali. Dan jarang disinggahi orang."
"Tidak. Mungkin ia hanya akan pingsan
dan siuman. Lalu musafir kafilah singgah akan
mengambilnya. Orang-orang yang berdagang ke Mesir, biasa singgah di oase yang
dalam itu."
"Tapi apa yang akan kita katakan pada
Abi?"
Semua diam. Lalu kembali kakak nomor empat itu yang
memberi ide.
"Kita bilang Yusuf dimangsa srigala, yang
memang akhir-akhir ini sering bergerombol menyerang domba-domba kita!"
"Fikiran cerdas. Masuk akal. Namun kita perlu
barang bukti!"
Diam lagi.
Sampai seorang dari mereka berkata.
"Semblih seekor domba kecil, lalu muncratkan
darahnya ke baju dan celana Yusuf!"
"Pintar! Artinya kita membuang Yusuf ke sumur
dengan tak berbaju?"
"Apa susahnya!"
"Betul juga!"
"Ya bagus itu!"
"Ah. Abi takkan membiarkan kita membawa Yusuf
ke sini. Lupakanlah semua kegilaan ini!"
"He jangan cepat putus asa. Saya sebagai kakak
tertua akan menyampaikan pada Abi, sudah saatnya Yusuf diajar menggembalakan
ternak. Sudah saatnya Yusuf dikenalkan dengan alam tempat ia tinggal."
"Na-am. Kami akan membantu meyakinkan
Abi!"
"Toyyib!"
Sore sepulang
gembala, anak tertua melapor pada bapaknya,"Abi beberapa domba kita hamil
lagi dan belasan anak-anak kecilnya kini semakin besar."
"Alhamdulillah, anakku" jawab Yakup.
Dalam pepatah, kondisi ini disebut ' padi masak, jaguang maupieh, taranak
bakambang biak'. Pertanda rezki yang diberi Tuhan, berkah!
Namun malamnya selesai makan, anak sulung
berujar," Gangguan burung buas dan srigala semakin sering Abi."
"Ya, itu sudah hukum alam, jika makanan
banyak, musuhnya pun akan banayk!" jawab
Yakup.
"Ada baiknya dik Yusuf ikut membantu menjaga
ternak Abi. Selain membimbingnya memelihara domba, juga akan membuat tubuhnya
sehat kuat!"
"Betul. Kita akan sangat gembira jika dik
Yusuf ikut ke gurun" jawab saudar-saudaranya yang lain.
Yusuf langsung ceria. Ia akan bermain di padang berbukit
batu dengan saudara-saudaranya. sambil mengusir burung dan srigala jika datang
mengganggu domba. Ia akan mengelus telinga berbulu halus domba-domba. Amboi
enaknya. Ikuuuuuut.....kata batinnya, berharap izin bapaknya.
Namun Yusuf harus
kecewa. Bapaknya berfikir dalam, dan merenung. Lalu berujar,"Sepertinya
Yusuf belum kuat untuk mempin domba yang liar berlari. Jika disenggol, Yusuf
akan jatuh dan luka. Apalagi juga sedang musim serangan anjing liar. Mereka tak
hanya menyerang anak domba, tapi bisa-bisa menggigit Yusuf. Biarlah Yusuf
membantu memasukkan ke kandang jika pulang, memberi air di perigi, dan membantu
mengeluarkan di pagi hari"
Yusuf menahan hati. Ia tak diberi izin bapaknya.
Ia segera menata hati. Qanaah dengan nasehat
Abi. Khaliiis...
"KIta saudara -saudaranya, akan melindunginya
Abi. Manalah mungkin kami biarkan adik kami terluka..." jawab kakaknya.
"Betul Abi. Yusuf akan gembira bermain dengan
domba-domba kecil di pinggir gurun. Sambil menikmati langit biru. Menatap
burung terbang berkelompok. Di antara daun kurma nan melambai-lambai,"
kata saudaranya yang lain. Sebelas orang kompak bersatu membela pendapat kakak
- kakaknya. Yakup memandang Yusuf. Yusuf menunduk memainkan jemari. Sambil
berharap,.....O, andaikan...
Yakup dapat meraba
rasa hati Yusuf. Si Bungsu ini ingin ikut kakak-kakaknya. Tapi ada satu hal,
yang mengkhawatirkan Yakup. Keselamatan Yusuf yang sudah diberi pertanda mimpi
oleh Tuhan. Itu berat! Itu memiliki konsekuensi. Itu amanah.
Saudara-saudara Yusuf yang lain tegang menunggu.
Yusuf menyerah seratus persen. Seratus satu persen bahkan!
Hanya rasa iba Yakup, yang melihat tunduk kepala
Yusuf, akhirnya membuat keputusannya berubah.
"Na-am. Abi izinkan. Tapi Abi titip betul-betul; jaga adikmu baik-baik. Jangan sampai ada yang mencelakainya.
Anak-anak suku lain, serempetan domba, onak duri di jalan, batu-batu tajam,
hembusan pasir oleh angin atau gigitan lipan dan binatang lain..." Yakup
menjawab, masgul. Suaranya berat.
"Ya Abi. Takkan kami biarkan srigala
menganggunya. Eh, bukan srigala, apapun hal yang mencelakai adik kami..."
Yakup berfirasat. Tapi ia khawatir mengutarakan.
Janganlah sampai ia berburuk sangka dengan alam dan takdir Tuhan. Lalu ia
mengangguk. Tanpa seulas senyum.
Taukah engkau betapa
sumringah Yusuf besok pagi? Ia telah merapikan rambut, memakai baju dan celana
panjang, siap ke padang penggembalaan. Nuuun, jauh di kaki bukit yang
melengkung, di rerumpun kurma yang daunnya melambai elok. Di bawah langit biru
dan aroma padang pasir diterpa cahaya mentari. Setelah menyalami bapaknya,
mereka berangkat berombongan. Yusuf diapit oleh saudara-saudaranya.
Masing-masing membawa sebuah bungkusan makanan, roti khuzb dan kuah bumbu.
Kakak sulungnya malah membawa pedang tajam yang
menggantung di pinggang. Yusuf, sesungguhnya berkhayal, suatu saat nanti jika
sudah dewasa, ia akan seperti kakaknya itu. Tak lama di perjalanan, keringat
mulai membasahi wajah bahkan dada. Tapi Yusuf tak mengacuhkannya. Suara detak
kaki-kaki domba, yang kadang berlompatan, sangat menarik hatinya. Sesekali ia
eluskan tangan ke bulu lembut di ujung telinga sang domba. Wuuuss....
"Yusuf, domba
yang ini matanya biru!" teriak kakaknya nomor tiga. Yusuf memandang,
sambil terus melangkah. Betul, bulatan sekitar biji mata domba itu , biru. Dan
badannya gemuk, hamil. Yusuf melangkah lebih cepat, mendekati domba bermata
biru. Nah, kesusul! Dia elus punggungnya. Domba itu membiarkan Yusuf meletakkan
tangan. Entah aura apa, atau frekuensi sayang bagaimana yang ada di hati Yusuf,
hingga domba pun seakan akrab dengan lelaki kecil beroman muka menawan ini.
Teman, padang
penggembalaan biasa sudah tercapai. namun niat kemarin, adalah ke balik bukit
melengkung, dimana ada oase sumur dalam, yang entah ada airnya atau tidak kini.
Lalu, ternyata untuk mencapai lokasi itu di balik bukit melengkung, jauh juga.
Terkadang kita merasa di balik bukit itu rada dekat. Namun setelah ditempuh,
ternyata jauh. Ini mungkin mirip dengan pandangan kita saat merapat ke
pelabuhan dengan kapal, dekat karena sudah terlihat lampu-lampu pelabuhan.
Namun ternyata sudah lebih sejam, kapal belum merapat. Itulah kini yang
terjadi. Sudah lelah mendaki menurun, menempuh jejak kafilah pedagang, nyatanya
belum sampai jua. Di ujung kecapaian, akhirnya area itu terbentang di depan
mata. Padang pasir miring, bebatuan, belasan pohon kurma, dan sumur tua di
dekatnya. HIdung Yusuf sudah dipenuhi keringat. Pelipisnya juga. Nafas naik
turun. Domba-dombapun segera mencari sisa-sisa rumput kering. Dan
saudara-saudaranya terduduk, dengan wajah seperti aneh. Lirikan mata
kakak-kakaknya kok tiba-tiba seperti api di tungku pembuatan roti di rumah?
Menyala..... Ah, tak elok berprasangka. Mending istirahat dan membuka bungkusan
roti khuzb!
Persediaan air minum
segera habis tandas. Tak diperhitungkan tadinya akan sehaus ini. Kakak tertua,
nomor dua dan ketiga serta berikutnya meneguk air dengan rakus. Lalu tersandar
duduk di batuan cadas.
"Lapar!" terdengar kakak ke tujuh
bicara.
"Ya. Ayok makan duluan, sambil mengawasi
ternak!" terdengar jawaban.
Bagai dikomando, semuanya membuka bungkusan
khuzb, roti dan kuah bumbu. Memakannya penuh selera. Bagi Yusuf ini sungguh
pengalaman baru. Lahap! Makan bersama itu, indah!
Masalah baru timbul setelah roti habis dan haus
mendera. Air!! Masing-masing membuka baju kepanasan, dan mengipas-ngipaskannya.
Setelah saling pandang, dan kode dengan kedipan
mata, mereka sepakat memeriksa sumur dalam di rumpun kurma. Siapa tau, ada air
di dalam. Tapi, sulit dilihat, belasan meter dan agak gelap. Kakak nomor tujuh,
mencoba melempar kerikil kecil. Plung! Nah, mungkin ada air di dasarnya!
Tapi bagaimana mengambilnya?
"Seorang dari kita bisa masuk ke dalam dengan
tali. Sambil membawa wadah minum. Tali domba jantan, kita pakai untuk
disambungkan, dan seorang diantara kita masuk. Mungkin yang paling ringan
badannya, Yusuf!" kata kakak sulung. Kakak yang lain semua memandang ke
Yusuf. Bagi Yusuf ini tantangan. Lelaki, pantang ditantang, loe jual gua beli!
"Ana akan coba turun, tapi pegang talinya
kuat-kuat....." jawab Yusuf.
"Na-am! KIta akan pegang ujung tali, dan Yusuf
turun membawa wadah air. Jika sudah mau naik, tarik talinya tiga kali!"
jawab kakak-kakaknya. Lalu tanpa curiga, Yusuf, mulai turun pelan-pelan.
Berhati-hati, Entah ada ular, atau biawak, atau apapun di dinding berbatu
ini....
Di luar sana, domba bermata biru menatap sendu....
Yusuf mencapai dasar.
Betul ada sedikit air tergenang. Ia mengambilnya dengan wadah yang dibawa.
Alhamdulillah, semoga ini cukup, bisik hatinya. Toh kalau kurang, ia bisa turun
lagi nanti....
Setelah wadah penuh dan ditutup, ia menggapai
tali untuk turun tadi, hendak memberi tanda pada kakak-kakaknya agar menarik
dari atas. Tapi, ya Tuhan, mana tali yang tadi dia pegang untuk turun?
Ia memeriksa ke atas. Terlihat terang, dan warna
langit biru. Namun tak satupun kepala wajah kakaknya
kelihatan, padahal tadi ramai di pinggir sumur ini.
"Kakak!" panggilnya.
Tak ada sahutan. Dia lihat lagi sekeliling, dalam
temaram dasar sumur. Betul-betul tak ada tali tadi. Apa yang sudah terjadi ini?
Kemana tali? Kemana kakak-kakaknya ?
"Kakaaaaak..." Yusuf memanggil lagi.
Lebih keras. Suaranya bersipongang dalam dasar sumur. Tak ada kepala menjulur
di atas sana. Dadanya mulai berdebar. Firasat tak baikmuncul.
Tanpa tali, mustahil ia naik ke atas. Ini curam
melebihi sembilan puluh derajat.
"Kakaaaaakk...!" Yusuf berteriak.
Frekuensi suaranya mulai khawatir. Sendiri dalam lubang tanah yang dalam. Rada
gelap. Hiiiiii......
"Kakaaaaaaaaak. Kakaaaaaakkkkk....."
Seperti berat oleh air mata. Nauzubillah.
Perlahan Yusuf sadar,
ia telah ditinggal sendirian. Tali domba sudah ditarik dari atas.
Kakak-kakaknya telah pergi. Pengkhianatan! Apa salah saya kak, katanya dalam
hati. Dan tetiba ia berteriak,"Ummiiiiiii........"
"Abiiiiiiiii............" Suaranya kembali bersipongan. Tapi,
siapakah yang akan mendengar? Batu di dinding sumur? Pasir coklat temaram?
Tidak, tidak satu orangpun di atas sana. Ya Tuhan,....
Di atas memang tak ada lagi orang. Sebab domba
sudah digirng kakak-kakaknya ke tempat biasa mereka
menggembala. Mereka meninggalkan Yusuf terkurung di dasar sumur dalam.
"Ternyata begitu mudah!" ujar kakak
sulung.
"Ya. Pangeran kecil itu telah selesai. Ia
habis!"
"Tapi Abi pasti marah!"
"Saya ingatkan kalian semua, jangan ada yang
menceritakan sebenarnya terjadi. Kita tetap pada kesepakatan bahwa Yusuf
dilarikan rombongan srigala!"
"Ya, na-am!"
"He , mana baju Yusuf tadi?"
"Ini!"
"Kita lumuri dengan darah domba. Pilih yang
kecil, saya yang potong!"
"Yang itu saja kakak!"
"Oke, tangkap, bawa kesini!"
Dan leher domba kecil itu menjadi korban berikutnya
dari persekongkolan mereka. Baju Yusuf memerah oleh muncratan urat darah di
leher. Domba kecil menangis, lebih parau dari teriakan Yusuf di dasar sumur,
belasan meter, di seberang bukit sana......
Seperti terburu-buru,
anaknya yang sulung diikuti adik-adiknya menangis menghiba dilutut Yakup.
"Adik kami ya Abiii, .....adik
kamiiii"
"Apa yang sudah terjadi. Apa yang menimpa
Yusuf? Mana dia?" Yakup masgul muram.
"Adik kamiii ya Abiii, adik kami yang
sangat kami kasihi, dilarikan srigala. Dua rombongan,, ketika kami mengusir
yang satu, rombongan lainnya merobek-robek adik kamiiiii, hu huuu huuuu."
Yakup blingsatan. Wajahnya kaku. Firasatnya akan
keselamatan Yusuf, menjadi nyata. Dilarikan
srigala di padang gurun tandus, dengan baju berlumuran darah, untuk ukuran anak
kecil, adalah naas tak terkatakan. Tentulah sisa tulangnya juga sudah
digunggung burung buas ke puncak bukit berbatu. Dagingnya tak bersisa.
Tulangnya menumpuk di mulut gua batu puncak bukit cadas. Ya Allah, Ya Tuhan. Ya
Allah,..Ya Tuhaaaaan.....
Lutut Yakup tiba-tiba lemas. Ia terduduk. Kedua
tangan ia tutupkan ke wajah. Dari jemarinya, air mata mengalir deras. Ya Allah,
Ya Tuhan, Ya Allah, Ya Tuhan.
Kematian anak, bagi orang tua, mungkin tak semua
orang merasakan kepedihannya. Anak sakit keras, bolehjadi semua pernah mencoba.
Pernahkah kita mendengar Vanny Vabiola meratap akan kematian anaknya dalam
lantunan Anak Sarugo? Ia melulung, seakan protes pada kehendak alam. Iramanya
pedih. Yakup, lebih dari itu. Sebab Yusuf, memberi tanda akan amanah kelanjutan
syariah dari Yang Maha Kuasa. Dan wajah Yusuf, ...Ooo....Ya Allah, Ya Tuhan. Ya
Rabbiiiiiiiii......
Malam ini ramai di
rumah Yakup dan istrinya. Tetangga semua bertakziah memberi empati, menghibur
dan membawakan makanan. Semua wajah terlihat berduka. Seluruh muka tunduk
menekur. Termasuk kepala semua kakak Yusuf. Sayang sekali kita tak dapat
melihat sinar mata mereka, sebab semua melihat ke bawah.
Beda halnya dengan kepala kecil di dalam sumur
nun di balik bukit melengkung luar sana. Kepala Yusuf justru hampir selalu
mendongak ke atas. Ia sudah menghentikan tangisnya, sebab tiada berguna. Ia kini berfikir bagaimana bisa
selamat dari posisi terjebak ini. Barangkali ada saja kepala yang menjulur ke
bawah di atas sana, entah itu musafir atau siapapun, atau mungkin Umminya
bersama Abi. Sayang, disaat gelap malam menyungkup, udara oksigen di dasar
sumur menipis, masih tak satu jua yang nongol. Sunyi sepi. Tak ada srigala. Tak
ada burung. Tak ada binatang apapun. Dingin. Memandang ke atas, adalah gelap
langit, dan satu dua bintang. Air! Ya Yusuf lapar. dan ada air. Ia minum
seteguk dua teguk. Lalu kembali mendongak ke atas. Andai cecak, atau
labah-labah, tentulah ia akan merayap di batuan pasir ini ke atas sana. Tapi
tidak! Ia anak lelaki kecil yang tak bisa apa-apa..... Menangis? Tidak! Itu
hanya akan memerihkan dada. Menyesakkan jantung. Dan bisa mempercepat kematian!
Yusuf belum mau mati. Belum. Ia ingin hidup. Ia berkhayal, bahwa matahari,
rembulan dan gemintang sujud dan bermain bersamanya... Tuhan, jika ada
sesedikit apapun sayangMu padaku, tolong hamba ya Tuhan, bisik hatinya. Sambil
menggigit bibir. Memandang ke atas. Menangis ia tak mau,....... tidak!
Capek, lapar, takut,
menyatu. Memagut diri, menghadang malam. Sungguh, dalam semua malam yang ia
jalani, inilah yang paling tak terduga. Ini berbeda sangat dengan malam dulu ia
bermimpi bersama bulan dan matahari. Ini mengerikan. Ini membunuh! Dan ia tak
mau! Ia lalu terduduk, tak lagi menoleh ke atas. Letih….. mengantuk, lapar dan
dingin. Adakah yang mau merasakan suasana tak berbaju dalam dasar sumur dan
oksigen menipis? Ah, hanya orang gila atau putus asa yang mau!
Lalu mata Yusuf
terpejam sendiri. Sudah tengah malam. Dalam tidur ia melihat matahari dan
rembulan tersenyum. Di antara mereka, muncul makhluk bersayap putih dengan
wajah bersih. "Ananda, maukah engkau ditolong Tuhan?" tanyanya.
"Bukan lagi mau, tapi dari tadi saya sudah
berdo'a…" jawab Yusuf.
"Pujilah Tuhanmu, lalu berdoalah, kata makhluk
putih bersih bersayap itu. Yusuf berdo'a. Komat-kamit.
"Aku ajarkan do'a ini. Bacalah. " ujar
makhluk itu senyum. Yusuf mendengar dan mengkuti.
"Wahai Pencipta segala yang tercipta
Wahai Penyembuh segala yang terluka
Wahai Yang Menyertai segala kumpulan
Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan
Wahai Yang Dekat dan tidak berjauhan
Wahai Penakluk yang tak
tertaklukkan
Wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib
Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati
Wahai Yang Menghidupkan yang mati
Tiada Tuhan kecuali Engkau,
Maha Suci Engkau
Aku bermohon kepada-Mu
Yang Empunya Pujian
Wahai Pencipta langit dan bumi
Wahai Pemilik Kerajaan
Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan
Aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad
Berilah jalan keluar dan
penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala
kesempitan
Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari
tempat yang tidak aku duga."
Setelah itu makhluk tersebut hilang terbang. Yusuf
terbangun. Cahaya fajar terlihat di atas. Keringat dingin mulai terasa di
badannya. Apakah ia demam? Tidak Tuhan, saya tak mau sakit. Saya ingin
keluar,...Saya ingin selamat, saya ingin memeluk ummi dan abiii….
Perlahan langit
berubah terang. Ini sudah hari yang baru! Dan ia masih hidup! Terimakasih ya
Tuhan, walau lapar, tapi ia masih terduduk. Termangu.... Bisakah tanah coklat
berkerikil ini dimakan? Atau cukuplah dia menelan ludah berkali-kali?
"Asyiiim!!!! " Yusuf bersin. Peluh dingin mulai kering. Langit
berubah jadi membiru. Seteguk-duateguk air membasah di kerongkongan.
Ummiiiii,,.....lapaaaarrrr,...
Tiba-tiba ada suara gaduh di atas. Entah itu
seperti telapak kaki unta. Kemudian terdengar suara
berbicara. Tidak jelas. Namun menghidupkan nyali!
"Abiiiiiii,........!!!" semoga itu adalah
bapaknya. Berharap ada yang menjulurkan wajah. Di atas sana, di bibir sumur.
Dan betul! Sebuah kepala menonjol. Melihat ke bawah. Lalu ia menelisik heran.
Kemudian memanggil temannya. Kini ada dua kepala menengok ke bawah, ke arah
dia.
"Tolong hambaaa,...." jeritnya.
Lelaki di atas segera menyadari, ada anak kecil di
dasar sumur. Nun, di dasar yang gelap. Ia segera menurunkan timba yang dia
ambil dari bungkusan di punuk unta, dan mengulurkannya ke Yusuf, perlahan.
Yusuf menanti penuh harap. Ember itu berjalan perlahan ke arahnya. Begitu
sampai di ubun-ubunnya, ia pegang.
"Pegang kuat-kuat nak. Kami tarik!" ujar
dua lelaki di atas sana. Yusuf memegang tali. Dengan sisa tenaga yang ada.
Telapak tangannya memerah. Memerah dan membiru. Sisa dingin dan entah masuk
angin juga. Tapi harapan akan selamat, membuat jantungnya bergetar kencang.
Tuhan menolongku, Tuhan menolongku,...desisnya. Dengan kaki bertelekan di
dinding sumur, akhirnya ia teronggok di bibir sumur. Memeluk kaki lelaki tinggi
besar yang menolongnya.
"Syukran ya bapak, syukran," ucapnya
lemah.
Lelaki berdua itu pedagang Arab ke Mesir. Dan
bahagia hatinya berlipat sebab tak hanya bisa menolong seorang anak manusia,
tapi anak lelaki tampan ini bisa menjadi sumber fulus di Qahirah besoknya. Di
Jazirah Arab, mendapatkan anak jalanan, adalah harta budak. Mereka bisa menjual
di pasar pada yang membutuhkan. Zaman Rasul saw, Bilal adalah salah satu
contoh. Budak belian dari Abu Umayyah. Sekarangpun, jika mau jujur,, budak
masih ada, tapi berubah nama ,menjadi 'human trafickking'. Budak Singkawang
bisa mahal di Merauke. Budak Jawa Barat bisa berharga di Batam. Begitulah
struktur sosial, tak banyak berubah. Dan profil seperti anak lelaki yang
diperoleh dari dasar sumur ini, mungkin tinggi harganya di Mesir.
Mudah-mudahan!
Yusuf belum sadar
sepenuhnya apa yang terjadi. Malam kemarin ia masih tidur dekat Ummi dan Abi.
Malam tadi ia tak tidur sepenuhnya, di dasar sumur. Kini, mendekati malam
ketiga, ia seperti menikmati hidup yang baru lagi. Dipeluk Ali Bayi' di antara
dua punuk unta, jalan bergelombang-gelombang menuju Qahirah. Qahirah? Itu
sebuah daerah yang pernah dia dengar dari Abi, yang penduduknya ramai dan maju.
Ada raja di sana. Ada bangunan tinggi runcing juga. Bahkan ada patung seperti kepala singa. Ooo....
Tuhan memberinya pelajaran. Di rumah dalam
lindungan ummi dan abi, tapi tak melihat apapun selain halaman dan kandang
domba serta tungku roti khabis. Kini ia menjadi budak peliharaan pedagang, naik
turun seperti gelombang laut di punggung unta. Belum pernah ia ada di atas
hewan tinggi ini. Kadang ngeri juga. Tapi tangan kiri Ali Bayi' memeluknya
dengan kokoh. Yusuf merasa aman. Bahkan tadi ia diberi makan roti, kurma dan
ikan kering.Begitulah, perjalanan nasib kehidupan, naik turun. Ia mulai
belajar. Bagai teri kecil, kini ia mulai dihempas ombak....
Besoknya lagi mereka
bertiga sampai di semenanjung At Taufiq, dekat area Al Suus. Betapa Yusuf
melihat keuletan dalam kehidupan pedagang. Mereka berani menempuh perjalanan
jauh. Siang dan malam. Membawa barang untuk dijual. Menyangkutkan sebilah
pedang di pinggang. Itu heroik sekali. Yusuf kagum. Hidup berhemat dengan
bungkusan makanan, membawa barang dagangan, dan siap berkelahi dengan apapun di
perjalanan. Gurun tandus berbatu, terkadang kejam, walau lambaian daun
kurmanya, di langit biru, terlihat indah.
Besoknya lagi mereka mulai masuk perkampungan. Mulai ada yang bertanya, membawa
dagangan apa. Ali Bayi' dan sepupunya, melayani dengan ramah. Yusuf terus
mencermati. Kadang Ali Bayi' senyum padaanya. Yusuf malu. Ia menunduk.
Bolehjadi Ali Bayi' merasa aneh, keluarga macam apa yang begitu serampangan
membiarkan anak lelaki segagah ganteng begini, terbiar semalaman dalam sumur
hampir mati.... Dunia, kadang memang aneh. Penuh rahasia. Tuhan saja yang Maha
Tahu setiap gerak yang ada di bumiNya.
Pasar Qahirah terletak di pinggir sungai Nil. Orang-orang
datang dari hulu dan muara. Kota Qahirah pun ramai penduduknya. Negri ini
dipimpin seorang raja , Al Aziz, yang memiliki istri muda cantik, Siti
Zulaikha.
Ali Bayi' memarkir untanya dan segera menawarkan
dagangan di pasar itu. Ada sutra, ada penutup kepala dan lain-lain. Lalu, Yusuf
dia suruh duduk di sampingnya. Kepada orang-orang dia kabarkan, bahwa lelaki
belia yang dia bawa adalah budak yang akan dijual 300 hidj. Sangat mahal.
Tapi orang-orang datang menawar dagangannya sambil
melirik ke Yusuf. Terutama ibu-ibu. Namun begitu mereka tau, budak elok itu
harganya 300 hidj, mereka patah harapan, terlalu mahal. Sampai akhirnya di
istana kabar tentang budak mahal itu didengar oleh Siti Zulaikha, yang telah
bertahun menikah dengan Al Aziz, namun belum dikaruniai anak semata wayangpun.
Ia terinspirasi untuk melihat budak belian yang dikabarkan begitu mahal itu.
Sekali tatap saja Siti Zulaikha sudah berdegup.
Padahal Yusuf tak tau jika ia sedang diperhatikan petinggi negri yang ke pasar
bersama pembantunya. Tiga ratus hidj segera berpindah dari tas Siti Zulaikha ke
kantong Ali Bayi'. Dan Ali Bayi' pun menerima duit logam itu seakan tak
percaya. Matanya bercahaya melihat tumpukan uang logam yang diterima.
Sepupunyapun, ikut sumringah. Tentu saja dengan ikhlas ia lepas anak kecil
penghuni sumur bukit melengkung itu pergi dengan majikannya yang baru.
Tigaratus hidj! Bayi' senyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara Yusuf
menunduk dituntun pembantu Zulaikha menuju istana dengan unta yang teramat
jinak. Entah pelajaran apalagi yang akan diberikan Tuhan kepada Yusuf. Tidak
taulah! Yang jelas ia mulai faham, kemenyatuan hati dengan Tuhan, kegigihan,
kejujuran, menolong sangat dalam hidup dia yang masih belia ini. Terserah Tuhan
sajalah,...... Bagai sepeda, kita hanya mengayuh, Tuhan yang pegang
stangnya.....
Unta
yang membawa Siti Zulaikha dan Yusuf yang dipegangi pembantu, berjalan
beriringan. Menuju timur sungai Nil. Ke istana. Siti Zulaikha, entah kenapa
sedari tadi memandang terus ke Yusuf. Mungkin kini ia bisa bahagia, punya anak
angkat,...
"Siapa namamu nak?" tanya Zulaikha.
Yusuf tak berani menatap. Ia hanya menjawab
pendek,"Yusuf..."
Inilah bedanya hidup merdeka di rumah abi dan
ummi. Yusuf bisa melihat wajah abi dan ummi jika bercengkrama setiap hari.
Sekarang, ia menjadi teramat kecil sebesar debu.
Budak belian! Jangan kan mendongakkan kepala, bicaranya saja ia atur pelan.
Seakan tak terdengar.
"Siapa sayang?"
"Yusuf."
"Oh, Yusuf. Bagus sekali. Yusuf boleh panggil
bunda dengan Bunda Siti ya. Bunda Siti Zulaika..."
"Ya Bunda," Yusuf tetap menunduk.
Menjawab pelan.
Siti Zulaikha makin penasaran. Bagaimana bisa,
pemuda belia dengan wajah bagai pangeran ini diperjual belikan di pasar
Qahirah?
"Memangnya orang tuamu dimana Yusuf?"
"Jazirah Falistin, Bunda."
"Oh, jauh ya. Tentu Yusuf sudah berjalan tiga
hari tiga malam ke sini. Nanti di istana bunda siapkan makanan, pakaian dan
kamar yang baik. Yusuf kini jadi anak Bunda ya!"
"Iya Bunda."
Ah,..
Sesampai
di istana, Siti Zulaikha langsung menyuruh pegawai menyiapkan makanan, pakaian
dan kamar. Tentusaja pelayan istana segera manut patuh. Sebab Siti Zulaikha
bilang, ini Yusuf, anak Bunda Siti, baru datang dari Falistin.
Bunda Siti memberinya pakaian yang bagus. Baju
bekas kedodoran yang dikasi Ali Bayi' kini bertukar pakaian bagus rapi. Yusuf
memang keren abis !
"Sini anak Bunda. Diolesi wangian!"
Siti Zulaikha memoleskan harum-haruman ke pundak dan lengannya. Ya Tuhan, wanginya! tak pernah ia mencium bau ini di rumah Abi
dan Ummi. Yusuf kini seperti boneka muda, sepuluh tahunan. wajahnya rupawan.
Bingung. Dan Bunda Siti segera memeluk dan mencium pelipisnya, "Aduh
sayang Bunda! Ayok makan..."
Handeh!
Pelayan pegawai istana juga gembira. Siapa tau,
dengan kehadiran 'anak' Bunda Siti ini, mereka akan lebih mendapat perlakuan
ramah, baik dan sejahtera. Iya kan?
Dijamu di meja
makan dengan juadah lengkap. Ada nasi kebuli ada roti khubz. Ada ikan segar ada
daging kambing. Ada bermacam sayur masak maupun lalapan. Ah, Yusuf termenung.
Perjalanan hidup beberapa hari terakhir betul-betul seperti pelangi, warna
warni, naik turun. Disayang, dikhianati, ditinggal, ditolong, dijual, dan kini
dimanja mewah. Tuhan, bagaimana hamba hendak bicara denganMu, bisik batin
Yusuf.
Sore hari
Raja Al-Aziz pulang dengan rombongannya. Menunggang kuda putih dan coklat. Para pegawai istana segera menyambut dan
mengurus kuda-kuda itu. Al Aziz turun dan segera diseret tangannya oleh
Istrinya, Siti Zulaikha.
"Kanda, sini lihat di kamar belakang, kita
dapat anak angkat..."
"Ow, anak?"
"Ya. Keberuntungan pagi tadi. Budak dari
falistin. Bersih dan lugu!"
Mereka masuk ke kamar Yusuf. Apalah yang akan
dikatakan Yusuf? Menyapa? Dia akan panggil apa? Aduh, salah tingkah beneran.
Gugup.
Untunglah Raja Al Aziz mendekatinya dengan ramah. Memegang
kepalanya di ubun-ubun. Mengusap-usap.
"Namamu Yusuf?"
"Iya Tuan. Iya Tuan Raja."
"Yusuf, kamu boleh panggil saya dengan
Ayahanda saja. Oke?"
"Ya,...ya Ayahanda!"
Aduh, sungguh tak terbayangkan ada bangunan megah
begini, kamarnya banyak, ruangnya lapang, bersih, makanan enak, dan penghuninya
baik sekali. Surgakah ini?
Kehangatan kasih
sayang ibu angkatnya, Bunda Siti, sesaat membuat Yusuf bahagia. Kamar yang
luas. Baju yang bagus. Makanan enak. Perhatian yang penuh, karena ia menjadi
anak tunggal di istana yang megah ini. Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagi yang
akan disangkal? Tak ada!
Tapi kalau
boleh jujur, aura sayang Ummi dan Abi, dalam kesederhanaannya, sungguh terasa
murni. Fitri. Suci. Tak kurang tak lebih dan apa adanya. Dengan Ummi, kena
marahpun, terasa indah. Betul, sungguh.
Di bangunan megah ini, Yusuf belajar menjadi orang
baik yang tidak mengecewakan. Membahagiakan Bunda dan Ayahanda. Maka tak ada
satu aspekpun yang bisa ia asah, selain kepintaran. Kecerdasan. Kearifan. Roman
muka nan elok, suatu saat toh akan tua juga.
Itulah sebabnya,
ketika hari-hari berikutnya Bunda bertanya , ia angin apa, maka Yusuf minta
diberi guru spiritual, serta mushaf-mushaf ilmu pelajaran. "Wahai anak
bunda, itu mudah buat bunda penuhi. Sore ini pun, guru spiritual akan
membimbingmu. Mushaf apapun yang kita punya boleh engkau pelajari." jawab
Bunda Siti. Kepala Yusuf diusap-usap penuh kasih. Aroma wewangian Bundanya,
menusuk hidung. Yusuf merasa tentram.
Lalu suasana
istana, berubah menjadi ceria. Bunda Siti kini punya anak. Tak sekedar punya,
tapi sudah remaja kecil. Dan lagi, wajahnya tampan rupawan. Boelhjadi kita lupa
dengan deraan masalah jika terpandang roman mukanya. Subhanallah.
Raja Al Aziz
pun terkena dampak. Ia terlihat lebih sumringah. Pagi-pagi hari, ia sudah mandi
dan bersisir rapi. Entah apa yang berubah di kamar peraduan, kita sungkan malu
juga untuk menyelidiki. Bagi umumnya laki-laki, kebahagiaan itu sederhana saja. Seluruh harta silakan ambil bagi yang berhak,
asalkan ia disayang dan dibantu membersihkan diri. Maaf, paragraf ini, cukup!
Bunda Siti
Zulaikha pun kini berubah jadi hangat. Ia ramah dengan sesiapapun. Sedekahnya
makin banyak. Ceria.
Maka pegawai istana melihat Raja dan Bunda Siti bagai pengantin baru kembali.
Tak hanya
sampai disitu, setiap pelayan istana, mulai bulan depan akan mendapat tambahan
jatah satu karung gandum untuk keluarga mereka. Efeknya, Yusuf menjadi lebih
disayang oleh semua . Ia seperti makhluk pembawa berkah.
Itulah sebabnya
Yusuf sering dapat oleh-oleh dari pegawai istana. Ada yang memberinya buah
delima. Kala lain, ia dihadiahi pisang yang ranum. Tak jarang juga ada yang
mengasih mushaf lama yang tersimpan di rumah penduduk. Semuanya, mencukupi
kehausan Yusuf pada kasihsayang dan ilmu pengetahuan. Kadang-kadang guru
spiritualnya mengajak berjalan ke lahan pertanian pinggir sungai. Memperhatikan
petani menanam jagung, kedelai dan gandum. Ikut memetik buah kurma. Serta
menunggang keledai yang kecil jinak.
Bercengkrama dengan petani kecil itu, di sawah ladang mereka, ternyata memilki
kenikmatan tersendiri. Yusuf senang jika mata para petani dan anak-anaknya
ceria, berbincang-bincang.
Di waktu lain, ia diajak berjalan ke pinggiran
sungai Nil. Melihat perahu hilir mudik. Sibuk membawa penumpang dan barang
dagangan. Jika mereka tahu, bahwa yang melihat mereka di pinggir sungai adalah
Yusuf dan gurunya, mereka akan melambaikan tangan sambil berteriak,"Salam
untukmu wahai Yusuuuuuf!!" Yusuf dan gurunya membalas dengan melambaikan
tangan juga. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo!
Biasanya
sepulang dari berjalan itu mereka juga dioleh-olehi oleh penduduk. Rezki
mengalir dari mana-mana. Bukan tentang kuantitasnya, tapi mengenai keikhlasan
senyum yang memberi.
Syukran ya akhiii, syukran!!
Ini
adalah fenomena umum yang terjadi pada makhluk apapun. Jika gizi bagus, makan
teratur, santapan ilmu dan rohani juga diasupi, maka badan menjadi bongsor. Hal
yang sama terjadi pada Yusuf. Kehidupan istana yang megah berkecukupan,
membentuk tubuh Yusuf menjadi berubah cepat. Tinggi besar, putih semampai.
Hidung mancung mata cemerlang bersinar. Bibirnya kemerahan alami. Senyumnya
meruntuhkan kalbu.
Maka kini, setelah beberapa tahun, pelayan
pegawai istana yang perempuan mulai menunduk
malu-malu jika bertemu Yusuf. Khayal mereka jika di belakang Yusuf, jauh.....
Tak terkecuali Bunda Siti. Ia mulai menyadari Yusuf
sudah akil balig. Tak lagi ia spontan memeluk kepala Yusuf dan mencium
pelipisnya. Jika pegawai istana hanya mampu berkhayal, maka Bunda Siti,
memiliki 'power' untuk lebih dari sekedar berkhayal. Ah, bagaimanalah hendak
menuliskannya.....
Matahari
mulai meninggi. Al Aziz sudah pergi. Memimpin dan mengelola negri. Di kamar
peraduan, terduduk Bunda Siti. Di difan mewan empuk, beralas tebal. Duduk
bertelekan ke dua tangannya. Kemudian, ia memijit-mijit keningnya. Pusing?
Entahlah. Ada yang tak tertata rapi di hatinya.
Barusan, dari jendela kamar, di balik tirai keemasan, ia lihat Yusuf tengah
berada di taman. Memperhatikan dengan serius bunga matahari. Adakah Yusuf
melihat serangga penyerbuk? Atau lebah kecil tak menyengat,
yang sering hinggap di serbuk sari dan berpindah ke kepala putik? Di kumpulan
lidah-lidah kuning, bunga matahari mekar pagi? Tak taulah.
Hanya saja, ketika ia hendak merunut keluar, ke
taman, ia lihat Yusuf sudah masuk. Sekilas nampak melangkah di pintu biliknya.
Sisi pipi, hidung, dagu dan balakang telinga Yusuf terlihat bersih putih. Putih
merekah bagai buah delima retak. retak dan terbelah. Putih mengkilap bercampur
merah muda. Bunda Siti tersirap. Ia segera mundur ke dalam kamar, khawatir dia
Yusuf tau, Bunda memperhatikannya.
Di pinggir difan, kini ia memijit - mijit kedua
sisi keningnya. Ada yang tak beres dalam pergulatan di dadanya. Aduhai dunia,
putih bersih, hitam jahat, kelabu, dan menghentak-hentak. Bunda Siti makin
mengeraskan pijitannya. Rasa bersalah muncul pada Kanda Al Aziz. Inspirasi dosa
mekar dan terbentur Tuhan. Bunda Siti kini menekur. Menutupkan kerudung pada
seluruh kepalanya. Plak! Kedua telapak tangannya, tiba-tiba menepuk pahanya.
Bunda Siti, ada apa denganmu?
Mengapa
gundah hadir menjelang?
Kenapa hati bisa terguncang?
Apa sebab mata cemerlang?
Dari mana gemas ini datang?
Eh, bukankah Yusuf itu anak angkatku?
Dan Al-Aziz suamiku?
Entahlah,...
Bunda Siti beranjak ke kaca besar di dinding
Duduk menatap wajah lama
Mengambil sisir dan merapikan rambut
Aku cantik,
menarik,..
Bahkan merontokkan hati Raja Al Aziz, deisnya.
Segera ia mengintip ke ruang tengah.
Pintu kamar Yusuf tertutup rapat.
Tapi, lihat..
Pelayan mendekati pintu Yusuf membawa baju bersih
dilipat.
Bunda Siti segera keluar, memintas langkah pelayan
manis,
"Bunda saja yang kasihkan ke Yusuf, ..."
cegahnya.
Lipatan pakaian berpindah ke haribaan Bunda. Dan
kini ia memanggil Yusuf untuk menerima. Pintu kamar terbuka. Yusuf menjelma.
Berdiri menunduk mennyambutnya. Namun tetap tak beranjak dari sana. Sampai
Bunda melangkah kembali, ke kamarnya. Dan pintu Yusuf tertutup. Dari dalam.
Glap!
Besoknya
Raja Al-Aziz tak pergi jauh. Ia hanya melakukan konsolidasi dengan bawahannya
di kantor seberang istana. Tapi bagi bisikan hati Siti Zulaikha, itu sudah
cukup. Bagaimanapun, kesempatan kembali untuk mendekati Yusuf. Bukankah Yusuf
itu adalah budak yang ia tebus beberapa tahun lalu? Akan beranikah ia menolak
kehadiranku ? Tidak! Ia selayaknya patuh pada petinggi istana. Ia tak boleh
melindungi diri! Dia milikku, tigaratus hidj!
Maka begitu Al Aziz brangkat, tiai gorden ruang tengah, kamar dan ruang tamu segra ditutup Siti.
Ia pun bersolek dan memakai pakaian paling menarik, sesuai bisikan energi
bergejolak dalam tubuhnya. Boleh jadi kini denyut jantungnya naik ke 70 kali
permenit dengan tekanan darah 140. Hingga tak sempat fikiran bersihnya berbisik
lagi. Maka masuklah ia ke kamar Yusuf. dan taukan kita, Yusuf itu pemuda belia,
bujangan, dan punya libido juga?
Bukankah sudah
banyak orang membuat nasehat pengajaran..... Bahawa rasa cinta kasmaran asmara
rindu itu, membutakan fikiran. Menghilangkan kebersihan hati pertimbangan.
Apalagi jika ia berada dalam hati penguasa. Ingat janda Macetung pernah
berujar? Kekuasaan itu lebih mengasyikkan dari hubungan lawan jenis. Sebab
dengan kekuasaan kita tak hanya dapat harta dan penghormatan, tapi sex
sekaligus!
Lalu hilanglah fikiran. Terbitlah angkara. Tak lagi malu mengetukpintu kamar
Yusuf. Tiada lagi sungkan memakai baju seronok.
Hilang rasa, dan duduk menghampiri pemuda gagah putih bersih itu, sambil
mencari alasan, untuk komunikasi,"Anakku Yusuf. Ssst jangan takut.
"BUnda" ingin mendengar pendapatmu, bagaimana sekiranya gaun ini
bunda pakai pada pertemuan ibu-ibu pejabat istana minggu depan?" Itulah
alibi yang keluar dari otak yang sudah tak lagi bersih. Memudar. Kelabu.
Yusuf, makin
disuruh jangan sungkan, malah makin gugup. Tapi ia surprise juga melihat
tampilan bundanya yang agak anu, pagi ini. Anu itu maksudnya 'anu'. Ah,
udahlah!
Inginnya
Bunda, Yusuf itu tanggap terhadap gelora yang membuncah di kepalanya. Serba
instan. Tapi tidak. Yusuf belum tau apapun. Apalagi, di kuduk Yusuf tiba-tiba
terasa ada remang bulu dingin. Seakan remang dulu dia terjebak dalam sumur di
oase bukit melengkung, nuuun di kampungnya , Falistin.
Dingin kuduk itu, membuatnya sadar, bahwa ia
bukanlah siapa-siapa. Jika tersalah langkah, hancurlah dia. Amarah Tuhan
bolehjadi akan datang. O tidak! Tidak!
Namun organ glandula Bunda Siti yang menyentuh lengan di atas siku, karena duduk
terlalu rapat, juga tak ayal, membuatnya bagai lelaki bujang perantau yang
ingin tau. Ingin mebuka misteri kehidupan. Maka tercampaklah Yusuf di sudut
kekakuan dengan kuduk mendingin.Ya Tuhan,....
Siti Zulaikha bukan tiipe yang mudah menyerah. Al
Aziz saja dia tundukkan! Maka digeretnya tangan Yusuf ke kamarnya. "Sini
Yusuf. Sini,. Bunda tunjukkan pakaian yang lain, nanti engkau bisa memilihkan
untuk Bunda, yang terbaik!"
Kekuasaan. Tekanan darah 140. Denyut jantung
70/menit. Membuat Yusuf bagai kerbau dicucuk hidung. Menuruti helaan tangan
bundanya. Ke kamar Ayahanda. Ah, ini riskan!
Helaan tangan Bunda Siti ini, membuat Yusuf
teringat ketika pertama dulu ia hadir di bangunan megah luas besar ini. Saat
itu, tangan Ayahandanya dia hela, agar bertemu Yusuf di kamar. Lalu masuklah Al
Aziz ke kamarnya, mengusap kepalanya. Helaan itu, adalah dominansi! Yusuf tak
suka begitu. Ia adalah tipe orang yang mengkhayalkan keikhlasan, kesetaraan,
keindahan yang dibangun dua pihak. Bukan tarikan , kekuasaan, seperti dulu di
pergelangan Al Aziz, dan kini di pergelangannya. Itulah yang membuat ia
berpaling.
Mungkin posisinya adalah sebesar debu di atas
tunggul. Kecil dan mudah tertiup angin. Budak belian 300 Hidj. Tapi untuk yang
satu itu, ia bukan tipe yang bersedia didominasi. Dingin di kuduk dan
didominansi itu menyebabkan Yusuf tak tertarik dengan model baju lain, yang
akan ditunjukkan Bunda Zulaikha. Ia memilih keluar dari kamar yang tirai gordennya
telah ditutup ini.
Ooo, itu membuat darah Zulaikha mendidih. Siapa
yang pernah membelot dari kehendaknya selama ini? Tak satupun. Lantas, Yusuf
belia ini, hendak keluiar dari kamar wangi empuk ini? Cih!
"Yusuf!" sambil meloncat dari tempat
tidur, ia Tarik badan Yusuf. Namun bukan badannya yang terpegang, cuma bajunya.
Yusuf melihat tak ada kesempatan lain untuk keluar selain saat ini. Oleh sebab
itu ia memaksa untuk keluar. Dengan melangkah cepat.
Tarikan itu, membuat bajunya robek. Di punggung.
Persis di saat yang sama , Ayahandanya, Al Aziz , yang entah karena apa, berada
di pintu kamar. Ya Tuhan. Mampus ana…..
Al Aziz
terkejut. Tak menyangka Siti dan Yusuf dalam kamar. Sementara pintu jendela
serta tirai tertutup. DEngan muka merah, ia bertanya dalam suara berat,"He
ada apa ini?!" Demi mendengar suara Raja begitu, beberapa pengawal segera
datang. Pengawal, tak akan sudi, Raja terusik sedikitpun. Kesetiaannya total,
seratus persen. Raja, pengawal, berdiri di pintu. Siti di dekat difan. Yusuf
menekur di depan Al Aziz.
Di situasi
inilah keunggulan Zulaikha dibanding Yusuf. Zulaikha mampu berubah mimik gesture dalam bberapa detik. Sedangkan
Yusuf, membutuhkan satu menit untuk mengembalikan asa fikiran. "Kanda
lihat sendiri, kelakuan Yusuf sekarang. Ia berani masuk ke kamar kita dan
berusaha berbuat tak senonoh. Untunglah dinda bertahan dan kanda segera
datang!"
Al Aziz mengalihkan pandang ke YUsuf. Menelisik
roman muka pucat pasi itu. Dengan mengingat pertolongan Tuhan yang selalu
muncul disaat ia membutuhkan selama ini, Yusuf menegakkan kepalanya. Memandang
mata ayahandanya, Al Aziz. Memancarkan kelurusan hati dan aura jujur. Menggigit
bibir, dan menggeleg-gelengkan kepalanya. Melakukan gestur menafikan ucapan
bundanya. Secara kejiwaan, Al Aziz dapat meangkap pesan di binar mata Yusuf.
Namun, ini sudah kadong diketahui pengawal. Adalah aib, jika tersebar berita,
Bunda Zulaikha menjahili anak angkatnya sendiri.
"Pengawal, panggilkan Tuan Guru." kata Al
Aziz. Beliau adalah guru spiritual yang juga membantu membimbing Yusuf dalam
keseharian. Beberapa menit kemudian, Tuan Guru datang, dan Al Aziz menceritakan
kejadian yang menimpa istri dan anak angkatnya.
Tuan Guru merenung. Menatap sekilas dengan mata
setengah terbuka pada wajah Zulaikha. Lalu berpindah pada Yusuf. Mengamati
gesture mimik Yusuf. Tuan Guru kemudian memegang baju Yusuf yang seperti tak
rapi. Betul, sobek di punggung. Tuan Guru mengangguk-angguk. Lalu berbisik pada
Raja Al Aziz, "Baju Yusuf sobek di blakang, maka Tuan Raja bisa menebak
siapa yang merekayasa bencana ini. Namun untuk kebaikan imej keluarga istana,
Yusuf harus disingkirkan."
Begitulah keputusan Raja. Yusuf dipenjara. Walau Al
Aziz menyimpan luka. Inilah Dunia! Anak muda tampan, skenario Tuhan untukmu
masih berlanjut....
Hari-hari
berlalu. Tak ada lagi Yusuf di istana. Kamarnya tertutup kaku. Sepi. Senyum
merekah delima, hilang. Belia berbudi pekerti itu, kini tertimpa kondisi yang
tak terduga. Menikmati penjara.
Siti Zulaikha termangu. Barusan, suaminya Al
Aziz berangkat mengurus negara. Cium tangannya ke suami, biasanya dibalas
usapan di kepala. Tapi sejak musibah kemarin dullu, tak ada lagi usapan di
kepala. Hilang, ....
Pelayan istana pun brubah wajahnya. Dari
sumringah, kreatif menjadi kaku. Mereka menjaga
diri, jangan sampai menjadi bahan tumpahan kemarahan Siti Zulaikha. Sebab BUnda
Siti, terlihat sensitif kini. Dia sedang menjaga imej, bahwa ia bukanlah
perempuan nakal, yang begitu mudah terbawa angan. Tak mampu menahan hati.
Padahal, Yusuf, adalah 'anak' dia sendiri. Terkadang, bisik-bisik pegawai
istana, bisa saja dimaknai Zulaikha, tengah membicarakan kelakuannya. Huh!!
Dalam pandangan sayu, Zulaikha memutar otak.
Pertemuan ibu-ibu pejabat besok, harus ia manfaatkanuntuk ajang membersihkan
diri. Ibu-ibu sosialita, bisa saja manyun-manyum mulutnya menuduh dia
keterlaluan. Dan itu pedih! Itu character-assasination! No!
Kue
Basbousa adalah khas Mesir. Kini menjadi ikon timur tengah. Cara membuatnya
adalah dengan mencampurkan gula, tepung semolina, kelapa kering, yoghurt,
baking powder, dan telur hingga merata.Lalu dituangkan ke cetakan dan taburi
kacang almond.Kemudian dipanggang di tungku panas,selama 30 menit. Setelah
matang, angkat dan potong kue sesuai selera. Cukup ringkas kan? Itulah topik
pertemuan ibu-ibu sosialita istana tengah hari ini. Siiti Zulaikha menyiapkan
semua bahan dengan cukup. Diantara ramainya mulut
perempuan dengan topik bicara mereka berkelompok, akhirnya kue itu masak juga.
Ditempatkan dalam piring porselen yang mahal. Dibagikan semua ke ibu-ibu. Dan
Siti Zulaikha memberi pengantar,"Teman-teman semua yang teramat cantik dan
baik; tibalah saatnya kita menikmati kue masakan kita hari ini. Di depan
ibu-ibu sudah tersedia kue panas lengkap dengan pisaunya. Kita segera
mengirisnya dan menikmati juadah yang nikmat tiada tara ini. Demi kerajaan
Mesir dan rakyatnya yang sejahtera, mari kita mulai!"
Sepertia biasanya ibu-ibu, mereka segera mengambil
dan memotong kecil-kecil. Kacang almond, sungguh seakan memanggil-manggil untuk
digigit. Wuih!
Namun perhatian mereka terganggu sejenak. Sebab
pintu ruangan sebelah kiri, yang tadinya tertutup, tiba-tiba terbuka. Cahaya
memancar dari ruang sebelah sana. Tidak. Tidak hanya cahaya. Tapi juga seraut
wajah tampan, bersih, menawan. Instinktif, ibu-ibu itu terpesona. Lebih dari terpesona;
terpana. Ternganga, bahkan. Dan , semua mereka yang sedang mengiris kue,
sungguh, tak sadar, mengiriskannya ke pangkal jemari empu, bahkan sampai
pergelangan tangan kiri. Saking kesadaran mereka terbius. Malaikatkah yang
lewat dari pintu kiri itu, dan kini melangkah ke pintu sebelah kanan dengan
agung? Bukan. Bukan malaikat. Dia Yusuf. Yang disuruh Siti Zulaikha untuk hadir
sesaat dan berjalan di acara ibu-ibu pejabat sosialita kerajaan.
Astaghfirullah; saat Yusuf berlalu di pintu kanan, darah telah mengucur dari
jemari dan pergelangan ke kue Basbousa nan renyah. Siti Zulaikha mengatupkan
bibir. Mengerti kalian sekarang?, desisnya.
Setelah kejadian
itu, Yusuf kembali dibawa pengawal ke sel penjara. Bergabung dengan beberapa
orang, yang menurut istana, memiliki kesalahan. Maka berlanjutlah penempaan
batin mental Yusuf. Jika boleh diceritakan, hidup di penjara, baginya taklah
seberat terkurung di dasar sumur tengah gurun. Di dasar sumur, dengan umur
masih kecil, tanpa baju, sendirian, kedinginan, gelap, sepi, minus oksigen, oh,
adalah penyiksaan yang mengerikan. jangan sampai terulang !
Di penjara, ia masih bisa berbincang-bincang dengan
tahanan lain. Diperbolehkan membaca mushaf. Diberi makan teratur, walau
seadanya saja. Di penjara, ada sesuatu yang tidak ia dapatkan dibanding istana
megah. Keleluasaan,.... Keakraban dengan teman senasib.
Berbanding terbalik dengan Siti Zulaikha, istana
terasa menyesakkan, kini. Takada lagi 'anak' . Sepi dari wajah belia tampan .
Dan terasa beban, melihat tajamnya tatap mata Al Aziz.
Jadi manakah yang lebih enak idup di istana atau di
penjara?
Ah,... dia
harusnya mohon maaf sungguh - sungguh pada suaminya itu. Jika tidak, suasana
yang 'karunyak sumuk tak berketentuan' ini, bisa menimbulkan tekanan bathin berkepanjangan.
Itulah sebabnya, malam ini, ia setelah mandi keramas bersih-bersih, memakai
pakaian yang bagus, menundukkan badan dan mencium tangan suaminya, agar
dimaafkan sgala keteledoran! Al Aziz itu bijak. Dia cepat luluh. Mudah
memaafkan. Hingga, dipeluknya Siti Zulaikha dengan erat, lama....
Teman, jika kita
sudah beberapa hari, berminggu dan bulan di penjara, kita mulai tak
merasakannya. Kita teraklimatisasi, teradaptasi. Kita hidup dengan kebiasaan.
Dan ada sahabat-sahabat baru, yang terkadang tak mencerminkan bahwa dia
berakhlak jelek. Bolehjadi, sebagian orang memang tak berniat untuk terpleset
masuk bui sel. HIngga, di dalam, kefitrahan kemanusiaan, muncul apa adanya;
walau tak jarang di film-film, kekasaran dan keganasan dipublikasikan di komunitas
pemsyarakatan itu.
Yusuf kini
menikmati hidup barunya. Dengan teman-teman seperti Abul Ma’i dan Ali Qurm.
Mereka sering berbincang dan bertukar fikiran. Abul Ma’I dan Ali Qurm, mulai
merasa , Yusuf ini, mungkin tersesat, masuk penjara. Sebab, tak sedikitpun cela
dalam tingkah lakunya. Bahkan, maaf, ia berkepribadian mulia. Bersama Yusuf,
hari-hari mereka terasa hangat, indah dan tak terasa berlalu.
Sampai
informasi yang sifatnya rahasiapun, oleh Abul Ma’I dan Ali Qurm, diceritakan
semua ke Yusuf. Seakan Yusuf sudah menjadi saudara, atau adik, dan terkadang
bagai orang tua mereka saja. Begitulah.
“Yusuf,
semalam ana bermimpi, bahwa ana memeras anggur". Dan yang lainnya berkata:
"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya
dimakan burung. Berikanlah kepada kami ta'birnya; sesungguhnya kami memandang
kamu termasuk orang-orang yang pandai mena'birkan mimpi”.
Yusuf terkejut. Ia memandang Ali Qurm dengan seksama. Memasuki kedua matanya,
menyelam ke lubuk hati. “Ali Qurm, tampaknya perkaramu segera akan diputuskan,
dan engkau dinyatakan bersalah serta mendapatkan hukuman mati. Burung-burung
bangkai, segera mematuki kulit kepalamu begitu hukuman dilaksanakan….” Yusuf
berkata. Dengan wajah iba Ali Qurm, pucat pasi. Awalnya ia menatap mata Yusuf,
namun setelahnya ia menunduk. Air matanya keluar dan jatuh menetes.
Bagaimanapun, ia percaya dengan takwil mimpi yang disampaikan Yusuf.
“Aku akan dihukum juga?” tanya Abul Ma’i. Abul cemas pun.
“TIdak wahai Abul Ma’i. Engkau diputus bebas dan kembali menjadi pelayan
memberi minum pada Raja…” jawab Yusuf. Abul Ma’i segera merekah senyumnya dan
memeluk kaki Yusuf yang duduk di hadapan mereka. “Wahai Tuhan Yang Maha Adil,
…” ucap Abul Ma’i berlinang air mata juga.
Teman;
sungguh dengan kekuasaan Allah, apa yang dikabarkan Yusuf pada kedua temannya
itu, menjadi kenyataan. Lalu, percayakah kita akan ucapan bahwa mimpi itu
hanyalah bunga permainan tidur? Bahwa mimpi hanyalah sekedar memori yang masuk
ke alam bawah sadar lalu muncul di saat tidur? Jika memang sekedar memori,
mengapa terkadang kita bermimpi bertemu makhluk yang tidak pernah kita fikirkan
sebelumnya? Kitab suci dan hadis membuktikan, mimpi tak hanya sekedar bunga
permainan tidur belaka. Rasul saw pernah berpesan, jika kita mimpi buruk,
janganlah diceritakan pada orang lain, dan meludahlah ke kiri saat terbangun.
Nah kan?
Kepada Abul
Ma'i, Yusuf berpesan, sampaikan ke penguasa, bahwa sesungguhnya, ia tak
melakukan kesalahan nanti setelah engkau dibebaskan. "Ah, itu perkara mudah,
Suf!" Abul Ma'i percaya diri merespon permintaan Yusuf. Ia akhirnya memang
dibebaskan dan kembali diberi kepercayaan untuk menyediakan minuman di istana.
Dulu, mungkin ia difitnah saja, hingga sempat hidup di Lembaga pemasyarakatan
kerajaan.
Namun, teman-teman,
setelah keluar dan kembali bekerja, sungguh, benar-benar, Abul Ma'i terlupa akan pesan Yusuf. Ia betul-betul tak
ingat sedikitpun, bahwa seorang teman di penajara, bernama Yusuf, tak layak ada
di Lembaga itu. Entah, kata orang, lupa itu disebabkan pengaruh energi negative
dalam tubuh, atas gangguan syetan. Abul Ma'i menikmati kembali bekerja dan
menerima gaji sebagai pegawai istana. Sementara Yusuf terbiar, dengan nasibnya
sendiri. Lama. Bertahun-tahun.
Sampai
akhirnya, ada kejadian aneh pada diri Raja. Ia bermimpi, berkali-kali setiap
malam, dengan hal yang sama. Ia melihat sapi betina kurus memakan sapi betina
gemuk; lalu ada muncul tujuh bulir gandum hijau dan tujuh bulir gandum kering.
Berulang-ulang setiap malam. Raja Al Aziz mulai berfikir, ini pasti ada
maksudnya. Ia harus menanyakan, apa gerangan takwil mimpi yang aneh tersebut.
Dipanggilnyalah orang - orang pintar di Qahirah, dan dia tanya perihal mimpi
itu. "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh
ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang
kering. Hai orang-orang yang terkemuka: Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir
mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi".
Para orang pintar, guru spiritual, semuanya
bingung, tak tau apa maksud mimpi itu. Mereka saling pandang. lalu memanyunkan
bibir, dan mengerutkan kening. Terus, mereka menggeleng-geleng. Suatu gestur
yang membuat Raja kecewa. Sampai Abul Ma'i, mendengar berita tentang kejadian
itu, dan segera ingat akan Yusuf. Yusuf teman dia dulu di penjara. Bukankah
Yusuf dulu ahli dalam menakwilkan mimpi? Ya, dia bisa menyampaikan pada Tuan
Raja, dia bisa memanggil Yusuf untuk dimintai tolong. Abul Ma'i juga tersadar,
bukankah dulu Yusuf berpesan agar perkara dia ditinjau ulang dan bisa bebas?
Yusuf! ya , lelaki tampan dan baik di sel penajara!! Abul ma'i pun berbegags
menemui Raja Al Aziz.
"Yusuf namanya Tuanku Raja!" kata Abul
Ma'i.
Al Aziz terperanjat. Yusuf? Yusuf itu 'anak
angkatku'! Yusuf itu pernah membuat gundah hatiku; Zalaikha istriku, anu,
padanya. Ah, Tuan Raja termangu-mangu. Kemudian mengangguk-angguk.
"Betul Yusuf mampu menakwilkan mimpi?"
tanyanya.
"Betul Tuanku! Aku sudah membuktikan! Ali Qurm
pun, dia sudah tau akan dihukum mati dan dilarikan burung daging
kepalanya!" jawab Abul Ma'i.
"Okelah. Kita panggil Yusuf. Saya tau
anak-muda itu." jawab Al Aziz.
"Tak usah
Tuan Raja, biar saya yang menjemput bersama pengawal Tuan..." jawab Abul
Ma'i. Dia yakin, Yusuf yang menolongnya dulu, teman baiknya di penjara, mampu
menakwilkan mimpi Raja Al Aziz. Menakwilkan mimpi itu, boleh jadi berhubungan
dengan kebersihan jiwa, kedekatan dengan Tuhan, dan kemampuan menyelami hati
orang lain. Itu yang tak dia punyai, dan itulah pula kelebihan Yusuf. Abul
Ma'i, ah apalah, kita cuma pembuat minuman,....
Jeruji pintu sel Yusuf tiba-tiba ada yang membuka.
Pintunya ditarik dengan bunyi engsel berderit. Yusuf menoleh. Lama sekali tak
ada yang peduli dengannya, kecuali teman sepenjara.
Dan betul. Dia lihat Abul Ma'i datang ditemani
pengawal kerajaan.
"Yusuuuuuf,..." Abul menyalaminya.
Pelukan khas Timur Tengah. Erat.
"Kaifa haluk ya Abul Ma'i. Apa kabar
anta?" tanya Yusuf senyum. Sudah lama dia tak melihat wajah bundar lucu
Abul Ma'i. Maka Abul Ma'i pun menceritakan perihal kebutuhan pertolongan Raja
Al Aziz.
Yusuf senyum.
Inilah kesempatan dia untuk meninjau ulang perkaranya. "Oke Abul Mai dan
Tuan Pengawal. Saya bersedia menakwilkan mimpi Tuan Raja, ayahanda angkat saya
itu. Namun dengan syarat, jelaskan duduk perkara kesalahan hamba terlebih
dulu,....." jawab Yusuf. Hatinya berdebar. Firasat baik. Jalan Tuhan!
Abul Ma'i, ingat
betul, Yusuf pernah berpesan ini, dulu sebelum ia keluar. Ya Allah, ya Tuhan.
Ia lupa. Lupa sungguh. Astaghfirullah, Yusuuuuf. Ana akan bantu ente!
"Yusuf. Saya akan bilang ke Tuan Raja.
Masalah penahanan mu, tentu segera di pertimbangkanTuan Raja, iya kan Tuan
Pengawal?" tanyanya pada Pengawal. Pengawal itu, manggut-manggut. Wajahnya
dingin.
Maka segeralah berbalik Abul Ma'i beserte
pengawal ke Raja Al Aziz. Lalu setelah salam dan menundukkan badan, ia menyampaikan pesan Yusuf. Pesan yang seharusnya sudah ia
perjuangkan sejak dulu waktu terbebas. Ah, mengapalah diri ini lupa?!
"Oke. Oke. Itu perkara mudah." jawab Al
Aziz. Kemudian ia bertitah ke pengawal," Panggilkan Tuan Guru,
mentri-mentri dan istri saya Zulaikha, sekalian ibu-ibu pejabat yang kebetulan
ada di istana!"
Lalu tak berapa lama, di siang itu, semua hadir di
istana. Termasuk mentri kehakiman serta jaksa tentunya. Maka mulailah Al Aziz
membuka pembicaraan," Terimakasih sudah hadir pada siang ini, dalam
pertemuan yang cukup mendadak. Sebagian kita tentu sudah tau, tentang mimpi
saya malam-malam terakhir ini. Dan lainnya , adalah kebutuhan untuk
menakwilkannya. Saat yang lain belum mampu, ternyata anak-angkat saya ini, yang
seperti terlupakan bertahun-tahun, diinfokan mampu melakukannya. Hanya dengan
syarat, perkara dia bertahun yang lalu, dijelaskan duduk tegaknya, benar
salahnya. Ini genting. Kita butuh bantuan dan keikhlasan kita semua..."
ujarnya. Semua saling pandang. Lalu mengangguk-angguk. Al Aziz menatap
sekeliling. Namun Siti Zulaikha, merasa tatapan Al Aziz adalah menusuk ke
jantungnya. Menikam jauh ke bilik dada. Itulah sebabnya, sebelum jauh
pembicaraan berkembang, ia berdiri, maju, berjalan ke hadapan Raja, dan
tiba-tiba menjatuhkan badannya. Menyerah seratus persen. Bukan, dua ratus
persen!
Sambil menangis, ia terdengar bicara
terputus-putus," Hamba suamiku, hamba yang salah..Yusuf, anak kita, dialah
yang benar. Ampuni hamba yang telah teledor ini...." ucapnya menutupkan
hijab ke muka wajahnya. Aduh, ... kebenaran! Kadang, engkau datang jua! Walau
terlambat!!
“Sudah. Sudah,…..semua sudah selesai. Yusuf, kami berdua
minta maaf padamu atas kejadian bertahun lalu. Kini sampaikanlah takwil mimpi
tujuh sapi kurus memakan tujuh sapi gemuk yang kualami berkali-kali malam-malam
terakhir ini…” kata Al Aziz mengalihkan
suasana.
Yusuf berdiri dan menjawab, “Baiklah Ayahanda. Terlebih dulu saya
berterimakasih atas kearifan dan kebijakan
Ayahanda. Saya merasa Ayahanda telah menghadirkan keadilan di
tengah hati kami. Saya berterimakasih
juga pada Tuan Guru yang mengajarkan berbagai ilmu. Dan kehadiran Tuan Guru,
adalah salah satu kebaikan yang telah dilakukan bunda Zulaikha kepada saya,
diantara banyak kebaikan lainnya, yang takkan bias saya balas. Berkenaan dengan
mimpi ayahanda itu, takwilnya adalah; bahwa akan dating tujuh masa tahun penuh
nikmat dan panen melimpah di masa dating, yang akan diikuti tujuh tahun berikutnya
berupa paceklik. Jika kerajaan bersama semua rakyat tidak mengantisipasinya
dengan menabung bahan pangan saat musim subur, maka akan menderitalah rakyat di
tujuh tahun berikutnya. Boleh jadi akan banyak yang meninggal….”
Al Aziz termenung sesaat. Takwil itu masuk akal. Hatinya membenarkan. Dan dia
pun bertanya pada para mentri pembantu,”Bagaimana pendapat kalian tentang hal
itu?” Para mentri menganguk-angguk. “Kami memaklumi Tuan Raja…” jawab mereka.
“Oke. Yusuf, kesinilah nak! Berdiri dekat ayahanda!” Yusuf patuh. Ia beranjak
ke depan.
“Ayahanda minta engkau yang memimpin pengelolaan logistik bahan pangan negri
kita, mulai hari ini, sekaligus membangun gudang-gudang penyimpanan. Mungkin
semacam Bank Gandum dan bahan pangan. Gajimu setingkat mentri. Kamu boleh
mendatangi ayahanda kapanpun untuk urusan kesejahteraan rakyat kita ini!”
ujar Al Aziz.
Yusuf, terperanjat. Anak muda yang salah tangkap dan mendekam di penjara
seperti dia, kini jadi pejabat kerajaan? Apa dia tak bermimpi? Ya Tuhan, skenario
apa pula ini yang Engkau siapkan untuk saya….. Yusuf menghampiri Al Aziz dan
menyalami serta memeluk ayah angkatnya itu. Para hadirin yang hadir seperti
terhipnotis. Mereka serasa dihidangkan kejadian yang mempesona jiwa.
Menentramkan lubuk hati. Ya Allah, ya Qadir, wahai Engkau Yang Maha
berkehendak. … Ini adalah garisMu wahai Tuhan, dan hamba akan melaksanakannya
sebagai ibadah.
Seperti disulap,
Yusuf berubah menjadi pejabat muda nan gagah. Tampan dan dikagumi. Apalagi jika
ia tengah serius bekerja, maka ibu-ibu dan anak gadis yang kebetulan memandang,
sejenak terpesona. Sekali memandang, boleh kan? Tidak diulang-ulang, dan tidak
dilanjutkan dengan khayalan.
Hari-hari berikutnya adalah kesibukan Yusuf bersama timnya, mensosialisasikan
perkiraaan musim yang bakal berdampak pada kesejahteraan hidup masyarakat,
tujuh tahun setelah tujuh tahun berikutnya. Pada
umumnya masyarakat menerima konsep berhemat, menabung dan program jangka
menengah Panjang yang dicanangkan Yusuf. Dampaknya, rakyat membuat lumbung
mereka sendiri di rumah, berhemat untuk menghadapi zaman paceklik. Bagi hasil
pertanian yang berlimpah, dibeli Lembaga pangan Yusuf, disimpan di Gudang
kerajaan. Yusuf bahkan memiliki jaringan dengan kerajaan di jazirah Yaman,
Saudi, Falistin dan Libya untuk membeli bahan pangan. Kebersihan Gudang dijaga
dengan baik. Lantai tidak dibiarkan lembab. Ventilasipun diperhitungkan. Semua
diniatkan Yusuf untuk kebaikan rakyat masa datang, dan ibadahnya ke Sang
Penguasa Alam. Gestur, mimik, gerakan bola mata, aura, dan semua 'kakobeh'
pemimpin yang berniat ibadah itu dengan mudah dirasakan dan ditangkap rakyat,
hingga Yusuf tak menemui halangan dengan kerja-kerjanya.
Sekali waktu,
Yusuf berjalan ke lahan pertanian. Berbincang dengan penggarap lahan.
Mengusulkan pembersihan jalur pengairan dari sungai Nil. Di kala lain, ia
menyarankan agar anak-anak mengkonsumsi telur unggas, supaya lebih fit
menghadapi masa depan yang tak terduga. Dan terkadang ia, ada di pasar memantau
kelancaran barang-barang. Suatu kali, ia sempat erbincang dengan pedagang dari
Falistin, kampungnya. Cerah wajah Yusuf, mendengar kabar bahwa Yakup, bapaknya
masih hidup. Hanyasaja, kata pedagang itu, badan Yakup sekarang agak kurusan.
Ah,....Yusuf jadi nelangsa………. Ada rindu di pelosok dada. Saudara-saudaranya
juga baik-baik saja, di antara mereka sudah ada yang berkeluarga. Sedangkan
adik mereka yang paling kecil, Bunyamin, tumbuh jadi lelaki kecil yang lucu.
Manis roman mukanya.
"Siapa nama adik kecil itu?" tanya Yusuf.
"Jika tak salah, Bunyamin. Bunyamin nan elok seperti rembulan, he he
he..." jawab pedagang itu sambil tertawa. Yusuf memandang jauh. Ke dataran
langit dan awan…. Di atas daun kurma yang bergoyang melambai-lambai…..
"Udah ya. Selamat berdagang. semoga banyak untung hari ini." ujar
Yusuf lalu berlalu. Tak ingin ia pedagang Falistin itu melihat basah di ruang
matanya. Aduh,...
Percakapan dengan
pedagang Falistin itu pendek sebenarnya. Tapi dampaknya pada hati Yusuf,
panjang. Ada gelora rindu muncul membakar. Abi kini telah kurusan? Tidak sakit
kan? Tidak. Abi tak usah sakit,.... bisik hatinya. Ummi? Jangan -jangan ummi
juga kurus, menanggungkan beban kehilangan anak lelaki tampannya, kemudian
melahirkan anak si bungsu, Bunyamin. Bunyamin? Ungkapan pedagang tadi, Bunyamin
manis, seperti rembulan. Inginnya hati menatap roman muka adiknya itu. Apakah ia mirip Ummi? Manis, seperti rembulan. Ah, pasti
teduh. Pasti lembut. Pasti senang memandangnya. Pasti tak ingin memalingkan
wajah. ..... Manis seperti rembulan, manis seperti rembulan,.....bibir Yusuf
mengulang-ulang ungkapan tiga kata itu, sambil kuda yang ia tunggangi berjalan
pelan-pelan saja, menuju istana. Manis, seperti rembulan, manis seperti
rembulan,.... Bunyamin, ingin ia godaadik kecil itu jika ketemu, atau ia pegang
ubun-ubunnya,.... Bibir Yusuf senyum sendiri. Telapak kuda mengiringi khayalnya
tentang seorang adik lelaki bagai rembulan. Klak-tok, klak-tok,
klak-tok,......kaki kuda.
TIba-tiba wajah kakaknya yang sulung muncul.
Diikuti kakak kedua, tiga dan empat! Yahuda! Lalu terus berikutnya. Tak dia
sangka , dibalik ramah ajakan menggembala, kakak-kakak itu mencampakkannya ke
dasar sumur. Itu pedih! Itu membunuh! Tapi,....andai tak diperlakukan begitu,
akankah dia bertemu Ali Bayi' ? Jika tidak dikhianati kakaknya, akankah ia akan
sampai di Qahirah dan bertemu bunda Siti dan ayahanda Al Aziz? Uh, kadang
geram, kadang senyum Yusuf memikirkan jalan hidupnya. Terlepas dari semua itu,
kapankah ia bisa bertemu Ummi? Bercerita panjang dengan Abi? Dan menggoda
Bunyamin, si adik lelaki manis? Entahlah!
Takwil tentang tujuh
tahun nan subur dan melimpah, ternyata betul kenyataan. Hasil pertanian pangan
penduduk berlebih-lebih. Gandum serta jagung, bagai benda yang terpandang ada
dimana-mana. Begitu juga dengan ternak, angsa, domba serta unta dan kuda. Negri
ini seakan-akan surga yang disayang Tuhan. Dan Yusuf, mentri urusan logistik
pangan, tiada lelah mengingatkan, simpan,...tabung,.....jaga jangan
mubazir..... Al Aziz, kini, di usianya yang makin tua, sesekali
menginspeksi gudang-gudang pangan kerajaan
yang jumlahnya ratusan. Tentram hatinya, melihat kerja Yusuf. Anak ini,
cekatan, kata hatinya. Walaupun ia anak angkat, dan berasal dari jauh bukan
Qahirah, tampaknya ada tanda-tanda, Yusuf bisa memimpin negri ini melanjutkan
apa yang sudah ia usahakan. Al Aziz menghirup nafas. Dalam-dalam. Lalu
menghembuskannya dengan pelan,....wuuuuussss.
Memasuki tahun ke delapan, Al Aziz mmulai
bertanya-tanya. Akankah paceklik betul-btul datang? Kemarau panjang dan angin
gersang di gurun tandus? Setiap pagi Al Aziz terbangun, ia intip cuaca ke luar.
Dingin. Dingin menusuk tulang. Lalu siangnya panas. Panas menggigit kulit.
Anakku Yusuf, engkau benar-benar pentakwil yang baik. Tampaknya gersang tandus
kemarau panjang telah datang! TUhan telah memberi peringatan pada kita melalui
mimpi, dan Tuhan telah mengutus engkau, putraku, menjadi jawabannya. Al Aziz
manggut-manggut. Sambil mengelus jenggotnya nan memutih.
Tahun pertama
paceklik itu, belum begitu berdampak pada rakyat Al Aziz. Mereka juga sudah
diwanti-wanti kepala badan urusan logistik yang gagah ganteng tampan rupawan
sejak awal, untuk menyimpan bahan pangan di lumbung masing-masing. Tahun kedua
dan ketiga pun belum terasa sangat. Al Aziz menikmati hasil kerja Yusuf, yang
mengayomi rakyat dan menasehatkan berhemat serta jangan mubazir. Sayur dan
buah, dalam jenis yang terbatas, masih tetap tersedia banyak, karena kerajaan
mensubsidi harganya. Ada yang diimpor dari Afrika
Barat, ada dari Asia Selatan bahkan ada rempah yang dibawa dari pulau- pulau
kecil nun di timur. Setelah tahun ketiga , persediaan di lumbung rakyat habis.
Giliran gudang kerajaan yang menyuplai gandum, jagung dan kedelai. Telur unggas
sudah tak ada, tapi ikan laut, masih tersedia. Kata mentri pangan, ikan itu
baik untuk kesehatan dan kekuatan tubuh. Jadi, dengan mengendalikan diri dari
nafsu makan serakah, selera sederhana, rakyat masih bertahan dalam kehidupan
normal.
Yang kasihan adalah, daerah-daerah pedalaman
jazirah arab dan Falistin serta pedalaman Afrika. Mulai diserang penyakit
busung lapar, malnutrisi dan penyakit menular.
Di Qahirah, melihat kinerja Yusuf, maka Al Aziz
memutuskan, menyerahkan pemerintahan pada anak muda bujangan, Yusuf. Kini,
gelar Al Aziz, berpindah pada Yusuf. Dan ayahandanya, memilih istirahat dari
dunia perpolitikan. Ada waktunya, dimana kita percayakan kekuasaan pada
generasi penerus, sesuai tanda-tanda alam. Dan ayahanda Yusuf, arif akan hal
ini.
Sekarang , di Qahirah, orang-orang mengenal
kerajaan aman damai, bertahan survive dari terjangan kemarau panjang paceklik, dibawah
kepemimpinan "Al Aziz' muda. Tahniah ya Al Aziz!
Menghadapi paceklik
keerbatasan tahun ke enam, Al Aziz muda masih bertahan. Gudang masih penuh
puluhan buah. Hanyasaja, kini rakyat mulai antri mendapatkan bahan pangan dari
kerajaan setiap hari. "Al Aziz" muda membagi hari pembagian sesuai
daerah administratif rakyatnya. Hari Minggu khusus untuk rakyat pinggiran
bahkan luar kerajaan yang perlu ditolong, sesuai azas kemanusiaan. Termasuk di
dalamnya, Falistin. Kampung 'Al Aziz' muda.
Rombongan saudara-saudara Yusuf, sebelas orang dengan beberapa unta, datang mencoba peruntungan,
mendapatkan pembagian stok pangan. Hari ini, Minggu, setelah sejak tiga hari
lalu mereka berangkat dari kampung, nun di dekat bukit melengkung, di rerumpun
kurma yang daunnya melambai. Mereka pamit pada Abi dan Ummi serta Bunyamin,
lalu setapak demi setapak, menuju arah selatan untuk berbelok ke kanan, ke
Qahirah. Pagi Minggu, orang-orang dari kafilah lain, sudah mulai antri. Saudara
tua Yusuf, menambah panjang antrian itu. Anak buah "Al Aziz" muda,
dengan cekatan menimbang dan membagikannya pada rakyat yang wajahnya memelas
dan penuh keprihatinan itu. Al Aziz, berdiri agak di atas altar batu. Menatap
tajam pada rombongan unta dengan sebelas lelaki di antrian. Sungguh, dada Yusuf,
Al Aziz muda, berdebar melihat wajah kakaknya. Jelas sekali, itu adalah kakak
tertuanya, dengan gurat wajah menua, mungkin karena sudah bekeluarga. dan di
dekatnya itu, adalah kakak keduanya. lalu kakak ke tiga dan ke empat, serta
berkelompok sampai sebelas. Yusuf nanar mencari-cari dengan bola matanya. Mana
adik adik, yang kata pedagang dulu, manis seperti rembulan? Yusuf mempertajam
pandangan. Mencari-cari. .... Tak ada. Betul, tak ada. Ah,...adik manis bagai
rembulan, engkau tak datang kesini? Atau tak diizinkan oleh Abi dan Ummi?
Hampa!
Namun begitu, Raja "Al Aziz Muda" mendekati
kakak-kakak Yusuf itu saat giliran mendapat jatah. Karung mereka masing-masing
diisi petugas dengan gandum. Itu cukup untuk membuat roti khubz sebulan
mendatang. Senangnya hati!
"Kerajaan ingin mendapat pahala lebih
banyak. Apakah kalian ini bersaudara ?" tanya Al Aziz. "Betul, Tuan
Raja. Kami sesungguhnya punya saudara seorang lagi, tapi masih rada kecil.
Tidak ikut. Ia tinggal bersama bapak dan ibu kami."
"Jika ingin dapat jatah lagi bulan depan, bawalah semua saudaramu kesini. Kami
ikhlas dan tuan-tuan terbantu" ujar Al Aziz. Kakak-kakak Yusuf gembira.
Artinya akan ada jatah satu karung lagi, jika Bunyamin turut serta. "Oke
Tuan Raja. Terimakasih. Tentu akan kami bawa semua saudara kami kesini bulan
depan!" jawab kakak tirinya yang tertua . "Toyyib. Bagus! Kami
tunggu..." kata Raja dengan simpatik. Kakak-kakak Yusuf segera kembali
pulang ke Falistin, dan memuji-muji kebaikan Al Aziz, sepanjang jalan.
"Ternyata Raja mereka masih sangat muda
ya?"
"Ho-oh!"
"Bukan hanya muda, tapi tampan juga. "
"Ho-oh"
"Tampan. Ramah. Dermawan!"
"Ho-oh!"
"Tadi rasanya, hati kita begitu dekat dngan
Beliau. Tidak berjarak dengan rakyat. Rendah hati!"
"Ho-oh!"
"He, kakak Yahuda ini, ho-oh ho-oh terus?"
"Ho-oh...."
"Abi, bulan
depan Bunyamin ikut serta ke Qahirah ya?"
"La! Tak usahlah. Kehilangan Yusuf sudah
membuat Abi luka teramat dalam. Jika Bunyamin hilang pula, habislah asa
kehidupan!"
"Tapi Abi. Tuan Raja yang baik hati itu,
takkan memberi jatah lagi jika tak mengikut sertakan semua saudara. Tuan Raja
ingin mendapatkan pahala yang banyak dari Tuhan"
"Begitu?"
"Betul Abi..."
"Apa kalian mau bersumpah, menjaga adik
perempuan satu-satunya sampai selamat pulang lagi?"
"Perkara mudahnya itu Abi. Kami lindungi
Bunyamin. Tak kan lagi ada srigala seperti yang memakan Yusuf!"
"Sumpah?"
"Sumpah Abi. Demi Tuhan!"
"Okelah. Jangan sampai jatuh di lubang yang
sama dua kali!"
"Demi Tuhan, kami akan menjaga Bunyamin. Dan
kita dapat tambahan sekarung gandum lagi."
Raja Al Aziz
ayahanda Yusuf, sudah hengkang dari istana. Ia memilih tinggal di rumah di
kampung asalnya. Ia bawa Siti Zulaikha ikut serta. Entah, Siti Zulaikha,
sepertinya masih terkait hatinya di istana. Hingga ketika sampai di kampung
suaminya, ia demam. Suaminya menasehatkan, boleh jadi dinda sedang direkayasa
Tuhan untuk lebih dekat dengan Beliau. Cobalah merenung, beramal dan berzikir
lebih intens. Zulaikha mencobanya. He, betul. Beban terasa jadi agak ringan!
Kepala mulai segar. Hati berubah tenang. dan demam
pun hilang. Menyatukan hati dengan Tuhan.
Jadi secara
psikologis kekeluargaan, Yusuf, Al Aziz yang baru, serasa sepi di istana.
Apalagi cerita tentang keluarganya di falistin, dan ketemu dengan kakak tirinya
beberapa minggu lalu, cukup berdampak pada rasa. sesuatu yang ada nun di sudut
kalbu. Susah untuk mengatakannya. Oh.
Ahad bulan
berikutnya, Al Aziz Muda, menanti. Akankah saudara tirinya datang bersama adik
yang dia sangat ingin melihat wajahnya. Selain Ummi dan Abi, siapakah lagi
kerabat sedarah dekat, selain adik dia satu-satunya itu?
Mata Al Aziz Muda, menginspeksi satu per satu antrian jatah pangan di halaman
gudang istana. Sssst, lihat! Itu! Seorang lelaki belia dikelilingi sebelas
lelaki! Bukankah itu kakak-kakak dia? Dia arahkan perhatian pada wajahnya.
Namun sayang, anak lelaki kecil itu menunduk. Tapi jelas kulit dan alis serta
mata nan cemerlang. ! Adikku.......
Al Aziz, senyum
sendiri. Jelas! Itu adikku, kata hantinya. Lalu ia berzikir, meminta pada
Tuhan, memejamkan mata; bagaimanakah caranya agar adiknya ikut tingal dengannya
di Qahirah,...
Tak berapa lama, Yusuf membuka mata. Wajahnya
berubah ceria. Dan segera memanggil ketua panitia pembagian jatah pangan ke
dalam ruang. Yusuf membisikkan sesuatu. Ketua panitia itu terkaget, dan
mengangguk-angguk. Lalu ia keluar. Yusuf sabar menunggu. Sesekali matanya
melirik anak lelaki belia, di antrian. Adikku,...
Dan sampailah saatnya saudara-saudara Yusuf
mendapatkan bagiannya. Setiap mereka mendapat satu karung gandum. Ooo,....betapa
dermawannya Raja Aziz. Semoga rezki negri ini bertambah tambah, dan berkah.
Pemberian jatah selesai. Keluarga saudara-saudara
Yusuf menaikkan karung makanan ke unta mereka. Tapi semua orang yang hadir
tiba-tiba dikagetkan oleh teriakan seorang panitia pembagian. "He, tunggu!
Takaran perak kami hilang. Padahal barusan ada di sini. Ianya ditarok di depan,
sebagai lambang kasih sayang kami pada kalian. Ternyata ada yang tega
mencuri!"
Semua rakyat yang hadir saling pandang. Siapalah
yang iseng berbuat begitu! Alangkah keterlaluan! Diberi rezki oleh Raja, malah
mencuri!
Tak ada yang menjawab. Semua kaku. Karena memang
tak ada yang merasa mengambil. Memang sih, tadi mereka melihat ada takaran
perak, ditarok di meja depan. Tapi karena memikirkan antrian, mereka tak ambil
pusing dengan takaran pajangan itu. Dah, alamat panjang urusan!
"Coba, semua
yang sudah terlanjur akan berangkat, turun dulu, mohon turun dari unta! Kita
periksa satu persatu..." ujar panitia.
"Astaghfirullah! Apa tuan panitia mengira kami kesini
pergi mencuri? Tidak, sekali-kali tidak! Kami ini orang baik-baik Tuan
panitia!" kakak tertua Yusuf menjawab. Gusar!
"Kita buktikan! Jika memang ada di dalam karung salah
seorang diantara kalian bagaimana?" tantang panitia. Wajahnya dingin.
"Yang terbukti mencuri, takaran itu ada dalam karungnya, sumpah, bersedia jadi budak Tuan disini!" jawab kakak Yusuf
dengan tegas. Ia merasa sangat tak pernah melakukan pencurian memalukan ini.
"Oke! Bagaimana dengan yang lain? Setuju, jika
terbbukti mencuri, tinggal disini jadi budak?"
"Setuju tuan Panitia. Setujuuuu......."
jawab yang lain.
Lalu karung semua yang sudah terlanjur dijatah,
diperiksa. Kakak-kakak Yusufpun dengan segra menunjukkan karung gandum mereka
yang sudah menganga mulutnya. Panitia memasukkan tangan ke dalam. Dan memang,
tak ada takaran perak di dalam karung. Bersih!
"Manalah mungkin kami akan melakukan itu, tuan
Panitia,..." gerutu kakak Yusuf. Sementara panitia menuju karung adik
mereka paling kecil, Bunyamin. Bunyamin bengong saja. Sebab karung dia
ditumpukkan tadi bersama karung kakak-kakaknya. Ketika panitia membuka dan
memeriksa karungnya, ia acuh saja. Dia bahkan tak tau, takaran perak itu
seperti apa.
"Nah ! Ini dia!!" panitia mengangkat takaran
perak dari dalam karung Bunyamin. Semua kaget. Anak kecil itu pencuri?
Rubin dan Syam'un,
kakak tertua Yusuf, terkejut bukan main. Bagaimana bisa takaran perak itu ada
dalam karung Bunyamin? Buat apa takaran perak itu oleh Bunyamin? Sepintar apa
Bunyamin menyambarnya dari altar depan, hingga tak ketauan seorangpun? Mereka, kakak-kakak
Yusuf, menatap Bunyamin dengan tajam, menyelidik. Bunyamin, yang memang tak
merasa mengambil, bengong saja. Matanya innosen. Ia menggelengkan kepala.
Tapi, temuan Panitia Pembagian Pangan, tak bisa juga ditolak. Semua menyaksikan, ada di karung Bunyamin. Sudah bersuluh matahari,
bergelanggang mata orang banyak. Tak dapat lagi berkata tidak. Apapun
alasannya!
"Tidak mungkin!" Rubin masih berteriak.
Tapi Bunyamin sudah digiring pengawal ke ruang dalam. "Tidaaak!"
Rubin seperti hendak menangis. Suaranya parau. Duh. Apalah yang akan dia
sampaikan ke Abi dan Ummi lusa, di Falistin, akan nasib Bunyamin ini.
"Tidaaaak..." Rubin memukul kepalanya sendiri. "Kalian pulanglah
ke Falistin. Saya tak akan! Biarlah saya disini sampai Bunyamin dilepaskan,
atau Tuhan mengambil nyawa saya...." Rubin, menahan tangis. Tak hanya
menahan tangis, tapi juga menahan malu. Dan menahan beban yang berdempet, dari
kasus Yusuf kini ke kasus Bunyamin.
Orang-orang mulai pergi pulang. Termasuk saudara
Yusuf yang lain. Rubin terduduk di pinggir halaman memagut kedua lututnya.
Serasa akan dia antukkan kepalanya ke tanah!
Nun, di dalam
ruangan, Yusuf sudah menunggu pengawal menggiring Bunyamin. Begitu sampai dalam
ruang, Yusuf tak dapat lagi menahan hatinya. Dia serbu lelaki belia itu,
langsung dipeluk erat-erat. Kali ini ia tak lagi peduli apakah akan disebut
cengeng atau tidak; ia menangis menciumi kedua pipi, kening dan puncak kepala
Bunyamin.
BUnyamin saja yang makin bingung.Dituduh mencuri, digiring, tapi dipeluk Raja
Al Aziz... apa -apaan ini, fikirnya.
"Bunyamin, ini kakakmu dik! Ini kakak
kandungmu... Aku anak Yakup dan Ummi Rahil. Lihat mata kakak dik. Lihat sini
sayang... " dan Yusuf makin menjadi -jadi tangisnya. Ah,...
"Yusuf?"
tangan Bunyamin terangkat. Mnggantung di pundak Yusuf.
"Betul adikku. Betul . Ini kakak, sayang. Lama kakak merindukanmu. Ketika
kakak pergi, engkau masih di perut ibu. "
Bunyamin mendengar Yusuf, dari Abi dan Ummi. Hanya saja, kata Ummi, Yusuf sudah
mati dimakan srigala. Kakak-kakaknya juga bilang begitu.
"Kak Yusuf tak dimakan srigala?"
"Tidak sayang. Ini kakakmu. Peganglah. Pegang. kakakmu masih hidup
kan?" Yusuf kembali memeluk kepala Bunyamin erat-erat. Pengawal, tak tahan
melihat. Meleka mengalihkan pandang, tapi air mata mereka mengalir deras.
Setelah puas
saling peluk, Yusuf membimbing tangan Bunyamin ke
ruang makan. Menarik kursi kayu ukir. Mempersilakan Bunyamin duduk. Kemudian
Yusuf sendiri duduk di samping Bunyamin. Pelayan istana mempersilakan keduanya
menyantap hidangan. BUnyamin surprise. Belum pernah ia melihat makanan semewah
dan sebanyak ini. Di rumah, Ummi dan Abi selalu mengingatkan mereka, jika makan
harus 'bakalimek' hemat. Jangan di'polong-polong' mubazir. Di sini, semua
banyak, semua mewah, semua semerbak, semua seakan
memanggil-manggil untuk dicicipi. Seekor ikan bakar besar ditarik Yusuf dan
diletakkannya di piring Bunyamin. Bumbu kntal pedas asam, beraroma pala dan
habbatussauda, tercium harum. O, ingin BUnyamin segera menyantapnya. Iapun
menoleh ke kakaknya , Yusuf. Yusuf senyum menggangguk. "Silakan, makan
sepuasmu, dik!" katanya. Tapi Bunyamin tak memalingkan wajah. Ia tetap
memandang kakaknya Yusuf.
"Kenapa?" tanya Yusuf.
Bunyamin diam tapi bibirnya seakan senyum.
"Ada apa?" tanya Yusuf lagi.
"He he, betul kata orang-orang di kampung,
katanya saya dulu punya kakak yang tampan rupawan gagah sekali, tapi sayang
mati dimakan srigala. Ternyata memang ganteng.!"
"Hep!" Yusuf mencowel pipi
adiknya."Ayo makan!" ujarnya.
Di luar, di
pagar istana dekat gudang, seorang pengawal memberi sepiring makanan pada
laki-laki yang sedari tadi kayak orang'miring' kurang akal, duduk di batuan
pasir. Kumal. Kesal. Letih. Mata kosong,..... Rubin!
Syam'un dan
adik-adiknya diam tak berkutik di hadapan Yakup, bapak mereka. Sedari tadi,
setelah mereka sampai dan mengabarkan apa yang terjadi pada bapak mereka; Yakup
hanya diam. Itu membuat semuanya salah tingkah. Yahuda malah sudah sujud-sujud
di kaki Yakup, tapi Yakup diam saja. Sekaku gunung ditutup es salju.
Tak ada reaksi sepatah katapun, selain buliran air perlahan
menetes dari mata ke pipi, ke sudut bibir dan ke dagu. Mata yang sudah mengabur
karena sejak Yusuf hilang, sering menangis siang dan
malam, kini semakin bersimbah oleh air mata. Yakup merunut dari awal, semenjak
ia melihat Rahil anak Laban. Lalu menikah Liya duluan , baru Rahil. Mendapatkan
anak dari Liya 10 orang, Dan lahirlah Yusuf. Bunyamin di kandungan, Yusuf
hilang. Sekarang, Bunyaminpun hilang. Bencana yang memporakporandakan firasat,
bahwa Yusuf harusnya melanjutkan tugas kenabian yang ia emban. Aduh, habislah
semua harap!
Ibu mereka, Rahil, tak kalah dukanya. Dua anak
kandungnya lenyap lengit, selalu bersama saudara-saudara angkatnya. Pedih
hatinya. Luka batinnya. Pilu rintihnya....
"Kumpulkanlah semua harta, berikan pada Raja
itu, tebuslah Bunyamin minggu depan. Ummi tak tahan, bunuh sajalah ummi mu ini
sekalian!" umpatnya.
Saran Ummi itu
masuk akal juga. Mencoba menebus Bunyamin. Dengan segala harta nan tersisa. Ada
piring mangkok tembikar. Ada kulit pelana unta. Ada pedang tajam melengkung.
Apapunlah! Yang penting Al Aziz dan pengawal serta panitia pembagian pangan,
ikhlas melepas anak atau adik mereka. Tak sampai hati, melihat Abi, Yakup, tak
bersuara, merenung dan air matanya tak berhenti mengalir. Penglihatannya, mulai
kabur. Jalannya meraba-raba....
Dua hari berikutnya , saudara-saudara Yusuf datang
kembali ke Qahira. Denngan segala asa. Dengan segala doa.
Ahad pagi antrian rakyat kembali memanjang. Tapi
rombongan saudara-saudara Yusuf langsung ke depan bertemu panitia. Berbicara
dengan ketuanya. Beberpa saat. Lalu kelihatan, ketua panitia,
menggerak-gerakkan tangannya, pertanda penolakan. Saudara--saudara Yusuf,
tertunduk. Termangu. Merenung. Bertemu Bunyaminpun, mereka hari ini tak bisa.
Jangan-jangan Bunyamin kini ada dalam sel tahanan! Kasihan, anak kecil itu....
Beginilah, bilanglah ke panitia, bahwa jika
Bunyamin adik mereka tak diizinkan pulang, orangtua mereka bisa mati tak makan,
meninggal karena kesedihan,...
Rubin maju ke panitia dan pengawal, lalu meminta,
berharap, menghiba. "Jika adik kami tak pulang, bapak kami mungkin
meninggal, ibu kami mungkin mati karena sedih. Tolonglah Tuan..."
Ketua panitia masuk ke istana, dan menyampaikan hal
itu ke Yusuf. Yusuf memandang ke adiknya Bunyamin, yang kini segar bugar.
Kemudian, ia memberikan baju jubahnya ke Ketua Panitia. "Berikan baju ini
ke saudara-saudara dari Falistin itu, katakan, bahwa Al Aziz berkirim baju ini
untuk mengobati kesedihan bapak Bunyamin."
"Baik Tuan " jawab ketua Panitia.
Begitulah, saudara-saudara Yusuf membawa jubah Yusuf pulang ke Falistin,
sebagai balasan tawaran Yakup dan istrinya Rahil.
Sesampai mereka
di halaman, belum lagi masuk ke rumah, Yakup sudah merasa aneh. Seakan dia
mencium bau anaknya Yusuf dari jauh. Kepalanya tegak. Hidungnya bergerak-gerak.
Darah mengalir ke kepala. Jantungnya berdebar-debar. Dan betul! Saudara-saudara
Yusuf menceritakan apa yang dialaminya di Qahirah, dan memberikan jubah ke Abi
mereka. Begitu jubah itu dipegang Yakup dan didekatkan ke hidungnya, Yakup
segera berdiri tegak! Ia berubah jadi tegap. Dan, masyaAllah, tiba-tiba matanya
memandang ke sekeliling dengan normal! Aroma Yusuf, membuatnya hidup! Ini bukan
tentang sihir, ini adalah tentang hubungan bathin yang tak dapat diceritakan
antara seorang bapak dengan anak yang dia sayangi, yang akan jadi pelanjut
tugas kerasulan!"Yusuf!, Anakku Yusuf!! Engkau masih ada!??" wajah
Yakup merona. Senyum yang selama bertahun-tahun hilang, kini datang
membayang....
Jika kita jadi anak, mungkin susah untuk merasakannya, namun jika kita pernah
punya anak, hal ini mungkin mudah difahami. Bukan sekedar betapa membanggakan
anak lelaki bagi bangsa Arab, tapi lebih dari itu! Bagai penyambung nyawa....
"Abi?"
saudara-saudara Yusuf heran. Mengapa bapak mereka langsung sehat segar tegap
demi memegang jubah Al Aziz? Sebegitu saktinyakah raja Al Misri di Qahirah itu?
Padahal mereka yang membawa jubah itu tiga hari dua malam di perjalanan, tak
merasakan apa-apa....
"Kita ke Qahira! Ini Yusuf! Ini pasti Yusuf!! Bilang ke
Ummi, kita ke Qahira..." Yakup berkata. Semangat hidupnya tiba-tiba
menyala. Saudara-saudara Yusuf saling pandang. Apa-apaan Abi ini? Bukankah
Yusuf sudah ko-id di dasar sumur lama sekali?
"Abi! Abi ini bicara apa?" kata Syam'un.
"Yusuf masih hidup. Yusuf memanggilku ke
Qahira. Kita akan kesana bersama!" jawab yakup. Yusuf masih hidup? Itu
jubah Yusuf? Bukan, itu jubah Al Aziz, raja muda gagah di Qahira. Ah, Abi
mungkin terhalusinasi!
"Ummi, Ummi. Yusuf anak kita, ada di Qahira.
Ummi, kita kesana. Kita kesana segera!" suara Yakup bergetar. Ummi
terbelalak. Saudara-saudaranya, malah mengerinyitkan kening, antara percaya dan
takut.
Tak menunggu
beberapa hari, rombongan Yakup dan keluarganya sudah berangkat ke Mesir. Walau
Yakup dan Rahil sudah tua, tapi hari ini ia terlihat sedikit lebih muda. Jika
beberpa hari lalu saja, mata Yakup masih buta, hari ini, di punuk unta, Yakup
memandang garun pasir dan bukit berbatu dengan terang. Hati Yakup kini mungkin
sedang melantunkan lagu senandung zikir. Memuji kebesaran Tuhan dengan nada
bariton. Saudara-saudara Yusuf yang memperhatikan gerak tingkah Yakup, terbakar cemburu. Iri yang dulu pernah ada, dan membuat Yusuf
terpelanting ke dasar sumur. Bedanya, kini kehidupan berubah. Cemburu
saudaranya tak terekspresikan, karena suasana kemiskinan, kemelaratan,
paceklik, membuat mereka menjadi 'pengemis' ke Qahira. Duh!
Dua malam di perlajalanan, aroma Qahira sudah
tercium. Suasana kehidupan agak beda. Rakyat terlihat lebih sumringah, karena
pangan berkecukupan dibagikan Raja. Padahal sudah hampir memasuki tahun ke
tujuh kemarau panas panjang. Para pengawal dan tentara Al Misri, segera berlari
ke istana. Kurir menginformasikan, rombongan keluarga Tuan Raja Al Aziz segera
memasuki Qahira. Di Istana, Al Aziz, sang ananda Yusuf, bersiap dengan segala
penyambutan. Halaman bersih dan ruang istana harum semerbak. Bunyamin sudah
sedari tadi pagi mandi dan berpakaian indah. Wajahnya bulat lucu, seperti
rembulan manis. Semingguan di istana, ia berubah jadi sehat segar dan ceria.
Terkadang, adik Raja, lebih dihormati dan disayang, ketimbang Al Aziz,.....
entah!
Unta yang
membawa Yakup sampai di gerbang istana. Mereka dikawal beberapa pasukan
berkuda. Bebrapa person istana yang pintar bermain musik harpa dan gendang,
bersiap di sudut halaman. Sedari tadi mereka sudah latihan beberapa lagu puja
-puji dan penghormatan pada Tuhan dan orang tua.Rakyat yang mendengar
kedatangan keluarga Al Aziz dari falistin, juga penasaran, dan berbondong ingin
melihat.
Begitu unta
berhenti di gerbang, Al Aziz dan adiknya Bunyamin segera berjalan di hambal
ungu yang disiapkan. Mereka tak sabar ingin bertemu Ummi dan Abi. Taukah engkau
wahai teman, hati Yusuf bagai terekstase, melihat Ummi dan Abinya? Ingin ia
terbang melayang memeluk Ummi. Memeluk Abi. Belum selesai Abi dan Ummi
diturunkan pengawal, Yusuf Al Aziz telah memegang tangan ibunya, memeluknya
erta-erat, dan menyurukkan kepalanya ke dada Ummi. Maka meledaklah tangis Ummi.
Tak satu patah katapun terucap.
"Saya dibuang ke
dasar sumur, Ummiiii.... Saya ditinggal sendirian, Ummiiiii..... Saya memekik
minta tolong, Ummiiii..... Saya menangis dan takut, ya Ummiii....... Saya
kedinginan Ummiii....... Mereka, saudara saya, membunuh saya Ummiii..."
Yusuf menangis di pelukan tangan Ummi yang kulitnya rapuh. Mendengar itu, Ummi
makin menguatkan pelukannya. Dia cium ubun-ubun Yusuf.
Ternyata, Raja Al Aziz Muda, yang gagah tampan dan disayang
sejak masa kecil nya oleh rakyat Qahirah, kini jatuh tak berkutik dalam pelukan
ibunya.
Rakyat yang melihat,
tak pelak, ikut menangis. Mereka larut dalam suasana yang berbaur antara
indahnya pertemuan, perihnya pengkhianatan, panasnya cemburu, serta gemilangnya
kesabaran. Mereka terpesona. Mereka terbius. Group musik tradisionil yang
tadianya disiapkan untuk kemeriahan kedatangan orangtua Raja, kini malah
melantunkan irama lembut, dentingan harpa, dan zaffin rentak satu setengah,
yang mengaduk-aduk perasaan.
Yakup, terus berzikir dan bersyukur. Ia mendekat ke Yusuf dan rahil. Yusufpun ikut merangkul Abi. Ia memeluk keduanya
sekaligus. Bapak itu lambang perjuangan. Bapak itu, lambang ketegaran. Bapak
itu lambang kesabaran. Dan Bapak adalah representasi pembimbing kehidupan, yang
tangisnya tak boleh kelihatan. Ia cukup dikeluarkan di dalam bilik kesendirian,
atau di bawah pohon kurma bebatuan. Bapak, adalah perlindungan. Bapak,
sesungguhnya adalah 'center of love'. Abiiii......
Rubin, Syam'un,
Yahuda dan semua saudara tiri Yusuf kini saling pandang. Bukankah Kakak tertua
dulu yang punya ide menyingkirkan Yusuf? Iya, tapi yang menganjurkan masukkan
ke sumur, yahuda kan? Ah, sudahlah! Kita semua telah teledor. Tak ada lagi
tempat sembunyi. Semua sudah terang benderang. Saya akan minta ampun pada
Yusuf. saya salah. Saya, juga. Sayapun juga!
Lalu Rubin, bicara,"Yusuf. Kini engkau kami persilakan
menghukum kami. Sekehendak hatimu. Mau kau ludahi, mau kau tampar, mau kau tendang, mau kau pukul cambuk, atau yang lebih berat
dari itu. Bahkan jika harus kami menjadi budakmu, selama apapaun kau mau,
silakan. Kami menyerah. Kami salah. Kami dulu terbawa cemburu dan irihati,
padamu. Ini leher kami, perbuatlah sesukamu....."
Yusuf terkesima mendengar ucapan itu. Terdengar
dari lubuk hati nan dalam. Ungkapan penyesalan. Dan bukanlah Yusuf yang
semena-mena membalas dendam. Di depan Ummi dan Abi, ia berucap,"Demi Tuhan
Yang mengasihi ku dan mengasihi kakak semua, yang Menguasai segala Alam; saya
hanya ingin kakak-kakak hidup bahagia dan semua maaf yang ada dikalbuku, aku
serahkan untuk kakak-kakak!"
Demi mendengar ucapan Yusuf, semua kakak-kakaknya
berlutut di hadapannya. bahkan Bunyamin yang bengong-bengong saja sedari tadi,
ikutan berlutut karena hormatnya pada Yusuf yang sangat menyayanginya.
Yakup meletakkan telapak tangan di dada. Sejumput
rasa tentram mengalir di hatinya. Menyebar ke seluruh tubuh. Membisikkan,
betapa AgungNya Tuhan dan betapa sucinya ajaran kesabaran, keikhlasan, dan
kejujuran. Yakup kini mampu tersenyum. "Masih ingat sebelas bulan bintang
dan matahari yang engkau ceritakan dulu?" tanyanya ke Yusuf. Yusuf mmandang
Abi, dan mengangguk. "Inilah kenyataannya!" jawab Abi. Sambil
mengusap-usap kepala Yusuf. Subhanallah.
Adakah pesta yang
dilakukan tahun keenam, memasuki tahun ketujuh paceklik?Ada! Ini dia. Di istana
Raja Al Aziz, Qahirah. Pesta penyambutan keluarga Raja. Semua saudara, Ummi dan
Abi, diminta Yusuf, untuk tinggal bersamanya. Pesta yang tak begitu mewah;
sekedar makan minum dan penganan lezat. Roti khubz. Kue basbousa. Nasi minyak
samin. Ikan bakar. Kare daging domba. Buah kurma. Buah pisang Afrika. Serta
jeruk dari Tunis. Baraqallah. Wa syukurillah.
Saudara-saudaranya, oleh Yusuf diberi kegiatan, kini
bahkan menjadi anggota panitia pembagian jatah pangan pada rakyat. Bunyamin
saja yang setiap hari ikut Yusuf kemana-mana. Adik kandungnya itu, oleh Yusuf,
selain dibimbing, juga jadi tempat berkasih sayang.
Begitulah, tak terasa berbulan kemudian, musim dan
iklim berganti. Tiba-tiba di langit, terlihat gabak. Ada mendung terlihat dari
jauh. Rakyat, yang sudah lebih enam tahun dikekang kemarau panjang; sumringah
dan gembira hatinya. Akankah sore ini hujan pertama akan turun?
Jika iya, artinya memang betullah, mimpi Al Aziz
senior, yang ditakwil Al Aziz Muda; tujuh tahun masa subur diikuti tujuh tahun
maca paceklik.
Langit makin gelap. Awan bertambah tebal. Tiba-tiba
terdengar guruh. Lalu kilat dan petir. Ya Tuhan, Yang Maha Berkuasa; hujan nan
dirindukan segera datang. dan lahan pertanian akan kembali subur. Sumur-sumur
tentu penuh berisi. Sayur tumbuh hijau, terutama sepanjang daerah aliran sungai
Nil.
Dan betul. Tetes-tetes hujan turun pada awalnya
jarang. Tapi besar-besar. lalu makin lebat. Makin deras. Rakyat mengembangkan
tangannya. Memandang ke langit dengan ceria. Ya Tuhan, sudah berhenti kemarau
panjang. SUdah datang tetes hujan. Lebat. Menyiram tanah. Membasuh atap.
Mendinginkan kalbu!
Anak-anak, lebih gembira lagi. Mereka berlarian di
halaman. Membiarkan kepala dijatuhi bintik hujan yang besar-besar.
Tertawa-tawa. Berkejaran. Saling tangkap. Lalu berlari lagi. Alhamdulillah!
Di awal musim hujan
inilah,tiba-tiba datang khabar dari kampung Ayahanda Al Aziz, bahwa beliau
wafat. Yusuf kaget.
Bukankah setiap bulan dia berkunjung ke Ayah dan Bundanya
itu, beliau senantiasa sehat wal afiat?
"Betul Tuan Raja Al Aziz. Kamipun, yang menemani beliau
setiap hari, terkejut. Tak ada sakit keras. Kecuali demam-demam biasa. Tak ada
kejadian aneh, semisal stroke, atau lemah. Atau apapun. Beliau pergi begitu
saja...." kata pengawal yang ditugasi.
Memang, ketika berkunjung terakhir, Al Aziz
bicara,"Yusuf. Saya bahagia tugas yang engkau laksanakan berjalan baik.
saya bangga mewariskan negri ini kepadamu. Jika tak salah, firasatku hujan akan
segera turun bulan-bulan mendatang. Panas udara sudah makin meninggi. Saya
puas. Saya berterimakasih pada Tuhan yang telah mengirimmu kepadaku sejak kecil
dulu..." Itu kalimat Al Aziz yang diingat Yusuf bulan lalu. Adakah itu
pertanda pamit?
Dan Yusuf segera bertolak takziah ke kampung Al
Aziz. Mengendarai unta besar, dengan membawa serta Abi. Ummi tak ikut, karena
sudah tak memungkinlan lagi berjalan jauh. Kasihan....
Itulah kali terakhir Yusuf, bersilaturrahmi ke
rumah besar Al Aziz, ayahandanya, di kampung. Setelahnya, Yusuf kembali ke
Qahirah, dan menjalankan kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Barqallah lii wa
lakum.