Oleh Hanifa Marisa
Abu Umayyah datang. Ia terakhir. Lima tokoh Qurasy itu, biasalah, konkow-konkow. Di pelataran depan rumah Abu Jahal. Sudah ada Utbah, Uqbah, Al Walid, dan Abu Jahal, tentunya.
Sebuah guci ditarok Umayyah. Di depan teman-temannya. sambil senyum dikulum. "Hahaaa,...nenggak puas kita!" ujar Uqbah. "Kau betul-betul royal, kawan!" tukas Al Walid. Abu Jahal, malah tak bicara. Ia langsung meraih leher guci tembikar hitam mengkilat itu, dan mendekatkan mulut guci ke hidungnya. "Hoooooo,.....amboiii,....kau dapat darimana Umayyah? Ini seakan hadiah dari Latta dan Uzza!" gumamnya, dan glk-glk-glllk,.... cairan khamar itu pindah ke lambungnya. Aromanya sungguh familiar bagi hidung. Ya, hidung kawanan itu. Maka berpindahlah guci khamar itu dari tanagn ke tangan, dari bibir- ke bibir. Glk..glk....glkkkk.
Telinga panas, mata merah, jantung berdegup. Suarapun berubah menjadi 'bas'.
Ketika itulah Abu Jahal, terpandang seorang tengah menghadap ka'bah, yang tak jauh dari tempat mereka. Lelaki berbadan tegap dan wajah tampan, ponakan si AbuThalib, yang disegani. masih kerabat dia juga sebenarnya.. Cuman, sayang, ponakannya ini kayak keras kepala, membuat kelakuan baru, nyembah-nyembah Tuhan baru , sekalipun tuturkata dan sopan santun kejujurannya, tak dapat dipungkiri.
Maka untuk menunjukkan kelas ke'agungan'nya, Abu Jahal, menunjuk dengan tangan kiri arah ke ka'bah.
"Si Sinting mencium Tuhannya lagi, di tanah kabah!"
"Ha ha ha, tadi kayak lagi kentut, arah sono!" jawab Uqbah.
"Sayang sekali, awalnya pemuda baik-baiikk, malah membawa aliran baru, terpengaruh setan genderuwo kayaknya!" sambung Umayyah.
"Ssst, jika dibiarkan, bisa jadi ancaman tuh anak!" bisik Utbah.
Abu Jahal terdiam. Betul juga ya?
Lalu Abu Jahal berfikir sejenak. Dibantu oleh energi khamar kelas tuak super. Mengerinyitkan kening. Dan menyeringai, senyum jahat!
"Lempari yok!"
Uqbah, Utbah, Al Walid dan Umayyah saling pandang. lalu mengangguk. Ayok!! Maka berpindahlah mata mereka pada kerikil nan betebaran di halaman rumah Abu Jahal. Ini dia! Pemuda tak menghormati Tuhan nenek moyang ini, wajib diberi pelajaran!
Telinga panas, mata merah, jantung berdegup. Suarapun berubah menjadi 'bas'.
Ketika itulah Abu Jahal, terpandang seorang tengah menghadap ka'bah, yang tak jauh dari tempat mereka. Lelaki berbadan tegap dan wajah tampan, ponakan si AbuThalib, yang disegani. masih kerabat dia juga sebenarnya.. Cuman, sayang, ponakannya ini kayak keras kepala, membuat kelakuan baru, nyembah-nyembah Tuhan baru , sekalipun tuturkata dan sopan santun kejujurannya, tak dapat dipungkiri.
Maka untuk menunjukkan kelas ke'agungan'nya, Abu Jahal, menunjuk dengan tangan kiri arah ke ka'bah.
"Si Sinting mencium Tuhannya lagi, di tanah kabah!"
"Ha ha ha, tadi kayak lagi kentut, arah sono!" jawab Uqbah.
"Sayang sekali, awalnya pemuda baik-baiikk, malah membawa aliran baru, terpengaruh setan genderuwo kayaknya!" sambung Umayyah.
"Ssst, jika dibiarkan, bisa jadi ancaman tuh anak!" bisik Utbah.
Abu Jahal terdiam. Betul juga ya?
Lalu Abu Jahal berfikir sejenak. Dibantu oleh energi khamar kelas tuak super. Mengerinyitkan kening. Dan menyeringai, senyum jahat!
"Lempari yok!"
Uqbah, Utbah, Al Walid dan Umayyah saling pandang. lalu mengangguk. Ayok!! Maka berpindahlah mata mereka pada kerikil nan betebaran di halaman rumah Abu Jahal. Ini dia! Pemuda tak menghormati Tuhan nenek moyang ini, wajib diberi pelajaran!
Uqbah memulai. Ia melempar dengan kerikil. Ke arah lelaki gagah yang ruku' di depan Ka'bah. Bletuk, tang, psss! Batu itu mengenai dinding ka'bah dan melenting ke arah lain. Tak mudah juga melempar objek dalam kondisi habis minum khamar ini. Maka is segera mengambil kerikil kedua. Al walid, ingin dianggap lebih pintar dalam mengarahkan batu. Maka dengan sedikit menyipitkan mata sebelah kiri, ia mengayunkan tangan. Pletak! Persis di kaki orang itu. Abu Jahal dan Umayyah tak puas. Kalian perlu latihan lagi nih, fikirnya. Dan Abu Jahal memungut sebuah batu yang agak besar. Berat batu segini, lebih mudah dilemparkan untuk tepat sasaran! Sedikit mengambil ancang-ancang, Abu pun melayangkan batu itu. Buk! Berhasil! Dia lihat pantat yang menungging ke langit itu tadi, terdorong ke depan. Abu Jahal senang! Dia merasa lebih mahir ketimbang yang lain. Tentulah Umayyah penasaran. Maka dia ambil juga batu yang rada besar. Seperti Abu Jahal, ia mengambil ancang-ancang, lalu, siuuuttt.....batu kelabu itu terbang, dan menukik ke kuduk. Umayyah terbahak! Dia lihat tadi, sasarannya terhenyak kepalanya arah ke depan! Ha ha ha,...tau rasa!
Namun kegembiraan kelima lelaki Qurasy itu, perlahan terhenti. Sebab tak mereka lihat objek yang mereka permainkan menghentikan aktifitasnya. Bahkan tak ada tolehan kepala, atau gusar, atau bahkan marah, mengomel, atau jika mau, datang ke mereka mencabut pedang! Tidak! Tak ada reaksi itu!
Malahan, batu besar yang tadi mengenai kuduk, kini terlihat dari tempat mereka tegak, memerah. Darah? Luka? Ah semogalah begitu!!
"Dia mungkin memang gila beneran!" ujar Abu Jahal.
"Masih muda udah sinting. Terlalu banyak menyendiri 'kali!"
"Dosis batunya perlu ditambah biar koid sekalian!"
"Iya. Yok, lagi!!!"
Maka tak ayal, batu demi batu beterbangan ke arah depan Ka'bah. Kadang kena kadang tidak. Tak kurang juga, tepat sasaran. Maka penuhlah gamis jubah dan serban oleh debu tanah kotor, membasah darah!
Ibnu Mas'ud, duduk tak jauh dari situ. Ia sungguh tak sampai hati. Ia iba kasihan. Matanya berlinang. Hatinya pun berlinang. Tak terima atas ketidak adilan zalim ini; namun tiada mampu berbuat apa-apa. Dia khusukkan doa zikir pada Tuhan, namun lemparan tak berhenti. Demi memandang darah mengalir di kuduk, dan menetes ke bawah menuju tumit, saat berdiri selanjutnya, Ibnu Mas'ud segera berangkat ke rumah lelaki gagah yang ia temani itu. Akan ia ceritakan musibah ini ke Fatimah! Apalagi, barusan ia dengar, suara Abu Jahal menyuruh mencari tahi unta atau domba, untuk ditarok di kuduk nanti saat sujud. Itu sungguh tak manusiawi! langkah Ibnu Mas'ud bagai kilat menuju rumah Fatimah.
Namun sayang, bantuan belum datang, Uqbah sudah menemukan onggokan tahi unta tak jauh dari rumah Abu Jahal. Masih rada basah. Baunya, maaf, tak usah dituliskan!
Uqbah menyodorkan tahi unta bulat besar itu ke Abu Jahal, sambil senyum. "Dapat,..Nih!" katanya. Abu Jahal dan empat lainnya senyum lebar. Kali ini kau akan terpaksa menghentikan ritual gilamu itu wahai ponakan Abu Thalib!, kata hati mereka.
Maka dilapis daun kurma kering bulatan hijau tua lembab itu mereka hantarkan ke atas pundak, begitu lelaki tak ada reaksi itu sujud. Tak hanya di pundak, juga di serban kuduk nan berlumur darah. Di punggung. Berderet. Disertai tawa gelak yang penuh superioritas!
Namun lelaki gagah yang mereka kerjjai itu tak menghentikan khusuk sembahannya. Pengabdian macam apa pula ini? Tidak logis!! Konyol! Bodoh! Gila. Gila bener!!
"Begitu cara lelaki suku terhormat aristokrat memperlakukan bapakku yang tak melawan?!!" tiba - tiba mereka dikagetkan suara perempuan remaja, tujuhbelasan tahun, cantik lembut bercadar, berdiri tanpa takut menantang.....
Kelimanya memandang. Lima pasang mata itu segera mengenali remaja perempuan itu. Tatap matanya. Suaranya. Fatimah!
Ya Fatimah. Tapi kali ini yang mereka lihat adalah Fatimah yang bersuara tajam, dengan tatap mata berani! Kalimatnya menusuk! Menghunjam ke ulu hati. Lebih tajam dari sayatan pedang yang mereka gantungkan di pinggang.....
Fatimah berdiri persis dekat bapaknya. Menghadapi lima lelaki tinggi besar nan terkenal berani seantero Mekah. Kedua kakinya sejajar, berjarak sehasta. Mata lembutnya kini berubah binar menyala, siap menghadapi apapun! Rawe-rawe rantas malang-malang putung! Loe jual, gua beli!
Malu yang tiada terkira, yang membuat kelima lelaki Qurasy itu mundur teratur. Tak ada hina sehina ini, jika tersiar kabar bahwa Abu Jahal, Umayyah, Uqbah, Utbah dan Al Walid bertarung melawan seorang perempuan muda ingusan! Kemana muka akan disurukkan? Bagaimana aib akan dihapuskan?
Perlahan mereka kembali ke pelataran halaman rumah Abu Jahal. Dengan wajah buram kelam malu.
Sementara Fatimah segera menolong bapaknya , dengan berurai air mata....(TERIMAKASIH. SUATU HARI DI PINGGIR KA'BAH)
No comments:
Post a Comment