Wednesday, January 22, 2020

Suatu Hari di Homestay Hijau

See the source image













































Suatu Hari di Homestay Hijau

oleh : Hanifa Marisa

Lelaki paruhbaya dengan rambut memutih. Muncul di pintu kaca lebar diterpa sinar mentari. Wajahnya lelah.
Aku segra berdiri di meja resepsionis. Memasang senyum teramah yang diajarkan manejer operasional. Di homestay / losmen kampung wisata pinggir sawah ini.
"Selamat pagiii...bisa kami bantu, perlu menginap uda?" sapaku, selembut mungkin. Dengan gestur hangat terbuka. Ia menoleh sejenak dan menunduk. Merogoh dompet lalu mengeluarkan kartu identitas.
"Numpang menginap sehari, eh dua hari!" ucapnya.
"Ok uda." jawabku, bukan memanggilnya bapak, supaya terkesan ia masih muda. Begitu diajarkan perusahaan jasa kami, masuk akal kan?
"Kamar singel ada dapurnya serta kamar mandi. Dilengkapi wifi dan pendingin udara. Jendelanya membentang ke sawah di pinggir sungai dan tebing batu, indah sekali, uda" kataku, membakar semangatnya. Tapi tak kulihat ekspresi dingin mukanya berubah.
"Berapa semalamnya?" ia bertanya, menunduk membuka dompet.
"Lagi promo akhir tahun uda. Tiga ratus ribu, sarapan pagi kami antar ke kamar...."
Ia tak bergeming. Mengeluarkan uang merah enam lembar dan memberikan padaku.
"Sendirian ya uda?" tanyaku sambil menulis kuitansi. Ia mendongak. Menatap mataku. Kosong. Lalu mengangguk.... Ah.
Kuberikan kuitansi dengan senyuman pelayanan terbaik. Walau ia tak berubah seperti onggokan batu gunung. Dengan cekatan kuambil kunci pavilyun samping, handuk, paket gundargigi dan odol kecil, lalu mengantarnya ke kamar. Langkah pantofelku berdetak di keramik mengkilat, tapi dia, "uda" itu berpindah seperti gerobak di pematang sempit. Beginilah. Bermacam profil konsumen datang dan pergi....
"Selamat menikmati istirahat ya uda. " sapaku lalu beranjak. Mungkin perlu energi ekstra merubah bapak, eh, uda itu. Aku menutup daun pintu, dan sejenak kulihat ia mendongak melihat tanda panah arah kiblat di plafon. Entahlah.…

Hampir jam 5 sore. Matahari sudah condong di barat. Bayang besar gedung homestay tempat aku bekerja, menutup halaman. Menyungkup memeluk kembang pucukmerah di taman. Juga pohon mangga dan kelengkeng yang subur. Sebentar lagi, Hendra tentu datang, menggantikanku, untuk shift malam. Ruang tamu dan meja resepsionis aku rapikan. Ini SOP pesan manejer operasional. Jangan malas kalau tak ingin diganti! Ya kan?
Treng-treng-treng.....yamaha RX lama terdengar masuk di gerbang. Pasti Hendra. Tuh, betul! Pake helm butut seperti karyawan PU, celana jean dan baju seragam homestay seperti yang kupakai ini.
Seperti biasa aku bersiap p ulang. Setelah memperlihatkan buku catatan tamu padanya. Tak ada rekomendasi apapun. Kamar bawah dan lantai dua hampir penuh. Beberapa tamu menelpon akan masuk setelah maghrib. Pavilyun juga terisi.
Pavilyun! Ya. Bapak, eh, uda itu. Tak kulihat dia keluar kamar sejak mulai masuk tadi. Tidurkah dia sepanjang pagi sampai sore? Tidak makankah dia? Atau puasa? Bukankah di pojok simpang kanan ini, ada jualan nasi bahkan sate gerobak? Ah, untuk apa terlalu menelisik. Tugasku hanyalah menjaga agar para tamu nyaman , itu saja! Bpak itu, mau makan, mau puasa, mau tidur atau mau semedi seharian, bukan urusanku!
Aku akan pulang, kretika kulihat bapak itu berdiri di pintu kamarnya yang dibuka. Ho sudah bangun dia? Pakai kemeja putih dan rambut tersisir rapi, ia tersenyum. Kaku. Aku membalas ramah.
"Nyaman istirahat uda?" sapaku.
"Alhamdulillah. Warung nasi ada kan dekat sini?" tanyanya.
"Ya uda. Belok kanan. Seratusan meter. Saya bisa bantu belikan jika uda ingin santai di teras." jawabku menawarkan bantuan.
"Ah terimakasih. Saya saja, sekalian jalan sore" katanya. Lalu menutup pintu dan melangkah. Dingin. Panjang-panjang. Memandang ke sawah hijau dan tebing batu terjal. Uuuh..…

Upik Depen adalah wanita empatpuluhan tahun. Ia dan suaminya berjualan makanan dan warung kopi. Memang profesi inilah yang cocok untuk Upik Depen. Hobinya sebagai penyalur berita terpuaskan. Apapun kabar dalam negri ini akan disampaikan melalui corong mulutnya. Mungkin itulah sebabnya ia dipanggil orang Upik Depen. Depen itu sebuah kementrian zaman Upik kecil, yang mentrinya menjadi sumber segala berita. Asal muasalnya Deppen, departemen penerangan. Namun di nama Upik, menjadi simpel, Upik Depen. Itulah!
Tak banyak juga orang seperti Upik. Mau bekerja apa saja. Membantu di sawah dan di ladang. Menolong di pasar dan pesta. Bahkan ikut mengguncang arisan dan menimbang balita di posyandu masjid. Masa gadisnya, kabarnya Upik merantau ke Batam. Beberapa tahun lalu pulang dan bersuami dengan pemuda kampung. Kutengok, mereka yang pernah merantau, tak gengsi untuk bekerja. Beda dengan remaja tamatan SMA yang gayanya parlente. Padahal beli satu sachet minyak rambut gatsby saja mereka merengek ke orangtua. Itulah!
Jam lima pagi Upik sudah di homestay. Ia memasak nasigoreng. Menyiapkan teh manis panas. Membagi nasi ke piring ukuran sedang lalu menyusunnya di meja belakang. Upik Depen dapat penghasilan tambahan tentunya. Dan tugasku jam enam sampai jam tujuh untuk mengantarkan piring-piring itu ke setiap tamu di kamarnya. Seperti halnya pagi inipun. Itulah!
Bunyi sendok gorengan Ni Upik di wajan panas lalu berpindah ke bibir piring kaca, khas. Kret kret, teng teng! Aku sudah hafal itu. Masuk ke ruang dapur , aku menyapa,"Assalamualaikum uni rancak. Sudah siap antar?"
"Ok boss!" jawabnya. He he, aku dia panggil bos, seenak perut dia saja. Tapi memang begitulah Upik Depen. Beberapa piring nasigoreng dan telur ceplok, dilengkapi gelas teh manis, kini ada di nampan besar untuk diantar ke kamar. Biasanya kamar bawah dulu. Lalu lanjut ke kamar atas.
"Kerupuk!" ni Upik mengingatkan. O iya!


Aku sudah beranjak tapi Upik Depen menambah pembicaraan. "Langganan warung uni kini ada shiftnya juga Nafi!" ujarnya. "Pagi setelah subuh, biasanya bapak-bapak pulang masjid. Ceritanya tentang anak muda ganteng yang akan membangkitkan ekonomi kita" sambungnya. Aku jadi tertahan langkah. Mau ngantar nasigoreng, entar dianggap tak menghiraukan celoteh Upik. "Nanti, sepulang uni dari sini, bapak-bapak dan uda-uda peminum kopi yang bangunnya agak siang dan pujaannya beda dengan yang shift subuh" lengkapnya. "Oh!" hanya itu reaksiku, lalu mulai mengantar sarapan. Kamar terdekat, lalu agak jauh dan berikutnya lantai atas. Dari dapur masih kudengar Upik Depen menyambung,"dah tinggi pengajian di warung daripada di sekolah universitas!" Itulah, biarkan sajalah dia berekspresi di dapur!
Terakhir ke pavilyun samping. Dah bangun kayaknya bapak, eh, uda itu. Kain gordin kamar sudah ke pinggir. Aku akan mengetuk pintu ketika dari kaca jendela terlihat ia sedang bicara , berdiri, memegang telepon.
"....untuk apa.....kan saya ini tak berguna.....rumah kendaraan dan perabot situ yang punya.......udahlah.....iya aku mengalah deh, bayarlah sekolah anak, belilah beras sendiri..... Apa? Sejak kapan? Berapa derajat? Lalu nginap? Ya ...ya...ya deh". Lalu kulihat telepon dimatikan, dan dia mengucek-ucek layar dengan jari kanan.
" Assalamualaikum...." aku permisi. Bapak itu membuka pintu. Memasang wajah ramah, walau dahinya berkerut.
"Semoga semalam tidur indah dan lega. Kita antar nasigoreng sama minum teh. " ucapku lemah lembut dan menata piring di meja kecil.
"O ya. Terimakasih" itu saja ucap yang keluar dari mulutnya. Lalu kulihat dia terus memencet layar gadjetnya. Sekilas terlihat tampilan seperti situs tiket onlaen.
"Jika mau jalan-jalan kita ada rentalan mobil , Uda. Harganya sesuai pasaran, tigaratus ribu sehari. Tambah tip untuk supir seikhlasnya. Siapatau mau lihat peternakan sapi, atau air terjun, atau rumahgadang berukir" saya menawarkan. Dia menoleh. Agak lama. Tapi tak bicara. Lalu menunduk lagi ke layar teleponnya.
"Semoga sesuai selera. Nasigoreng ini kesukaan paratamu biasanya,..." kataku lalu pamit.
Baru selangkah di luar, ia memanggil.
"Saya cek aut pagi ini. Tidak jadi dua hari" katanya. Lho?
"Oh. Tapi uda sudah bayar dua hari. Apa ada yg perlu dibantu?" jawabku.
"Tidak. Biarlah. Duit itu ambil untukmu, atau bagidua sama celengan masjid!" katanya. Sinar matanya pedih. Ada apakah ?
"Anak saya yang bungsu demam panas, mungkin diopname. Saya balik. Paling singgah dulu ke kampung satu-jam-an, langsung pulang. Ini tiket sudah Ok dipesan!" terangnya. Aku melongo. Bagi bujangan sepertiku, hidup ini masih banyak misteri. Terkadang diluar indah di dalam parah. Atau di luar kasar dapi di dalam manis. Entahlah!
Dan aku pamit setelah berterimakasih pada "uda" itu. Dia memasukkan bajunya ke tas dengan kepala tertunduk. Huuuh....

Wednesday, January 8, 2020

INA


INA

 Oleh Hanifa Marisa

"Ina pulang lebaran ya?" terdengar mama merayu di telpon. Ina terdiam. Agak berat sih! Sebab pengen jalan-jalan ama teman kuliah di kampungnya; udah janjian. Lagian, kan selama ini Ina udah lebaran di kampung terus. Sekali-seklai dong, lebaran di seberang, ama teman. "Aduh mam, mikir dulu ya,...sebab ada janjian ama temen .." "Yah, mending dikampung nak. Kita kumpul. Papa juga pingin Ina balik.." mama melanjutkan. "Ntar Ina ngomong ama temen dulu deh Ma...ya Ma ya?" Mama terdiam. Agak lama. Ina menunggu. Terdengar helaan nafas panjang. Lalu kembali suara mama di speaker ponsel,"Nenekmu Ina, nenekmu pengen sekali memegang kepalamu,..."

Nenek! Nah, itu mustahak! Rina ddekat sekali sama nenek. Kadang-kadang, ia rasa Nenek memanjakannya berlebihan. Entah kenapa, kata orang, ia cucu yang comel, sentil, suka usil, selalu mengganggu nenek, minta duit, merengek dan sering dimintain tolong mijit kalo capek. He he he, nenek!

Lagipula, nenek itu matanya teduh. tak mau marah jika digelayuti. Suka belikan jajan macam-macam. Pagi dan sore. Dan ini yang buat Rina kagum sama nenek. Ia terkenal cantik dan teguh pendirian sejak semasa kecil. Mau tahu kisah nenek saat masa kecilnya sekolah di kota besar dulu? Ia pernah melawan gurunya lho!

Tahun 1964 adalah masa dimana arus politik dikuasai oleh orang progresif revolusioner dan bekerjasama dengan Peking Moskwa. Tau kan partai yang kuat saat itu? Iya,... itu! Betul!

 Nah, guru nenek di kelas, adalah anggota partai itu, yang kemudian dibubarkan. ia militan. Di kelasnya nenek, ia mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Semua terjadi sesuai kehendak alam. Kata guru itu, yang juga perempuan, para ustad dan ulama adalah penjual cerita bohong yang senang dipuji dan mencari ketenaran saja. Ia terus melakukan agitasi setiap kali masuk kelas. Murid-murid pada takkut sama dia. Sampai akhirnya, suatu pagi, setelah menerangkan kebenaran mutlak ada di cara berfikir kita, ibu itu bertanya; "Hayo, siapa diantara kalian yang setuju denagn ibu, bahwa Tuhan adalah khayalan semata?"

Semua murid mengangkat tangan ke atas. Entah beneran setuju entah takut. Tapi nenek Ina, tidak. Ia melipat tangan di meja. Itu kebiasaan anak sekolah zaman dulu. Dengan wajah menunduk. "Fatimah, engkau tak setuju ateis?" Guru itu membentak nenek. Sambil tetap menunduk, nenek menggelengkan kepala. Ibu itu mendekati nenek. Mengangkat dagunya. menatap berang. "Kenapa? Engkau termakan propaganda guru mengaji ya?" nenek menjawab lembut,"Ibu saya muslim buk, bapak saya juga. Saya Muslim sejak kecil ..."

Dengan berkecak pinggang bu guru itu bertanya keras,"O jadi ikut orang tua? Apa jika bapakmu tolol, lalu ibumu tolol juga, kamu ikut tolol?" Nenek terperangah. Ia mulai mengangkat wajah. Matanya menatap lurus.

"Jika bapak saya tolol, dan ibu saya tolol, nah itu baru saya akan ateis buk!" jawab Nenek tanpa tedeng aling-aling. Ibu guru itu terperanjat. Nenek kemudian diberi nilai merah. Walikelas nenek, yang juga merantau dari Sumatera Barat, kemudian menolong memindahkan nenek ke sekolah lain, bahkan akhirnya nenek ia jadikan menantu. lalu mama lahir. Nah,....

 "Gimana nak? Pulang ya?" mama terdengar lagi membujukj. Oleh karena nenek yang pengen ketemu, akhirnya ia mengalah. "Iya deh mam. Ina lebaran di kampung..." Ingat bika jajanan nenek pagi-pagi, saat masih SMP dan SMA dulu. Hi hi hi...

***
Sahur ke 14 ! Seperti biasa, setengah piring nasi, sayur sisa semalam, tempe goreng sepotong dan ayam nuged goreng. Rada simple dan cepat. Sebab, setelah sahur dan imsak, lalu shalat subuh, niatnya segera meluncur ke terminal kampung rambutan. Buat apa lagi kalau bukan nyari karcis bus ke kampung. Ina memutuskan naik bus AC aja, biar lebih santai. Lagian kan bisa ngehemat budget buat lebaran kan?

Pinggir jalan aspal sedikit basah. Gerimis semalam nih. Tapi Depok tak pernah sepi. Angkutan sudah banyak hilir mudik. Lampu jalanan masih menyala kekuningan. Ibu-ibu, bapak-bapak, mas dan abang serta adik siswa siswi sudah keluar, dengan urusannya masing-masing. BUnyi telapak sepatu, termasuk sepatunya , rame di trotoar.

Angkot menepi. Ina memandang ke dalam. Beberapa orang. Ada perempuan juga, selain abang-abang. Ia melangkah masuk sambil sedikit menunduk. Maklum, tingginya 165 cm. Memutar badan, dan duduk manis dekat mbak yang pake jaket dan baju merah yukensi. Angkot kembali berjalan. Sopir mengintip dari kaca depan. Gemuruh jalanan di pagi subuh.

Belum sampe satu menit, mbak menor di kirinya turun. Ia jadi sendirian di dalam. Melirik ke lelaki di kiri. Ceking. Sudut pandang ke lelaki tegap di jok depan, acuh! Mbak menor meluncur hilang dan angkot di gas kembali.
“Sndirian pagi-pagi, nyok abang temenin Neng!” abang-abang ceking di samping kiri menggeser duduk persis ke dekatnya. Bau jaket yang apek, campur parfum murahan bikin tidak enak perut! Apalagi, mulutnya aroma kuah tape ketan! Wuih!!!

Ina tak melayani. Ngapain rebut pagi-pagi begini. Tapi si abang ceking, kayaknya punya maksud lain. Tak hanya sekedar menyapa tapi lebih dari itu. Tangannya melingkar ke bahu. Hep!!!

 Ini bisa berabe! Ia melirik ke lelaki lainnya, matanya tajam. Firasat tak enak menyelinap ke hati. Ia masuk perangkap? Tangan lelaki ceking itu ia tepiskan. Namun reaksinya abang-abang itu malah makin menyeramkan. Ina segera memegang pergelangan tangan yang tulang belulangnya menonjol itu, memutar dengan reflek, dan gdubrak!! Seperti sering dipraktekkan saat latihan sama Mak Datuk di belakang rumah gadang, nun di jalan ke Buyau, perbatasan Kotokociek dan Ampang Gadang, ujung kakinya reflek masuk ke bawah ketiak ! Abang ceking berbau tak sedap itu melosoh ke lantai mobil. Tulang rusuknya ngilu!!!

Mobil angkot digas lebih kencang. Ia segera sadar, ketiga lelaki ini, dua di belakang dan sopirnya, sekongkol. Terbukti, ketika lelaki tegap yang duduk di depan mengeluarkan belati dari balik bajunya dan menghunus kearah dada. “Nurut aja deh, kalo sayang ame nyawa!!” suara lelaki tegap itu mengancam. Ina mengambil safas dalam. Menghirup ke dasar dada, menahannya di perut. Bayangan mahasiswi yang pernah diintimidasi di angkot, lalu lompat dan mati beberapa bulan lalu, melintas. Darahnya mengalir kencang. Dendam tiba-tiba muncul di denyut jantung.

Dengan berat ia menjawab,”jangan hanya todongkan, tusukkan pisaunya dalam-dalam!” Suara Ina bergetar .

Saat sel-sel otak lelaki jahat itu mencerna kalimatnya, dalam setengah detik, sepatu ket Ina menyambar sikunya. Pisau tajam mengkilat itu terpental. Menerpa langit-langit mobil dan memantul ke kaca jendela, lalu masuk ke bawah jok. Lelaki itu ternganga. Belum sempat ia menutup mulutnya, lutut Rina melesak ke dagunya. Bunyi tak sedap terdengar saat mulutnya terkatup. Lelaki itu berusaha bangkit, dan membalas. Emosional. Dan ini keuntungan. Butuh sedikit kelitan untuk menghindar dan setelah itu lutut kembali menghantam dada. Lalu pekik tertahan, dan badan bongsor itu terjerembab ke lantai angkot. Menggapai-gapai…

“Setop bang! Kalau tidak gue teriak.” Ina mendesis. Sopir angkot melorot mentalnya. Ia menepi. Dan Ina meloncat keluar. Orang-orang di jalan, seperti biasanya, acuh, sibuk dengan tujuannya masing-masing. Ina menyandar ke tiang pinggir trotoar. Menurunkan tensi dadanya. Sambil lambat-llambat berzikir. Subhanallah, walhamdulillah, walailahaillallah, wallahuakbar!

Plang nama terminal melengkung hijau, bertulisan putih; Terminal Kampung Rambutan. Aspal pintu hitam merah. Konblok kumuh dan besi pengaman. Huh! Tapi, di dalam sudah rame. Shelter yang cukup luas dan tempat duduk berwarna hijau pucuk pisang. Melintas pelan dan hati-hati. Pengalaman jelek subuh tadi, mencekam dan menyuruhnya hati-hati di setiap saat dan setiap tempat. Seorang menyongsongnya dan bertanya tujuan. "Kemana dek? Jogya? Surabaya?" Rina menjawab dengan mempertemukan kedua telapak dangan di depan dada, sambil berusaha senyum ramah,"kagak Mas, ke Padang. Bukittinggi, !"
Tak berapa lama datang yang lain,"Ka padang yo diak? Kamarilah! Jo kami sajo, masih ado bangku untuak siang beko!"
"Wak pasan untuak sapuluah hari lai Da. Untuak rayo di kampuang."
"Ado diak, ado! Kito ado bus tambahan. Kalau nan biaso alah panuah, lah abih!" jawab lelaki itu. Ia pasti orang awak. Buktinya fasih gitu!

Sudah hampir pukul sembilan. Cahaya matahari memancar dari sebelah timur. Byang-bayang memanjang. Keluar dari terminal, disambut sekelompok anak-anak pengemis. Biasa, nyari recehan. Tapi Rina, punya niat lain kali ini, bukan recehan, tapi kembalian 20.000 tadi! Bukankah Tuhan telah menyelamatkannya tadi pagi? Jadi , jika biasanya ia memberi recehan logam, kalo ketemu anak-anak seperti ini, maka kali ini; spesial. Rp 20.000. Duit hijau itu ia genggam di tangan.

Lima orang anak kecil. laki perempuan. Kumuh. Dengan kaleng dan gelas air mineral kosong di tangan. Memandang penuh harap.
"Siape nyang kagak ade orang tuanye? Nyang yatim ato piatu?" Ina bertanya, di genggamannya, uang kertas hijau. Anak-anak itu saling pandang. Sungguh, sebenanrnya mereka punya bapak ibu, kok. Cuman disuruh aja ngemis.


 "Itu mbak. Bapaknya sudah meninggal!" seorang menyebut.
"Kagak! Die punya bapak kok?" yang lain menimpali.
"Iya, tapi kan bapak tiri, mana kejam lagi! Suka mukul!" ada yang membela.
Ina menghampirinya. Sepertinya ia paling kecil, kurus. Rambut awutan.
"Siapa namanya?" Ina bertanya.
"Intan mbak,..." jawab anak perempuan kecil itu. Ingusnya nongol.
Ina memberikan lembaran duit ke anak itu. Menyerahkan ke genggaman tangannya.
Tangan kecil itu membuka lalu dengan senang ia menerima. Mata Intan bebrinar.
Ia meremas lembaran kertas itu. Serasa mendapat hidup. Toh biasanya, rebutan kompetisi sama pengemis lain, paling ia berjam-jam dapat lima - enam ribu. Lalu jika sudah lebih lima ribuan, ia akan berjalan menyebrang jalan depan terminal. Minta nasi dibungkus dengan kuah gulai. Minta kerupuk dua buah. Lalu ia akan segera pulang ke pondok kumuh belakang jalan lorong kecil, dan makan sama emaknya. Kini, di tangannya ada Rp 20.000 ! Wow, duapuluh ribu!! Ia bisa membeli nasi bungkus pake rendang, atau telur dadar ! Ya, hari ini terasa begitu berkah. Masih pagi, udah Rp 20.000 ! Intan memandang wajah Ina dengan perasaan entah seperti apa.

Namun Intan seperti tak bergerak. SEdetik gembira , sedetik kemudian terdiam. Ragu. Sebab tadi 'bapaknya' pulang, sebelum ngemis. Pulang dengan wajah seperti biasa, seram bahkan apalagi tadi pagi. Ia pasti akan mintak duit, makanan dan apa saja yang ia inginkan. lalu, ia dan mak, akan mengalah dan menyerah. Sebuah fenomena yang Intan tidak suka, tapi apa boleh buat. Bapak jahat ! Dan ibu, ibu.....ibu teramat mulia, memeluknya setiap malam tiba.

"Takut ya? Kasih ke gue aja!" anak lelaki temannya usil, sambil menjauh mencari objek berikutnya. Rina menangkap sesuatu dalam wajah Intan.
"Udeh, sono, kasih mak mu!" temannya yang perempuanm yang agak besar ikut nimbrung. Duapuluh ribu! Alangkah banyaknya! Ibu tentu senang,.... Tapi, di pondok, ada 'bapak'nya.
"Kenape?" Ina bertanya.
"Kagak, kagak ade ape-ape...." Intan menggeleng. Tapi matanya menatap penuh harap minta pertolongan. Ina sudah beberapa kali menghadapi anak-anak begini. Sejak mulai kuliah, ia sering diajak teman ikut pengajian, ikut kelompok hafalan ayat Qur'an, ikut minta sumbangan untuk palestina dan Rohingya, ikut membantu korban kebakaran di Kemayoran dan ikut membantu korban banjir juga. Hanya satu yang Ina tidak mau, ikut secara administratif dalam onderbow partai. Kalau sekedar membantu kegiatan sosial dan pengajiannnya, ia senang aja. Kata Papa, ikut aja yang positifnya, sedang kalau mau aktif administratif di partai, jangan dulu. Papa ingin ia tamat dalam kondisi blank, belum ada warna. Padahal Ina tau, papa juga ngefans tuh sama tokoh yang memperjuangkan agama. He he he, Papa takut kali ye?

Jadi jika menghadapi anak seperti Intan, ia ingat pengalaman di Penjaringan, di Kabayoran dll. Anak-anak bermasalah. Dan bekal materi ajar Psikologi Perkembangan, mengusik-usik hatinya. Ia jongkok di depan Intan dan memegang pundaknya.
"Kalo takut mbak temenin!" tawarnya. Dipandangnya mata anak itu lurus-lurus. Intan diam. Menatap genggaman jemari, duit kertas hijau. lalu kembali memandang padanya.
"Ditemenin ya? " kejar Ina.
Kepala Intan tak bergerak. Tapi bola matanya, pelupuknya, seperti mengangguk. Tanggung-tanggung, nolong, sekalian aja anatr ke rumahnya.
"Puasa kagak?" tanya Ina sambil menggandeng jalan.
Intan menggeleng.
"Ibunya puasa?" kejar Ina lagi.
Anak itu kembali menggeleng.
"Udah, kalo gitu kita jajan nasi di warung Padang seberang jalan. Duitnya intan pegang aja. Nasinya, mbak yang belikan!" Rina tegas. Semangat saat menolong korban kebakaran dan banjir sama kelompok pengajian kampus, seperti memberi bekas bagus.

Kaki-kaki tanpa sandal. Ayam dalam kurungan bambu. Got becek bauk. Kardus disusun-susun. Pohon dengan kabel silang pintang. Lalu tempeln nomor hp iklan berbagai produk. Suara musik berbagai jenis. Televisi dengan volume besar. Lalu bungkus bekas jajan yang ditiup angin gersang. Huh! Kesinilah Intan membawanya, masuk pintu pondok, ah bukan pondok, lebih kecil lagi! Dan seorang lelaki telungkup di pijiti istrinya. Gelas teh manis dekat kepalanya.
"Cepat pulange nduk?" Ibu Intan menegur. Lalu wajah Ina nongol di belakang Intan.
"Assalamualaikuuum..." Ina menyapa ramah. "Salam! Sape ya?" Ibu Intan heran.
Intan mengulurkan nasi bungkus. Dalam plastik asoi, dua bungkus. Ibunya berubah jadi ceria. dan kepala suaminya yang tadinya telungkup, kini berbalik memandang mereka. Astaghfirullah!!!!
Bukankah ini lelaki ceking yang tadi ia hajar di angkot?

Begitu matanya terpandang, reflek kaki Rina bergerak membuat kuda-kuda. Bolehjadi karena sering dilatih Mak Datuk, nun di tebing Buyau sana. Intan dan ibunya tentu tak menyadari apa yang terjadi. Mereka fokus pada dua bungkus nasi yang berpindah tangan dari jemari kecil Intan ke ibunya.

Yang tak kalah terperanjat adalah bapak tiri Intan. Bagaimana mungkin gadis semok tinggi kuning ini tau tempatnya? Bukankah tadi ia telah menghambur turun angkot dan hilang di pinggir jalan? Apa ia malaikat? Dan yang tak kalah urgen; apa dia membawa polisi? Kupret!! Bahaya!! Ia segera hendak lari, atau sekurangnya sembunyi....

Namun sadar, bahwa kelakuannya akan mencurigakan istrinya, ia tertelungkup. Lemas! Sekali ini, habislah riwayatnya! Muncul sesal dalam hati, kenapa pagi subuh tadi sepulang dari tempat yang tak usah ia sebutkan, sama si Jombie dan Lukah , si sopir angkot, ia menjadikan gadis ini jadi objek... oalaaah !!!! Sial banget dah! Ampun deh!!

Jantung Rina masih berdegup-degup. Jika memang begini harusnya, 'sagalobang' lagi dia hadapi! Rawe-rawe rantas malang-malang putung! Memperpasih langkah, mengeluarkan peluh buruk,.... Namun rasa di hatinya segera juga berubah, melihat gestur lelaki itu tertelungkup lemas, menyerah. Pasrah 100 %. Atau bahkan malahan 101 %.... Siap siaga nya berubah jadi kasihan,... Awut-awut rambut Intan, gurat sabar ibunya Intan, dan siku bapak tirinya yang hitam menonjol tertelungkup lemas di tikar, ... meredakan nuraninya.
"Maaf, kami ketemu di terminal, sekalian mau ngasih sedikit rezeki deh buat Intan dan Mpok." Ina memecah suasana.
"Masuk dek, masuk. Maaf berantakan. Maklum, kami orang beginian. Ni lagi urut bapakke, katanya tadi subuh jatuh di tangga mobil temennya." Mpok ibunya Intan menjawab.
Jatuh di tangga angkot? Nggak salah tuh? Bukannya rusuknya dimakan tempurung kaki berlapis sepatu ket nya subuh tadi? Ah, sudahlah,....
Ucapan istrinya, yang menyebut alasan rusuknya sakit dan diurut, semakin menciutkan nyali. Semakin melemparkannya ke lubang dalam. Tapi, apa yang bisa ia sebut? Emang dia bilang begitu kok tadi sama maknya Intan. Sudahlah kagak dapet duit semalaman, utang sama Jombie buat minum, lalu kejadian di angkot subuh-subuh,...apes banget! Apes!!

Kini, saat gadis berbola mata hitam itu datang sama si Intan, berdiri di pintu rendah gubuknya ini; apa yang bisa ia lakukan? Duh, nasib!
Diam agak lama. Tangan ibunya Intan melepas karet di bungkusan kertas coklat nasi. Lelaki ceking tertelungkup itu, akhirnya duduk tertunduk. Tak berani memandang wajah. Tak ada lagi galaknya pada Intan. Habis asa nya!

Dan Rina, kalo udah melihat makhluk tertunduk begini, cepat juga runtuh hatinya. "Silakan, dimakan nasinya. Ini rezki dari Tuhan kok!" Rina bicara lembut. Bau kuah rendang, kini mengalahkan pengap di dalam gubuk. Lelaki ceking itu, memalutkan tangan ke tubuhnya, ke tulang rusuknya yang terlihat jelas.
"Duh, terimakasih banget Neng, mimpi apaa dapet rejeki pagi-pagi.." Ibunya intan rikuh.
"Tidak tau mbak, gue juga mimpi ape. Ketemu Intan setelah beli tiket mudik tadinya. Silakan dimakan. Silakan Bang,..." Rina mengikat hatinya erat-erat. Jangan ada dendam setitikpun! Dan lelaki kurus itu, makin dalam tunduk kepalanya.....

Mpok itu melap ingus anaknya, Intan. Lalu mulai melahap nasi bungkus kuah rendang. Genggam nasi anak itu, terlihat besar, dan menggumal masuk ke mulutnya, kemat-kemot! Nde , lamaknyooo!
Rina merasa misinya selesai. Memastikan bahwa anak kecil bawah lima tahun ini sampai ke rumahnya dalam psikologis tentram. Tidak dicubit ayah tirinya, tidak direnggut duitnya dan tidak dimarahi. Dalam mata ajaran yang diperolehnya di kampus, kondisi tekanan mental pada saat masa anak-anak akan berakibat pada jiwa setelah dewasa. Ia merasa perlu menolong, itu saja! Lagian, udah biasa kok, ia menolong kayak gini sama kelompok pengajian kampus!
Lalu Ina pamit. Tak perlu berlama-lama. Tuh, nada dering di ponsel dalam kantongnya berbunyi, "hdup adalah anugah, syukuri apa yang adaa.." Rina memencet gambar telepon, dan terdengar Ilil mengucap salam,
"Jadi kagak ngampus? Ketemuan di ruang himpunan ya?"
"Alaikumsalam, iya, baru mau berangkat nig, pesen tiket mudik dulu!" Ina menjawab.
"Mudik? Dasar Padang primitif, baru setahun merantau aja udah mudik! Lo disuruh ikut panitia ngumpulin zakat fitrah di Himpunan tau?!" Ilil mengomelinya di ujung telepon. Ha ha ha,...emang gua mau mudik, ngapain?!

"Mbak pulang?" Intan bertanya diantara kemat-kemot nasi di mulutnya.
"Iya,..makan yang enak ya?" jawab Ina.
"Kapan kesini lagi?" tanya Intan. Matanya bundar berharap.
Nah, ini pertanyaan berat. Kapan?
"Kapan-kapan, insyaAllah. Daah, assalamu'alaikum." Ina cabut. Mengambil nafas panjang dan berat. Ooo,...

Belum cukup sebelas langkah ia berjalan, terdengar seseorang memanggil dari belakang. Ia menoleh. Lelaki ceking itu! Ia berhenti. Kakinya tegak lurus jarang sejengkal. Siap dan berhati-hati!
"Neng, saya benar-benar mohon maap. Bener deh! Jangan laporin polisi ya ..." pintanya. He, siapa yang mau lapor polisi? Mau ke kampus kok!! Lelaki itu mendekat dan merapatkan kedua tangan di dadanya. Menunduk-nunduk. Kalau ngikutin hati, gua terjang empulur lo!
"Kagak bang. Udah, abisin aje. Gue maapin deh! Tapi gue titip tu anak dijaga ye?!" jawab Rina.
"Iya neng. Iya. Janji..."

Ina datang di kampus dengan senyam-senyum. Tinggi 165 cm, jeans dan baju kemeja kotak, jilbab biru muda. Tas sandang yang temalinya menjuntai. Isinya cuman diari dan dompet. Tak ada buku hari ini, tak ada juga laptop. Kan udah selesai semesteran? Nilai juga udah keluar!
"Ceile, yang IP-nya di atas tiga, gembira banget." seorang jilbaber langsung menyambut.
"Seneng sebab mau pulkam tuh orang! Pemudik aktif!" Ulil nimbrung.
"Habis sahur tidur lagi, lalu kesiangan kan?" kejar Warda.
"Bukan, ia mungkin tarawieh puluhan rakaat, jadi kecapean, ha ha ha.." yang lain ikut nonjok.
Semuanya ia hadapi dengan senyum simpul, sumringah.Emang IP nya bagus, alhamdulillah. Emang mau mudik, betul! Tapi kalo tarawieh puluhan rakaat, nah itu kagak bener! Emang dia lebih pinter ketimbang Rasul saw atau Imam masjid Mekah dan Madinah? Kagaklah!
Kebrsamaan di ruang kelas, di kuliah lapang dan kelompok sosial membuat mereka erat seperti saudara. Saling ledek itu, sebuah perilaku menetap. He he he

Fariz muncul, dari arah kantor dekan. Lihat, jalannya pasti cepat-cepat kayak gitu. Tasnya tetap berat, walau tidak kuliah. Entah isinya baju kaus, sandal , majalah dan iPad. "SElamat pagiii, assalamualaikuuuum,..." sapanya. Biasa, kayak pejabat tinggi baru datang gitu! Rambutnya disisir rapi. Maklum , sekretaris himpunan, mahasiswa semester enam. Lalu tangannya mengeluarkan selembar kertas, seperti brosur, atau pengumuman. "Pasti banyak yang mau nih, seminar dan pelatihan wirausaha muda buat optimalisasi peran masjid." katanya.
"Dimana? Fee registrasinya berapa?" Ilil antusias. Selembar brosur dia ambil. Lalu mulai menilik. Bulan Agustus, sesudah lebaran, registrasi untuk mahasiswa cuman Rp 100.000,- Tujuannya, buat mengembangkan potensi pasar beduk yang ada selama ramadhan jadi pasar kontinu di halaman masjid. Juga untuk memfasilitasi pedagang yang ramai setiap habis shalat Jumatan,....akan ditata dengan baik dan diberikan pelatihan. Mahasiswa yang berbakat untuk menambah aktifitasnya boleh deh nyoba-nyoba! Penyelenggara bejkerjasama dengan jurusan ekonomi Islam yang barusan dibuka tahun ini. Wah, boleh juga nih!
"Kata Ilil, Rina bakal mudik ya? Jadi namanya di urusan zakat fitrah himpunan diganti siapa ya?" Fariz bertanya.
"Iya. Gua mudik. Ada urusan penting." jawab Ina.
"Tapi bakal balik lagi kan? Baliknya nggak sama suami kan?" Fariz balik bertanya. Seenak perutnya!

 Itu gayanya Fariz. Ceplas - ceplos. Dulu aja, waktu perkenalan mahasiswa baru, saat Fariz belum menjabat pengurus Himpunan, ia sudah dibuat malu bukan main. Saat berbaris, para senior seperti 'hantu' di depan. Perasaan, Ina sudah betul dan lurus. Tak ada kesalahan. Tapi, Fariz itu, dengan entengnya membentak,
" He Siti Nurbaya! Kamu bisa kagak baris yang bener? Biar lo anak siape, , kalo salah gua hukum lo!". Ina terkejut. Ia tak biasa dibentak di depan orang ramai. Cepat-cepat ia membetulkan berdirinya, sambil pandang kiri kanan. Apalagi dibilangin Siti Nurbaya, Nah mungkin karena saat itu ia belum pake jilbab, dan rambutnya panjang lurus lewat bahu.

"Emang kalo Ina balik sama suaminya kesini, masalah buat pak sekjen?" Warda menyentil.
"Iyalah. kan gua udah berdoa siang malam sama Yang Kuasa, supaya ia jadi ibunya anak-anak nanti?" tak kalah Fariz menjawab. Gila!
"He, bulan pusasa nih!" Wuri menyerobot. Lalu pada senyum. Senyum dan terkekeh. Ina aja yang teromabng-ambing. Aduh!

"Katanya Padang itu banyak kuliner enak-enak kan? Oleh-olehnya pasti puas ntar!" Fariz masih celoteh.
"Iya. Tante gua dulu pernah ke Padang Payakumbuh, Ia beli Rendang telur sama rendang Belut campur daun-daun gitu, ueeeenak banget!" kali ini Endah yang berkicau.

Bukittinggi, pagi 4 Agustus,...
Bus Eksekutif AC toilet yang berngkat hari Jumat dari Jakarta, masuk di pool Bukittinggi, setelah memutar dari Solok ke Padang. Separoh penumpang turun di Padang, dan sisanya menuju Bukittinggi, tentu termasuk Padang Panjang juga. Di bangku tengah Ina memandang ke luar kaca jendela. Pendakian Silaieng telah lewat. Air Terjun yang sering juga disebut sebagian masyarakat dengan Air Mancur itu, tadi terlihat mengerikan. Bunyinya berdesau turun gemuruh. Embunnya terbang ke kaca jendela. Lalu monyet-monyet bergelantungan di dahan pohon sebelah kiri. Pendakian panjang mengikutinya, dan muncul di Padang Panjang. Rumah-rumah yang sejuk dengan bunga anjelir di pot-pot kecil bersusun-susun di halaman. Bunga dahlia merah, putih dan ungu. O, betapa indah, apalagi disiram cahaya matahari baru terbit,...

Setelah pendakian yang panjang, di jalan yang mulai terasa sempit, diselingi kebun kubis hijau segar kiri jalan, bus mulai terasa menurun. Pasar sayur Padang Luar. Ibu-ibu yang rame sibuk. Gerobak sayur dan mobil pikap. Truk disel kuning yang akan berangkat ke Pekanbaru. Teriakan-teriakan tukang parkir. Motor yang menyelip-nyelip. Dan bus Ina yang merangkak pelan. Sebagian penumpang mulai menguakkan selimut dan menyimpan bantal. Menyusun-nyusun tas bawaan. Sudah dekat!
"Lah hampir sampai.." ibu yang di kanannya berucap.
"Ho-oh. Ibu ke Maninjau kan?" balas Rina.
"Iya. Turun di Simpang saja, sudah ditunggu anak.." jawab ibu itu.
Maninjau. Itu daerah rendah sekitar danau yang religius. Tempat asal Buya Hamka. Buya yang kecerdasan dan kearifan serta kelemahlembutannya, membekas di hati jemaah. Bukan hanya jamaah, bahkan lawan-lawannya. Kendornya berdenting-denting, tegangnya melentur-lentur....

Ibu di samping kanannya sudah turun. Membawa tas dua buah. Lalu kantong asoi berisi makanan dan botol air mineral besar. Jalanan rame, angkutan kota ke pasar-atas berdesakan. Toko oleh-oleh berderet kiri kanan jalan. Sanjai balado, jagung gurih, kipang kacang dan lain-lain. Lalu terasa sopir melambatkan bus. Belok kiri. Masuk ke pool. Rina segera mengedarkan pandangan ke para penunggu panumpang. Papa tidak kelihatan, eh, ada! Tuh, mobil kijang putih parkir di sisi halaman yang luas. Rina hafal bener kijang itu; sebab sejak ia kanak-kanak, Papa tak pernah mengganti kendraannya. Kata mama, sejak ia berumur 2 tahun. Papa ada rezki di kantor, ditambah tabungan, lalu mobil itu jadi milik mereka, sampai hari ini. Duapuluh tahun, hampir! Tak ada yang berubah, tanpa variasi luar. Model ram gril yang asli. Tapi coba lihat di dalamnya, interior serba hijau dan empuk. Permadani dan langit-langit yang juga hijau. Tivi audio yang cukup representatif. Dan Ina tau persis, di dashboard, pasti ada Al Quran kecil, yang jika lagi nungguin mama belanja akan dibolak balik Papa. Hmmm,....

Papa menyambut tangannya ketika ia melompat turun dari pintu bus yang membuka ke belakang. Tas sandang dengan temali menjuntai. Jean putih dan jaket putih menutup kemeja. Lalu jilbab merah muda lembut. (katanya sesuai permintaan pembaca; walau tadinya ragu, mau pake yang putih juga, sehabis sahur di Gunung Medan jam 2 tengah malam). O, betapa teduh hati papa saat ia sujud mencium tangan. Sebab itu dulu tak pernah dilakukannya. Sebelum berangkat, bukankah ia anak gadis Kotokociek yang jika salaman egaliter dengan siapapun? Kata guru agamanya di SMA, Rasul saw tak mau sahabat mencium tangannya, tak mau sahabat berdiri jika beliau saw datang dan tak mau dipanggil baginda tuan yang mulia secara berlebihan, Nah!
Papa membantu mengangkatkan koper pakaian dan memasukkan ke bangku mobil, di jok tengah. Ina, segera merasakan ketentraman jika dekat sama papa. Ia juga meletakkan tas sandangnya di jok tengah sebelah koper, lalu tak sengaja, ia menoleh ke bangku belakang. Lho, kok ada tikar dan onggokan pakaian? Sepertinya pakaian uda Aris?
"Pakaian kotor Udamu,..." papa seperti mengerti tanya di hatinya.
"Kenapa?" tanya Ina.
"Ia sudah sejak Jumat bersama mama menemani nenek."
"Menemani nenek?"
"Iya. Begini. Hari Kamis nenek yang tidak mau puasanya batal satu haripun, teringat buka puasa sama Bongkosrikayo. Lalu sorenya kami jalan buat beli Bongko itu ke Limbonang. Dapat. Nenek bahkan menghabiskan dua bungkus. Saat dibangunkan sahur, nenek merasa tangannnya tak bisa digerakkan. Stroke ringan. Sekarang di RS Kantin. Kata mama, tak usah ngasih tau Ina dulu, toh hari Jumat itu, Ina sudah berangkat pulang dari Jakarta."
Ina terperangah. Bongko! Itu makanan enak manis semanis madu. Dibuat dari telur. Kuahnya harum. Bau daun pandan. Dibungkus daun pisang. Dimakan pake apapun, atau dimakan tak dicampur apapun, bongko adalah maknyus!! Hanya lidah yang telah menyicipnya saja yang akan mampu mentransformasi tekstur lembutnya.
Kalau begitu, ia harus ke nenek sekarang juga! Nenek itu yang mengeloninya saat kecil, ketika mama harus ke Padang sebab papa sakit. Nenek itu yang menajaknya ke Bukit Cintuk mencari dedaunan untuk rendang belut. Lalu saat kakinya kecapean , mereka duduk dulu ngobrol di pendakian Tanjung Ipuh. Nenek juga yang rajin ngajak dia ikut manasik ke Payakumbuh, dulu ketika nenek mau ke Mekah. Nenek!

Sehabis berterimakasih pada supir bis, mereka pamit. Kijang 90-an itu belok kiri pelan-pelan. Lalu menurun arah ke pusat kota. Menjaga jarak dengan angkutan kota yang secara tiba-tiba bisa berhenti mendadak. Itu salah satu ciri Papa nyopir, tidak mau saradak-suruduk kayak teman-temannya di kampus.
Tak sadar, Ina menggigit ujung jemarinya. Dan papa melirik sambil pegang setir.
"Nggak parah kok, masih bisa bicara, cuma tangan kanannya susah diangkat.."papa memecah kesunyian. Eh, papa....

Tak lama, mereka sampai. Belok kanan dan parkir. Suasana rumah sakit. Dokter yang berjalan menunduk. Petugas medis yang langkahnya cepat. Bau aroma pembersih lantai. Tukang koran yang mencari konsumen. Antrian pasien di klinik layanan. Inilah rumah sakit khusus stroke yang cukup membanggakan hati, Mungkin takkan jumpa di tempat lain. Jika ingat kebiasaan orang-awak yang makan gulai dan rendang, maka eksistensi rumah sakit ini menjadi keharusan. Ina tersenyum sedikit. Sebab ia juga tau dari teman-teman, dulu ini milik yayasan baptis; kini berkembang dan bermanfaat banyak. Terimakasih ulama umaro Sumbar, yang cepat tanggap cekatan mengelola lembaga ini. Eh, ke kamar nenek ya!


Berjalan cepat disisi papa yang langkahnya lebar. Menuju ruang rawat inap lantai atas. Satuhal, tidak pengen kejadian kayak sinetron-sinetron. Berkumpul di tempat tidur keluarga, saat kritis dan bahkan berlalu. Itu tak boleh terjadi. Itu dramatisasi model India dan Melayu kuno. Tidak!
Papa membuka pintu dan mereka masuk. Mama memeluk dan da Aris senyum. Nenek, telentang dengan bantal tipis. Di atas kasur yang bisa didorong samping bufet kayu yang dipenuhi makanan, air minum dan obat. Seterusnya adalah memeluk nenek. Memanggilnya."Enek!"
Wajah tua berambut putih dan penuh guratan itu senyum. "Lah tibo kau Na?" bicaranya lunak. "Lah nek." Lalu tangannya yang kiri menggapai kepala Rina. Rina membiarkan. Itu kan kebiasaan nenek. Tanda sayangnya sejak masa kanak-kanak dulu. Kata nenek, ia cantik. Tapi kata orang-orang, ia mirip nenek waktu kecil. Entahlah. Ia hanya ingin nenek sehat dan ceria seperti dulu. Itu saja. Ia tatap mata neneknya dekat-dekat. Bibir nenek seperti akan berucap, tapi tak ada kata keluar. Lalu berikutnya, ia merasa kedua tangan nenek telah ada di kepalanya. Betulkah? Mama juga terpana, dan berucap. MashaAllah! Bukankah tangan nenek yang kanan kaku?
Mereka semua tersenyum gembira. Percaya atau tidak, nenek mampu mengangkat tangannya dan mengelus kepala cucunya ini, seketika. Boleh jadi, menurutmu pil, kapsul dan sirup obat begitu manjur. Tapi pagi Minggu ini, di kamar rawat inap neneknya, Ina membuktikan, kehangatan kasih sayang berdampak melebihi zat-zat kimia itu.
"Nenek?" Ina mengambil tangan neneknya. Mengurut-urutnya,....dengan senyum mengembang. Subhanallah!


PINDAH



·         PINDAH
‎"Ntu iyo indak ka babaliek ang ka ken tu?"
"Iyo indak takah e reah Da. Tianlah dicubo maubah tompek duduak..."
"Olah ang pikie an bona reah?"
"Raso-raso eah , olah..."
"Kok nyan deen, baliek awak ka rantau baliek, pek umah den ajo ang dulu manotap, kok makan pagi jo sonjo, kan lai ka samo makan juo wak nyeah?"
"Apo meah da, iko,..apo ko ha. Taragak pulo wak mancubo togak sorang, kok lai bakobua doa dalam sambayang tahajut, kok lai ka dapek pulo rasoki pek nan baru keah.."
"Indak tagak dek paja nan manih reah deah kan? Ang kodok bona ba sms jo inyo nampak dek den kotu rayo geah?!"
"Nggg...nggg,....nggg........t
ianlah Da, barangkek ajolah uda dulu bisuak...nggg..."

***

‎"Baa?"
"He..he...tianlah da."
"Jan golak-golak ketek ajo. Kok ragu-ragu, malah, masuak-an baju ang ka tas. Tu Uni jo Nakan ang lah dalam oto ha!"
"Raso-raso lai ka lomak pulo mbukak fotokopi pek ilie Da. Lai ado petak nan ka diseo..."
"Kok bitu nyen-ang, ndak baa reah. Ko den tambah piti ang sajuta ha. Ang lah banyak manolong kami pek eten salamo keah. Kami doa-an malah, berasil ang pek umah keah.."
"Mokasih da, mokasih banyak,...mokasih bona den..."
"Jan dicium-cium pulo tangan den lai. Ati ang ajolah pakoreh, jan biko lun sabelok, lah lomah pulo smangek!" 
"Indak da, indak! Mokasih ieh..."

***

‎"Assalamu'alaikum! Atuuuk o atuk!"
"Isan. HP ang babunyi!"
"Halo?"
"Assalamu'alaikum. San, ko uda!"
"Alaikum salam da, lah tibo Uda pek eten? Lai indak macet?"
"Alhamdulillah, basilambek ajo kami. Kodok baronti-ronti. Ba, lai bi siat ajo di umah? Amak jo Apak baa?"
"Lai. Lai siat ajo Da. Amak nyak meah pek dapua manumbuak lado. Apak ka baruah!"
"Syukurlah. Baa duduak ang? Lai jadi pek Tanjuang Pati? Lah mulai bakojo?"
"Lah tibo masin fotokopi cako pagi Da. Lah den ansua manyusun pajak; tapi olun babukak lai. Dibarasiehan bona dulu. Lai omuah urang punyo pajak reah dibaie duo tahun ....."
"Aa ancak reah. Elok-elok jo urang sakalilieng muah. Mangalah-ngalah ajolah...."
"Adih Da. Mokasih."
"Ho-oh. Katoanlah ka amak, den lai salamat tibo pek niak. Salam dari cucu amak pek niak sado eah jeah. Assalamu'alaikum."
"Iyo Da. Alaikumsalam.."

***

‎"Uda ang nelpon kamuah San?"
"Ho-oh."
"Lai salamat ajo eah pek jalan?"
"Lai. Lah tibo eah sonjo cako nyeah. Bisuak lah bukak toko eah baliek reah..."
"Syukurlah. Sudah rayo geah lun banyak jua boli biaso eah lai. Kotu amak pek itu dulu, lai sadang elok rami eah toko Uda ang reah..."
"Den bisuak mulai pulo nyubo Mak. Doa an dek amak dih....pagi-pagi den ka ilie, den bao onda apak!"
"Katoanlah ka apak ang."

***

SMS.
"Assalamualaikum da Isan, jadi ka ilie pagi ko kan? Eci tunggu di simpang....Kuliah jam 7...balas"
"Alaikumsalam Ci, iyo. Tapi wak barangkek jam satangah lapan. Dek nio samo jo Eci, wak barangkek jam sangah tujuah ajolah dari umah, tunggu yo...balas."
"Iyo. Eci tunggu...mokasih yo Da."
Ndeh!!

***

‎"Lah lamo Eci mnanti yo?" "Mananti tantu iyo lamo!" "Ndeh! Kok basayok onda keah lah tobang wak meah!" "He he" "Ba kok golak?" "Ma lo onda ka basayok!" "Ado!" "Onda apo tu?" "Onda urang kanai ati..." "Iiiih uda!"

***

‎"CI turun di gerbang ko ajolah Da..." "Bia uda anta sampai ka dalam kampus." "Jan lai. Siko ajolah. Siko ajolah Da!" "Malu nampak dek kawan yo? Atau ado pulo onda basayok dalam kampus reah?" "Ha Uda! Mulai ken kaniak pangona uda kan?" "Ngoku ajolah wak; iyo! Parumahan data pasti banyak nan katuju." "Sia nan parumahan data?" "Ado kawan wak ciek!" "Iiiiih... Ci kuliah yo. Ati-ati." "Weh, kok ado kawan fotokopi, suruah ka tompek wak yo?..."


***

‎"Trrrrrrrrrrnnnnnnnnn....trrn
, trrrrn.....klek!"
"Baru tibo ang? Lah sonjo piriek."
"Lai ado juo urang tibo kapajak puku limo Mak, ibo wak."
"Apak ang lah poi ka masojik, bajalan kaki ajo. Onda ang dinantiannyeah cako..."
"Bisuak malam pek ilie ajolah den lolok dih Mak. Lai lapang pek bolah lakang eah."
"Pek ilie ang malam, jo a ang ka makan?"
"Banyak urang manjua nasi pek Tanjuang Pati reah. Bakso pek bolah keen simpang kampus Politani ten, lomak pulo."
"Jak itu gaya ang, indak talungguak piti te reah! Baimat mangko ka kayo..."
"Bakso reah indak den tio mboli reah Mak.... Eci."
"Paja nan kaiko kotu rayo potang?"
"Ho-oh."
"Den tungkuhan lah nasi, ntuak kamakan ang. Jan bamakan pek pajak pulo lai!"

***

"Den ka ilie lai Mak, Pak. Assalamu'alaikum."
"Eh,San, kunci onda pek ma ang lotak-an? Den ka poi ka Mungka biko."
"Eh, iyo! Nyak dalam saku den juo baru."
"Anak Oji Kayo baposan potang pek masojik, nyo maajak rapek pemuda belok muko, nyeah!"
"Endi?"
"Iyo. Ang dek lah di umah, kok dapek samo mamikie an nagori keah awak, nyeah."
""Ari Sotu sonjo atau ari Akad den bisa e nyeah. E iyo; lapiek ketek den bao ka ilie dih Mak?"
"Baolah. Tu nasi ang pek teh meja lah batungkuh. Elok-elok. "
"Iyo, assalamu'alaikum."
"Alaikumsalam."

***

‎"Apo diek? Fotokopi?...."
"Tolong ganti kulik laporan wak ko Da. Jo hijau mudo. Salah wak kapatang! Rangkap tigo Da. ..."
"Jadih. Ditunggu? Japuk beko se?'
"Wak tunggu lah Da...jam sabaleh ko dikumpua jo dosen mah."
"Apak, apo pak? Fotokopi yo Pak?"
"Iko ah, buku palajaran anak wak. Klas limo SD. Tolong fotokopi. Antah baa lah sababnyo, buku teks ko indak nyo pinjami sajo dek sikola nyo. Tapaso awak mamfotokopi. Kama pai nyo piti BOS tu.. Bali buku gak ampek puluah, kan indak ka bara bana tu do.?"
"Iyo Pak , yo. Duduak apak manunggu sabonta dih..."
"Sangah jam lai lah den kamari. Tolong jaleh-jalehkan hurufnyo yo, jan kabua!"
"Kalau nan ba warna ko, mungkin agak kabua setek Pak...tapi wak usaokanlah supayo tarang."
"Iyo. Tolong lah!"
"Adiek, apo diek?"
"Ado pensil warna Da?"
"Onde alun manjua Uda pensil warna lai do Diek. Bisuak mungkin lah ado..."

***

‎"Assalamu'alaikum ......."
"Hallo? Alaikumsalam! Uda?"
"Iyo. Wak lah manutuk pajak. Jadi ka mudiek sonjo keah?"
"Iyo Da. Iyo. Ci mandi dulu sbonta dih? Tunggu Ci di simpang bawah batang kayu muah......."
"Weh, jadi Ci ka pasea potang?"
"Lai Da. Lah Ci bolian posan Uda. Rantang rancak, sirah mudo."
"Bara ogo eah?"
"Jan tanyoan pulo lai. Ci bolian untuak Amak. Ikhlas....."
"Ndee....iyolah. Uda tunggu yo. Assalamu'alaikum."

***

"Mudiek! Mudiek! Sorang lai!"
"Tu oto Da.!"
"Ka mudiek Da? Ni? Malah!"
"Lai ado juo bangku? Lai tamuek kami baduo?"
"Lai Da. Masuak tangah ko ha. ..."
"Nde, lah batigo? Pek ma kami ka duduak geah?"
"Tamuek ma Da. Ko balimo isi nyo ko! Tolong geser-geser sinan Apak tu sktek Pak! Ha masuak Uda ka dalam Da, urang-rumah uda duduak tapi ko ha... Masuaklah! Oto ndak ado lai, ari lah sanjo!"

***

"Ba kok senyum-senyum Ci?"
"Goli-goli poruk Ci ndonga kecek cingkariek cako..."
"He he. Mungkin dek awak mambao sia rancak untuak amak keah gak nye ieh? Anggap sajo do'a, yo ndak?"
"Iyo lai ka lai Da? Kuliah Ci insyaAllah tingga sataun iko lai..."

***

‎"E uda Ican tibooo..uda Ican tibooo..."
"Salamu'alaikum. Ma amak Ta?"
"Uda mboli kueh bolu yo? Aa isi sia uda reah?"
"Sia kosong meah. Baru boli, ntuak amak."
***
"E, lai jadi ang bolian den sia? A iyo jak iko. Soman jo nan dibao Supiek kotu barolek paja kaluak bulan nan lopeh."
"A samba amak mak?"
"Ikan rayo diboli apak ang pek Ndonguang cako. Gulai kamumu. Karupuak Lamiah bagai pek lam boto tuha."
"Tu iyo makan wak ciek lu reah!"
"Lah sambayang magorik ang? Sambayang dulu!"
"Iyo. Mbayang lu. Solang onda Mak? Den ka mahsikola mudiek, rapek pemuda bontea lai..."
"Ngeceklah ka apak ang. Kunci dalam loci masin-jaik dilotak-an apak ang meah!"
"Apak ma nyeah?"
"Tu nyo pek lakang nonton tipi."


***


“Lah makan apak?”
“Makan lah ang lu, nyak sadang bakatumpeh urang pek tipi ah…”
“Apak Eja sakik, ndak bulieh dek dotor nonton tipi lai pak.”
“E nyo dijadian hiburan ajo ‘silek’ urang geah. Awak manonton. Tengok dek ang, lah di’kojo’an nyeah sado eah. Lah disimpai eah sado nan ka godang. Soman jo Akbar dulu. Sudahtu Yusril. Kini Anas, Muhaimin. Biko manjalea pulo ka Gamawan …”
“Apak pikie-i sadoan nyeah? Biko sakik ajo kapalo apak sorang.”
“Ndak den pikian bona tio deah. Tapi taragak juo wak jo Hatta, Natsir, Hamka, Agu Salim, Yamin, Syahrir. Padiea an ajolah ieh. Nyo ka ajak itu ajo toruh sampai kiamat takah e nyeah! “
“Onda, den bao ka mahsikola dih Pak. Rapek nan diposanan Endi reah ha…”
“A, sasuai jo nan pek tipi geah ha. Pek kampuang awak geah lah tabolah-bolah pulo urang. Pajak simpang bolah kida kalompok eten. Pajak bolah suok, kalompok inyak. Biko kok jadi rapek; ba pandai-pandai ajolah ang. Kok indak sasuai awak, jan dilawan ajo. Ancaklah ontok; urang indak tasingguang. Awak ka bagaul lamo dalam nagori keah.”
“Den manolong dari topi ajo Pak. Dek den, asa lah tabukak pajak pek Tanjuang Pati ten, lah jadi reah…”
“Yo bitu. Sadangkan kami pek masojik, lai ado juo gisie manggisie. Bak kecek pak Quraish Sihab pek tipi eah; pek masojik ado pulo syetan eah…”
“Onda den bao dih pak.”
“Baolah. Ati-ati.


***


"Ku bara ang baliek rapek malam?"
"Lah ampieng ku duoboleh Pak!"
"Lai lancea-lancea ajo tu?"
"Bagalebuk juo pangka eah. Tapi untuang ado da Iwan ka tongah. Bak kecek apak potang, bagai-bagai urang keah. Ado nan codiek mangecek. Ado nan tukang sunu. Ado nan datang mambagi-bagi okok Samsu."
"Ntu aa hasil eah?"
"Pengurus remaja masojik dijadian lansuang sabagai seksi rohani Pengurus Pemuda."
"Ba rencana kegiatan nyeah?"
"Itu nan agak panjang etongan nyeah malam Pak. Ado nan mangaritik, program salamo keah indak efektif reah nyeah. Pangajian itu-ka-itu ajo nyeah. Lai bisa agamo keah ma mikie an penanggulangan anak yatim piatu jo kaluarga miskin; lai bisa pemuda remaja masojik ma mediasi urang kayo jo nan bansat?"
"Iyo pulo reah ieh. Kalau gotong-royong jo pangajian reah, tianlah kami nan tuo-tuo keah ajo manjalanan."
"Solang onda Pak?"
"Kama leah ang?"
"Den tagak main ka umah kawan ilie ten bonta ha..."
"Kawan ma pleah? Sijadi eah orun ang tabaun dek den."

***

“Kama Isan cako pak-paja?”
“Ka umah kawan eah nyinyo!”
“Ka ilie reah;  ka umah Eci..”
“Lah tapauk bona ati eah Nampak dek den?!”
‘Iyo takah eah. Lah jauah marantau, lai nan pek umah keah juo nan manyangkuk ati eah.. Anak bujang Tuan reah mambisiek-an ka den malam cako, sia rancak reah hadiah dari Eci untuak Amak, nyeah”
‘Nan ka siko kotu ari rayo kan? Nengok pambawaan nyeah, lai manih lombuk nampak dek den. Eee, ajak kau kotu gadih dulu eah.”
“Ho-oh. Iyo itu! Ntah pek ma basobok eah, lah ajak sailie-samudiek ajo!”
“Kecek Uda eah, sobok pek pesbuk, nyeah.”
“Bolah ma Kiktinggih, pesbuk reah tuan?”

“Baa kok ganjie coliek papa ka Eci?”
“Yelsi, …..iyo ado nan ka Papa  tanyoan….”
“Apo Pa?”
“Papa disindie kawan pek  pajak pagi cako. Ka ma anak jo minantu pak Mantari poi-manjalang,  mambao sia,  potang, nyeah. Pek Pikumbuah baduo jo ‘laki’ eah, nyeah…”
“Ndeh, salah sangko urang tu meah Pa..”
“Lah bajalan bairieng baduo-duo Yelsi jo Isan tu?”
“Samo pulang dari Kumbuah ajo nyo Pa…kan ndak baa tu do? Satau Ci, da Isan reah lai elok ajo nyo…”
“Mambao sia baa pulo?”
“Da Isan mambolian rantang untuak Amak nyo…”
“Ooooo….tapi kuliah Elsi  baa? Tahun ko lah tomat  kan?”
“InsyaAllah Pa.”
“Baa rencana anak Apa sudah tu?”

“Ci jo kawan-kawan lah maisi formulir karajo manjalang puaso Pa. Ado perusahaan perkebunan sawit di Riau. Nyo mambukak paluang pengawas lapangan jo administrasi, nan ba latar balakang pertanian. Kakak angkatan Ci nan lain, ado nan lah bakojo pek dinas pemda Batusangkea, penyuluh lapangan.”

***


“Weh,…..”
“Tibo? Ba dek babaju ancak bona reah?”
“He he. Baju biaso ajo nyeah. Rami rang fotokopi? Ci tolongi ….”
“Nolong jan tangguang-tangguang, saumua iduk! He he..”
“Da, ado surek dari perkebunan sawit di Riau tibo potang.  Ci disuruah ngiriman ijazah SMA jo transkrip samantaro. Ci fotokopi dih..”
“,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,”
“Ba dek ontok ajo Uda?”
“Kok ditarimo pek itu, baa?”
“Alhamdulillah. Indak manganggur Ci sudah wisuda do, kok lai tomat bulan-bulan ka datang.”
“Iyo. Tapi ka Riau berarti reah kan?”
“…………..iyo.”
“Ndeee, tu borek reah kanduang! Wak salosaian fotokopi iko bonta, ngecek bona wak pek lakang!”

“?”

****
“Ci. Sajak sobok di facebook, wak iyo lah tatariek jo Ci. Status Ci santun, kadang ayat Qur’an, kadang hadis.  Sojuak ati wak nyeah. Foto profil iyo lai sasuai pulo jo ati wak. Sajak ngecek partamo kali dulu, lah badotak ati wak,  iko mungkin nan ka kawan iduk wak. Itu dek koreh ati wak pulang. Itu pulo sobab eah wak tulak Uda mambao baliek keen. Lah bagaua sajak manjalang rayo, sampai kini, iyo lai katuju laku Ci dek awak.”
“…………..”
“Nyampang poi Ci jauah-jauah, iyo borek ati wak,…..”
“………….”
“Ba dek Ci reah?”
“…………..”
“Ba-a dek Ci?”
“…………..”
“Ba dek  ontok, manunduak, main-main jari ajo? Ilang aka wak nyereah Ci. Jaweklah, gak sapatah baiek….”
“Da. Ngoku ajolah Ci. Ci iyo jak itu pulo. Nyampang iyo baniat elok Uda, jankan lamaran bakojo, lah bakojopun, omuah wak baronti, kalau itu nan ka ridho dek laki wak… Bajoleh-joleh awak jo amak jo apak lai. “
“Nde, koncang donyuk jantuang wak ndongea jawek Ci reah. Pucuak dicinto ulam tibo bona. Raso-raso ka awak,  Tuhan Alloh palieng sayang kini keah ha…”
“Ci iyo pulo Da.”
“Kok halal, wak paguk Ci orek-orek kini juo…”
“Ado urang di muko, Fotokopi , gak nyeah?!”

***

UNDANGAN
Yelsi Rahman Dt Mantari
&
Ihsan Saputra




“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”

****

Toko FOTOKOPI & ALAT TULIS 'HIJRAH"
Juga tersedia: Rendang telur dan Kerupuk Sanjai
Melayani pesanan bibit bunga dan buah-buahan.
Tanjung Pati- Payakumbuh.
(Ihsan dan Yelsi)

Selesai....tq dan maaf.