Tol Kebun Jeruk
Sudah dua kali Buyuang memutar lagu di atas. Tentang perasaian hidup dirantau. Kondisi ekonomi yang tak baik-baik saja, ditusuk panggilan lirik nan pedih. Seakan, vokalis parobaya itu, taubenar kondisi hati Buyuang. Tak hanya kondisi hati, tapi juga kondisi dompetnya. Duh!
Papa, pulang juo nak! Akhirnya ia mendesis. Menyempalkan pakaian habis cuci tak bersterika ke tas ransel. Mamasukkan pakaian dalam. Sebotol air teh manis ke botol air mineral. Beberapa permen. Dan beberapa takjil roti marie bulat yang disusun dua, lalu di selanya ada lapisan kacang ijo, digoreng. Itu cukup untuk sampai tengah malam di penyebrangan. Dan kawan, kini Buyuang sudah antri di pedestrian luar tol kebun jeruk. Menunggu bus apapun yang ke Sumatra. Tak peduli mereknya apa. Yang penting sesuai ongkos. Separo karcis resmi di loket. Tapi kawan, mana ada bus yang mau begitu, di magrib dua hari sebelum lebaran ini? Itu harapan sia-sia. Bukannya korting, malah naik dua kali lipat. Ya kan?
Pagar biru antrean bus tak berkurang sepinya. Banyak juga yang berfikiran seperti dia. Berharap ada tumpangan untuk rakyat melarat, di saat yang tak waktunya! Bengak, tapi apa salahnya mencoba?
Azan magrib sudah kumandang. Orang lalu lalang terlihat minum dan makan. Buyuang juga. Roti lapis kacang ijo! Manis. Didorong tegukan teh dari botol air mineral. Gluk gluk gluk!
Di terang neon jalanan, di silih bergantinya bus Sumatra, muncul bus biasa tak bermerek warna kehijauan. Ada tulisan Pariwisata di sisi karoserinya. Dan ada teriak kondektur di pintu,"Palembang, Jambi , Padang! Palembang , Jambi, Padang!"
Buyuang sigap melompat ke jalan. Mendekat.
"Padang!" Ujarnya.
"Yo Da. Naiak. Bangku tempel dih?"
"Ndak ado bangku kosong?"
"Amuah uda di bangku cc dakek supir?"
"Jadih!"
Dan Buyuang hilang dibalik pintu bus yang mulai berlari kencang.
Nak, papa, bagaimanapun, pulang. Papa ingin mendekapmu...semiskin apapun papamu! Lalu air mata menggenang di temaramnya lampu dalam ruang depan supir...
No comments:
Post a Comment