Thursday, January 5, 2023
Kau Yang Bergema
Hanifa Marisa
Engku Datuk Haji sedang menekuni Al Qur'annya setelah shalat dhuha, di bangku meja apotik. Qiraah lambat-lambat. Hingga perempuan itu turun dari taksi biru depan rukonya. Betul dia? Berdebar jantung! Dengan dres putih dan menggenggam kembang...
Serasa habis darah Engku saat ia berjalan menuju apotik. Memandang ke nama yang terpampang lalu ke etalase penuh obat dan gontai bagai di catwalks, menuju ke arahnya! Astaghfirullah! Masih secantik dulu. Masih seanggun dulu!
Entah kenapa Engku Datuk spontan berdiri. Meninggalkan kursi dan terbawa kakinya melangkah. Ke depan. Ke ruang antara etalase. Dengan badan gemetar. Dengan hati yang menggigil.
Wanita ini adik angkatannya. Dia 86 dan Amelia 89. Nun di sebuah kampus terisolir dekat RS Jiwa, Padang. Tak ada yang istimewa dari diri Engku Datuk Haji waktu itu. Saat mana ia masih dipanggil kawan-kawannya Buyuang Inop. Ia anak kost an. Kulit rada hitam. Bukan dari keluarga kaya raya. Ia perokok. Ia preman "alik" hantu gaple. Nun di lepau-lepau kampus. Ia mahasiswa seadanya. Termasuk dalam hal IPK; seadanya!
Tapi dalam sebuah ruang labor botani umum, saat praktikum senja, sebagian teman himpunan mencuri panggung. Ketika praktikan, termasuk Amelia, harusnya sudah diizinkan pulang. Sudah 5.45 sore! Namun "tokoh-tokoh" masih sibuk bergantian memberi wejangan. Masa posma yang seminggu mungkin mereka rasa tak cukup. Apalagi jika terpandang wajah lugu tamatan SLTA yang matanya berbinar!
Lalu tokoh-tokoh itu bicara tentang mahasiswa ideal. Tentang kepedulian. Tentang politik bahkan. Wow!
Padahal Buyuang Inop tahu persis perangai dan IP tokoh-tokoh itu. Dasar Ulu Gaduik!!
Seorang mahasiswi baru yang berambut menjuntai melewati bahu, dengan wajah oriental, menyita perhatian Buyuang. Matanya innosens. Kemejanya sederhana. Aura keningnya cerdas. Namun gesture tububnya mulai gelisah. Boleh jadi ia terbiasa dididik disiplin oleh orang tuanya di rumah. Maka jam tangan kecil di pergelangannya menunjuk 5.47. Sebentar lagi maghrib!
Buyuang menghampiri kursi anak itu. Sekalipun dia cepat menyembunyikan kegelisahannya. Mungkin takut dihardik asisten. Bagi praktikan, semua yang masuk ke ruang labor adalah "asisten". Entah dia cuma teman asisten, atau pengurus himpunan, atau pun hanya mahasiswa yang senang sehari-hari bersama pak dosen. Maklum. Botani Umum ini dosennya simpatik. Gaul lah..
"Ambil tas diak. Ikuik ambo kalua!" Buyuang bicara pelan. Tapi intonasinya berat. Suaranya magis. Dan praktikan itu, Amelia, seperti kerbau dicocok hidung. Patuh.
Tentu asisten dan srnior lain tak berkutik. Buyuang Inop! Siapa yang berani?
Amelia memgikuti Buyuang dari belakang. Membuka pintu lab dan membiarkan gadis berwajah oriental itu keluar.
"Pulanglah. Talambek beko. Lah hampia maghrib" ujar Buyuang. Anak itu menatap Buyuang. Ragu. Apresiet. Dan berbinar..
"Baliaklah.." ulang Buyuang.
"Mokasih Sist" terdengar ucapan. Sambil menunduk. Lalu dia berlalu. Dengan sepatu kets putih. Buyuang menghela nafas. Preman sih preman. Tapi preman dia, hatinya lembut. Ooo....
Sejak itu jika bertemu di kampus, Buyuang akan berdebar dadanya jika bertemu pandang. Melihat Amelia tersipu malu "biati benar" Buyuang. Tentu saja Amelia akan menegur duluan, " Sist!"
Hari dan minggu berikutnya Buyuang memberanikan diri mendekat. Menyapa dan berbicara yang formal-formal saja. Tapi teman-teman, ucapan bibir memang dapat dibuat formal, namun gestur dan nada pengucapan tak dapat berdusta. Ia memiliki frekuensi nan terscanning oleh rasa hati. Dan itulah yang terjadi. Duh cingauak-baroda, bagaimanalah menerangkannya ini?
Maka Buyuang tak lagi nyaman dipanggil Sist. "Buyuang Inop sajo lah, Mel..." katanya. Lalu panggilan berubah jadi Uda Buyuang. Berlanjut dengan meminjam buku catatan. Buku catatan? Bedo mah! Bukankah tak ada satupun buku catatan Buyuang yang bisa diberi akreditasi unggul? Semua hanya asalan. Kadang buku itu digulung melengkung. Kadang tertindih sudutnya oleh periuk nasi dari dapur ke meja kost!
"Jadih. Beres tu! Catatan kawan Uda ado nan rapi!" Buyuang berdalih. Pintar-pintar Buyuang saja mencari jalan keluar. Tapi Amel senang. Boleh jadi ia juga tak begitu mengutamakan kualitas catatan Buyuang, tapi "care" nya. Setidaknya ada senior yang rambutnya melengkung seperti pria iklan Brisk, memperhatikannya.
Sekali waktu, di awal bulan, Buyuang dapat oleh-oleh. Amel memberinya makanan. "Mel dibekali mama banyak Uda. Taragak Mel maagiah Uda.." Buyuang memandang kotak makanan dalam bungkus plastik itu. Entah apa gerangan isinya. Ah. Apapunlah isinya. Bukan itu yang utama, tapi aura wajah Amelia saat memberikannya. Itu yang membuat paru-paru dan jantung Buyuang lapang optimal..!
Jika kemudia Buyuang pun membelikan Amel sate di kantin Ni Ta atau gado-gado di warung da Sap, wajar kan?
Hanya temannya yang heboh. "Lah balain kawan kini!" Ujar Buyuang Luncua. "Iyo. Tambah barasiah! Lah payah dibaok main gaple..." sambut Buyuang Timun. Maka hebohlah para kampiun alik di meja lapau. Apalagi jika kebetulan Buyuang Inop menggonceng Amel dengan motor. Mereka bersorak "Woooii.. mamacik angku mah!" Amelia tertunduk saja. Dia bahkan bertambah perhatian. Membantu mengetikkan laporan mata ajaran pilihan. Menasehati supaya rajin serius cepat tamat. Buyuang tentu menurut saja.
Siang tadi ia dipanggil ibu dosen Ekologi Tumbuhan."Nop. Balikan ibu sate ka kantin duo piriang samo bu Amah! Ko pitinyo." Buyuang bergegas. Dan saat mengantarkan sate ke kantor bersama kembalian duit, ibu itu bertanya, "Angku bapacaran jo si Amelia 89 yo!" Ibu itu seperti jaksa di sidang pengadilan walau rada senyum. Buyuang hilang akal. Cimpapuih. Tak tau menjawab apa.
"Anu Bu. Simbiosis mutualisma. Bakawan sajo Bu!"
Aduh!
Keluar dari ruang dosen, ngantar sate, Buyuang seperti orang bingung. Jadi, sudah tau dosen-dosen bahwa dia ada rasa anu dengan Amelia? Siapa pula yang menebar cerita? Ah. Sudahlah! Untuk apa difikirkan ? Mumet!
Tapi tadi, bagaimana inspirasi narasi mutualisma bisa muncul dari mulutnya? Instink kepepet? Ah. Sudahlah! Untuk apa difikir serius? Mumet!
Jangan-jangan, mutualisma itu bisikan malaikat. Semoga begitu. Kan dia memang butuh bantuan Amel. Mengetik. Membuat laporan. Menterjemah teksbuk. Memberi semangat. Bahkan membuat hidupnya bersemangat. Iapun akan membantu Amel apa saja. Apa saja yang dia bisa. Jadi mutualisma itu, betul kan? Toh ia tak pernah bilang," Mel awak sayang ka Mel" atau "Mel, ampia tiok malam wak mambayangkan Amel.." Tidak! Dia tak pernah begitu. Sungguh.
Lalu, jika sekedar mutualisma, kenapa minggu lalu, hatinya seperti terbakar saat Amel diiiringi jalan oleh teman seangkatannya? Sepertinya dari ruang kuliah di lantai dua ke labor di lantai satu. Angkatan 89 itu mungkin mau asistensi Histologi. Atau urusan apa. Bergerombol. Dan di bagian depan, "paja" tu jalan di sisi Amelia. Bukan sekali itu saja. Dulu pernah juga. Dari halaman kampus ke jalan lepau da Sap. Yang jangkung kayak atlet basket itu, sok akrab ngobrol sama Amelia? Pasti punya "mukasuik" dia itu.! Dan Buyuang termakan cemburu kayaknya. Cemburu? Apa "legal standing" dia untuk cemburu? Bukankah dia bukan siapa-siapa? Ah. Sudahlah! Untuk apa difikir serius. Mumet!
Teman.
Ternyata menghindar untuk tak serius memikirkan itu, hanya kamuflase. Semacam mimikri psikologis. Nyatanya, ia tetap menghentak di ubun-ubun. Ah!
Maka Buyuang berfikir mencari jalan. Gimana ya?
Akan dia "permak" lelaki itu, tak mungkin. Dia bukan tipe preman gadang sarawa. Apalagi pengecut, semisal meminta Buyuang Opelet dan Buyuang Tembok mengeroyok. Tidak! Bukan style dia begituan!
Nah! Bagini saja. Dia punya cara. Sssst! ...
Betul! Ampuh. Besok-besoknya tak dia lihat lagi Amel dipepet si" atlit basket". Boleh jadi ada "kurir" yang membetitahu dia, jika ingin nilai prsktikum "baik-baik saja" jangan dekat-dekat dengan Amelia. Secantik apapun Amelia itu. Se innosen apapun teman sekelompok praktikum itu. Syah!!
Tapi apa Amelia merasa? Apa Amelia tau? Kayaknya tidak. Dia tetap sumringah. Dia tetap ramah. Dia tetap anggun. Senyumnya tetap mengembang. Auranya tetap bintang. Duh!
Sore ini Buyuang berjalan melintas simpang Gaduik. Berteman dengan Kenek, anak tetangga yang masih klas 3 SD. Membawa kantong plastik hitam. Berterompah jepang. Kemana?
Ke persawahan pinggir sungai kecil. Dekat pertemuan dua aliran. Dari Gaduik dan dari Padang Besi. Sekitar situ ada pesawahan. Di sawah itu habitat kodok _Rana sp_. Amelia membutuhkan kodok licin itu untuk praktikum Fisiologi Hewan, besok siang. Maka cepat tangkas Buyuang menyampaikan, " Uda cari beko. Banyak di sekitar Simpang!"
Kenek, senang pula hatinya menemani Buyuang. Sebab ia diberi permen rasa kopi tiga buah. Permen itu kesukaan Kenek. "Beko dapek koncek sawah, Uda balian permen kopi tigo lai. " Maka tersenyum si Kenek. Cepat dia melangkah menusuri jalan aspal, melintas, dan berbelok ke jalan Kotoduku, lalu menyimpang ke pematang.
Buyuang mengiringi dari belakang. Mereka masuk ke sawah yang habis panen. Menginjang _Commelina, Monocharia & Limnocharis sp_. Perlahan-lahan. Langkah demi langkah. Ke arah bunyi kodok kecil. "Kek kek kek!:" Dan, hop! Kenek menyergap dekat rumpun padi yg terpotong. Kodok licin coklat belang di tangannya! Kenek memegang di bagian abdomen. Memperlihatkan ke Buyuang. Dengan senyum kemenangan. Senyum seharga tiga permen kopi!
Buyuang mengacungkan empu tangan. Sambil memuji. Kenek makin bersemangat. Ia menunduk menelusuri pinggir pematang. Katak coklat belang, diam bisu di balik daun _Ageratum_.
Setengah jam saja, mereka telah menangkap lima ekor. Cukup. Besok siang nasib lima ekor ini, mungkin akan naas tragis. Caput akan terpisah dari Thorax; kaputasi. Ventral abdomen disayat tangan berbalut sarung di baki meja praktikum. Jantung yang berdenyut di hitung frekuensinya. Lalu dipotong uratnya. Diikatkan dengan benang ke kymograf. Lalu ditetesi larutan fisiologis. NaCl 0,9 %. Perubahan denyut jantungnya diamati. Grafiknya direkam di kertas milimeter yang berjalan. Amelia dan kelompoknya, serta teman seangkatan tentu senang dengan bahan praktikum ini.
"Alah bara dapek Nek?"
"Limo Da!"
"Alah mah. Melah pulang wak lai!"
Lalu dua pasang kaki melangkah meninggalkan mikrohabitat itu, disela tiup angin pohon kelapa dan pohon pisang...
Buyuang mencoba "mancaliak" dari pintu labor ketika praktikum selesai. Praktikan diizinkan pulang. Setelah alat dan meja dibersihkan. Sang "atlit basket" ternyata masih di dalam. Ia meminjam catatan data frekuensi denyut jantung katak pada Amelia. Maklum, tadi dia yang sibuk melakukan kaputasi, diseksi dan operasi alat. Belum sempat nyatat data. Sambil menulis ia sempat bertanya," Mel. Iko judulnyo apo di laporan nanti?" " Pengaruh pemberian larutan garam fisiologis dan konsentrasi di atasnya pada frekuensi denyut jantung Rana sp di laboratorium".
" Oo iyo. Ok!"
Begitu Buyuang muncul di pintu lab, Amel segra menyuruh cepat selesai mencatat, dan bergegas keluar. Lalu menemui Buyuang. " Lah lamo Uda nunggu? Baa kato ibu Koordinator seminar, bilo jadwal Uda maju?"
Buyuang merasa dihargai. Ia menggandeng Amel menuju parkiran motor dekat kantin. Menuruni anak tangga. Satu per satu. Sedang, si atlit basket, mengelucus, pulang lewat tangga sebelah utara.
Ya. Buyuang sudah mendaftar seminar proposal. Nama dia tettulis di white board untuk presentasi dua minggu lagi. Tentang struktur horizontal hutan yang jauh dari kampus. Nun, di Luak Lumopuluah. Akan membuat plot, menghitung jumlah tumbuhan serta mengukur diameter batang. Sesuatu yang saat praktikum dulu dihindarinya. Menghitung-hitung nilai penting tiap spesies itu, bagi Buyuang, membosankan. Bukan sekedar bosan, tapi memang tak dia mengerti. Kosa kata "nilai penting" sajapun, membuat ia bingung. Entah apa padanannya dalam bahasa Minang. Untung saat nulis proposal, Amel yang belum belajar Ekologi Tumbuhan, berusaha membantunya setelah mempelajari buku teks. Jadi, masyarakat tumbuhan itu, ada juga "gubernur, wakil gubernur dan kepala SKPD nya. Itu ditentukan dengan unsur kerapatan, frekuensi dan dominansinya." Kerapatan? Apa pula itu?
"Misalnyo uda rapek di ruang Himabio, yang datang 10 urang, dibandiang rapek berikuiknyo yang datang 15 urang, maa yang tinggi nilai "jumlah nan hadir" dalam ruang?" tanyo Amel.
"Yang 15" jawek Buyuang.
"Baitu pulo tumbuhan dalam ruang area sampling" kato Amel.
"Ooo ok!" Jawek Buyuang maangguak-angguak. Buat dia, menghitung batu gaple yang ada di tangan lawan lebih eksotis ketimbang menghitung luas penampang batang! Tuh..!!
Seminar proposal datang jua. Setelah dua minggu. Buyuang nervous. Baju kemeja putih basah oleh keringat. Slide presentasi dari plastik. Overhead Projector memancarkan cahaya terang. Judul rencana penelitian dia buat dengan huruf besar. Warna biru. Sedikit-sedikit, ia punya selera seni juga. Namun slide metode penelitian mulai naik turun. Sebagian tulisan bukannya miring ke kanan tapi malah ke kiri. Apalagi dia lihat pembimbing satunya tersenyum tipis bibir berkumisnya. Jadi hilang mental Buyuang. Tak terkontrol, jemarinya, entah kenapa, menggigil saat menunjuk dengan fulpen di muka OHP.
Saat diskusi pembahasanpun Buyuang makin ciut. Dosen yang biasa "berlawanan" dengan pembimbingnya, mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dia rasakan tajamnya intonasi. Belum apa-apa, latar belakang dia sudah diragukan. Metoda samplingnyapun dipertanyakan. Apa sudah representatif atau belum. Buyuang menjawab semaksimal yang dia tahu. Hal-hal yang bersifat konsep teoritis, maaf, tak tau dia. Maka dia memilih diam menunduk.
Saat itulah, pembimbingnya membantu. Menerangkan akan arti penting penelitiannya. Secara ilmiah maupun untuk kebutuhan saat ini bagi pengambil keputusan. Buyuang tak memahami sejauh itu. Jadi dia planga plongo saja.
Alhamdulillahnya, dia lulus dengan nilai baik.
Tak ada muncul kalimat," Kita beri kesempatan pada mahasiswa bersangkutan untuk menyajikan makalah rancangan penelitiannya, minggu depan!". Tidak. Tak ada rekomendasi itu. Duh Tuhan. Alhamdulilah. Alhamdulillah. Alhamdulillah...
Maka berangkatlah Buyuang bulan berikutnya ke lokasi. Dengan temannya. Kawan-kawan seperjuangan. Membawa alat-alat dan buku catatan. Menyandang karung bakal sampel herbarium. Tak lupa beberapa bungkus rokok kesukaannya. Rokok ini bisa buat dia dan kawan-kawan. Bisa juga buat pacet jika ada.
Amel, elok-elok di Padang yo.....
Salam pagi teman-teman. Buyuang sudah makan katupek sayua di pasar Banda Buek. Bersama Buyuang Anok dan Buyuang Ikal. Buyuang Anok ini teman sekost nya yang tak banyak bicara. Saulah. Rajin sholat dan mengaji. IP nya paling tinggi di rumah kost. Dalam hal main alik dia tak pakar. Tapi jika ia membaca Quran subuh, hati Buyuang Inop berubah syahdu. Serasa di kampungnya di Lintau sana. Selain Amel, Buyuang Anok yang dia rasa ikhlas menasehatinya. Dalam hal penelitian ke hutan Payakumbuh ini, Buyuang Anok juga yang mau menemani. Ditambah Buyuang Ikal, teman seangkatan yang orang tuanya kerja di sebuah dinas diLuak Limopuluah dan tinggal di rumah dinas. Buyuang Ikal akan ikut mengantar ke Payakumbuh. Sekaligus nginap di rumahnya sebagai posko.
Dua motor beriringan menuju Padang dari Banda Buek. Buyuang Inop menggonceng Buyuang Anok dan Buyuang Ikal sendirian. Dari Padang melintas Lubuk Buayo terus Sicincin. Lepas Siconcin, mereka memacu motor di 100 km/jam. Berdesing. Meraung. Melibas jalan lurus Kayutanam dan sampai di Lembah Anai. Mulai dingin. Menanjak. Dan sampai Padang Panjang.
"Makan sate?" tanya Buyuang.
"Tadi alah katupek sayua! Goreng baluik di tanjakan ateh!" jawab Buyuang Ikal. Betul. Mereka menepi ke kanan di tanjakan menuju Bukittinggi dan parkir di RM yang sangat ramai. Buyuang Inop sudah minta duit setengah juta ke orang tuanya. Untuk penelitian. Dan tiga porsi nasi goreng baluik adalah bagian dari setengah juta itu!
Mak nyus! Capek. Dingin. Lapar. Nyam nyam nyam! Dilanjutkan dengan ngudut. Asap mengepul. Pushh...bergulung di udara. Kecuali Buyuang Anok. Dia tak ngudut. Dia ikut senyum saja dengar banyolan Buyuang.. Begitulah, ada kawan yang asyik di meja gaple, ada pula yang cocok di kesulitan akademis. Pushhh....!
Zuhur sampai di Payakumbuh. Orang tua Buyuang Ikal sudah menyiapkan kamar. Dan mereka tertidur setelah dijamu ibu Buyuang Ikal dengan kolak kundua.
Besok paginya mengurus surat ke instansi. Menemui birokrat tingkat bawah dan menengah. Ternyata tak selesai sehari seperti diduga Buyuang. Ada hal-hal yang tak dapat dituliskan disini. Serta diikuti dengan pengeluaran tak terprediksi. Pushhh....!
Dua hari surat izin selesai. Hari ketiga mendaki bukit rimba lebat. Menyandang karung. Membuat plot. Mencatat jumlah dan mengambil sampel. Kawan. Hanya tiga plot pertama yang sesuai teori di proposal. Plot ke4, dikhayalkan saja dengan bantuan tali plastik 10 m. Plot berikutnya juga. Sampai belasan. Dan setelah makan nasi bungkus, mereka pulang. Besoknya naik lagi. Catat dan ambil sampel. Siangnya selesai!
Kembali ke posko. Makan kolak. Pushhh..... lalu tidur. Mendengkur. Lelah! Tak hanya fisik yg letih, tapi dompet juga letih. Setengah juta lancar tandeh. Kayaknya harus ke Lintau dulu sebelum balik ke Padang.
Ke Lintau hanya bareng Buyuang Anok. Buyuang Ikal akan ke Pekanbaru, katanya. Okelah. Banyak terimakasih. Besar jasa mu kawan!
Mel....baa di Padang?
Motor Buyuang yang "setia" ini kini melenguh menuju Lintau, melewati tanjakan Batang Tabik, Padang Mangateh, Halaban, berbelok kiri kanan pinggang gunung dan masuk di pasar Lintau. Menghabiskan sisa-sisa duit di rumah makan pinggir pasar, menyantap ikan mas goreng dan gulai daun ubi. Ada lalab jengkol muda dan sambal cabe hijau. Uuu....mantap Coy!
Menjelang zuhur sampai di kampung Buyuang Inop. Ranah bundo. Nan teduh. Hijau segar. Nafas serasa panjang dan dalam. Mungkin oksigen tinggi konsentrasinya. Mirip lokasi tempat membuat plot tiga hari yang lalu...
Motor masuk halaman dan parkir di pojok belakang. Buyuang mengajak Yuang Anok naik , sambil memanggul karung berisi potongan ranting dan daun.
"Mak. Assalamualaikum"
"Alaikumsalam. Pulang ang Yuang?"
"Iyo mak. Abih balanjo den mak!" Buyuang menyalami mak nya. Diikuti Yuang Anok.
"E lai si Anok gai. Masuaklah."
Buyuang Anok gantian menyalami mak Buyuang. Mak Buyuang sudah tau dengan Buyuang Anok. Dulu pernah singgah saat lebaran. Juga ketemu ketika mak Buyuang datang ke kost mereka di Simpang Perjuangan. Simpang Perjuangan? Ya. Anggap sajalah begitu. Kan lebih keren ketimbang Simpang Gaduik kan?
Mak Buyuang langsung mengambil ceret dan gelas. Lalu beranjak ke meja makan.
"Kami lah makan di pasa Mak." Buyuang mengerti maksud mak nya.
"Abih baa lo balanjo ang? Sangah juta babaok di pangka bulan ko mah?"
"Banyak paralu nyo mak. Ko wak baru dari Harau. Karajo penelutian lah salasai. Tingga maetong-etong data jo manulis skripsi sajo lai"
Mak Buyuang senang juga. Apalagi jika mendengar menulis skripsi itu. Dah hampir sarjana buah hati dan sayangnya ini. Anak pertama yang lahir saat dia dan bapak si Buyuang masih hidup tinggak di bilik rumah gadang dalam serba keterbatasan.
"Mangeceklah jo apak ang. Sbanta lai nyo pulang. Sumbayang." Jawab mak nya.
Sesisir pisang rajo sarai di letakkan mak di meja. Dan dalam waktu sekejap, tersisa separonya. Lezat wangi!
Lalu bapak Buyuang pulang. Dari sawah. Bersiap shalat zuhur berjamaah. Di surau.
Buyuang tentu segera menyalami. Dan bertanya. "Dari sawah apak?"
"Iyo."
"Lah lamo ang tibo. Lai Anok gai mah!" Bapak Buyuang senyum tipis. Mungkin ia mafhum jika Buyuang pulang, pitih nyo mungkin dah habis.
"Pitih balanjo wak abih pak"
"Ba capek na abihnyo.."
"Banyak paralu maurus penelitian."
"Pitih siso nan ang baok dulu, lai apak simpan. Baimaik-imaik nak!"
"Lai baimaik Pak. Tapi tiok balanjo, bakurang juo nyo! Indak malah batambah" Buyuang menjawab. Dia sudah biasa guyonan dengan bapaknya.
"Urang babini nan capek abih pitinyo tu. Lah babini Inop di Padang Nok?"
Buyuang Anok tersenyum saja. Seperti biasa Yuang Anok tak banyak cakap.
"Sia lo nan ka amuah jo anak apak ko. Itam buruak saroman bapaknyo" Buyuang kembali menjawab. Bapaknya menahan tawa.
"Tu amak ang amuah jo apak. " jawab bapaknya. Buyuang senyum geli. Sambil melirik mak nya. Mak Buyuang cepat beranjak ke dapur. Dasar Buyuang Inop!
Untuk uang pembangunan iyuran orang tua awal kuliah dulu, sudah terjual sapi seekor. Termasuk buat beli sepedamotor. Untuk penelitian ini ditambah beli jam tangan buat adik Buyuang, terjual pula seekor lagi. Begitulah. Untuangnya induk sapi itu sudah hamil lagi sekarang. Jika jadi sarjana anaknya, siapa tau butuh pula untuk mencari kerja. "Baoklah saratuih. Lai apak simpan " kata bapaknya bersiap wudhu.
Buyuang senyum. Lalu memutuskan kembali ke Padang besok saja. Apak dan maknya, senang jika mereka ngobrol semalaman. Apalagi ada Buyuang Anok. Bahagia lah bapak, mak dan adiknya.
Mel,... wak taragak.
Minggu pagi. Sepeda motor berlari kencang. Setelah Buyuang menyalami kedua orang tuanya. Serta adiknya. Dan tentu, setelah mengantongi seratus ribu. Eh bukan seratus ribu, tapi tersisa 97 ribu. Barusan isi bensin 5 liter; Rp 3.000.-
Melewati Batusangkar, Padang Panjang, Lembah Anai dan kembali masuk kota Padang. Kembali ke komunitas udara gerah. Keringatan dan nafas terasa pendek. Jauh berbeda dari Lintau nan teduh dan lembut .
Pagi Senin serasa tak sabar. Ingin segra ke kampus. Jika nan bertemu Amel, akan ia narasikan rasa rindunya. Sungguh! Sesekali, logika mesti mengalah! Dari perasaan yang membuncah!
Sudah ia bayangkan saat motor berbelok dari arah jalan Gadut ke bangunan kampus ke kiri. Sekira 60 meter, berbelok lagi ke kanan arah kantin parkiran. Sebelum parkiran, ia akan menyasar pandangan ke kiri. Ke bangunan kampus kuning pudar. Dia tingkat. Dan di pelataran tembok pondasi labor samping jalan masuk, mungkin Amelia tengah ngobrol sama teman-temannya.
Atau jika tidak, dia akan melayangkan pandang ke atas. Di shelter yang menghubungkan sudut bangunan lantai dua, Amelia tengah berdiri memandang ke bawah. Dengan mata binarnya. Dengan untai rambutnya. Dan dengan pesona senyumnya. Amboi!
Buyuang Anok masih bersiap sarapan. Ia rajin tiap pagi memasak nasi. Dan merebus telur. Kadang "sayur" mie. Tak tergesa-gesa. Beda dengan Buyuang Inop yang sudah menyemprot parfum ke tubuh dan bajunya. Menyisir rambut di kaca. Lalu segra memanaskan mesin motor.
"Tagageh mah. Ndak sarapan?" Tanya Anok.
"Beko se lah di lapau ni Ta!" Brrn, brrrn,..brrrrrnnn...lalu motor berlari kencang. Keluar halaman, belok kiri ke jalan Gaduik.
Tapi teman. Tak ada Amelia di kampus. Bahkan sampai jam 8 saat kuliah sudah ada yang mulai. Kemana dia?
"Hari Jumat dibopong kawan ka ruang himpunan. Damam. Sahabih praktikum rheotaxis di tapi sungai!" Kata salah seorang temannya. Kecut hati Buyuang Inop. Kecut juga mimik wajahnya. Kecut juga pandang matanya. Artinya dia tak ngampus hari ini. Mungkin di tempat kost nya nan megah di pusat kota. Atau di rumah sakit? Tidak! Jangan!
Dalam kecut, Buyuang meluncur ke kota. Memainkan gas motor di antara oplet, truk dan mobil lain. Masuk kota belok kiri, belok lagi lalu menepi di restoran Kubang M Yamin.
Masih rada sepi restoran ini. Tapi sudah buka. Buyuang bergegas memesan martabak.
"Bungkuih ciek Da!" pintanya. Lalu duduk menanti. Buyuang ingat, Amel dulu senang ia traktir martabak ini.
Begitu bungkus martabak ia bayar, motor berlari ke rumah kost Amel. Brrrn...brrrrnnn.... dan sampai. Eh. Ada mobil kijang putih plat merah parkir di pintu pagar. Siapa?
Buyuang mengucap salam. Terdengar sahutan. Biasa pemilik kost.
"Amel di kamarnyo samo ibu dan ayahnyo." Kata uni pemilik kost. O jadi ini mobil ayah ibunya Amel? Pejabat ?
Tak lama seorang wanita parobaya muncul. Di belakangnya seorang lelaki berkumis berbadan tegap. Buyuang berdiri dari kursi dan segera menyalami.
Setelah memperkenalkan diri sebagai teman di kampus Buyuang bertanya kondisi Amel.
"Disuruah dokter istirahat tigo hari. Bisuak mudah mudahan lah bisa kuliah" kata ibunya.
"Kalo tak kuat, ya Rabu ajalah.." kata ayahnya.
"Gangguan pencernaan. Paginya indak makan pulo. " tambah si Ayah dengan bahasa minang kaku.
Mengapa Buyuang merasakan tatapan tak hangat?
"Amel ko manjo. Apolagi samo udanyo. Waktu SMA banyak juo kawannyo. Kadang disangko urang bapacaran padahal indak!" Kata ibunya.
"Iyo. Iyo. Betul itu." tambah Ayahnya. Dan Buyuang tiba-tiba merasa menjadi kecil. Menciut. Kerdil. Siapakah dia? Apa legal-standing dia datang?
"Iko ado martabak..." kato Buyuang memberikan bungkusan plastik. Ibu dan Ayahnya berbarengan menolak.
"E indak usah repot -repot!"
"Iyo indak usah. Lambung Amel masih rawan nan padeh-padeh!" tambah Ayahnya.
O Tuhan. Tak ada minder seminder ini. Gugup. Apalagi jika ia bandingkan wajah bapaknya yang berkubang lumpur dengan roman muka Ayah Amel yang bersih necis bersisir rapi. Dalam hati yang menggigil, kalah mental, tak ada yang bisa diperbuat, selain mengikuti ide; pamit. Permisi!
"Iyo. Tarimokasih alah bezuk. Martabakko mungkin elok dibungkuih dibaok pulang. Di maa anak tingga? Kost juo?"
"Ambo jauah Ibu. Apak. Di Simpang Perjuangan. Eh. Anu. Di Simpang Gaduik"
"Iyolah. Hati-hati di jalan. .." kata ibunya. Dengan jemari menggigil ia salami kedua orang tua itu, dan setelah mengucap salam, ia pacu motor menanjak ke Simpang Perjuangan. Eh bukan. Simpang Gaduik!
Di kamar Buyuang tidur. Telentang. Telungkup. Menyamping. Tapi tak terpejam. Sampai Buyuang Anok pulang dari kampus.
"Baa. Pucek nampak nyo. Damam?" Tanyo Anok. Maka diceritakan semua oleh Buyuang. Dengan wajah sendu lara.
"Mungkin dek karano anak kasayangannyo sakik, jadi agak kurang klop timingnyo" kato Anok. Anok ini, dulu ikut muji-muji Amel hingga ia tertarik. Kini argumennya masuk akal juga lah...
Namun batin tak dapat berdusta, kawan. Buyuang merasa tabir sosiologis yang tinggi bagai bukit batu kokoh di Harau, mengenang wajah ibu ayah Amel.
Hari-hari setelah itu adalah basitungkin menyelesaikan skripsi. Maju seminar hasil dan ujian. Ditemani Buyuang Anok. Dengan tekad kuat segra tamat. Lalu pergi jauh meninggalkan kampus. Meninggalkan Simpang Perjuangan. Meninggalkan lapau da Sap dan kantin ni Ta. Dan wisuda bertepatan dengan hari kuliah Evolusi Amel. Tak ada calon pendamping nan akan membuat tanya di hati mak nya. Di dada apaknya, yang siap menjual sapi untuk mencari kerja.
**
"Abi. Abi!" Tuan Guru Haji Datuk Meruyung ter"galenjek". Tangannya digoncang anaknya.
"Mimpi ya?" Tanya anaknya. Engku Datuk mengucek mata. Lalu istighfar.
"Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullahal aziim". Ternyata qiraah Quran membuatnya mengantuk. Dan tertidur di kursi apotik. Rasa-rasanya tadi Amelia berbalik ke jalan, dengan kembang yang dia bawa bertaburan di lantai teras apotik. Saat mana pagi bagai serasa sore lembayung senja. Astaghfirullaah...
"Ambiakkan galeh teh Abi di meja dalam nak!" Engku meminta tolong. Dan anaknya segra melangkah ke dalam.
Tamat dan banyak maaf.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment