Mat Kalis menyelesaikan serudukan babi jantan itu dengan langkah insting ke kiri lalu menghantam kepalanya dengan kayu bulat yang ia pegang. Persis di atas alis. Berdengkang tulang. Dan babi itu melosoh ke tanah. Pingsan!
Tak sampai disitu, hantaman berikut tepat di kuduk belakang telinga. Menggeletar! Lalu diam....
Mat Kalis menghela nafas. Sejenak ia bisa reda. Setelah yg betina tadi ia hantam juga di mulut, dan di tengkuk!
Masih berdebar, Mat Kalis beranjak ke pinggir telaga. Memandang wajah dalam bening air. Kusut penuh luka. Baju robek. Celana koyak. Setan tak berhenti mengganggu ibadahnya....
Saat memandang coreng moreng wajah itulah, di dalam cermin air, dia lihat bayangan coklat kekuningan di belakang kuduknya! Hep srak!! Mat Kalis menjatuhkan badan ke tanah. Langsung berguling di rumput Paspalum campur Pteris. Bagai anak kucing digulung temannya. Dan bayangan coklat kekuningan itu luput dari tengkuknya. Terhempas ke muka air. Menimbulkan ombak kecil. Mat Kulis memandang. Duh! Hanya daun tarab Artocarpus kering. Jatuh dari batang yang tak jauh dari sisi kanan belakang.....
: Mat terdiam. Angin kecil bertiup. Menggoyang daun Themeda arguens dan Saccharum spontaneum. Riak memindahkan daun tarab ke tengah. Lalu perlahan tenggelam. Tak mungkin ia menyapu muka dengan air telaga ini. Luka di pipi akan terasa perih. Bagai tersayat daun Leersea. Jadi, sudahlah! Tinggalkan rimba lebat ini. Biarlah telaga bertemankan suara cicit burung Nectariana jugularis.... Dan Mat Kalis melangkah. Pergi. Menginjak rumput Paspalum dan Axonopus...
"Tak ada yang selamat keluar dari Rimbosati ini Buyung! Apalagi dua temanku sudah kau bunuh..." tiba-tiba dia dengar suara pelan tapi berat. Dari arah belakang. Jantungnya berdebar. Segra ia menoleh...
Astaghfirullah! Antara percaya dengan tidak, seorang lelaki tua jangkung, berambut panjang dengan wajah mirip orang utan! Berkalung tulang putih, bergelang akar bahar! Mat mengerinyitkan kening. Siapa ya?
Lelaki itu menyeringai. Giginya panjang hitam kuning. Kumis jambang tebal. Pipi temben. Ya. Mirip orang utan!
" Waang bertanya siapa aku? Bukankah seantero luak Limopuluh sampai Agam Tanahdata, orang sering menceritakan anak-anak hilang saat bermain? Pikirkanlah!"
Mat Kalis berdebar. Orang tinggi besar dalam hutan, berhubungan dengan anak-anak yang hilang? Abah Palasik? Apa Abah Palasik itu benar ada atau dongeng penakut-nakuti anak saja? Apa Abah ini pemakan pankreas dan kantong kemih manusia? Terkadang mayat anak remaja ditemukan di hutan Kelok Sembilan atau bukit Halaban kaki Gunung Sago, sudah tak ada limpa dan kantong kencingnya. Jadi betul-betul ada? Manusia brewok orang hutan ini?
Mat Kalis bergidik. Giliran organ dalam tubuh diakah yang akan dimamah Abah Palasik sore ini? Ya Tuhan....
"Kali ini aku dapat lawan yang agak "lamak" mungkin. Sebab sanggup menghabisi Diki dan Diko." Abah Palasik kembali menyeringai. Mat Kalis mencoba mencari akal. Bagaimana lepas dari ancaman orang tinggi berparas monyet ini. Eh ....jadi babi tadi teman dia? Namanya Diki dan Diko? Pantasan siang tadi, saat kepergok membongkar ubikayu di ladangnya, Taeh Bukik, babi itu bagai menuntunnya ke sini. Kejar-kejaran. Berhenti. Lalu lari lagi. Dan ditempat ini, Diki dan Diko ia selesaikan dengan potongan kayu bulat. Kayu bulat? Ya. Dia cabut dari pagar ladang untuk mengejar babi tadi. Bisakah kayu ini ia gunakan untuk Abah juga?
Abah Palasik kini melangkah mendekat. Matanya tajam. Seakan menembus ke pankreas dan kantong kemihnya. Dilalap untuk memperpanjang umur dan ajian kekuatan kelelakiannya. Mat Kalis berusaha menenangkan hati. Salah respon, riwayatnya tamat dalam rimba Gunung Bungsu ini! Tak ada yang tau. Tak mungkin ditemukan berhari-hari. Tersisa kini, tekad melawan dan takdir Tuhan! Bismillah. A'uzubi kalimati Llahittammati min sarri ma khalaq!
: Abah Palasik melangkah mendekat. Biji matanya berbinar. Darah anak muda ini mungkin serasa segar di kerongkongannya. Sudut bibirnya bergerak-gerak. Serasa ada manis-manisnya, mungkin.
Mat Kalis makin menyipitkan mata. Bibir dan hatinya tak jeda dari tautan ke Allah. Auzubillah. Auzubillah. Auzubillah.... tiba-tiba punggung telapak kakinya terasa dingin. Dia melirik ke bawah. Seekor katak buduk _Bufo melanotinctus_ melompat ke pangkal jemari kakinya. Mungkin dari bawah semak _Hyptis capitata_ berkelindan dengan _Commelina nudiflora_ yang berbunga biru. Dan tiba-tiba instinknya menyepakkan Bufo itu ke arah Abah. Swuiiit...! Kodok buduk itu melayang kencang. Instinktif! Mengarah ke wajah Abah Palasik. "Snap!" Sang Buduk ditangkap Abah dengan tangan kanannya. Hingga wajahnya tak jadi ditabrak katak coklat bergerigi. Begitu dilihat Abah di telapak tangannya seekor kodok, ia tersenyum. Langsung dia masukkan ke mulut. Ditarik. Koyak! Darah menetes. Dan isi perut kodok malang itu dia telan! Plup!!
Mendesir darah Mat Kalis. Saat tadi katak buduk terjepit di deretan gigi kuning atas dan bawah. Terus jemari tangan dengan gelang akar bahar itu menarik kepala buduk. Terdengar bunyi erangan terakhir katak itu. Tentulah begitu juga kejadiannya dengan anak-anak yang hilang di pinggir desa dimana-mana. Bagai raja hutan, dia "sungkahkan" rongga dada , cavitas thorakalis, sampai perut, lalu dia hirup darah dan dia telan organ pilihan! Pantaslah, anak perempuan Buya Khoiri mayatnya ditemukan terkapar dengan dada dan perut menganga, di semak _Lantana camara_ dan _Melastoma_ nun kaki bukit Solok Bio-bio.... Kabarnya Buya Khoiri seperti gila senewen beberapa hari menerima kenyataan itu. Putri pertamanya, ditemukan dengan darah mengering oleh pencari rotan..
Itu yang Mat tau tentang cerita Abah Palasik. Tapi teman, ada yang belum dia ketahui. Enam orang santri di Candung, hilang beberapa hari lalu mayatnya ditemukan di aliran Batang Agam, adalah buah karya Abah juga. Orang tua ke enam murid itu meraung melihat jasad anak mereka. Satu di antaranya, yang berasal dari Sulik Aia, tak hanya organ tubuhnya yg hilang, tapi juga biji mata dan kupingnya! Andai Mat dengar kabar ini, mungkin sudah terbang dia lari menembus hutan, peduli akar onak dan duri, dia terabas asal lepas! Kini ..di depan matanya, jarak dia tiga depa, dia lihat biji mata Abah, rada terpejam demi menelan isi perut koncek kesat! Ting! Muncul idenya segera menghantam kepala besar itu dengan kayu bulat ini. Selagi saraf otaknya terlena darah dan organ katak! Dia punya waktu satu dua detik. Kayu bulat _Casia fera_ kulit manis sisa kulitan bekas pagar, keras dan menghitam, secepat kilat menghantam telinga dari arah kiri Abah!
Apakah ini ilham? Dari mana datangnya koncek buduk? Bagaimana kakinya instinktif menyepakkan ke kepala Abah? Mengapa muncul ide menyerang melihat Abah Palasik tengah kendor syarafnya menelan organ dalam Bufo ini? Entah!
Yang jelas, sekarang Mat Kalis melompat menyabetkan kayu Casiavera kering ke batok kepala Palasik ini. Dengan tenaga maksimal. Sebab, jika luput, selesai riwayat Mat! Andai ini tempurung kelapa, maka langsung pecah berantakan! Sungguh!
Tapi Abah Palasik sudah tua di umur. Sudah banyak makan asam garam. Bahkan sudah banyak menyedot darah anak remaja. Lompatan Mat Kalis dengan kayu bulat di tangan menyadarkannya akan serangan. Hingga nikmat kaldu ileum jejenum serta colon usus koncek cepat ia sudahi. Hanya saja, ia tak menyangka kecepatan dan tenaga anak muda di depannya, sekuat ini. Secepat ini. Kecepatan dan kekuatan yang muncul dari pilihan hidup atau mati! Itu yang tak disangka Abah. Sehingga, walau pergelangan tangannya terlihat menangkis, namun nir-fungsional! Teriak jatidiri Mat Kalis dalam zikir 100%, tak ayal menghantam tangan berikut kepalanya! Bdebuk!!
Ini pukulan dari kalbu yang memekikkan syahadat. Yang energinya putih bersinar. Jadi, sekalipun Abah Palasik pemakan masak mentah, mengerahkan tarekat mantra kebalnya, tiada mampu dihalangi. Mantra dan makanan serta jalan kebal makhluk gaib yang menumpangi Abah, dulu memang ampuh melawan peluru bedil opsir Belanda di Suliki. Saat ia mencoba menggaet noni berambut jagung, berbaju putih berlenggek, yang sedang membeli "setarakapeh". Air ludah Abah meleleh melihat darah yang mengalir di pipi dan tangan putih itu. Tak mampu ia menahan diri. Dia dekap dan dia sekap mulut si Noni lalu segera melarikannya. "Dor!" Bedil yang mesiunya diisi dari laras, lalu dipompa beberapa kali menyalak. Menerpa pelipis Abah. Rambutnya hangus. Tapi kulitnya tak gores semeli meter pun! Sebelum letusan ke dua menyalak, Abah menghilang dalam pasar lalu cigin ke sawah semak. Itu dulu! Kini hantaman kayu kulutmanis bekas tonggak pagar, yang melayang dengan nawaitu Qadratullah, tak ayal, membuat Abah terpental juga ke kanan. Terhuyung!
Mat segra berimprovisasi. Kayu casia vera itu kini berubah haluan. Dari bawah mengarah ke atas. Ke selangkangan!! "Srakkk!!"
"Klakkk!!"
Dua bunyi terdengar berturut-turut. Yang pertama, ujung kayu menyambar perut dan baju Abah Palasik. Koyak! Abah Palasik faham benar jika kayu coklat kehitaman itu menyambar gonad testesnya, maka titik lemahnya akan hancur. Tiada guna ia makan organ tubuh makhluk lain mentah-mentah, jika itu terjadi. Itu sebabnya, walau terhuyung, cepat ia mundurkan pubiknya. Namun perut dan kepala belum sempat surut. Tak terhindarkan, ujung kayu merasak baju menggores perut.
Yang kedua, ujung kayu menyambar dagunya. Rahang bawah menghantam rahang atas. Jenggotnya rontok. Dan ia melosoh jatuh ke rerumputan, dengan dagu arah leher robek. Ia tertelungkup dan tangan kanannya bergetar. Kesombongannya, yang tadi akan "manggarumeh" lelaki yang ia panggil Buyung ini, dibayar lunas. Abah tinggi besar ini, jika dihantam ujung kayu, bisa juga pingsan!
Mat Kalis tak membuang waktu. Begitu Abah tertelungkup bergetar, mengeluarkan suara mirip beruang kesakitan, ia langsung cabut lari. Tak jelas lagi apakah ia melangkah atau melompat. Akar-akar liana ia loncati. Gesneriaceae terinjak dan tersambar. Deretan _Glychenia linearis_ di pintu hutan dia terjang. Lalu sampai di ladang. Terus turun arah tebing dan kebun penduduk. Jalan setapak, dan akhirnya sampai di kampung.
Andai Abah itu mampu siuman dengan cepat, lalu dengan menunggang "kondiak" mengejar dia dari belakang, entah apa yang akan terjadi. Subhanallah wa bihamdihi.
Mat Kalis memasuki rumah dengan wajah pucat. Ucapan salamnya disambut ibu dan kakaknya serta pamannya, Mak Hasan. Sudah dia duga Mak Hasan sedang berkunjung, sebab terompah Partakus hitam di kepala tangga, adalah milik Mak Hasan. "Alaikumsalam. Sudah tiba waang. Mak kau datang ini.." kata ibunya. Mat Kalis segra mengulurkan tangan bersalaman dengan pamannya. Mak Hasan biasanya datang sekali sebulan, atau sekali dua bulan. Ia tinggal di Jopang Manganti, rumah istrinya. Kesehariannya, mengajar ilmu tajwid di Darul Funun, Padang Jopang. Orang memanggilnya Buya Hasan Taeh. Mamak kandung Mat Kalis.
"Agak tak enak hati saya semalam tadi. Mimpi buruk sesungguhnya tak boleh diceritakan. Kecuali ke orang yg kita percayai saja. Itu sebabnya Mamak datang kesini...." ujar Buya Hasan membuka kata. Dan Mat Kalis berdebar. Peristiwa dia, tampaknya bertali temali dengan saudara famili secara gaib.
"Betul Mamak. Tadi siang saya ke kebun di Bukit. Saya lihat seekor babi menghasak ubi, kacang panjang bahkan anak pisang. Ketika diusir, ternyata ada seekor lagi malah menyerang. Untung ada tonggak pagar. Saya cabut dan saya layangkan ke mereka. Dua babi itu berlari masuk hutan. Sampai akhirnya bertemu makhluk dalam mimpi Mamak itu..." Mat menjelaskan.
Pembicaraan itu berlanjut ke masjid, ke sekolah dan ke kantor jorong serta walinagari. Kabar kebiadaban Abah sudah jadi rahasia umum. Namun bertemu secara nyata dg makhluk itu, belum ada dirasakan orang. Yang ada hanya mayat-mayat korban. Kecuali, dulu, duapuluhan tahun lalu, sebelum merdeka di pasar Suliki. Cerita tentang noni Belanda dibekap saat ia sedang membeli sitarakapeh. Ya. Hanya itu saja...
Maka mulai minggu ini, rundo digiatkan. Rumah dikunci. Anak-anak tak boleh keluar habis maghrib. Di surau, dilarang bermain jauh dari halaman. Doa doa menghadapi syetan, dirafal dimana-mana. Auzubillaminasysyaithanirrajim. Auzubillahiminasysyaithanirrajiiim. La hawla wa la quwwata illa billahil 'aziim
Usaha preventif dan protektif penduduk, untuk sementara membuahkan hasil. Sudah lebih dua purnama, tak kedengaran ada korban anak hilang. Di luak 50, Agam atau pun Tanah Datar.
Hingga suatu hari, sebuah keluarga di Simalanggang, mengawinkan putrinya dengan lelaki dari Padang Panjang. Lelaki yang beruntung itu, seorang anak pedagang yang baru pulang sekolah tinggi di Arab. Sedangkan pengantin perempuan, pernah bersekolah di Padang Panjang, sekolah khusus putri. Masih umur 19 tahun, Putri Bulan ini wajahnya seperti bulan memang. Bercahaya. Menunduk. Senyum tersipu. Ah, tak baguslah menuliskan keindahan perempuan. Tak elok!
Hanyasaja, anehnya, dimalam sebelum pagi akad nikah, petir badai menyambar-nyambar dari bukit, sawah sampai ke rumah. Disusul angin yang seakan berputar-putar membentuk bagai corong air. Kecil di bawah, lebar ke atas. Dan ya Tuhan, angin menggulung bubungan atap gedung Puti Bulan, yang menyatu dengan rumah gonjong besar. Para anggota keluarga yang sudah ramai pulang dari Malaka, Seremban, Jakarta dan Medan, disungkup kengerian. Bunyi berdesau mengangkat atap seng. Kayu kasau berjatuhan. Dan entah lah, bagai ditulis di takdir, kayu menimpa kepala Puti Bulan. Tak ada gores luka menganga. Namun Puti pingsan. Lalu tak lama, berhenti bernafas. Maka hebohlah orang dalam jorong. Menyebar berita seantero nagari. Duka menimpa keluarga terpandang itu....
Keluarga mempelai lelaki tak dapat berbuat banyak. Mereka tetap datang dan ikut menyelenggarakan jenazah. Anak negri berkumpul menyatakan duka belasungkawa. Selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan, lalu dimakamkan di pandam pekuburan dekat pinggiran sawah. Tak jauh dari aliran sungai. Sampai disini, tak ada yang aneh.
Sampai besok pagi masyarakat gempar. Keluarga yang masih ingin takziah menemukan makam yang sudah digali. Tanah merah teronggok. Ceceran tanah mengarah ke belukar. Dan ya Tuhan, mayat Puti Bulan ditemukan tergeletak dalam balutan rumput _Imperata_ serta semak _Eupatorium_. Kain kafannya terbuka dan -maaf- , jantung hati serta organ lain, hilang!
.
Jenazah Puti Bulan dirawat kembali lalu dimasukkan ke liang lahat. Wajah masgul tergambar dari semua yang hadir. Keluarga pengantin perempuan menggigit bibir dan meremas jemari. Imam masjid yang juga hadir memejamkan mata. Pengantin lelaki, bernama Hairil Rijal, atau tepatnya Hairil Rijal Lc, menyipit matanya. Mungkin mencoba melihat dengan mata hati. Sambil merafalkan amalan zikir. Lalu tiba-tiba matanya membuka lebar. Menatap ke sekeliling dengan tajam. Imam Masjid juga tegang. Mat Kalis yang memperhatikan dari barisan belakang, menatap tak berkedip. Ada apa?
Engku muda Hairil berjalan ke arah Imam. Lalu terlihat berbisik. Imam kaget. Matanya membelalak. Namun tangan Engku Hairil mengusap pundak Sang Imam, sambil berucap, "bismillah ayahanda, innal batila kana zahuqa..."
Anak muda itu berjalan arah semak belukar pinggir pekuburan. Diiringi Imam, dan yang lain. Perlahan-lahan. Ada apa gerangan? Apa yang dibisikkan penganten lelaki itu dengan Imam? Adakah sesuatu yang terlihat oleh mata batinnya?
Orang-orang tak ada yang tau. Mat Kalispun tak mengerti. Hanya melongo. Sampai akhirnya Engku Hairil berada di bawah kanopi pohon rambai besar di ujung semak belukar. Ia memandang sekeliling. Dengan tenang. Mat Kalis berdebar. Ibu-ibu mulai ngeri. Mereka mundur...
Dalam beberapa detik pertanyaan orang-orang yang hadir terjawab. Sosok tinggi besar brewokan berwajah monyet muncul dari balik semak. Ibu-ibu dan anak remaja ada yang terpekik, kaget. Itukah makhluk biadab yang selama ini hanya ada dalam bisik-bisik penduduk?
Ia menyeringai. Giginya kuning hitam. Rambut panjang. Kalung belulang. Akar bahar jadi gelang.
"Tambo palasik menyiratkan pertemuan ini anak muda. Lama saya menanti. Ternyata engkau orangnya. Kita buktikan apakah malaikat bodoh bisa menang di dunia melawan syetan!" Makhluk palasik itu berujar. Engku Hairil membiarkan energi bunyi ujaran itu berpendar lepas. Tak senoktahpun ia biarkan mempengaruhi psikologis pendekatannya pada Allah Sang Maha Pengasih. Diam. Angin seperti berhenti bertiup. Daun rambai _Bacvaurea motleyana_ seperti ikut terpana. Burung-burung tak terbang. Imam Masjid, Buya Hasan, Mat Kalis dan semua orang berdoa pada yang Satu.
Makhluk besar berbulu itu, memperhatikan Engku Hairil seperti es dingin tak terdampak. Ia kembali berkata, lebih keras,"Kok indak di waang, di waden! Manusia bodoh! Selesai hidup waang sebentar lagi!" Kalimat itu terucap rada parau, sombong, campuran narasi makhluk aneh memakai lidah manusia. Dan Engku Hairil tak bergeming. Matanya menyipit. Bibir terkatup. Kaki terbuka sepertiga depa.
La takhaf wa la tahzan. Ihdinasysyirathal mustaaqim.....
Makhluk itu memutar kepala ke arah Mat Kalis. Matanya berubah merah . Seperti batu cincin cimpago. Mat Kalis terkesima. Kuduknya menggerinyam. Dingin bergelombang.
"Kau tunggu giliran Buyung. Carilah kayu bulat dua buah jika perlu! Lunas hutangmu sebentar lagi!" Sungguh Mat Kalis tak menduga. Jarak sejauh ini, ia terpantau oleh Abah Palasik iblis itu. Buya Hasan faham keponakannya mendapat serangan mental. Ia mengingsut langkah ke Mat Kalis, lalu berbisik, " Rafalkan Al Alaq dan AnNas...."
Mat Kalis mengangguk. Pada saatnya nanti, jika memang ajal datang di tangan Palasik jahat ini, akan ia buat perhituangan. Tangkok Guluang Ula....!
Selesai melakukan serangan psikologis ke Mat Kalis, Abah tiba-tiba melompat mencengkram leher Engku Hairil. Orang-orang menahan nafas. Jemari berkuku hitam dengan gelang akar bahar segra mencekik. Setengah detik sebelum itu terjadi, Engku Hairil merendahkan badan dengan sedikit berputar. Ia luput. Abah mencekik udara kosong. Matanya makin merah. Ia kembali menyerang. Engku dia tangkap jepit. Kembali Engku berkelit mundur dg langkah terukur. Abah mendengus. Ia memekik. Dan tiba-tiba angin seperti yg datang dua hari lalu seperti muncul dari tangannya. Engku Hairil membiarkan tubuhnya terangkat dan terputar. Bagai kapas dihembus angin. Dalam kondisi seperti itu, Abah kembali mencengkram lengan dan lehernya. Tapi, sungguh Engku bertekad, haram makhluk itu menyentuh sel tubuhnya. Bahkan pakaiannya pun jangan bersinggungan dengan najis ini. Dan entah bagaimana, Engku bersalto, jungkir balik di udara lalu mendarat tiga langkah menjauh.
Buya Hasan mulai membaca, Engku menyedot energi makhluk ini di bagian awal pertarungan. Ia tak melawan, tapi menumpang dalam fenomena alam yang diizinkan Tuhan. Ibu-ibu mulai saling pandang.
Ibu Rohaya, yang menemani Engku Hairil dari Padang Panjang, memegang tangan calon besannya. Lalu bermohon ,"Panggilkanlah opas ke Payakumbuh. Tembak hantu itu cepat!"
Seorang pemuda mengangguk dan mencari sepeda untuk digowes ke Payakumbuh 10 km arah selatan.
Sayangnya, beberapa langkah pemuda itu berjalan, pukulan angin panas menerpanya, ia tercampak ke pinggir jalan.
"Kepung tempat ini!" Imam masjid segra membuat perintah. Yang lelaki mulai mencari gadubang serta pisau. Yang perempuan mundur menjauh. Engku Hairil terus bermain "kapas dihembus angin" dengan Abah. Dengan resiko kadang bergulingan di rumput, kadang jumpalitan di udara. Sampai akhirnya Abah merasa dipermainkan. Maka sepakannya lurus menghantam ke ulu hati. Hawanya panas. "Kapas" terpental ke pinggir pematang. Orang-orang mulai hendak maju serentak mengeroyok.
Tapi Buya Hasan dan Imam masjid memberi kode dengan telapak tangan. Tahan! Tunggu dulu! Dalam penglihatan orang-orang Engku Hairil sudah hampir kalah. Tapi dalam mata batin Buya dan Imam, Engku memulai kemenangan...
Menyadari tubuhnya mendarat di pinggir pematang, Engku Hairil segera mencengkam rumput. Jangan sampai masuk ke lumpur. Artinya tenaga sepakan Abah yang ia tumpangi, melayangkan tubuhnya lebih dari 10 meter! Pematang ini ditumbuhi teki _Cyperus kyllinga_ dan keladi kecil Colocasia. Di arah bawah menjuntai _Lindernia sp_. Engku cepat berdiri membelakang sawah. Sela empu kaki kanannya ia jepitkan ke tangkai petiolus daun Colocasia kecil diameter 1 cm. Dugaannya Abah Palasik akan lanjut menyerangnya terbukti. Tubuh besar itu mengaum dan menerkamnya. Tak ada waktu untuk bermain "kapas dihembus angin lagi". Di belakangnya bandar air kecil, pematang, lalu sawah tergenang. Salah lompat, baju calon penganten yang sudah kotor berguling rumput bisa makin kelabu coklat!
Maka gilirannya kini memberi pelajaran. Dia tunggu terkaman itu dengan tenang. Ekspresi dingin tak marah. Lalu saat tubuh besar itu menjulur melompati kepalanya, ia meloncat salto ke atas. Dengan perhitungan yang tepat, petiolus daun keladi di jepitan jemari kaki menghajar mata Abah dari sisi kanan.
"Oaouuuuwww....!!" Terdengar pekikan. Darah muncrat dari cavitas orbicularisnya. Sambil berguling-guling dalam lumpur sawah, si Abah menutup matanya yang kanan.
Ternyata ilmu kebal, bulus oleh terjangan tangkai daun keladi! Tak hanya bulus, tapi melukai bola mata bagai sembilu menghajar daging lunak.
Sawah tergenang itu tiba-tiba berubah jadi arena pekikan, gulingan dan raung panjang Abah Palasik. Entah darahnya hitam entah karena bercampur lumpur ia merarau menghempas-hempas.
Di pinggir pematang, Engku Hairil menatap dengan pandang iba kasihan.
Orang ramai segera maju mengeroyok. Ada yang memukul dengan kayu, ada yang mecincang dengan gadubang. Awalnya tak mempan. Hanyak efek gaya fisika. Mat Kalis muncul pula beraninya. Dia ambil juga tangkai daun talas, dia pukulkan ke mata kiri. "Dus!!" Darah muncrat. Coklat. Abah menggeletar. Tenaganya habis.
Ada satu hal yang kurang diperhatikan massa ketika pengeroyokan itu dilakukan. Ukuran tubuh Abah Palasik menurun signifikan sejak darah menyembur dari matanya. Dia tak lagi tinggi besar sebagai orang utan. Mengerucut dan perlahat wajahpun kini seakan Edi Sumbu. Edi Sumbu itu, orang gila yang sering ditemui orang di jalan Biaro, Canduang, Baso dan Barulak. Apakah ini Edi Sumbu? Entah!
Sebab dengan wajah penuh lumpur, tubuh bergelimang kotoran coklat, ia ditinggal massa setelah tak bernafas.
Teman. Adakah engkau pernah dengar ancaman tentang mayat yang takkan diurus dan dikuburkan? Disini, ancaman itu sudah dilaksanakan. Tak seorangpun mau memandikan, mengafani apalagi menyolatkan! Inikah yang disebut orang dengan "mati anjiang"?
Tersisa Engku Hairil dan Imam Masjid serta Buya Hasan dan ponakannya. Mereka bukannya begitu hormat pada Abah Palasik, tapi menguburkan mayat itu sebuah keniscayaan. Tak sekedar syar'i. Juga untuk kesehatan ummat. Bakteri patogen bisa berkembang meruyak di mayat itu. Sekarang saja, baru beberapa menit ditinggal massa, bau tak sedap, menyebar di sekitaran. Aroma koncek mati, taik babi, dan bangkai yang sungguh, belum ada bau sebusuk ini.
Orang berempat itu membungkus dengan karung goni, direndam di sungai Batang Sinama, lalu diseret ke pinggir hutan. Tak seorangpun mau membantu.
Jika di dunia saja dihindari orang, apatah lagi di akherat. Nauzubillah. Summa nauzubillah...
Edi Sumbu, lelaki tua "gila " pinggiran jalan itu kini sudah tak ada. Ditanam di pinggir hutan. Dan dilupakan orang. Tak satupun yang mau menceritakannya. Dan tak satupun yang mengaku saudaranya.
Demikian fiksi ini ditulis smoga bermanfaat. Kesamaan nama dan lokasi hanyalah kebetulan..
No comments:
Post a Comment