Friday, May 22, 2020

NISA, KITA ORANG BERDOSA


NISA,KITA ORANG BERDOSA
Masih ingat sms yang kau kirim tengah malam, setelah orangtuamu memarahi kita di kampung dulu? "Uda, kok yobona sayang, lai jantan, gungguang bao den tobang". Itu seperti sambaran petir, Nisa. Menantang kejantananku! Dalam umur kita masih muda, kususun baju dan celana ke dalam tas, seadanya, lalu besok paginya kutemui engkau di bawah pohon pelam. Di simpang tempat mobil berhenti. Bagai sepasang burung merpati, kita nekad terbang jauh. Sungguh, di kantong celanaku hanya ada duit seratusan ribu, upah membantu tukang membuat rumah. Aku tak bekerja tetap, dan itu mungkin salah satu alasan ibu bapak mu, menolak, selain kita masih muda, aku tamat STM dan engkau aliyah.
Masih ingat kita makan seadanya, di jalan. Naik mobil bus ke Bangko dan bermalam di penginapan murah Muarobungo.Nisa, kita orang berdosa!
Bsoknya pagi kita melanjutkan duduk berdesakan di bangku tembak bus ALS dekat pintu belakang. Kubiarkan kepalamu menyandar dan tertidur. Bau sampo di penginapan pagi tadi wangi. Lalu akupun terlelap, sampai akhirnya kita bangun di Lahat, saat bus berhenti makan siang. Orang-orang memandang kita dengan tatap aneh, atau entah apa, tapi kita menunduk saja. Kita makan nasi bungkus berdua di pelataran luar. Lalu akhirnya melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Katamu ke rumah pamanmu saja.
Ngeri sebenarnya aku ketika kita melangkah ke halaman rumah pamanmu yang sudah lama di Jakarta. Akan kena marah lagi, mungkin. Tapi kita sudah sampai di titik pasrah. "Mak, kami minta dibantu kehalalan hubungan, dan tempat berteduh beberapa hari,.." itu kalimat yang aku siapkan waktu engkau mengetuk pintu. Kulihat engkaupun ragu, sebab istri pamanmu bukan orang kampung kita, dan jarang pulang juga.
Syukurlah setelah tatapan tajam pamanmu, ia memilih memfasilitasi. kita nikah seadanya, dan aku dicarikan kerja di bengkel motor teman pamanmu. Bukan beberapa hari, malah beberapa bulan, kita memulai hidup di Jakarta, menumpang di kamar dekat dapur, di samping kandang kucing tantemu, yang bulunya panjang dan kakinya pendek.
Kita kemudian pindah ke kamar kotrakan yang sempit. Lalu Anne dan Afif lahr. Untunglah engkau tak minta hidup yang mewah. Mau hidup sederhana. Makan tahu tempe, serta teri kacang goreng. Hampir setiap hari. dan aku, meminta bosku untuk menyimpankan duit gaji, agar tak habis setiap bulan. Aku ingin beli sepeda motor sesungguhnya, ketika anak kita yang bungsu sakit. Aku memacu motor bengkel pulang ke kontrakan, dan tak disangka bertabrakan dengan motor lain. Aku dibawa ke rumah sakit. Afif demam. Engkaupun sedang hamil muda. Waktu itu, Nisa, ingin rasanya aku menampar mukaku sendiri, kenapa nasib begini. Dan berjanji jika suatu saat ini semua selesai, kuberi engkau hadiah. Dengan tertatih engkau menggendong Afif dan menungguiku dibangsal kelas ekonomi. Ludes tabungan, dan kalungmu.
Waktu berlalu. Syukur Afif cepat sembuh dan aku bekerja lagi. Dengan lebih hati-hati, kita menanbung lagi. Kukerjakan perbaikan di bengkel sampai akhir waktu setiap hari, supaya bos sayang dan simpati. Lalu kita akhirnya mengambil rumah rss di pinggir kota. jauh, jauh sekali. Aku terpaksa tigakali naik kendraan dan KRL untuk ke bangkel. tapi kita melalui dengan tabah. Engkau bahkan bertransformasi jadi ibu penjual kue dan donat setiap pagi. Anak-anak, yang kini jadi tiga orang, alhmadulillah tumbuh normal.
Setelah beberapa tahun, aku ingat, pulang lebih cepat dengan membawa motor revo yang rada baru. Engkau kaget, dan wajahmu surprise. "Uda beli motor?" tanyamu. Aku mengangguk. dan engkau berlinang air mata. "Alhamdulillah bisa ngantar Anne dan Afif sekolah,..." ucapmu menunduk. Aku merasa kembali menjadi'orang'.
Sudah lebih tujuh belas tahun, rumah kita malah sudah bertambah kamarnya di samping. Direhab sederhana. Untuk kamar anak. Dan scoopy yang berjasa ini, masih setia menemani. Malam tahun baru 2020 kemarin, ibu dan bapakmu menelpon dari kampung, "Yobona indak kapulang-pulang kalian tu? Kami mintak mooh, kami iyo taragak jo cucu..." kata ibumu. Aku menggigit bibir. Pedih luka diomeli sebelum 'lari' dulu masih terngiang. Tapi desakan insting fitrah, sebagai anak, ingin berbakti juga besar. Silatrurahmi itu kebutuhan, bukan klise.
Dan kita mulai berniat pulang. Sebentar saja. Sekedar sujud di kaki ibu dan bapak serta saudara-saudara, lalu kembali terbang ke Jakarta. Itu planning yang kita buat....
Nyatanya planning itu hilang terbawa angin dari Wuhan. Kenyataan Februari, Maret dan April, membuat kita membatalkan untuk pulang. Aku sadar, hatimu, Nisa, sangat ingin untuk menangis di pangkuan ibu dan bapak. Tapi, engkau sadar, ini bukan kehendak kita. Nisa, kita orang berdosa. Mungkin ini salah satu kenyataan yang harus kita tanggung dengan tabah. Biarlah takbir hari Idilfitri, kita biarkan bergema, tanpa menutup telinga. Bukankah tawa anak-anak cukup mengobati kalbu yang lara?
Nisa, kita orang berdosa,...

"Uda taragak babuko jo apo biko?" tanyamu. He, bukankah seperti tiap puasa, aku memakan apapun yang engkau buat masakan? Apa yang anak-anak kita senangi, akupun suka. Tapi mungkin engkau, Nisa, sedang terombang perasaan, jadi kujawab sekenanya,"Taragak wak jo lopek kucuang..."
Lalu engkau membuat lepat itu. Dengan beras halus dan gula aren harum berdaun pandan. Ukurannya, jumbo. Dulu di kampuang, ibuku sekali-sekali memasak ini, dan kami rebutan setelah ibu memotong-motongnya. Enak dan lembut. Daun pisang ambon berbatang pendek sudut halaman, menjadi bungkusnya. Pisang itu kita tanam sudah lama, hampir sejak pertama kita pindah ke perumahan sederhana ini. Setiap kita tebang, anaknya selalu tumbuh. Tak lebih satu setengah meter, ia sudah berbuah pula. Setandan kkadang sampai sembilan sisir. Dan sudah banyak orang menikmatinya. Mulai dari tetangga, teman pengajian ibu-ibu, teman Anne dan Afif, bahkan jika anak pamanmu datang dengan mobil mengkilapnya di hari minggu, kita tebang segera, untuk mereka bawa dua-tiga sisir. Dulu aku khawatir, jika Turny, sepupumu itu datang, engkau akan minder rendah diri. Sebab ia akan segera berjalan keliling rumah, dan mulutnya dengan cepat menyemburkan kalimat, bagian mana yang segera harus kita rehab, perabot apa yang mesti dibeli atau daster warna apa yang sekarang sedang favorit. Engkau tegar. tak terpengaruh. Aku bangga itu, Nisa. Bahkan ketika ibu gendut belakang kita, yang rumahnya bertingkat menawarimu membantu mencuci di rumahnya, engkau tolak. Menemani anak-anak di rumah lebih utama, walau makan seadanya. Momen itulah yang memicumu menjadi penjual kue lemper, nagasari dan donat, lalu menabung, lkemudian dengan sedikit tambahan, kita bisa beli televisi.
Ya, di ruang tengah yang taklebar, kita malam ini, karena tak lagi tarawih, terhampar bersama ketiga anak di kasur lihab tipis. Berteman bantal guling. Tidur setelah tadi menghabiskan lopek-kucuang nan sedap. Ternyata Anne, Afif dan Arin semuanya senang lopek ini. Sisa bungkusnya kini tertumpuk di plastik asoy sampah dekat dapur. Ludes!
Walau tak lagi shalat tarawih, aku masih shalat sunat, Nisa. Sementara kalian sudah mendengkur. Aku lihat empat pasang kaki berjejer depan tivi. Arin bahkan masih engkau peluk, dalam irama kipas angin kita yang mulai tua. Wuuuusss....ke kiri, wuuuuus...ke kanan.
Shalat sunat tobat, shalat sunat syukur, dan shalat sunat yang entah apa namanya, untuk mendekatkan diri pada Tuhan kita. Dalam hembusan nafas shalat itulah, dada terasa lapang. Di helaan udara masuk ke sudut paru-paru itulah, otak terasa tenang.
Engkau Nisa, kupandang dengan perasaan iba. Aku mungkin tak sehebat lelaki lain dalam memberi nafkah harta, namun engkau Nisa, menerima semua ini. Terimakasih ya Nisa, terimaksih wahai istri yang menemani hidupku dalam segala suka dan duka.
Nisa , kita orang berdosa, tapi boleh aku cium keningmu dan pipi anak-anak kita dalam tidur lelapmu?
Besok lusa, jika keadaan berubah, kita tapaki hidup lebih baik. Bagaimanapun, kita tetap kan pulang. Kita lebur sekat kemarahan belasan tahun lalu dengan menundukkan kepala dan mencium tangan bapak ibumu.
Nisa, sudah ya. Akupun ikut tidur di sela anak-anak, di hantar gema takbir Idilfitri.

3 comments:

  1. Waduuuh super sekali..penuh sarat dengan maknna hidup dan filosofi kehidupan...

    ReplyDelete
  2. MasyaAllah...tarimo kasih Han....super sekali

    ReplyDelete