Wednesday, September 21, 2022

INSPIRASI GUNUNG BUNGSU

 

INSPIRASI Gunung BUNGSU.
Hanifa Marisa 
 
 

 
 
Mat Kalis menyelesaikan serudukan babi jantan itu dengan langkah insting ke kiri lalu menghantam kepalanya dengan kayu bulat yang ia pegang. Persis di atas alis. Berdengkang tulang. Dan babi itu melosoh ke tanah. Pingsan!
Tak sampai disitu, hantaman berikut tepat di kuduk belakang telinga. Menggeletar! Lalu diam....
Mat Kalis menghela nafas. Sejenak ia bisa reda. Setelah yg betina tadi ia hantam juga di mulut, dan di tengkuk!
Masih berdebar, Mat Kalis beranjak ke pinggir telaga. Memandang wajah dalam bening air. Kusut penuh luka. Baju robek. Celana koyak. Setan tak berhenti mengganggu ibadahnya....
Saat memandang coreng moreng wajah itulah, di dalam cermin air, dia lihat bayangan coklat kekuningan di belakang kuduknya! Hep srak!! Mat Kalis menjatuhkan badan ke tanah. Langsung berguling di rumput Paspalum campur Pteris. Bagai anak kucing digulung temannya. Dan bayangan coklat kekuningan itu luput dari tengkuknya. Terhempas ke muka air. Menimbulkan ombak kecil. Mat Kulis memandang. Duh! Hanya daun tarab Artocarpus kering. Jatuh dari batang yang tak jauh dari sisi kanan belakang.....
: Mat terdiam. Angin kecil bertiup. Menggoyang daun Themeda arguens dan Saccharum spontaneum. Riak memindahkan daun tarab ke tengah. Lalu perlahan tenggelam. Tak mungkin ia menyapu muka dengan air telaga ini. Luka di pipi akan terasa perih. Bagai tersayat daun Leersea. Jadi, sudahlah! Tinggalkan rimba lebat ini. Biarlah telaga bertemankan suara cicit burung Nectariana jugularis.... Dan Mat Kalis melangkah. Pergi. Menginjak rumput Paspalum dan Axonopus...
"Tak ada yang selamat keluar dari Rimbosati ini Buyung! Apalagi dua temanku sudah kau bunuh..." tiba-tiba dia dengar suara pelan tapi berat. Dari arah belakang. Jantungnya berdebar. Segra ia menoleh...
Astaghfirullah! Antara percaya dengan tidak, seorang lelaki tua jangkung, berambut panjang dengan wajah mirip orang utan! Berkalung tulang putih, bergelang akar bahar! Mat mengerinyitkan kening. Siapa ya?
 
 
Lelaki itu menyeringai. Giginya panjang hitam kuning. Kumis jambang tebal. Pipi temben. Ya. Mirip orang utan!
" Waang bertanya siapa aku? Bukankah seantero luak Limopuluh sampai Agam Tanahdata, orang sering menceritakan anak-anak hilang saat bermain? Pikirkanlah!"
Mat Kalis berdebar. Orang tinggi besar dalam hutan, berhubungan dengan anak-anak yang hilang? Abah Palasik? Apa Abah Palasik itu benar ada atau dongeng penakut-nakuti anak saja? Apa Abah ini pemakan pankreas dan kantong kemih manusia? Terkadang mayat anak remaja ditemukan di hutan Kelok Sembilan atau bukit Halaban kaki Gunung Sago, sudah tak ada limpa dan kantong kencingnya. Jadi betul-betul ada? Manusia brewok orang hutan ini?
Mat Kalis bergidik. Giliran organ dalam tubuh diakah yang akan dimamah Abah Palasik sore ini? Ya Tuhan....
"Kali ini aku dapat lawan yang agak "lamak" mungkin. Sebab sanggup menghabisi Diki dan Diko." Abah Palasik kembali menyeringai. Mat Kalis mencoba mencari akal. Bagaimana lepas dari ancaman orang tinggi berparas monyet ini. Eh ....jadi babi tadi teman dia? Namanya Diki dan Diko? Pantasan siang tadi, saat kepergok membongkar ubikayu di ladangnya, Taeh Bukik, babi itu bagai menuntunnya ke sini. Kejar-kejaran. Berhenti. Lalu lari lagi. Dan ditempat ini, Diki dan Diko ia selesaikan dengan potongan kayu bulat. Kayu bulat? Ya. Dia cabut dari pagar ladang untuk mengejar babi tadi. Bisakah kayu ini ia gunakan untuk Abah juga?
Abah Palasik kini melangkah mendekat. Matanya tajam. Seakan menembus ke pankreas dan kantong kemihnya. Dilalap untuk memperpanjang umur dan ajian kekuatan kelelakiannya. Mat Kalis berusaha menenangkan hati. Salah respon, riwayatnya tamat dalam rimba Gunung Bungsu ini! Tak ada yang tau. Tak mungkin ditemukan berhari-hari. Tersisa kini, tekad melawan dan takdir Tuhan! Bismillah. A'uzubi kalimati Llahittammati min sarri ma khalaq!
: Abah Palasik melangkah mendekat. Biji matanya berbinar. Darah anak muda ini mungkin serasa segar di kerongkongannya. Sudut bibirnya bergerak-gerak. Serasa ada manis-manisnya, mungkin.
Mat Kalis makin menyipitkan mata. Bibir dan hatinya tak jeda dari tautan ke Allah. Auzubillah. Auzubillah. Auzubillah.... tiba-tiba punggung telapak kakinya terasa dingin. Dia melirik ke bawah. Seekor katak buduk _Bufo melanotinctus_ melompat ke pangkal jemari kakinya. Mungkin dari bawah semak _Hyptis capitata_ berkelindan dengan _Commelina nudiflora_ yang berbunga biru. Dan tiba-tiba instinknya menyepakkan Bufo itu ke arah Abah. Swuiiit...! Kodok buduk itu melayang kencang. Instinktif! Mengarah ke wajah Abah Palasik. "Snap!" Sang Buduk ditangkap Abah dengan tangan kanannya. Hingga wajahnya tak jadi ditabrak katak coklat bergerigi. Begitu dilihat Abah di telapak tangannya seekor kodok, ia tersenyum. Langsung dia masukkan ke mulut. Ditarik. Koyak! Darah menetes. Dan isi perut kodok malang itu dia telan! Plup!!
Mendesir darah Mat Kalis. Saat tadi katak buduk terjepit di deretan gigi kuning atas dan bawah. Terus jemari tangan dengan gelang akar bahar itu menarik kepala buduk. Terdengar bunyi erangan terakhir katak itu. Tentulah begitu juga kejadiannya dengan anak-anak yang hilang di pinggir desa dimana-mana. Bagai raja hutan, dia "sungkahkan" rongga dada , cavitas thorakalis, sampai perut, lalu dia hirup darah dan dia telan organ pilihan! Pantaslah, anak perempuan Buya Khoiri mayatnya ditemukan terkapar dengan dada dan perut menganga, di semak _Lantana camara_ dan _Melastoma_ nun kaki bukit Solok Bio-bio.... Kabarnya Buya Khoiri seperti gila senewen beberapa hari menerima kenyataan itu. Putri pertamanya, ditemukan dengan darah mengering oleh pencari rotan..
 
 
 
Itu yang Mat tau tentang cerita Abah Palasik. Tapi teman, ada yang belum dia ketahui. Enam orang santri di Candung, hilang beberapa hari lalu mayatnya ditemukan di aliran Batang Agam, adalah buah karya Abah juga. Orang tua ke enam murid itu meraung melihat jasad anak mereka. Satu di antaranya, yang berasal dari Sulik Aia, tak hanya organ tubuhnya yg hilang, tapi juga biji mata dan kupingnya! Andai Mat dengar kabar ini, mungkin sudah terbang dia lari menembus hutan, peduli akar onak dan duri, dia terabas asal lepas! Kini ..di depan matanya, jarak dia tiga depa, dia lihat biji mata Abah, rada terpejam demi menelan isi perut koncek kesat! Ting! Muncul idenya segera menghantam kepala besar itu dengan kayu bulat ini. Selagi saraf otaknya terlena darah dan organ katak! Dia punya waktu satu dua detik. Kayu bulat _Casia fera_ kulit manis sisa kulitan bekas pagar, keras dan menghitam, secepat kilat menghantam telinga dari arah kiri Abah!
Apakah ini ilham? Dari mana datangnya koncek buduk? Bagaimana kakinya instinktif menyepakkan ke kepala Abah? Mengapa muncul ide menyerang melihat Abah Palasik tengah kendor syarafnya menelan organ dalam Bufo ini? Entah!
Yang jelas, sekarang Mat Kalis melompat menyabetkan kayu Casiavera kering ke batok kepala Palasik ini. Dengan tenaga maksimal. Sebab, jika luput, selesai riwayat Mat! Andai ini tempurung kelapa, maka langsung pecah berantakan! Sungguh!
Tapi Abah Palasik sudah tua di umur. Sudah banyak makan asam garam. Bahkan sudah banyak menyedot darah anak remaja. Lompatan Mat Kalis dengan kayu bulat di tangan menyadarkannya akan serangan. Hingga nikmat kaldu ileum jejenum serta colon usus koncek cepat ia sudahi. Hanya saja, ia tak menyangka kecepatan dan tenaga anak muda di depannya, sekuat ini. Secepat ini. Kecepatan dan kekuatan yang muncul dari pilihan hidup atau mati! Itu yang tak disangka Abah. Sehingga, walau pergelangan tangannya terlihat menangkis, namun nir-fungsional! Teriak jatidiri Mat Kalis dalam zikir 100%, tak ayal menghantam tangan berikut kepalanya! Bdebuk!!
 
 
 
Ini pukulan dari kalbu yang memekikkan syahadat. Yang energinya putih bersinar. Jadi, sekalipun Abah Palasik pemakan masak mentah, mengerahkan tarekat mantra kebalnya, tiada mampu dihalangi. Mantra dan makanan serta jalan kebal makhluk gaib yang menumpangi Abah, dulu memang ampuh melawan peluru bedil opsir Belanda di Suliki. Saat ia mencoba menggaet noni berambut jagung, berbaju putih berlenggek, yang sedang membeli "setarakapeh". Air ludah Abah meleleh melihat darah yang mengalir di pipi dan tangan putih itu. Tak mampu ia menahan diri. Dia dekap dan dia sekap mulut si Noni lalu segera melarikannya. "Dor!" Bedil yang mesiunya diisi dari laras, lalu dipompa beberapa kali menyalak. Menerpa pelipis Abah. Rambutnya hangus. Tapi kulitnya tak gores semeli meter pun! Sebelum letusan ke dua menyalak, Abah menghilang dalam pasar lalu cigin ke sawah semak. Itu dulu! Kini hantaman kayu kulutmanis bekas tonggak pagar, yang melayang dengan nawaitu Qadratullah, tak ayal, membuat Abah terpental juga ke kanan. Terhuyung!
Mat segra berimprovisasi. Kayu casia vera itu kini berubah haluan. Dari bawah mengarah ke atas. Ke selangkangan!! "Srakkk!!"
"Klakkk!!"
Dua bunyi terdengar berturut-turut. Yang pertama, ujung kayu menyambar perut dan baju Abah Palasik. Koyak! Abah Palasik faham benar jika kayu coklat kehitaman itu menyambar gonad testesnya, maka titik lemahnya akan hancur. Tiada guna ia makan organ tubuh makhluk lain mentah-mentah, jika itu terjadi. Itu sebabnya, walau terhuyung, cepat ia mundurkan pubiknya. Namun perut dan kepala belum sempat surut. Tak terhindarkan, ujung kayu merasak baju menggores perut.
Yang kedua, ujung kayu menyambar dagunya. Rahang bawah menghantam rahang atas. Jenggotnya rontok. Dan ia melosoh jatuh ke rerumputan, dengan dagu arah leher robek. Ia tertelungkup dan tangan kanannya bergetar. Kesombongannya, yang tadi akan "manggarumeh" lelaki yang ia panggil Buyung ini, dibayar lunas. Abah tinggi besar ini, jika dihantam ujung kayu, bisa juga pingsan!
Mat Kalis tak membuang waktu. Begitu Abah tertelungkup bergetar, mengeluarkan suara mirip beruang kesakitan, ia langsung cabut lari. Tak jelas lagi apakah ia melangkah atau melompat. Akar-akar liana ia loncati. Gesneriaceae terinjak dan tersambar. Deretan _Glychenia linearis_ di pintu hutan dia terjang. Lalu sampai di ladang. Terus turun arah tebing dan kebun penduduk. Jalan setapak, dan akhirnya sampai di kampung.
Andai Abah itu mampu siuman dengan cepat, lalu dengan menunggang "kondiak" mengejar dia dari belakang, entah apa yang akan terjadi. Subhanallah wa bihamdihi.
Mat Kalis memasuki rumah dengan wajah pucat. Ucapan salamnya disambut ibu dan kakaknya serta pamannya, Mak Hasan. Sudah dia duga Mak Hasan sedang berkunjung, sebab terompah Partakus hitam di kepala tangga, adalah milik Mak Hasan. "Alaikumsalam. Sudah tiba waang. Mak kau datang ini.." kata ibunya. Mat Kalis segra mengulurkan tangan bersalaman dengan pamannya. Mak Hasan biasanya datang sekali sebulan, atau sekali dua bulan. Ia tinggal di Jopang Manganti, rumah istrinya. Kesehariannya, mengajar ilmu tajwid di Darul Funun, Padang Jopang. Orang memanggilnya Buya Hasan Taeh. Mamak kandung Mat Kalis.
"Agak tak enak hati saya semalam tadi. Mimpi buruk sesungguhnya tak boleh diceritakan. Kecuali ke orang yg kita percayai saja. Itu sebabnya Mamak datang kesini...." ujar Buya Hasan membuka kata. Dan Mat Kalis berdebar. Peristiwa dia, tampaknya bertali temali dengan saudara famili secara gaib.
"Betul Mamak. Tadi siang saya ke kebun di Bukit. Saya lihat seekor babi menghasak ubi, kacang panjang bahkan anak pisang. Ketika diusir, ternyata ada seekor lagi malah menyerang. Untung ada tonggak pagar. Saya cabut dan saya layangkan ke mereka. Dua babi itu berlari masuk hutan. Sampai akhirnya bertemu makhluk dalam mimpi Mamak itu..." Mat menjelaskan.
Pembicaraan itu berlanjut ke masjid, ke sekolah dan ke kantor jorong serta walinagari. Kabar kebiadaban Abah sudah jadi rahasia umum. Namun bertemu secara nyata dg makhluk itu, belum ada dirasakan orang. Yang ada hanya mayat-mayat korban. Kecuali, dulu, duapuluhan tahun lalu, sebelum merdeka di pasar Suliki. Cerita tentang noni Belanda dibekap saat ia sedang membeli sitarakapeh. Ya. Hanya itu saja...
Maka mulai minggu ini, rundo digiatkan. Rumah dikunci. Anak-anak tak boleh keluar habis maghrib. Di surau, dilarang bermain jauh dari halaman. Doa doa menghadapi syetan, dirafal dimana-mana. Auzubillaminasysyaithanirrajim. Auzubillahiminasysyaithanirrajiiim. La hawla wa la quwwata illa billahil 'aziim
 
 
 
Usaha preventif dan protektif penduduk, untuk sementara membuahkan hasil. Sudah lebih dua purnama, tak kedengaran ada korban anak hilang. Di luak 50, Agam atau pun Tanah Datar.
Hingga suatu hari, sebuah keluarga di Simalanggang, mengawinkan putrinya dengan lelaki dari Padang Panjang. Lelaki yang beruntung itu, seorang anak pedagang yang baru pulang sekolah tinggi di Arab. Sedangkan pengantin perempuan, pernah bersekolah di Padang Panjang, sekolah khusus putri. Masih umur 19 tahun, Putri Bulan ini wajahnya seperti bulan memang. Bercahaya. Menunduk. Senyum tersipu. Ah, tak baguslah menuliskan keindahan perempuan. Tak elok!
Hanyasaja, anehnya, dimalam sebelum pagi akad nikah, petir badai menyambar-nyambar dari bukit, sawah sampai ke rumah. Disusul angin yang seakan berputar-putar membentuk bagai corong air. Kecil di bawah, lebar ke atas. Dan ya Tuhan, angin menggulung bubungan atap gedung Puti Bulan, yang menyatu dengan rumah gonjong besar. Para anggota keluarga yang sudah ramai pulang dari Malaka, Seremban, Jakarta dan Medan, disungkup kengerian. Bunyi berdesau mengangkat atap seng. Kayu kasau berjatuhan. Dan entah lah, bagai ditulis di takdir, kayu menimpa kepala Puti Bulan. Tak ada gores luka menganga. Namun Puti pingsan. Lalu tak lama, berhenti bernafas. Maka hebohlah orang dalam jorong. Menyebar berita seantero nagari. Duka menimpa keluarga terpandang itu....
Keluarga mempelai lelaki tak dapat berbuat banyak. Mereka tetap datang dan ikut menyelenggarakan jenazah. Anak negri berkumpul menyatakan duka belasungkawa. Selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan, lalu dimakamkan di pandam pekuburan dekat pinggiran sawah. Tak jauh dari aliran sungai. Sampai disini, tak ada yang aneh.
Sampai besok pagi masyarakat gempar. Keluarga yang masih ingin takziah menemukan makam yang sudah digali. Tanah merah teronggok. Ceceran tanah mengarah ke belukar. Dan ya Tuhan, mayat Puti Bulan ditemukan tergeletak dalam balutan rumput _Imperata_ serta semak _Eupatorium_. Kain kafannya terbuka dan -maaf- , jantung hati serta organ lain, hilang!
.
Jenazah Puti Bulan dirawat kembali lalu dimasukkan ke liang lahat. Wajah masgul tergambar dari semua yang hadir. Keluarga pengantin perempuan menggigit bibir dan meremas jemari. Imam masjid yang juga hadir memejamkan mata. Pengantin lelaki, bernama Hairil Rijal, atau tepatnya Hairil Rijal Lc, menyipit matanya. Mungkin mencoba melihat dengan mata hati. Sambil merafalkan amalan zikir. Lalu tiba-tiba matanya membuka lebar. Menatap ke sekeliling dengan tajam. Imam Masjid juga tegang. Mat Kalis yang memperhatikan dari barisan belakang, menatap tak berkedip. Ada apa?
Engku muda Hairil berjalan ke arah Imam. Lalu terlihat berbisik. Imam kaget. Matanya membelalak. Namun tangan Engku Hairil mengusap pundak Sang Imam, sambil berucap, "bismillah ayahanda, innal batila kana zahuqa..."
Anak muda itu berjalan arah semak belukar pinggir pekuburan. Diiringi Imam, dan yang lain. Perlahan-lahan. Ada apa gerangan? Apa yang dibisikkan penganten lelaki itu dengan Imam? Adakah sesuatu yang terlihat oleh mata batinnya?
Orang-orang tak ada yang tau. Mat Kalispun tak mengerti. Hanya melongo. Sampai akhirnya Engku Hairil berada di bawah kanopi pohon rambai besar di ujung semak belukar. Ia memandang sekeliling. Dengan tenang. Mat Kalis berdebar. Ibu-ibu mulai ngeri. Mereka mundur...
 
 
 
 
Dalam beberapa detik pertanyaan orang-orang yang hadir terjawab. Sosok tinggi besar brewokan berwajah monyet muncul dari balik semak. Ibu-ibu dan anak remaja ada yang terpekik, kaget. Itukah makhluk biadab yang selama ini hanya ada dalam bisik-bisik penduduk?
Ia menyeringai. Giginya kuning hitam. Rambut panjang. Kalung belulang. Akar bahar jadi gelang.
Engku Hairil membuang semua nafsu. Bernafas natural. Menggiring setiap atom unsur dan senyawa dalam sel jaringan serta organ tubuhnya bermunajat pada Allah Subhana wa Ta'ala. Allahu la Ilaha illa Huwa...
"Tambo palasik menyiratkan pertemuan ini anak muda. Lama saya menanti. Ternyata engkau orangnya. Kita buktikan apakah malaikat bodoh bisa menang di dunia melawan syetan!" Makhluk palasik itu berujar. Engku Hairil membiarkan energi bunyi ujaran itu berpendar lepas. Tak senoktahpun ia biarkan mempengaruhi psikologis pendekatannya pada Allah Sang Maha Pengasih. Diam. Angin seperti berhenti bertiup. Daun rambai _Bacvaurea motleyana_ seperti ikut terpana. Burung-burung tak terbang. Imam Masjid, Buya Hasan, Mat Kalis dan semua orang berdoa pada yang Satu.
Makhluk besar berbulu itu, memperhatikan Engku Hairil seperti es dingin tak terdampak. Ia kembali berkata, lebih keras,"Kok indak di waang, di waden! Manusia bodoh! Selesai hidup waang sebentar lagi!" Kalimat itu terucap rada parau, sombong, campuran narasi makhluk aneh memakai lidah manusia. Dan Engku Hairil tak bergeming. Matanya menyipit. Bibir terkatup. Kaki terbuka sepertiga depa.
La takhaf wa la tahzan. Ihdinasysyirathal mustaaqim.....
Makhluk itu memutar kepala ke arah Mat Kalis. Matanya berubah merah . Seperti batu cincin cimpago. Mat Kalis terkesima. Kuduknya menggerinyam. Dingin bergelombang.
"Kau tunggu giliran Buyung. Carilah kayu bulat dua buah jika perlu! Lunas hutangmu sebentar lagi!" Sungguh Mat Kalis tak menduga. Jarak sejauh ini, ia terpantau oleh Abah Palasik iblis itu. Buya Hasan faham keponakannya mendapat serangan mental. Ia mengingsut langkah ke Mat Kalis, lalu berbisik, " Rafalkan Al Alaq dan AnNas...."
Mat Kalis mengangguk. Pada saatnya nanti, jika memang ajal datang di tangan Palasik jahat ini, akan ia buat perhituangan. Tangkok Guluang Ula....!
Selesai melakukan serangan psikologis ke Mat Kalis, Abah tiba-tiba melompat mencengkram leher Engku Hairil. Orang-orang menahan nafas. Jemari berkuku hitam dengan gelang akar bahar segra mencekik. Setengah detik sebelum itu terjadi, Engku Hairil merendahkan badan dengan sedikit berputar. Ia luput. Abah mencekik udara kosong. Matanya makin merah. Ia kembali menyerang. Engku dia tangkap jepit. Kembali Engku berkelit mundur dg langkah terukur. Abah mendengus. Ia memekik. Dan tiba-tiba angin seperti yg datang dua hari lalu seperti muncul dari tangannya. Engku Hairil membiarkan tubuhnya terangkat dan terputar. Bagai kapas dihembus angin. Dalam kondisi seperti itu, Abah kembali mencengkram lengan dan lehernya. Tapi, sungguh Engku bertekad, haram makhluk itu menyentuh sel tubuhnya. Bahkan pakaiannya pun jangan bersinggungan dengan najis ini. Dan entah bagaimana, Engku bersalto, jungkir balik di udara lalu mendarat tiga langkah menjauh.
Buya Hasan mulai membaca, Engku menyedot energi makhluk ini di bagian awal pertarungan. Ia tak melawan, tapi menumpang dalam fenomena alam yang diizinkan Tuhan. Ibu-ibu mulai saling pandang.
Ibu Rohaya, yang menemani Engku Hairil dari Padang Panjang, memegang tangan calon besannya. Lalu bermohon ,"Panggilkanlah opas ke Payakumbuh. Tembak hantu itu cepat!"
Seorang pemuda mengangguk dan mencari sepeda untuk digowes ke Payakumbuh 10 km arah selatan.
Sayangnya, beberapa langkah pemuda itu berjalan, pukulan angin panas menerpanya, ia tercampak ke pinggir jalan.
"Kepung tempat ini!" Imam masjid segra membuat perintah. Yang lelaki mulai mencari gadubang serta pisau. Yang perempuan mundur menjauh. Engku Hairil terus bermain "kapas dihembus angin" dengan Abah. Dengan resiko kadang bergulingan di rumput, kadang jumpalitan di udara. Sampai akhirnya Abah merasa dipermainkan. Maka sepakannya lurus menghantam ke ulu hati. Hawanya panas. "Kapas" terpental ke pinggir pematang. Orang-orang mulai hendak maju serentak mengeroyok.
Tapi Buya Hasan dan Imam masjid memberi kode dengan telapak tangan. Tahan! Tunggu dulu! Dalam penglihatan orang-orang Engku Hairil sudah hampir kalah. Tapi dalam mata batin Buya dan Imam, Engku memulai kemenangan...
 
 
 
 
Menyadari tubuhnya mendarat di pinggir pematang, Engku Hairil segera mencengkam rumput. Jangan sampai masuk ke lumpur. Artinya tenaga sepakan Abah yang ia tumpangi, melayangkan tubuhnya lebih dari 10 meter! Pematang ini ditumbuhi teki _Cyperus kyllinga_ dan keladi kecil Colocasia. Di arah bawah menjuntai _Lindernia sp_. Engku cepat berdiri membelakang sawah. Sela empu kaki kanannya ia jepitkan ke tangkai petiolus daun Colocasia kecil diameter 1 cm. Dugaannya Abah Palasik akan lanjut menyerangnya terbukti. Tubuh besar itu mengaum dan menerkamnya. Tak ada waktu untuk bermain "kapas dihembus angin lagi". Di belakangnya bandar air kecil, pematang, lalu sawah tergenang. Salah lompat, baju calon penganten yang sudah kotor berguling rumput bisa makin kelabu coklat!
Maka gilirannya kini memberi pelajaran. Dia tunggu terkaman itu dengan tenang. Ekspresi dingin tak marah. Lalu saat tubuh besar itu menjulur melompati kepalanya, ia meloncat salto ke atas. Dengan perhitungan yang tepat, petiolus daun keladi di jepitan jemari kaki menghajar mata Abah dari sisi kanan.
"Oaouuuuwww....!!" Terdengar pekikan. Darah muncrat dari cavitas orbicularisnya. Sambil berguling-guling dalam lumpur sawah, si Abah menutup matanya yang kanan.
Ternyata ilmu kebal, bulus oleh terjangan tangkai daun keladi! Tak hanya bulus, tapi melukai bola mata bagai sembilu menghajar daging lunak.
Sawah tergenang itu tiba-tiba berubah jadi arena pekikan, gulingan dan raung panjang Abah Palasik. Entah darahnya hitam entah karena bercampur lumpur ia merarau menghempas-hempas.
Di pinggir pematang, Engku Hairil menatap dengan pandang iba kasihan.
Orang ramai segera maju mengeroyok. Ada yang memukul dengan kayu, ada yang mecincang dengan gadubang. Awalnya tak mempan. Hanyak efek gaya fisika. Mat Kalis muncul pula beraninya. Dia ambil juga tangkai daun talas, dia pukulkan ke mata kiri. "Dus!!" Darah muncrat. Coklat. Abah menggeletar. Tenaganya habis.
Ada satu hal yang kurang diperhatikan massa ketika pengeroyokan itu dilakukan. Ukuran tubuh Abah Palasik menurun signifikan sejak darah menyembur dari matanya. Dia tak lagi tinggi besar sebagai orang utan. Mengerucut dan perlahat wajahpun kini seakan Edi Sumbu. Edi Sumbu itu, orang gila yang sering ditemui orang di jalan Biaro, Canduang, Baso dan Barulak. Apakah ini Edi Sumbu? Entah!
Sebab dengan wajah penuh lumpur, tubuh bergelimang kotoran coklat, ia ditinggal massa setelah tak bernafas.
Teman. Adakah engkau pernah dengar ancaman tentang mayat yang takkan diurus dan dikuburkan? Disini, ancaman itu sudah dilaksanakan. Tak seorangpun mau memandikan, mengafani apalagi menyolatkan! Inikah yang disebut orang dengan "mati anjiang"?
Tersisa Engku Hairil dan Imam Masjid serta Buya Hasan dan ponakannya. Mereka bukannya begitu hormat pada Abah Palasik, tapi menguburkan mayat itu sebuah keniscayaan. Tak sekedar syar'i. Juga untuk kesehatan ummat. Bakteri patogen bisa berkembang meruyak di mayat itu. Sekarang saja, baru beberapa menit ditinggal massa, bau tak sedap, menyebar di sekitaran. Aroma koncek mati, taik babi, dan bangkai yang sungguh, belum ada bau sebusuk ini.
Orang berempat itu membungkus dengan karung goni, direndam di sungai Batang Sinama, lalu diseret ke pinggir hutan. Tak seorangpun mau membantu.
Jika di dunia saja dihindari orang, apatah lagi di akherat. Nauzubillah. Summa nauzubillah...
Edi Sumbu, lelaki tua "gila " pinggiran jalan itu kini sudah tak ada. Ditanam di pinggir hutan. Dan dilupakan orang. Tak satupun yang mau menceritakannya. Dan tak satupun yang mengaku saudaranya.
Demikian fiksi ini ditulis smoga bermanfaat. Kesamaan nama dan lokasi hanyalah kebetulan..🙏
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sunday, May 29, 2022

MAMAK RUMAH


 

 

 

MAMAK RUMAH

 

 

Hanifa Marisa

 

 

Engku Datuk Meruyung sedang asyik melihat layar hp nya ketika telepon seluler itu berbunyi nada panggilnya. Penelusurannya tentang kategorisasi "aka" pun terhenti. Tanda terima dia tekan dan menengok sejenak pada yang nelpon. Halimah! Sepupu sanak niniak di kampung. Ada apa gerangan? Jadikah Halimah berminantu?

"Alaikumsalam dik kanduang. Sajuak ati uda manarimo talepon. Baa kaba?"

"Uda Datuak. He he. Pandai bana Uda manyanangkan hati Imah. Lai kaba baiak Uda. Etongan si Eti. Nampaknyooo...sabelok sudah rayo kadilansuangkan karajo elok ko! Ka sia kami tampek mangecek, kok tumbuah elok jo buruak, salain ka Uda Datuak? Jadi bari jalehlah Imah dek Uda. Kan lai jadi Uda pulang di hari rayo?"

"Onddee diak kanduang! Nan kandak hati, indak bana lah si Eti ka ba junjuang, Uda taragak juo nak pulang . Tapi kondisi nagari kan bantuak ko kini diak. Jaleh lah dek adiak uda daripado dek Uda. Urang tapacik di hulu. Kito tapagang di mato. Kareh awak, nyo sentak dek urang, luko di awak!"

"Onde Uda. Ijan kato manduo denai diagiah Da. Bimbang adiak uda jadinyo"

"Eee nan lai patuik jo salareh kan banyak di kampuang?"

"Dek Imah jo Uda mako kasanang. Usah Uda manggeleang pulo!"

"Kok baitu janyo kau diak, Uda usaokan malah. Indak sabalun rayo, sasudah rayo uda tabang malinteh langik!"

"Aaaaa iyo baitu dek kami nan katuju Uda. Sanang dalam hati . Sajuak di kiro-kiro. Kami nanti uda jo samba "buruak-buruak" mandiang niniak kito!"

"Onde Imah. Jadih. Jadih malah!"

Halimah menghentikan panggilannya. Engku Datuk memandang ke luar. Pandang jauh dilayangkan. Pandang dekat ditukikkan. Engku mencoba mengkalkulasi jadwal dan biaya. Lalu mengangguk-angguk sendiri....

 

Erna muncul di pintu. Pakai daster.

"Sia nan manalepon Uda. Dari kampuang yo?" Tentu Erna bisa menerka dari bahasa dan logat suaminya saat bicara tadi.

"Limah! Jadi si Eti bajunjuang sabelok sudah rayo katonyo. Manyuruah kito pulang"

Erna menunduk saja. Menunggu suaminya melanjutkan. Sekalipun dalam hatinya bicara, "sajak lah tanah kopa balaia, lai banyak nan maimbau dusanak, nan jauah alah dakek, nan dakek lah saraso kanduang..."

"Kan iyo baitu. Adaik iduik di dunia. Samo manjago silaturahmi. Lai mandapek kito, dibantu dusanak nan paralu" Engku seperti membaca rasa hati istrinya.

Erna hanya diam.

"Pulang Uda wak ikuik. Lah lamo pulo rasonyo hari tigo taun disungkuik korona ko!" Erna menjawab.

"Iyo. Pulang wak basamo-samo. Indak talok mambaok oto, jo kapatabang kito usaokan. Halimah ko ibunyo kan sepupu jo ibu Uda. Pandai-pandailah Erna basalaman jo inyo jolong tibo nanti!"

Erna tersenyum. Dia faham arah narasi suaminya.

"Bara diagiah Da?"

"Sikua kambiang cukuik"

Erna diam.

"Beko kok tibo pulo giliran anak si Irul, kito agiah pulo. Kok paralu, duo kambiang!" Engku Datuk membaca fikiran rang rumahnya. Erna, demi mendengar 'anak Irul duo kambiang' langsung senang hatinya. Irul itu adik Erna yang bungsu di kampung.....

"Bapitawaik bana kito ka Mat Bronk yo Da. Jago toko elok-elok. Jan nyo bukak gembok tu diurang maliang!" jawab Erna.

"Eh iyo. Tantu iyo!"

Engku Datuk mengunci laci duit di meja. Sebab dari menara masjid sudah terdengar azan ashar....

 

 

Istinjak buang air kecil di toilet, Engku Datuk tersenyum. Sedikit yang masuk sedikit pula yang keluar, gumamnya. Maklum puasa, tentulah air yang keluar tak sederas yang biasa. Setelah uduk dan berbenah, Engku keluar dari kamar mandi yang cukup luas dengan keramik menjulang sampai ke plafon.

"Halimah tu kan adiak da Unggik nan sarobok wakatu Rayo tigo taun lapeh kan Da?" Engku terhenti langkahnya.

'Iyo" jawabnya sambil meraih kain sarung wadimor warna hitam. Engku tak mau berpanjang kata tentang si Unggik itu. Ini bulan puasa. Dan lagipula ia segera ke masjid.

Tapi bagi Erna, teringat dengan jelas. Lelaki perokok yang jika bicara selalu "maraso di ateh". Tak ada orang lain sehebat dia! Kerjanya, mengumpulkan hasil pertanian di kampung, lalu dibawa ke Pekanbaru untuk dijual. Kadang memang banyak untungnya. Pisang ambon, kelapa dan ikan kolam. Ikan Lintau ini terkenal manis dagingnya. Hanya saja, begitu duitnya banyak, dia berbini lagi. Hingga kini sudah 3 istrinya dan 7 anaknya. Istri pertama di Lintau Buo. Kedua di Pekanbaru. Dan ketiga di Bangkinang. Jika sedang kepepet, jangankan memberi, sawah Iniak yang di kaki bukit dia jual. Katanya buat modal beli mobil pikap. Begitulah, kini ia juga berdagang buah pinang, alpukat dan beras. Bahkan jengkolpun ia kumpulkan. Sayang dusanak saudaranya sudah tak ambil peduli. Bagi kaum , asal Da Unggik sehat dan tak menjual sawah atau kebun, itu sudah cukup.

"Uda ka musajik. Assalamualaikum" Engku Datuk memutus lamunan Erna.

"Iyo Da. Alaikumsalam"

 

Masjid sejuk berpendingin. Jemaah ashar 4 shaf. Engku di shaf depan agak ke kanan. Shalat ashar dengan perut kosong. "Assalamu'alaikum warahmatullaaah..." Imam menoleh ke kanan. Salam lagi sambil menoleh ke kiri. Lalu ia memutar duduknya menghadap jamaah dan membiarkan jamaah berzikir serta doa sendiri-sendiri.

Engku Datuk selesai berdoa. Ia mengusap telapak tangan ke wajah. Sejuk. Tentram..

Dan menoleh ke kanan kiri serta belakang. Tersisa beberapa jamaah. Ada yang menunduk dan ada anak muda yang mulai qiraah dengan Quran kecil. Di belakang ada seorang bapak-bapak. Eh, sepertinya Mat Bronk?

Jarang Mat ikut jamaah zuhur dan ashar. Ia muter-muter nyari dan ngantar penumpang. Atau ngetem di parkiran yang rame. Engku mendekat ke Mat. Dia lihat wajah Mat mengandung beban. Tak lugas seperti biasa.

"Mat. Kenape lu?" ujar Engku duduk berdekatan.

"Entah pak Uda! Gua ketiban sial!"

"Nape....?"

"Itu. Nyong baru pindah semingguan di rumah baru direhab di pojok. Ngaduin gua ke polisi!"

"Lho . Ape masalahnye....?"

"Biase. Kan gua ndatangin warga baru. Buat ngingatin iyuran keamanan. Eh dia bilang, negara ini kagak diatur dengan premanisme. Kontan gua naik pitem. Entah bawaan puase kali ye. Gua jalanin tugas bro, silakan kalo gak mau, cuman kalo ade ape-ape jangan nyesel!"

"Terus?"

"Gua laporin lo ya! Biar warga disini sekalian tau gua siapa!"

"Emang dia sape?"

"Gua nyari tau, dienye pengacara!"

"Ooo..."

"Dan ini. Surat panggilan polisi. Gua dituduh ngancem! Kalo gua abis pikiran gelap mata, gua tembak aje jidatnya sekalian!" Mat Bronk kelihatan emosi. Engku Datuk faham. Mat bisa saja mencari senjata api. Lalu mengulangi ilmu perangnya di rumah baru direhab itu! Besar urusannya ini!!

 

Tak lama seorang lelaki berkaos krah merah dan celanan jean, terlihat di pintu. Diikuti putrinya memegang bola basket. Ia mendekat ke pintu pagar dengan mata tajjam dan kening berkerut . Engku mengikuti irama langkahnya. Bahkan Engku menghitung tarikan nafas lelaki tersebut. Rambutnya rapi dan tampilannya memang style pop.

Pada langkah kaki ke tujuh, Engku sudah merekam pola bioactivity nya. Ini ilmu "ulu ambek". Sebuah mutiara yang didapatkan Engku semasih tahun akhir kuliah dulu. Nun di pesisir Pariaman. Ulu Ambek sangat merakyat di sepanjang pesisir pantai. Dahulu kala merupakan alat pertahanan kerajaan Pagaruyung dari serangan musuh yang masuk dari pantai. Gerakannya sepintas biasa saja. Seperti tarian randai. Tapi di dalamnya, mengandung keahlian "rasa" kemampuan membaca gerak lawan. Runcing jangan sampai mencucuk, tajam usah dapat melukai. Belum terkilat sudah berkelam! Instink memahami gerak lawan. Bukan sekedar dari kaki dan tangan. Tapi juga dari tarikan nafas dan pandang mata. Salah sedikit, bulus akibatnya!

Engku Datuk, dulu senang mencari yang beginian. Ia "malala" ke Painan, ke Pariaman dan Tiku. Hasilnya ia mempelajari ini bersama teman kost nya di Simpang Gadut. Efek sampingnya adalah, Buyuang Inop, dulu masih bujangan, peka pada perasaan orang lain. Dan skripsinya hampir terkendala.

Ingat dulu, pembimbingnya sampai memanggilnya melalui pesan pada teman. Kenapa Buyuang Inop tak ada progres sudah beberapa bulan?

Buyuang Inop akhirnya menghadap pembimbing dua. Di ruangnya di kampus. Dengan membawa draft skripsi. Namun Buyuang masuk mengetuk pintu dengan berbekal Ulu Ambek. Nafas dan langkah dia atur. Duduk di kursi depan Profesor/pembimbingnya dengan langkah berirama. Sesuai dengan nafas, pandang mata dan gaya duduk bapak pembimbing. Memberi salam dan menjabat Profesor itu dengan bioactivity terukur!

Begitu ia disuruh duduk, Buyuang Inop duduk. Gerakannya pelan. Sambil mengintip gerak dada dan mata sang profesor...

Klak!!

Tiba-tiba bapak itu menghentakkan sepatunya ke lantai! Refleks Buyuang Inop melakukan gerakan sama! Dan bapak itu tertawa terbahak.

"Patuik angku hilang babulan-bulan! Pai baguru kironyo!"

Buyuang Inop tersipu malu. Ternyata bapak profesor pembimbingnya menguasai ilmu yang sama. Wajar. Beliau putra pesisir juga. Nun dari Pasaman....

Sejak itu, urusan skripsinya lancar. Dan akhirnya tamat dengan mempelajari hutan Bukit Harau!

Lalu kini, "rasa" itu pula yang dipakai Engku Datuk menunggu sang Pengacara membuka pintu pagarnya. Belum lagi pintu didorong, Engku sudah berteriak,"Amboi dah lamanya kami pengen menikmati rumah megah bak istana ini! Tentram kali rasanya!"

Pengacara itu tertegun. Engku menghitung detak jantung dan tarikan nafasnya! Ulu Ambek!!!

 

 

"He ini bapak yang ngancam-ngancam dua minggu lalu kan?" Pengacara itu kaget lihat Mat Bronk. Mat Bronk diam. Aturan yang dibuat di masjid tadi, dia harus diam sebelum diminta "pak Uda" untuk bicara.

"Itulah Bang. Makanya kami kemari. Sebagai tanda syukur ada orang hebat seperti abang jadi warga kami. Eh apa tak sebaiknya kita menikmati senja di teras yang sejuk itu?" Engku menjawab persis di ujung kalimat si Pengacara. Sebelum hirupan nafas selanjutnya ia lakukan. Dan bahu pengacara itu ia sentuh dengan telapak tangan. Aneh, sang Pemgacara tunduk, dan berubah ramah lalu mengajak duduk di kursi kayu mengkilap, pelataran teras nan lapang. Keramiknya mengkilap.

"Ini putri abang ya? SMA? SMP?" Engku menoleh ke remaja berkaos rambut ikal manis itu.

"Iya..... itunya kami senang pindah kesini. Dia ini badannya saja yang besar. Padahal baru klas 3 SMP. Ini di Talang Kuning!"

"Hobi basket ya? SMP 1 guru olah raganya pak Indra kan? Yang suka guyon dan ramah?" Engku bertanya pada anak itu.

"Iya Om. Pak Indra itu orangnya baik. Anak-anak pada suka sama dia" jawab anak itu.

"Emang bapak kenal ya sama guru olah raganya?"tanya si Pengacara.

"Ya iya! Istrinya itu hitung-hitung masih sodara!"

Dan Bang Pengacara itu mulai berubah ramah.

"Duduk! Ayo silakan! Maaf ini. Sebagian masih berantakan!" katanya.

Engku mulai melirik gerak gesture nya. Berikut tarikan nafasnya. Dan di timing yang tepat, Engku pun membawa arah bicara pada kasus Mat Bronk. Bahwa di RW ini masyarakat bersepakat memberikan kepercayaan tugas keamanan pada beberapa satpam yang legal terdaftar. Berseragam. Duduk di posko mulut jalan alias gerbang. Dan Mat Bronk adalah ketua pembinanya. Bukan liar atau premanan!

Awalnya agak kenceng juga tuh si Abang. Namun Engku menepuk pahanya sendiri dengan frekuensi suaara klop! Si Pengacara tiba-tiba berubah jadi baik dan ramah.

"Alah, salah sangkanya awak ni! Besok awak cabutlah laporan itu. Maaf ya pak ya? Pak apa? Pak Mat? Maaf ya..."

Engku mengerdip mata ke Mat. Itu tanda dia sudah boleh nimbrung. Dan ujungnya pembicaraan jadi hangat serta bersahabat. Ulu Ambek!!

 

Teman.

Taukah engkau betapa senangnya hati Mat Bronk ketika meninggalkan rumah Abang Pengacara itu? Ah serasa akan dia peluk dan angkat Engku Datuk. Bagi Mat, berfikir jelimet di ruang pengadilan dengan fasal pengancaman itu sangat berat. Dia tak biasa berdebat. Jika periuk nasinya sudah penuh, jalan keluarnya bakuhantam! Menang kalah urusan belakangan!

Sambil jalan ke halaman masjid tempat mobil Mat parkir, Mat mengambil seluruh isi dompetnya. Sejuta lebih tigaratus empat puluh dua ribu! Dan semuanya dia genggam lalu sorongkan ke kantong Engku Datuk. "Saya tak tau bagaimana berterima kasih pada pak Uda! Ini buat beli bukaan puasa sama anak-anak!" ujarnya.

Tentu saja Engku Datuk tak mau menerima. Tidak! Sedari awal, nawaitu Engku untuk ibadah. Perkara duit, sudah berlebih dikasih Tuhan. Rumah sudah selesai bagus. Kendraan cukup. Sekolah anak selesai. Sudah! Mencari objek ibadah justru kadang Engku bingung. Sebab tak banyak lagi fakir miskin di RW mereka. Tuh contohnya! Si Abang Pengacara warga baru. Mewahnya bukan alang kepalang!

"Mat. Ambillah. Buat anakmu. Engkau lebih membutuhkan uang ini!" kata Engku. Mat tak berkutik.

Dia tatap wajah Engku lurus-lurus.

"Pak Uda. Jika ada apa-apa bilang saya ya! Tak kan ada yang akan ganggu pak Uda dan toko pak Uda!"

jawab Mat. Dia bagai singa penguasa yang tunduk mencair di depan keikhlasan Engku. Ah, susah untuk dituliskan!

"Naiklah pak Uda! Saya antar pulang!"

'"Deket gini Mat. Saya biasa jalan kaki! Makasih"

"Apa pak Uda ingin saya menangis sampai pingsan di sajadah nanti malam?"

"Ya janganlah Mat!"

"Ayo naik! Saya ini orang kecil Pak Uda. Amalan saya kecil juga.!" Lalu pintu depan dibuka. Dan Engku naik sambil menutupkan pintu. Bub!

Malompek sabalun jatuah, maminteh sabalun anyuik, mailak sabalun kanai.

Dan nikmatMu yang mana lagi yang akan kami dustakan, wahai Tuhan....

 

 

"Lah jadi sarobok Uda jo Mat? Lai lah bisa nyo diamanahi manjago toko jo rumah kito?" Erna bertanya saat sahur tadi. Sebab jika positif jadi pulang di Lintau lebaran, tentu disiapkan makan di jalan, pakaian, serta moda transpirtasi. Jika kehendak boleh, pintak berlaku, bisa lah pulang dengan menantu juga. Ya. Anak Engku yang tua, Arin, sudah bersuami. Bekerja di pemda/Laznas DKI. Anak nomor dua sudah tamat kuliah laki-laki. Aldi namanya. Anak nomor 3 Aini, masih SMA. Andai bisa pulang konvoi dua mobil, mungkin akan "menakah" juga dilihat orang kampung. Ya kan? Terbawa anak dan menantu. Terurus pula kemenakan! Dipangku dan dibimbing, bak kata orang bijak.

"Lai. Basuo di musajik patang. Bisa. Lai amuah nyo manjago" jawab Engku.

"Di telepon Arin jo lakinyo baa Uda. Duo oto awak pulang. Uda bisa baganti mambaok jo Aldi. Arin baitu pulo jo suaminyo. Barangkek awak sasudah sumbayang zuhur, mugarik lah di kapa. Sahur di Palembang. Sore lah masuak awak di Lintau..."

Engku diam berfikir. Masuk akal juga.

"Jadih. Telepon lah anak kau tu"

Lalu Erna langsung mencari nomor anaknya dan menekan ikon panggilan.

Begitu Arin menjawab, Erna senang hatinya.

"Jadih Bunda. Tapi kami indak bisa sabelok sudah rayo di kampuang. Abang kan harus masuak karajo. Libur 28 sampai tanggak 6. Tanggal 4 lah harus babaliak Arin bunda".

"Yo ndak baa do. Kan lah dapek juo basalaman jo keluarga Ayah kau".

"Iyo Bunda. Kantua Abang kan disiplin bana kini. Hari ko sajo mungkin lembur abang Bunda. Ado 'gerakan mambaco Al Quran se DKI. Abang meliput di berbagai lokasi. Sorenyo di rapekkan dan sakaligus manyalurkan zakat nan mungkin agak banyak jumlahnyo dari tahun lalu"

"Gerakan mangaji apo tu Rin?"

"Kapatang kan 17 Ramadhan Nuzul Quran bundo. Peringatannyo indak seremonial tradisional sajo lai do. Maningkek ka operasional aplikatif. Jadi warga basamo-samo jam 10 beko mambaco Quran. Al fatiha jo Arrahman. Bahkan di level operasional internasional stadion JIS diresmikan pulo semalam Bunda!"

"Aaa indak mangarati bunda level operasonal aplikatip tu do. Nan penting anak bundo lai ka pulang kampuang samo-samo kan?"

"Iyo Bunda. Iyo. Beko atau bisuak, Arin babuko di Parung lah. Bia kito rencanakan. Aldi jo Aini baa ? Sehat?"

"Aaa iyo baitulah! Mantap. Hebat anak Bunda!"

"Assalamualaikum bunda"

"Alaikumsalam!"

Erna tersenyum puas. Lalu mengalihkan pandang pada suaminya. Engku Datuk Meruyung!

 

Sudah tersiar kabar di kampung. Engku Datuk kan pulang lebaran. Sekalian membantu pesta kawin anak Bu Halimah, si Eti. InsyaAllah si Eti akan diberi Tuhan jodoh. Teman dia sesama mengajar di SD, Ali Yamin namanya, kelahiran Sungai Limau 27 tahun lalu. Maka senanglah hati keluarga besar. Senyum dikulum anggota kaum. Bagaimana tidak? Jika Engku pulang, alamat selesai kerja besar. Dia memenej sambil ketaawa saja. Pura-pura marahpun dia, orang tertawa juga. Dengan yang tua dia hormat. Dengan kawan sesama umur dia "pegarah" dan dengan anak-anak dia penyayang. Jika Engku Datuk datang ke lepau kopi pagi, tentu gratis sudah minum orang yang di dalam. Andai Engku datang ke surau, anak-anak tak dia bentak jika bermain hiruk pikuk. Jadi tentramlah hati kaum kerabat.

Tak begitu halnya dengan Bu Halimah pagi ini. Ia kesal gusar dan cemberut.

"Lah dipakakan bana ka talingo da Unggik ko patang! Kok ka Pakanbaru Uda, manompang awak sampai Pikumbuah. Diansua mambali karambia!" ujarnya.

Lantas?

"Eh pagi-pagi tadi bininyo manyabuik alah barangkek Uda Niii...."

Aduh!

"Dusanak nan surangko sabana 'rancak' parangainyo! Rancak!!"

Ngedumel terus.

"Bialah Umi. Eti sajo bisuak jalan ka Pikumbuah. Kok bisa singgah pulo ka Baso. Mancaliak pisang..." Eti anaknya menengahi. Bu Halimah mengurut dada!

 

Etek Isah yang membisikkan ke bu Halimah. Sejak pertemuan rapat di rumah gadang kemarin, da Unggik lah marah besar kabarnya. Pertama, pertemuan itu dilakukan sehabis ashar sebelum berbuka. Itu saat yang krusial bagi da Unggik. Ia tak bisa bicara di dalam rapat jika tak sambil menghisap rokok. Pening kepalanya jika tak ada tembakau menyala di selip jarinya. Kedua, saat shalat ashar jemaah sebelum rapat, di surau, terompahnya hilang. Ternyata bukan hilang tapi disusun anak-anak dg rapi di bangku sisi surau. Da Unggik sudah "kalimpasingan" mencari mana sandal nya. "Kok ka ba ibadah ijan manyusahkan urang!" gerutunya. Ketiga, rapat kaum memutuskan hanya mobil pribadi saja yg ikut rombongan mengantar "tanda jadi" ke Sungai Limau di hari lebaran ke 2. Artinya, pikap da Unggik tereliminasi. Ya, rombongan tak mungkin naik mobil pikap lalu disetop polisi di jalan. Da Unggik, akhirnya cigin ke Pekanbaru pagi sehabis sahur. Aduh!

 

Bapak si Eti, Acik namanya. Ia mendengar "caco ciloteh " kesal Umi si Eti. Tapi ia diam saja. Lelaki berkulit gelap berambut ikal dan tinggi 170 cm itu memang tak banyak bicara. Kesehariannya bertani dan berkebun karet di bukit. Matanya bundar seperti orang India. Eti boleh dibilang ratna mutu manikam hidupnya. Anak yang ia besarkan dengan jerih payah banting tulang. Maka jika "alek" anaknya ini terkendala, sungguh ia tak mau.

Lalu pagi besoknya, giliran Acik yang hilang selesai subuh. Entah kemana. Menjelang zuhur sebuah granmax datang membawa kelapa penuh di bak belakang. Acik duduk di samping sopir dengan bibir terkunci!

Kelapa itu ia borong di pasar Ibuah. Diikat sepuluh-sepuluh buah. Satu ikatan dengan tarikan kulit sabut itu disebut satu "tanjua". Dan entah berapa puluh tanjua dia borong. Halimah ternganga!

"Berang Tuan?" bisik Halimah. Dan seperti biasa, mulut Acik terkunci. Dia tak pandai berbicara banyak. Dia merespon dengan perbuatan. Acik!

Teman ingin tau nama panjangnya? Muhammad Yazid. Tapi entah kenapa, sedari kecil, di kampungnya teman memanggilnya Acik. Jauh juga "pronounsiasi" Yazid dengan Acik ya? Tapi begitulah di kampung. Lintau Buo nan indah!

Di Bangkinang Da Unggik berhenti di warung pinggir jalan. Di rumah makan mbak Sarkiyem. Dia merasa lapar dan memilih tak puasa. Dia babat habis nasi sambel tempe dan oseng-oseng dua piring. Setelah itu dia isap rokok dalam-dalam. Hsssssh.....asap mengepul. Mbak Sarkiyem pura tak menoleh. Da Unggik menggerutu dalam hati," Dasar kampret! Urang kampuang ko indak ado nan cerdas surang juo! Indak ka maju-maju Lintau ko doh!"

 

Hari Kamih di pagi nangko. Ramilah urang pasa Balai Tangah. Kamih kaduo manjalang Rayo. Ibu jo Amai tumpah ruah.

Lah tahampa sado barang. Mulai pakaian sampai makanan. Haragonyo naiak elok ditimbang. Dibali sakadar nan dibutuhkan.

Mako bajalan umi Halimah. Dikawani dek Etek Isah. Lewat di muko los tarompah. Malinteh mancari bumbu rempah.

Hiruak pikuak jua bali. Ado nan duduak ado pulo badiri. Payuang biru palinduang matoari. Mato sigap tangan mangamehi.

"Wak cari baluik masiak yo Kak" kata Umi Halimah. Tek Isah mengangguk. Mereka mengarah ke los sayur dan makanan.

Celaka tak dapat ditolak untung tak bisa diraih. Atas takdir Yang Maha Kuasa, ada saja yang menjual belut kering. Mungkin pedagang dari Situjuah atau Dangung-Dangung. Langsung diborong Umi Halimah. Bukankah ia sudah berjanji dengan Engku Datuk Meruyung, akan memasak "samba buruak-buruak" khas kesukaan Iniak almarhunah? Nah. Randang Baluik adalah salah satunya!

Kelapa sudah tersedia banyak. Jahe laos bawang merah dan bawang putih, serta kemiri dan daun kunyit, lengkap dengan daun jeruk daun salam, semua dibungkus....

Sudah terbayang oleh Umi, akan mencari daun mali-mali _Leea indica_ dan daun asam jati _Richardia_ daun surian _Toona sureni_ bahkan jelatang kecil _Laportea_ lengkap dengan akar talut asam . Agar rasanya makin menggigit, dimasukkan teri agak segenggam. Karena Engku sudah biasa di Betawi Depok, mungkin lidahnya familiar dengan rada manis. Maka ditambah sebongkah kecil gula aren. Amboi!

Sudah terbayang sedap aromanya di atas tungku!!

 

Da Unggik sudah selesai makan. Dua piring penuh. Sudah habis juga rokok dua batang. Dan kopi segelas! "Berapa ya Mbak? Nasi sambel tempe nambah. Sayor oseng!" "Sepuluh ribu saja Mas!" jawab mbak Sarkiyem dari pojok dapur. Da Unggik girang. Kopi tak dihitung si Mbak. Maka dia dorong gelas kopi perlahan ke pinggir meja sebelah sana. Cepat dia ambil duit sepuluh ribuan sambil senyum. "Indak di kampuang sajo urang pandia ruponyo do, di tapi jalan Bangkinang ko lugu bodoh pulo!" Begitu duit pindah ke tangan si Mbak, Unggik cepat memutar badan. Terburu- buru pergi. Itulah salah Unggik. Tergesa. Hingga tak sengaja lututnya menabrak tonggak meja kayu. Duh ngilu! Cepat tangannya memegang lutut. Saking cepatnya tangan, gelas kopi tersambar. Plak krang ting! Jatuh ke lantai dan pecah berserakan! "Oalah! Piye toh Maas? Gelase pecah yo? Eh. Iyo. Kopine belum dihitung Mas!" Unggik tak dapat berkelit. Lututnya sakit! Dan sambil meringis memegang kakinya, kopi dan gelas dia bayar Rp 10.000 lagi. Eee cimpapuih!

 

Engku Datuk selonjoran depan teras. Di kursi kayu yang ceper. Santai sambil zikir. Toko sudah tutup tadi. Dan yang ia tunggu datang!

Sedan Vios biru muda. Langsung mekar senyum Engku Datuk demi melihat Arin dan suaminya turun dari mobil. Bundanya serta Aldi dan Aini ikut ke depan. Bahkan menyongsong ke mobil.

"Assalamualaikum Ayaaah...bundaaa..." lalu Engku Datuk dipeluk. Dicium tangannya. Juga bunda dan adik-adiknya. Kadang Jakarta Selatan ke Depok terasa jauh sebab kini sudah jadi keluarga baru. Rasa sayang Engku Datuk pada Arin usahlah ditanya. Setiap bapak anak perempuan merasakannya. Sama seperti Acik pada Eti!

Betullah janji Arin kemarin. Sehari setelah hari Jakarta Mengaji, ia akan ke Parung Bingung buka puasa bersama.

Erna lebih sumringah. "Apo nan babaok ko Rin?" tanya bundanya ketika Arin menurunkan bungkusan dari jok belakang.

"Baju rayo untuak ayah bundo dan si ganteng jo si cantik ko ha!" jawab Arin memegang kepala kedua adiknya. Aldi dan Aini senyum senang.

"Yang babungkuih ko?"

"O itu gulai kapalo kakap. Kami singgah ka Sederhana dulu tadi. Takana dek Rin, ayah suko!"

"Ondeee anak ayah ko lai!"

"Nostalgia Yah! Ayah dulu kan karajo Singgalang Jaya!" tukas Aldi.

"Iyo. Padahal ayah sarjana biologi ha ha ha..." tambah Aini. Sambil membopong bungkusan masuk ke rumah. Sore ini sore yang berkah. Berbuka bersama anak menantu!

"Ayah kalian suko gulai kakap mungkin dek nyo baraja Biologi di Padang!"

"Iyo yo Yah? Apo namo ilmiah ikan kakap ko Yah?"

"Ma tau Ayah! Ayah kan bidang Vegetasi. Di Harau!"

"Apo vegetasi tu Yah?"

"Sakalompok tumbuhan berbagai jenis nan iduik di suatu tampek. Mereka saliang berkaitan. Kok lah tua bana Ayah, masih takana di Ayah he he!"

"Itu tu komunitas tu Ayah!" Aini membantah.

"Komunitas tu bisa dipakai untuak hewan sarupo kakap dkk, bisa pulo untuak tumbuhan. Vegetasi hanyo untuak tumbuahan sajo, anak ayah sayang!"

"Wah ayah pinter!"

"Pinter tapi ijazahnya nganggur. Malah jadi penjual obat!" tukas Aini lagi. Si bungsu ini memang "nyenyes"!

"Coba aja kau , ntar kuliah apa kerjaan apa!" bela Aldi.

"Aku sarjana Ekonomi UI. Ntar mengelola harga obat biar Ayah makin kaya!" jawab Aini. Dia memang paling sering bertengkar dengan Aldi. Jika Aldi merasa kepepet, hidung Aini di pencet. Lalu Aldi dipukul pake bantalan kursi. Ah!

 

 

Umi Halimah sudah masak rendang belutnya. Komposisi bumbunya betul-betul serasi. Terasa garamnya. Mencubit asamnya. Manis residu minyak kelapanya. Harum daun jeruk dan salamnya. Serta gurih daging belutnya. Warnanya coklat kehitaman. Rada rapuh. Target umi Halimah, sekali memanaskan lagi, maka optimal "arus gelombang" rasanya di lidah. Cocok sekali untuk menanti orang rantau pulang di Hari Raya.

Maka dimasukkan Umi semangkok kecil untuk Da Unggik. Adat hidup di kampung, beri memberi. Tercium bau masakan kita oleh tetangga, berat rasanya jika tak berbagi.

"Samba pairiang urang mamasak baralek. Cubolah agak saketek!" kata Umi ke bini da Unggik.

"Onde Uni. Barasaki juo kami. Tarimokasih banyak yo Ni. Alamat ka batambuah makan paraksiang beko mah Uni!"

"Uda kau ma nyo? Sumbayang tarawiah?"

"Apo dek Uni ko! Lah bataun-taun nyo indak sumbayang tarawiah. Nan wajib limo wakatu sajo, acok tingga! Urang ka musajik nyo pai maota ka lapau. Mungkin di simpang Koto Bulek nyo mah Uni!"

"Ooo iyolah! Pulanglah uni daulu. Si Eti masih ado nan nyo karajokan di rumah. Assalamu'alaikum!"

"Alaikumsalam. Miokasih Ni!"

Umi Halimah berbalik ke rumahnya.

Nun di simpang Koto Bulek, Da Unggik memarkir pikapnya. Dekat halaman kantor Walinagari. Lalu berjalan ke lepau minum. Di lepau ada si Gator, si Lisuk dan ya, ada Tan Angkang bermenung di sudut bangku.

Gator itu preman balai juga. Tak hendak ia shalat ke masjid. Kerjanya mengumpulkan buah yg terserak ke aspal, lalu dia jual lagi. Atau membantu mengangkat barang dagangan. Namanya Ali. Karena kurenahnya seperti buaya, dipanggilkan oranglah dia Aligator. Justru lebih dikenal sebagai Gator ketimbang Ali. Sedangkan Lisuk, sopir tembak truk kuning 3/4. Biasa ke Muaro, Batusangkar, Bukittinggi dan Payakumbuh. Sesekali diajak orang ke Pekanbaru, Jambi dan Jakarta. Akan halnya si Tan Angkang, kita sudah tau. Lelaki yang teramat ingin jadi suami Erna. Yang kini kerjanya malala dan bermenung! Jadi cocoklah, preman cap kunci, menghindari shalat tarawiah yang berkelindan dengan kultum, ....duh ngebosanin. Dan bikin ngantuk ....

Begitu Da Unggik datang, Lisuk, Gator dan Tan Angkang diam. Unggik memesan rokok sebungkus. Lalu menghidupkan apinya terus ikut duduk.

"Jadi baa curitonyo galeh kopi nan talewa di Bangkinang tadi Suk?" tanya Aligator setelah Da Unggik menghisap rokoknya. Lisuk senyum. Tan Angkang menganga mulutnya. Dan da Unggik terkejut!

 

Entah bagaimana "Alam" mengatur dirinya, begitu da Unggik pergi dari warung mbak Sarkiyem, truk Lisuk yang disopiri Epon, mampir pula makan kesitu. Epon itu suami Inang kawan Lisuk waktu SMP. Epon orang Tasikmalaya. Bertemu Inang di Pekanbaru, lalu berjodoh. Nikah dan pulang kampung ke Lintau buka warung kecil dan usaha angkutan truk. Lisuk ikut jadi sopir dua!

"Sik sik mas. Ojo masuk dulu. Lagi tak bersihin lantaine dari pecahan beling!" Mbak Sarkiyem cepat mengumpulkan pecahan gelas.

"Kenapa mbak? Lagi marahan ya? Gelas kok dihancuri!" Epon berguyon.

"Lha itu. Langganan mbak yg dari Lintau barusan kejeduk bangku. E tanganne malah nyamber gelas. Ya pecah!"

"Lintau? Siapo mbak? Truk kuniang yo?" tanya Lisuk menunggu si Mbak merapikan lantainya.

"Ora. Itu lho. Yang kumisan mobil pikap coklat. Biasa bawa ikan ama sayur!"

"Da Unggik tu mah!" jawab Lisuk.

"Paniang nyo mah. Galeh nyo pacahan!"

"Itu. Apa. Mau buru buru pergi habis bayaran. Kopine belum dihitung. Eh malah kakine kejeduk bangku. Tangan nyamber gelas. Ya pecah sekalian!" Si Mbak menerangkan. Lisuk dan Epon ketawa nyengir. Lalu melangkah masuk warung sambil menyibakkan kain penutup pintu. Ahai, carito lamak di kampuang tu mah! Kopi Bangkinang!!

Itulah topik Lisuk dan Gator tadi di lepau simpang Batu Bulek ini. Ditemani Tan Angkang yang entah mengerti entah tidak. Ia kadang seperti ikut tertawa ...

Sampai akhirnya pikap coklat datang dan parkir di halaman kantor Wali.....

 

Dari terkejut, da Unggik beubah menjadi kecut. Kecut -kecut malu. Lalu bermetamorfosis pula menjadi marah. Lisuk ini sopir tembak baru kemarin sore. Umurnya juga baru setahun jagung. Jangan-jangan separo umur da Unggik yang sudah 50an tahun. Maka merengutlah da Unggik, "Sasamo sopirko saliang manjago. Usua pareso paralu dikamukokan. Usah picayo sajo ka urang bajaga tapi jalan. Bisa bacirik muncuang dinyo!"

Lisuk badannya memang tak sebesar da Unggik. Dia pun jauh lebih muda. Maka tak penuh mentalnya melawan kata-kata da Unggik. Hanya Gator yang berciloteh," Jadi tabaia juo kawan kito tu jadinyo yo Suk? Kopi sagaleh jo galeh-galehnyo sakalian!" Lisuk melirik ke da Unggik. Mukanya kelihatan merah padam. Hingga Lisuk tak menjawab. Ia hanya senyum garuk-garuk kepala.

"Waang apo nan ka tantu di ang?!" Da Unggik mendorong bahu Gator. Lisuk kecut. Tan Angkang senyum. Tan Angkang apalah artinya bagi dia, antara senyum dengan menggerutu. Antara diam dengan bicara sendiri. Hanya da Unggik saja yang sedang sensitif.

"Apo nan waang galakkan? Diri waang sajo indak sanereh !" Bentak da Unggik.

"Iyo! Tan ko mangopi sajo indak! Ma lo nyo tau raso tarabo lutuik jo tonggak meja!" celetuk Gator. Gator kan orang pasar. Mulutnya tak ada bandrol. Tak manenggang perasaan orang!

Jadi wajar da Unggik makin naik pitam.

"Waang nan dalang ruponyo?!" emosi da Unggik meluap. Plak! Kepala Gator dia tampar!

Teman. Bukankah sudah disampaikan dulu, seluruh lelaki di Lintau ini adalah pendekar. Bahkan juga sebagian perempuan. Jadi, simpel bagi Gator menarok tangan di pelipisnya, hingga tamparan da Unggik menerpa punggung telapak tangannya. Tentu dengan sedikit memiringkan kepala.

"Baa ko? Garah di lapau ko biaso/" sehingga itu kalimat Gator menanggapi tamparan, ujung kaki da Unggik sudah merangsek ke rusuknya! Krug!!

Nah, yang ini cepat datangnya! Ngilu sampai ke perut. Dan membuat Gator terpuruk ke bawah meja! Tangannya berpegangan di bibir meja. Hape android nya yang tadi di bibir meja ikut mengalami nasib sial. Terpelanting di lantai. Lisuk yang duduk di bangku seberang meja, makin menciut. Emosional da Unggik ini. Apa dia hipertensi? Atau ginjalnya kepayahan bawa pikap pulang pergi?

Tan Angkang yang tadi ternganga, tiba-tiba meraung! Memori ketika dihabisi Buyuang Inop tiba-tiba muncul melihat Gator terperosok ke bawah bangku.

"Indak! Ampunnn!! Ambiaklah si Erna tu dek waang Buyuaaaang!" Tan berteriak histeris. Hingga Uwak Rasyidah, pemilik kedai minum, turun dari lantai dua. Tergopoh-gopoh. Memakai mukena. Dan dilihatnya Gator keluar dari bawah meja, dengan wajah berang!

"Manga kalian ko?! Bagaluik? Di lua sinan lah kok kabasilek! Pacah boto peyek jo roti Uwak ko beko!" ujar Uwak Rasyidah.

"Lai ka batambuah ang?! Melah kalua!" Tantang da Unggik. Gator seperti tak acuh. Ia mengambil hape nya di lantai. Mengusap rusuknya. Berjalan ke luar. Ke pinggir jalan aspal. Da Unggik masih mengikuti dengan jemari terkepal.

"Krasak!!!" Tiba-tiba kaki Gator naik sampai ke leher da Unggik. Serangan tiba-tiba! Sempat sih da Unggik mengelak, tapi bahunya tetap tersambar kaki berterompah kulit. Mungkin karena sedang marah, maka tak dipedulikan da Unggik sakitnya. Malahan da Unggik berniat segera meluncurkan serangan balasan. Dengan kaki juga. Hop!

Sayang. Begitu da Unggik melayangkan kaki, Gator sudah menjatuhkan badan dan menggunting kaki kiri da Unggik dengan kekuatan dan kecepatan tinggi!

Gedebuk! Da Unggik terjatuh. Gator cepat mengambil posisi kuda-kuda!

"Sudahlah Buyuuuuuang! Ikhlas ambo. Ambiaklah si Erna tuu..." Tan Angkang makin histeris. Wak Rasyidah hilang akal. Suami dan para lelaki tokoh Simpang Koto Bulek, semua sedang di masjid, tarawiah!

 

Jatuh disambar kaki lawan itu, perkara biasa dalam latihan. Begitu di setiap sasaran silat. Bahkan ada jurus, yang sengaja memancing lawan menyambar kaki, asal siaga dengan lompatan rendah.

Da Unggik, karena sudah kepalang jatuh, cepat kedua telapak tangannya menempel di tanah. Dan otomatis, kakinya balas menggunting. Gator tak melawan guntingan da Unggik. Dia ikuti irama itu. Hingga iapun jatuh serta memutar badan. Saat memutar badan itu, tumit kirinya singgah di pelipis da Unggik. Untunglah cepat da Unggik melindungi kepala dengan jemari tangan. Ini setara dengan tamparan da Unggik yang mengawali perkelahian tadi. Bunyinya berdepis!

Lisuk mulai mengemasi hape nya ke kantong. Akan dilerai, badan dia kecil. Akan menolong Gator, bisa berabe jika ketemu da Unggik di jalan. Sudah! Mending ngacir diam-diam. Melangkah arah halaman kantor Walinagari dan lenyap di bayangan jalan.

Sementara, Tan Angkang, mulai sesak nafasnya. Bak kata orang, kereta api yang mendaki, "hangap" dia yang sesak! Tak dapat lagi dibedakan, apa Tan merarau, histeris, melulung atau mengigau! Sedangkan Wak Rasyidah melangkah ke lepau seberang jalan. Memanggil- manggil....

"Mayaaaa....kak Sumiii...lai ado kau di dalam? Tolonglah iko ha! Lah bacakak tangah labuah!"

Tentu uni Maya dan Kak Sumi segera keluar. Tak biasanya Wak Rasyidah memanggil dengan suara sekeras itu. Bahkan cucu dan pinakan mereka ikut nyembul di pintu. Penasaran, ada apa di jalanan...

Da Unggik sudah kembali mengambil posisi. Kuda-kuda yang siaga. Jemari tangannya seperti menari. Menari atau menggigil? Entah!

Gatorpun mengatur langkah. Tangan kirinya menjaga dada. Tangan kanan menyilang menjaga perut. Matanya awas seperti mata elang. Jelas berbinar di cahaya lampu neon lepau wak Rasyidah. Saling tatap! Saling intip!

 

Ini psikologi umur. Orang tua biasanya lebih sabar. Hingga da Unggik yang tadinya emosional mulai memainkan tempo. Maju selangkah tapi tiba-tiba berkelit dari hadap kanan ke hadap kiri. Gator siaga satu. Rusuknya tadi masih terasa sakit. Ia membalas menggelek ke kanan. Namun jarak semakin dekat. Dalam jarak begini Gator kembali berinisiatif. Kaki kanannya naik sehingga perut. Itu sekedar pemecah konsentrasi. Da Unggik faham. Maka ujung kaki Gator dia kibaskan saja dengan tangan. Dan, hep! Da Unggik membalas cepat. Terompah jepangnya sampai ke wajah Gator. Plak! Untung Gator cepat mundurkan kepala sedikit. Se senti dari telapak kaki da Unggik. Kibasan udara sandal itu aromanya tak sedap! Entah da Unggik habis nginjak apaan! Gator menyeringai. Namun berikut pukulan ke dada. Tepatnya ke ulu hati! Gator memiringkan badan. Tinju dia tangkis dengan sisi luar pergelangan tangan. Hop! Sayang tinju itu berubah bentuk menjadi serangan sisi dalam ke dagu. Tak pelak, kena! Kluk! Di saat yang sama Gator sempat memasukkan tendangan ke pinggang. Sambil mundur dan menahan pedih di gerahamnya! Sementara da Unggik, agak ngilu pinggangnya. Jadi susah membuat kuda-kuda kokoh. Gator melihat ketimpangan itu. Cepat dia sarangkan kakinya ke mulut da Unggik! Da Unggik kaget. Ujung kaki dia tahan dengan tangan sambil melangkah mundur! Hiat.....

Dan emak-emak lalu memekik. Mereka sudah berkeliling. Bahkan ada sepeda motor lewat , ikut melambat, nonton!

"Oi lah jadi syetan kalian ko! Tobat! Ko bulan puasooo!!" Wak Rasyidah, Maya dan Sumiii berteriak melerai.

Dan kawan-kawan. Begitulah umumnya lelaki Minang. Dimanapun. Perseteruan jika dilerai "emak-emak" segera bubar. Segala ilmu, semua marah, sirna oleh ikut campurnya perempuan dalam gelanggang. Status ibu di masyarakat, seperti sakti. Dihormati. Apalagi ada beberapa anak kecil melihat. Malu!

Sudahlah tak shalat tak puasa, bikin gaduh pula!

Hingga keduanya mundur. Gator surut. Da Unggik menunduk. Memijit-mijit pinggangnya. Tapi masih sempat menggertak," Awas waang kok batamu di nan langang!"

Gator tak kalah mental. Dia menjawab," Waden tiok hari ado di pasa. Datanglah! Kok lah taragak bini jadi jando atau anak barubah yatim!"

 

Gator ngacir. Da Unggik minggat. Tan Angkang saja yang terperangah. Traumatik. "Erna ikhlas untuak Angku Nop!" desisnya lagi. Air ludahnya jatuh ke baju. Duh, Tan Angkang...

Da Unggik memutar pikapnya. Pinggangnya pegal. Tapi tak ia pedulikan. Keluar halaman kantor Wali lalu berbelok arah ke rumahnya.

Bininya membukakan pintu, begitu L300 coklat itu terdengar masuk halaman. Da Unggik turun dan mengunci pintu mobil.

"Lah makan uda di lapau? Kok alun, tu ado randang baluik dari uni Halimah..:

"Alun! Baru makan parangai! Ma nyo randang tu?"

"Di meja. Dalam cawan putiah"

Da Unggik membalaskan kesal hatinya ke nasi rendang belut. Bakucapak bakucepong! Habis dua piring. Emang enak sih!

Pagi Jumat sudah rame di Parung Bingung. Tante Yasni mengantarkan kue dan oleh-oleh. Untuk di jalan dan di kampung. Istri pak Indra juga. Tetangga sebelah pun begitu. Dan tak ketinggalan Mat Bronk. Pagi sebelum nyari penumpang ia datang bersama istrinya. Memberi kue bolu besar dan makanan kecil. Si Aini bahkan dibelikan Mat Bronk jilbab yang sewarna dengan kaos kaki. Jadi tinggal melaksanakan shalat Jumat, lalu menunggu Airin dan suaminya, berangkat pulang kampung! Semoga lancar di jalan dan penyebrangan ya teman-teman..🙏

 

Boleh dibilang, lancar. Pulang dari Depok ke Lintau. Macet sedikit masuk Merak. Terus keluar Palembang. Dah. Itu saja. Kecuali ada insiden kecil sore di keluaran tol Merak. Banyak kendraan merayap lambat. Apalagi penuh sesak oleh motor. Depan belakang kiri kanan, seakan semuanya motor. Dengan knalpot memekakkan telinga. Dan lazimnya, semua orang, jika memasuki magrib , seakan terburu saling mendahului. Aldi , yang nyopir dari Parung. Engku Datuk duduk di sebelahnya. Lalu begitu mau bergerak lagi habis macet, motor depan kiri ngambil agak ke tengah. Aldi cepat goyang setir ke kanan dikit, biar tak senggolan. Eh taunya motor yang sebelah kanan, abang-abang goncengan dua orang, kaget merasa dipepet dan memiringkan motornya ke kanan. Nyaris!

"He Celeng Utan! Elo preman apa? Kalo gak bisa nyopir sini gua yang bawa! Main srempet aja!" Aldi dimaki.

"Maap bang ! Yang kiri ni, ngambil kanan tadinya!" Jawab Aldi setelah menurunkan kaca sopir. Entah karena hiruk pikuk, atau bawaan syetan magrib, si Abang itu malah marah dan ngajak berenti.

"Apa lu bilang?! Brenti depan. Gua kasih pelajaran lu!"

Orang itu mungkin salah paham , dia kira Aldi melawan.

Mobil dia pukul-pukul ngajak setop. Emosi banget ni orang!

Aldi meminggirkan SUV dan menurunkan kaca sampai penuh.

"Elo punya SIM gak?" Aldi dihardik. Engku Datuk cepat memasang jaket, menyelipkan botol air mineral kecil di pinggang dan menutupnya dengan baju kaus. Segra turun dari pintu kiri dan mendatangi kedua pemotor itu.

"Sore Boss. Ngepam dimana ya?" tanya Engku "memegang" bahu si Abang. Sambil sedikit senyum.

Si Abang, melihat lelaki berbadan besar rada gondrong pake jaket, dan ada yang menyembul di pinggang bawah baju kaos, segera turun spaningnya.

"Eh. Maaf Pak. Anu. Tadi kami kurang siap aja. Maaf Pak!" Ia menunduk dan meraih tangan Engku untuk disalami.

"Udah. Yang baik-baik aja!" Engku tak enak hati juga lihat mereka berubah manis!

Ah. Ada- ada saja!

Sesampai di kapal mereka mengambil satu meja dan makan malam. Asyik juga makan sekeluarga di kapal penyebrangan. Di saat penumpang lain sibuk dengan urusannya masing-masing. Aldi dan Aini mesti memilih ayam goreng cabe hijau. Airin dan suaminya serta Engku, mengambil ikan bandeng presto. Dan bunda, makan tentu pakai rendang. Semua ada dalam wadah bertingkat.

"Nape Aldi lelet masuk kapalnya? Kan keluar tol barengan?" tanya Airin dan suaminya.

"Dicegat jawara Merak!" Aini menjawab.

"He. Masalah apa?"

"Nyaris keserempet aje. Marahnya gak ketulungan"

"Terus?"

"Untuang Ayah turun tangan. Pake mantra Inyiak Lintau ha ha ha"

"Emang Ayah punya elmu batin kanuragan ya?"

"Ya iyalah. Ya kan Yah?"

"Ah enggak. Ayah cuma pegang bahunya sama menatap biji matanya dengan getaran kasih sayang!"

"Nah tu kan? Ilmu pendekar Padang he he..."

"Jangan-jangan dulu Ayah pake ilmu begitu pdkt sama bunda ha ha.."

"Iya ya Bunda?"

"Iya ajalah. Ayah dulu kan hitam kerempeng hi hi hi..."

Tak terasa pelabuhan Bakauheni sudah dekat.

 

Begitu ban mobil menginjak tanah Sumatra, keluar dari ferry, rasanya plong banget. Sebentar udah masuk tol dan sebelum sahur jam 3 malam sudah di RM Sederhana Palembang.

Istirahat makan di Sederhana ini bukan hanya karena lapang dan bersih serta pelayanan prima. Tapi ikatan emosional Engku Datuk dengan Singgalang Jaya. Dua tahun berkerja di rumah makan Inyiak Bustamam. Setiap kali pelayan menghidang menu lengkap, terbayang kerja Engku puluhan tahun lalu. Ah..

Sebelum tengah hari sudah di Tempino dan zuhur masuk di Muarabungo. Jam lima sore, belok kanan di simpang Muaro. Dah! Belokan Muaro Sijunjuang ini jadi batas psikologis serasa sudah di kampung! Sebentar sudah melintasi pasar, belok kanan di pertigaan, lewat jembatan, lalu ambil kiri. Nah mulai jalan kecil. Sedan vios butuh hati-hati menghadang lubang jalanan. Lampu mobil tiap sebentar di kode jauh kan. Lawan kadang muncul dari balik tebing bukit mendaki. Lalu hampir sejam, sawah Lintau mulai terlihat disinari lampu mobil. Rasa sejuk menyelinap ke dalam dada. Sudahlah. Shalat magrib jamak isya dulu saja di SPBU sisi kiri jalan. Sambil melepas penat. Bukankah udara kampung sudah jelas tercium di dada? Bukankah bunyi jangkrik pinggir semak, bernyanyi mendendangkan irama kehidupan? Tanah pusako tempat kelahiran, sebentar lagi kami tiba.....

 

Penutup

Urang Lintau pai basiang. Nan ka pulang ari lah sanjo. Jiko badan batenggang surang. Ka ma untuang ka dibao.

Urang lLintau pai manggaleh. Mambao ikan nan jo sangkanyo. Oi badan usah pamaleh. Urang pamaleh acok taibo.

Urang Lintau pulang basamo. Di Tanjuang Gadang sumbayang mugariknyo. Oi kampuang kami lah tibo. Lah tabaun dapua rumah bundo.

Urang Lintau makan baselo. Di musola tampek maisi bensin. Curito Angku Datuak kito cukuikkan sampai disiko. Salah jangga kami mintak izin.

Maaf sakalian salamaik Idilfitri...