Engku Datuk Meruyung.
Oleh Hanifa Marisa
Jalan Meruyung ini terasa begitu padat sekarang. Hampir tak berhenti kendraan lewat. Siang ini, Engku Datuk memandang ke luar. Mobil pribadi. Mobil pikap. Angkot biru. Motor. Tak ada hentinya. Semua meraung dengan urusan sendiri-sendiri. Bertahun lalu, disini masih rada sepi. Begitulah pinggiran ibukota, berubah setiap saat. Seperti jarum jam di belakang Engku Datuk, yg tersangkut di dinding toko obatnya.
"Siang Bang. Biasa! Mohon partisipasi untuk tujuhbelasan!" seorang lelaki muda keriting kulit hitam masuk ke terasnya. Engku Datuk memandang. Lelaki 20an tahun, berbadan gempal, berwajah khas debt collector. Matanya tajam. Ada aroma alkohol...
"Tujuhbelas apaan? Masih Maret ini!" Engku Datuk menjawab. Dengan wajah tenang menelisik.
"Eh. Anu. Israk Mikraj Bang. Seadanya!" tambah pemuda itu. Ia kini berdiri di seberang etalase Engku Datuk. Dekat!
"Lho. Apaan sih? Israk Mikraj kan udah selesai? Yg bener aja!" Engku Datuk tetap tenang. Maaf. Udah berbilang tahun Engku bertoko obat disini. Dan belum ada yg berani mengganggu. Tetangga Rt Rw srmua segan. Di masjid juga tergolong jemaah rajin. Bahkan bebetapa aparat Samsat Cinere yg kantornya tak jauh, adalah teman dekat Engku Datuk.
Pemuda ini, yg entah siapa, Jornelius atau Martinis atau apapun, kini memandangnya dengan aura intimidatif. Ini pantangan benar bagi Engku Datuk. Cuma karena umur sudah di atas 50, Engku tak mau juga sembarangan.
Namun, justru pemuda ini yang makin berani.
"Ah. Ngerti ajalah Bang! Kita udah biase gaya Jakarta. Tak ada seratusan, limapuluh juga cukup!" Pemuda itu merapat ke etalase kaca. Engku Datuk mulai meningkat denyut jantungnya. Qul a'u zubirabbil falaq. Min sarri ma khalaq...
Sadar dengan situasi begini, Engku Datuk memandang pemuda itu persis di biji matanya.
"Tak ada partisipasi atau apapun! Pergilah baik-baik!" Ujar Engku Datuk.
"Snap!" Pemuda itu menjangkau krah baju Engku.
"Cepat sajalah Bang! Gua tak punya banyak waktu!!"
Krah baju makin ditarik. Dan Engku Datuk sampai jua di batas. Tiba-tiba tangan kirinya memegang jemari yg mencengkram dan memutarnya ke kiri! Pegangan di krah terlepas dan sikunya menekuk. Pemuda itu meringis terpekik!
Tak dia sangka lelaki parobaya rambut gondrong urakan ini memiliki kemampuan begitu. Padahal, teknik itu, pelajaran dasar saja di banyak sasaran latihan di Kumango Lintau sana.
Tentu tak mau dia segera menyerah. Tangannnya dia tarik kuat! Tenaga alkohol! Engku melepaskan. Dengan harapan ini selesai. Tapi tidak! Tangan yg terlepas itu kini melayang memberi hook! Tepat ke wajah Engku Datuk!
"Klop!" Pergelangannya ditangkap Engku Datuk dan kembali diputar. Tak hanya diputar, tangan kanan Engku menampar pangkal telinganya. Plak!! Pemuda ikal hitam gempal itu kembali terpekik! Engku Datuk menarik sedikit pegangannya. Begitu tubuhnya condong ke depan, didorong Engku ia ke halaman. Engku tak mau kaca etalasenya jadi korban!
Dan pemuda itu terjajar di lantai. Orang yg lewat melihat. Sebentar. Lalu kembali melanjutkan urusan masing-masing. Di Betawi ini, mending tak punya urusan dg preman timur!
Engku Datuk segera keluar. Maksudnya supaya bakuhantam tak mencedrai barang toko. Tapi lelaki itu menganggap Engku kembali menyerangnya. Makanya ia segra berdiri tertatih dan mengambil jurus langkah seribu! Lari!
Kejadian tadi siang, preman timur pemalak, membuat Engku agak lama termenung sehabis shalat. Sehabis salam ke kanan dan ke kiri, batin Engku masih masgul. Makanya dalam zikir dan doa, ia memasang nawaitu. "Shalat tahajud lah beko malam. Mungkin Tuhan mambori isyarat!" gumamnya dalam hati. Dan memang! Jika niat sudah terpasang, Engku Datuk terbangun di sepertiga malam. Segra ia wudhuk dan shalat dua rakaat. Tak puas dua rakaat, ia tambah dua lagi. "Salamoko zakat jo sadaqah lai lancar ambo tunaikan, kan Tuhan?" Engku berbisik pada Allah SWT. "Jadih malah Tuhan. Ambo tambah gadangkan sadaqah bisuak-bisuak..." Engku melanjutkan. Frekuensi hatinya berkelindan dengan Tuhan yg dicintainya.
Tak terasa sudah hampir subuh. Engku berjalan ke kamar. Memandang istrinya yg masih tidur. Ooo sudah puluhan tahun wanita ini mendampingi hidupnya. Dalam susah dan bahagia. Dari kondisi nol ke punya rumah toko seperti sekarang. Muncul kasih dalam hatinya. "Erna. Erna..." Engku membangunkan pelan. Erna membuka mata. Menggeliat. Menggosok kening.
"Uda sumbayang subuah di musajik kubah ameh yo! Lah lamo indak ka sinan"
Erna mengerinyitkan kening. Memandang. "Jadih Da" jawabnya lalu kembali melengkung memeluk guling.
Kendraan Engku masuk ke halaman madjid. Cahaya taman terang benderang. Pohon pohon kurma dan buah serta kembang. Dian Almahri menjadi tokoh inspiratif amalan Engku Datuk. Pengusaha wanita Banten yg sukses di Malaysia bahkan sampai ke Arab. Ribuan masjid sudah ia bangun. Dan kubah emas ini yg paling fenomenal. Lapisan emas 22 dan 24 karat di kubahnya. Halaman nan luas. Suasana timur tengah! Di dalam sudah banyak orang hadir. Boleh dibilang, ini jemaah orang makmur tapi tak lupa Tuhan. Subhanallah. Alhamdulillah. Allahuakbar!
Masjid tinggi dan lapang. Di deretan depan sudah rada penuh. Engku mengembang sajadah di saf tengah. "Allahuakbar..." dengan khusuk dia mulai shalat Tahyatul Masjid. Tiadakah pantas dia muliakan rumah Tuhan yang begini megah berselaput emas, dengan ruku' dan sujud dua rakaat?
Setelah salam, ia beranjak ke saf depan. Engku melihat masih ada ruang kosong. Ia berdiri dan mengangkat sajadah. Saat hendak melangkah, bahunya di tempeli seseorang dari belakang. Aroma minyak kesturi semerbak. Engku menoleh. Hai! "Pak Dokter!" Engku berbalik, dan mereka bersalaman. Dokter Faisal! Anak muda yang dulu ketika baru diangkat di puskesmas di jalan Grogol sering bertemu. Bapaknya orang Solok, ibunya Payakumbuh. Keluarga sederhana. Tapi anaknya berhasil jadi dokter. Engku Datuk malah berperan serta dalam perkenalan dan pernikahan dokter ini. Diskusi tentang medis dan obat sering mereka lakukan. Setiap arisan keluarga minang, mereka bertemu. Ide Dokter Faisal membantu anggota IKM yang kesulitan selalu didukung Engku Datuk. Terakhir, membantu modal Rahima, yang suaminya PHK karena pandemi. Rahima kini berjualan kue pagi, di simpang masjid.
"Eee dokter! Baa kaba? " Mereka bersalaman. Dan Engku Datuk mengurungkan niat mengisi saf depan. Mereka duduk berdampingan. Sambil "maota lamak" menanti iqomah.... MasyaAllah...
Ota Engku Datuk terlihat makin serius. Dan terlihat Dokter Faisal rada berbisik,"baitulah posisi kami kini Engku...." Engku Datuk terdiam sejenak. Lalu balas berbisik," Tahun anampuluahan dulu jo cilurit dan peluru tantara sarato ummat dihabisi, nan kini, jo ketakutan psikologis..." "Batua Engku!"
Bisikan kedua jemaah subuh itu terhenti . Dari depan terdengar suara iqomah."Allahuakbarulllahuakbar!"
Jemaah serentak berdiri. Umumnya berpakaian putih atau warna lembut polos. Aroma kesturi. Suasana khusuk. Jemaah makmur sejahtera. Dengan parkiran mobil berderet mengkilap.
Selesai shalat , berdoa dan zikir, diantara jemaah masih ada yg duduk menanti duha. Tapi umumnya pulang balik ke rumah. Aktifitas harian sudah menunggu. Kantor, rumah, dan pasar. Begitu juga Engku Datuk dan Dkkter Faisal. "Baa. Ka dicaliak progres usaho si Rahima? Sambia mambali kue pagi, Engku?" Dokter Faisal bertanya saat keluar masjid. Engku tersenyum. "Jadih! Nan kato urang, salain kue, nasi uduk gai lah nyo jua."
Engku membiarkan innova reborn putih Dokter Faisal jalan duluan. Dia mengikuti di belakang dengan MPV nya. Tidak baru, tapi juga belum lebih lima tahunan. Sudah tiga kali dia bawa pulang kampung ke Tanah Datar. Nun di sawah dan bukit yang indah, ranah Lintau.
Dokter Faisal berhenti di pinggir. Engku ikutan di belakang. Pojok Rahima terlihat ramai. Nasi Uduk dia jual dibungkus. 30 bungkus habis. Empat puluh bungkus pun laris. Kini 50 bungkus, tersisa sedikit. Berkah nampaknya rezeki "ponakan" ini.
Lokasi jualan ini depan rumah Haji Chaeruddin. Orang Betawi. Tapi kenal dekat dengan Engku. Dulu ia sering belanja obat. Tapi sejak disarankan Engku konsumsi jelly Gamat, ia sehat bugar. Jelly itu ekstrak timun laut diawetkan. Hasil pengembangan ketettarikan Dr Mahathir pada tradisi kampungnya di pulau Langkawi. Ibu hamil mengkonsumsi itu sebelum melahirkan. Lalu ia suruh tim dokter bersama ahli Jepang mempelajari . Bethasil! Jelly itu bagai pelumas untuk usus. Dan mengandung mineral laut yg esensial. Haji Chaeruddin sembuh. Dan tak lagi rajin beli obat ke Engku. Itulah sebabnya, ia membalas budi Engku, dengan mempersilakan Rahima berdagang makanan pagi di depan rumahnya. Di simpang jalan Meruyung ini. Hanyasaja, Rahima harus menjaga durasi dari habis shalat subuh ke pukul 7. Pukul tujuh, polisi pamong praja mulai berkeliling. Tapi tak mengapa. Waktu 2 jam itu sudah sangat cukup untuk mengumpulkan rezeki. Tak banyak melimpah, tapi cukup berkah!
Dokter Faisal dan Engku Datuk ikut antri beli. Rahima terkejut. "Onde Datuak jo uda dotor! Ambiaklah ma nan katuju ! Usah dibayia pulo!!" Rahima senang dikunjungi. Dokter muda itu tersenyum ramah. Engku Datuk mengangguk-angguk. Senang!
Tapi senang bahagia itu berubah tiba-tiba. Bunyi kaca pecah terdengar keras! Krak!! Saw!!
Orang-orang terkejut. Lalu menoleh ke arah datangnya suara. Seorang lelaki berlari menyebrang jalan dari belakang mobil Datuk. Dan kaca belakang mobil Engku Datuk, hancur berantakan! Astaghfirullah!
Engku berjalan memeriksa buntut mobilnya. Berantakan! Sebuah batu rada besar duduk teronggok di sela pecahan kaca. Nun di belakang jok. Tempat dimana biasanya Engku menyusun kotak doze obat dari belanja grosir.
Dokter Faisal sampai pula di samping Engku. Ikut memeriksa. Dia heran. Motif perilaku apaan ini. Segera dokter itu teringat temannya di reskrim. Pamen senior yang anaknya pernah dia tolong anak gadisnya dari vonis operasi usus buntu. Perlakuan obat radang infeksi dicampur dengan latihan mirip yoga dan pengaturan pola makan melalui puasa Senin Kamis, berhasil menolong anak bungsunya. Mereka jadi akrab. Lebih tepatnya, pamen itu sering datang silaturrahmi dan menganggap dokter Faisal seakan saudaranya. Dan kini dia berniat mengontak yang bersangkutan.
Beberapa orang konsumen Rahima ikut menengok. Mereka heran dan geram. "Ade yang diambil barangnye nyak Bang?" Ada yang bertanya. Engku menggeleng. Sebab memang tak ada apa-apa di dalam mobilnya. Tak ada notebook ataupun HP. "Dasar tikus corot!" Ada yang ngedumel.
"Tanang Angku. Wak bantu mampeloki. Tunggulah. Ditalepon kawan di reskrim. Mudah-mudahan indak lamo main pajako!"
"Bialah Sal. Indak ka barapo bana. Kapatang memang ado nan sakik ati ka ambo!"
"Apo masalahnyo Angku?"
Engku menerangkan kejadian kemarin. Dokter Faisal mengangguk-angguk. Lalu mulai mencari nomor telepon tertentu.
Engku Datuk memegangi pecahan kaca yang berderai. Mengkilap. Hitam bening. Seperti biasa, sesaat rame namun segera kembali semula, karena setiap orang punya urusan masing-masing!
Engku pun meraih telepon genggam dari kantong. Membuka daftar kontak. Dan berhenti di nama Mat Bronk. Menekannya, lalu terlihat ia bicara.
"Mat. Iye. Assalamu'alaikum. Bekabar aje ni. Kecil tapi lu mesti gua kasih tau lah! Iye. Kemaren itu, ade yang maen ke toko. Biase. Mintak sumbangan....iye. Iye. Item keriting duapuluhan lah! Iye. Iye. Gua serahin lu aja deh! Iye. Makasih ya Mat! Iye. Iyeeee. Alaikumsalam!"
Belanja kue dan silaturrahmi dengan Rahima dilanjutkan. Lalu keduanya berpisah di pengkolan. Duh! Membawa mobil kesayangan dengan kaca belakang hancur, gak enak beneran! Sumpah!
"Elok bana Dokter Faisal ka kito. Murah juo lah rasakinyo yo Da" Erna menyambut makanan kecil dari tangan Engku Datuk. Lalu mengambil wadah untuk dimakan bersama. Anak-anak juga sudah lama tak menyicip lapeh bugih bika kukus ini.
"Uda hubungi si Mat? Beko gadang pulo masalah nan tibo!"
"Iyo. Tadi lansuang Uda telepon"
Erna cemas. Bukan apa-apa. Dia faham benar jika Engku Datuk bertindak. Semasa baralek kawin dulu di Lintau, Tan Angkang babak belur dia buat. Tan itu se jorong dengan Erna. Badannya tinggi besar. Dan sialnya, dia "katuju bana" dengan Erna. Di pasar Lintau, tak segan dia mengiringi Erna dan maknya belanja. "Erna ko jadi bini ambo sajo yo mak!" katanya pada mak Erna. Erna jadi salah tingkah beneran. Sebab hatinya sudah terpaut dengan Engku, yang dia pupuk sejak Engku masih bolak-balik Lintau -Gadut menjalani kuliah. Kata orang-orang, kuliah di Gadut itu akan menjadi ilmuwan dan penemu sains. Wah, keren juga itu! Apa nanti ia akan jadi ibu darmawanita dosen peneliti? Amboi!!
Lalu ketika "etongan" sudah masak, hari pernikahan direncanakan, Tan Angkang mendatangi rumah Engku Datuk. Ya. Waktu itu panggilan Engku adalah Buyuang Inop. Orangnya supel. Mudah senyum. Rambutnya panjang sampai ke kuduk. Oleh karena ia oramg kuliahan, akhlaknya baik, mak Erna jatuh pula hatinya. "Satiok patah nyo mangecek, sajuak se amak mandanga" kata Mak. Lalu kini Tan berdiri di halaman rumah bagonjong Buyuang Inop. Dia menghardik, "Nop! Iyo lai jantan waang? Turunlah!"
Terkesima Buyuang Inop mendengar. Dia sudah tau jika Tan jatuh cinta setengah mati pada Erna. Erna semok elok perangai. Mulut manis kucindan murah. Baso-basi ketuju pula. Alu tertarung patah tiga. Semut terinjak takkan mati...
"Jan dilayani pulo Nop!" Ibu Buyuang Inop memohon. Tak mau ia anaknya yg calon pengantin, berkelahi.
"Takuik ang! Den baka janjang rumah mayai waang ko?!"
Gelisah Buyuang Inop. Ini sudah perkara kehormatan. Siri kata orang Bugis! Jenjang rumah ibunya dibakar di hadapan matanya, lalu dia akan diam? Ah! Tidak! Mending jangan jadi lelaki jika demikian! Maka muncullah Buyuang Inop di pintu. Dengan wajah tenang. Walau menahan emosi. Jika bukan dalam kondisi begini, dia layani lelaki bertubuh besar ini agak sejurus dua jurus. Ganti memperpasih-pasih langkah. Untuk pembuang peluh buruk!
"E lai banyali juo ang?! Lah gata tangan den ka malampang!" Tan Angkang segera melangkah ke ujung jenjang kayu di depan Buyuang Inop. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Indak diinyo, di awak! Anak ibu bapantang lari jiko musuah tibo mancari. "Assalamualaikum ya ibuku, bumi dan segenap alam. Tunjukkan jalan yg lurus" bisik Buyuang Inop mengalirkan energi tubuhnya dari perut ke ujung tangan dan kaki. Di depannya, jarak beberapa langkah, Tan Angkang siap menerkam!!
Buyuang Inop ini tak seganteng ambo, salah pilih si Erna ini...mungkin begitu fikiran Tan Angkang. Makanya ia segera melompat, menampar pipi Buyuang Inop. Plak!!
Sungguh. Buyuang Inop hendak mengajak bicara baik-baik. Bukankah rencana nikah ini sudah selesai,? Tinggal menanti hari H saja kan? Untuk apalah bermain emosi? Perilaku bertempur memperebutkan pasangan itu adanya di mamalia primitif. Atau hewan pisisi evolusi di bawah primata. Begitu kan kuliah dari bapak ibu dosennya di Gadut?
Tapi yang dia hadapi sekarang adalah Tan Angkang. Lelaki tinggi besar yang di pekan Lintau tak segan-segan membuntuti Erna serta mak nya belanja!
Plak! Bunyi itu adalah terpaan punggung tangan kirinya menangkis tamparan bertenaga kuat tangan kanan Tan Angkang.
Di Lintau ini, setiap lelaki adalah pendekar. Bahkan juga sebagian perempuan. Termasuk Tan. Dan tamparan itu tadi, hanyalah serangan bunga pembukaan saja rupanya. Tak dinyana, kaki Tan sudah menusuk sisi luarnya ke dada Buyuang Inop. Seperti anak panah! Jika tidaklah Buyuang siaga, sudah dimakannya ulu hati! Refleks Buyuang berkelit. Sambil kaki kiri diseret ke belakang. Dan siku kanan Buyung menghantam tempurung kaki Tan. Terdengar bunyi tak enak. Entah tulang entah urat kaki. Dan Tan Angkang meringis! Pecahkah tempurung kakinya?
"Lai barisi juo anak Suna ko!" Ia berucap. Nama ibu Buyuang Inop memang Rosna. Biasa dipanggil Suna. Lalu ternyata pancingannya itu berhasil. Buyuang Inop menggelegak jika ibunya disebut-sebut. Bagi dia, ibunya itu lebih dari bidadari. Ia adalah malaikat suci yg arif dan penuh sayang. Tempat Buyuang Inop meminta merengek dan bermanja. Maaf, usahlah menyebut ibunya dua kali! Bisa menyesal nanti!!
Betul! Energi tubuh Buyuang menyentak. Tan seketika menjadi kecil dia lihat. Sebesar nyamuk!
Dan ini dia!! Giliran kaki Buyuang Inop pula meluncur. Lurus ke kerampang. Tan surut selangkah. Kaki Buyuang menerpa angin. Tapi itu juga bunga pembuka. Berikutnya berubah jadi tendangan tajam, lebih tinggi ke dagu. Gerakannya secepat kilat! Sepak daguak! Refleks! Teknik dasar saja. Bedanya dilakukan oleh seorang Buyuang Inop. Yang dadanya menahan api tersebab jenjang ibunya akan dibakar dan tak sedikitpun hormat menyebut si Suna! Akumulasi itu menyatu dalam gerakan kaki tak tertahankan. Blug!! Dagu Tan terdorong ke atas dan menghantam rahang atas! Giginya menjepit dan entah ada yang patah. Nyerinya mendenyut ke kepala! Tan tersurut. Selangkah. Tidak! Dua langkah!! Hoyong! Berkunang! Buyuang Inop tak membuang kesempatan. Ia melompat. Kakinya kembali menjulur. Lebih dari menjulur. Menghunjam!! Tan menangkis dengan tangan. Tapi terlambat! Bahunya seperti diterpa benda sebesar pohon kelapa tumbang! Ia jatuh tertelungkup. Saat itulah tumit Buyuang memakan kuduknya! Suara tulang berderak! Pekik Tan menggema. Begitu juga teriak histeris ibu- ibu yang melihat dari jendela. Jika fisik tak sebesar sekuat Tan, sudah sampai ajalnya!!
"Buyuaaang! Istighfar nak...." dia dengar ibunya menangis dari jendela. Buyuang terhenti....
Begitulah karakter Buyuang Inop. Kanduanyo badantiang-dantiang. Tagangnyo maleo-leo. Penghormatannya pada ibunya adalah 100 persen. Dan maaf ibunya, akan menghentikan amarahnya juga. Teman, taukah engkau, Buyuang Inop yang membantu membawa Tan Angkang setelah itu berobat ke Puskesmas Lintau Buo Utara Dua? Lalu tak ada tuntutan apa-apa dari pihak keluarga Tan, sebab bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak; Tan Angkang lah yang membuat "salah langkah" ke rumah ibu Buyuang Inop. Sayangnya, sejak kejadian itu, Tan Angkang walaupun pulih, tapi agak berubah kelakuannya. Kadang dia bicara sendiri. Kala lain ia bermenung di pematang sawah. Dan sampai sekarang tak ada yang mau bersuami dengan dia. Begitulah makan tangan Buyuang Inop!
Erna faham betul kelakuan suaminya ini. Sebab bukan sekali itu ia mengalami. Masih terbayang ketika mereka baru menikah dulu, lalu tak sampai sebulan, Buyuang Inop yang diberi gelar Datuk saat pernikahan, "dicubo" preman di loket Aur Kuning, Bukittinggi. Mereka menunggu mobil ANS AC di terminal. Setelah lebih sejam, mobil datang dari pool Jambu Air. Sudah terisi penumpang lebih separo. Ia dan Engku Datuk disilakan naik sesuai nomor tiket di deretan ke dua. Tak lama kemudian, beberapa pedagang asongan naik. Umumnya orang membeli makanan. Karena ini mobil AC, pedagang hanya punya kesempatan sebentar untuk mengais rezeki. Di antara mereka ada yang menjajakan buku TTS. Menawarkan pada setiap penumpang. Entah kenapa, mungkin karena melihat wajah Engku yang innosens sedang bulan madu dan rambut gondrong, penjual buku TTS itu tak menawarkan buku itu pada Engku, namun memilih buku yang terselip paling bawah bergambar perempuan tak berpakaian selembar benangpun! "Barang bagus Diak! Baru tibo dari Batam! Limo ribu sajo!" penjual itu rada berbisik ke Engku Datuk. Engku melihat ke buku itu. Lalu menduga, ini mungkin majalah porno. Atau semacam itulah. Dan tentu saja Engku menolak. Tak ada yang lebih cantik dari Erna di antero Lintau sana. Lagian yang begitu, maaf, sampah tak berguna! Engku menggeleng dengan tetap memasang wajah ramah. Penjual itu, lelaki 30an tahun, gigih menawarkan. Ia menarok buku di pangkuan Engku Datuk. "Murah tu Diak! Harago subanano sapuluah ribu! Asyik pokokno!"
"Mokasih sajolah Da. Baoklah baliak!" Engku Datuk mulai tak enak hati. Dia kembalikan buku itu ke tumpukan buku di pegangan si penjual. Tapi si penjual kembali menarok di paha Engku dan nyeletuk,"Tigo ribu ambiaklah sanak!"
"Indak!" Engku membulalakkan mata. Dan uda penjual TTS itu tersinggung. "Samo jantan awakkono sanak! Jan sok suci pulo lai!" Dia dorongkan buku itu ke wajah Engku. Tentu reflek Engku menepis. Hep!!
Maka mendidih emosi uda Penjual itu. Di terminal Aur ini, tak ada yang tak kenal dengan dia! Reman Ralu! Pemakan masak mentah! Kiri kanan ok! Maka dia kasih penumpang ANS ini hadiah bogem mentah. Di arah pelipis berambut gondrong! Hop!!
Teman. Berat hati Engku Datuk mengotori perjalanan pertamanya setelah tiga minggu menikah di kampung. Inginnya dia, naik oplet dari Lintau ke Bukittinggi dan naik ANS dari Bukittinggi ke Jakarta dengan membawa "rang rumah" ini, baik-baik saja. Jika bisa, ya romantis lah...gitu.
Namun harapan itu buyar. Preman Aur Kuning yang satu ini memasukkan setetes nila dalam belanga susu perjalanannya. Apa boleh buat!
Itulah sebabnya Engku menangkap pergelangan tangan Reman Ralu dan memutarnya ke kanan. Plok! Heit!!
Reman melengkung meringis. Tumpukan buku di tangan kirinya berserakan di lantai mobil. Sebagian lagi, terkapar di ujung kaki penumpang. Sialnya, buku yang disusun di bagian bawah menjadi terdedah di bagian atas, hingga terlihat jelas oleh penumpang deretan Engku dan belakang. Rasa malu ketauan membuat Reman cepat menyentak tangannya. Engku, karena tak ingin berpanjang masalah, melepaskan "piuah" kunci tangannya. "Alah tumah Da indak elok/" sehingga itu Engku bicara, Reman telah mengeluarkan pisau dari pinggang celana jeannya. Dan segera menghunjamkannya ke wajah Engku.
E ko bapantang diagiah hati komah?
Engku cepat mengelak. Kulit jok mobil tembus beberapa sentimeter... dan Erna langsung memekik, "Udaaaa!"
Sungguh tak ada pilihan lain bagi Engku. Menunggu hunjaman kedua, dan yak, menangkap pergelangan tangan, menumpu sikunya dari bawah dan secepat kilat menampar jemarinya. Pisau terlempar ke atas, dan jatuh di dekat penumpang baris ke tiga. Penumpang lain ikut memekik. Engku merubah arah tamparan menjadi serangan dengan siku ke rusuk. Brak! Reman terbeliak. Ia memukul membabi buta. Dan itulah yang disukai Engku Datuk, tupang daguak beriring dengan sundak lutut. Reman terkapar di lorong antar jok bus. Dan orang loket berhamburan naik. Mereka memegangi Reman dan menyeretnya turun.
"Baa sababnyo Da?" tanya stokar.
"Agak kareh baso-basinyo bajaga buku!" jawek Datuk.
"Daram pajatu. Syetan tumah!" Teriak penumpang yang lain. Dan kepala loket bus, Irman, yang badannya besar bertopi moris, memberi penjual buku TTS itu tinju berkekuatan 10 m /detik. Buk!!! Pangkal telinganya menjadi sasaran. Ia terdorong tiga langkah dan telungkup di aspal dekat roda belakang bus.
"Ampun da Ir. Ampun da Iiiir...." lulungnya. Dasar kuciang air!!
Aneh juga, yang dihantam tinju pangkal telinganya, yang berdarah mengalir justru hidungnya
Orang-orang jadi ramai depan loket . Mereka ingin tau apa yang terjadi. Mengapa lelaki kurus pake jean ini meraung minta ampun. Apa dia nyopet?
Penumpang ANS turun semua. Bapak yang duduk di belakang mengulurkan pisau pada Irman. "Ko pisaunyo Da! Barang bukti! Baoklah ka pos polisi!" Ujar bapak itu. Irman mengambil pisau itu dan mengantonginya sambil bersungut-sungut , "Pasisia waden ang karajoan...haragoi urang saketek...jan nan kalamak diawak sajo..."
"Iyo Da Ir. Ampun wak. Awak nan salah! Usah dibaok ka pos Da Iiiir" Reman itu berlutut ke kaki Irman.
"Mintak mooh ang ka panumpang ambo tu lah!" kata Irman. Dan si Reman langsung berlari ke kaki Engku Datuk. Darah masih mengalir di hidungnya. Sambil memegang kaki Engku, ia bagai anak kecil merengek minta dimaafkan.
"Lantuang sakali lai sanak!" Terdengar seorang penumpang memprovokasi. Engku diam. Tak sampai hati juga dia. Apalagi niatnya hendak berjalan baik-baik ke Jakarta. Menggunggung membawa terbang perempuan tercantik seantero Lintau. Hingga yang dilakukannya justru memegang ubun-ubun lelaki pesakitan itu, dan meniupnya dengan pelan. Sambil membaca surat Al Ikhlas...
"Naiaklah! Naiaklah! Apak Ibu Uda Uni Adiak! Oto ka barangkek!" Sopir berteriak. Dan keramaian itu bubar. Di atas mobil, para penumpang masih riuh membicarakan sang Reman. Mereka akhirnya jadi seperti keluarga saling tanya dan berbagi. Erna, yang dari tadi diam, akhirnya juga nyeletuk, " Abih darah Erna tadi Da....indak disangko!"
Engku Datuk tersenyum tipis. Lalu meraih kepala Erna rebah ke bahunya....
Bus sudah menurun ke Padang Panjang. Larinya terasa cepat. Kadang per nya berayun-ayun. Penumpang mulai diserang kantuk. Dan Erna tersandar teduh di dekap suaminya.
Di loket, Reman tertatih duduk ke dinding loket. Meratapi untungnya. Sebab, sedari pagi ia belum sarapan apapun. Kecuali sebuah godok diberi temannya. Seorang pegawai agen bus memberinya segelas teh manis. Diikuti oleh da Irman, memesankan sepiring lontong sayur. Maka bercampurlah kuah lontong dengan air matanya. Hidup, rasanya seperti tebing terjal. Tapi kebanyakan justru karena resulrante ulah kuta juga. Bukankah dulu di Pekanbaru ia sudah agak mapan membantu mekanik bengkel motor? Tapi gegara tergelincir menakali anak ibu kost nya yang masih klas 6 SD, hampir mati pula dia diamuk orang. Di Aur Kuning ini saja, sudah beberapa kali ia mendapat hadiah bogem mentah. Tapi nasibnya begitu-begitu jua. Kehidupan di terminal kadang penuh warna-warni. Kasihan dan setiakawan sesama preman bercampur dengan amarah emosi dan carut marut. Ucapan 'kandiak' 'karapai' 'kalera' bahkan yang lebih kasar dari itu, sudah jadi makanan sehari-hari!
Tentu berbeda dengan Erna. Ia mulai menjadi suri rumah tangga menemani Engku Datuk di Betawi. Bermula dari rumah sederhana. Makan dan pakaian seadanya. Sampai akhirnya punya anak, bertambah rezeki dan punya toko sendiri. Bukan tak ada aral melintang. Sindiran cimeeh ulat bulu, sering juga muncul. Namun Engku Datuk mengajarnya tabah. Hingga akhirnya, mapan seperti sekarang. Khayal tentang ibu darmawanita dosen peneliti litbang, sudah ia kubur dalam-dalam. Kata Engku, kita bisa bermanfaat di posisi apapun. Toh terbukti sekarang, sudah banyak sanak keluarga bisa dibantu. Rumah dan kendraan cukup sudah. Bahkan berlebih. Rumah di kampungpun telah direhab. Jika Engku pingin ganti Mpv jadi SUV ia tak bersuara. Mau beli motor gede, iapun diam menerima. Bagi Erna, selagi anak-anak sehat dan sekolahnya baik-baik saja; itu sudah cukup. Malah kini sudah berlimpah ruah. Semakin ia dan suaminya bersedekah, semakan datang saja amanah. Ini contohnya; bel pagarnya berbunyi. Dan karyawan Auto2000 datang membawa kaca belakang serta kotak peralatan. Katanya disuruh bos pagi-pagi. Bos itu temanan dekat dengan Dokter Faisal. Itupun karena jasa dokter itu yang menyarankan Opanya minum air nira aren secara teratur untuk mengontrol diabetnya. "Tinggalkan gula tebu dan pemanis buatan. Gula aren dan niranya rendah indeks glikemiknya" begitu nasehat Faisal, dan terbukti Opanya sehat segar kembali. Hidup, tak sekedar bertukar barang dan uang, tapi lebih dari itu, memberi manfaat dengan ikhlas!
Dalam setengah jam, kaca mobil dia, kelar beres tokcer!! Nikmat Tuhan manalagi yang akan kita nafikan?
Dua mekanik mobil itu pamit. Dia membungkuk memberi salam pada Engku Datuk dan Erna. Engku senang. Erna juga tersenyum lebar. Menjelang naik ke mobil perusahaannya, Engku menyelipkan lembaran uang merah ke kantong mereka.
"Aduh Bapak. Jangan. Maaf. Tidak usah! Boss pesan, semua sudah selesai dengan pak Dokter. Kami bisa kena marah sama boss. Maaf. Bapak. Ibu. Jangan...." kata yang badannya agak besar dan duduk di bangku sopir.
"Ambil aja. Buat jajan anak!" kata Engku. Namun keduanya berkeras tak mau."Beneran pak. Buk. Jangan!" katanya lagi.
"Ya udah. Ibu ngasih makanan aja. Buat cemilan!" Erna beranjak ke dalam. Di almari ruang tengah banyak sekali biskuit kaleng. Ada yang dibeli dan ada yang dihadiahi rekanan. Erna memasukkan masing-masing satu kaleng ke kantong kresekan besar dan memberikannya pada mereka.
"Aduh si Ibuk. Baik banget. Pak Dokternya kata Boss baik juga. Orang-orang Padang itu pada baik-baik semua yah!" yang nyupir memuji. Sepertinya itu pujian "bisnis". Tapi bagi Erna, membuat sejuk perasaan. Engku Datuk tersenyum saja. "Manggak bapak. Ibuk. Assalamu'alaikuuum..." kata mereka melambaikan tangan. Engku Datuk menghirup nafas panjang. Erna senyum sambil melangkah ke dalam rumah.
"Tiiin!!" Klakson mobil terdengar di pagar. Eh. Silih berganti aja tamu nih? Rezeki lagi kayaknya ini!
Engku memutar badan dan kembali ke pagar menyambut. Dari mobil innova hitam turun Mat Bronk.
Dari jauh dia udah tersenyum.
"Pak Uda! Sini liat!" dia memanggil Engku. Selain Mat Bronk, seorang polisi muda juga terlihat turun dari mobil. Ahai, lai barisi jalo pukek?
Setelah menyalami Engku Datuk, Mat menggandeng Engku ke mobil. Polisi muda itu membuka puntu tengah. Dan, yess! Lelaki yang kemarin dia jatuhkan di depan toko. Yang bayangannya berkelebat melinras jalan tadi pagi di tempat Rahima jualan. Ikal gempal hitam. Entah Jornelius atau Martinis atau apapunlah! Duduk di jok menunduk dan kedua tangannya terikat borgol. Didampingi seorang polisi lagi. Engku memandang seksama. Lelaki itu melihat sejenak lalu kembali menunduk. Wajahnya bercampur tekanan marah serta keterpaksaan.
"Nyang ini kan? Bener kagak Pak Uda?" Mat nyerocos. Sejak pertama kenal, ia selalu memanggil Engku dengan Pak Uda. Sudahlah Pak,; Uda, pula! Engku mengangguk.
"Kalo Pak Uda mau ngasih tanda mata, kami purak- purak beli rokok sono bentar!"
Tanda mata? Ah tak perlu. Dengan tangan diborgol begitu, jika ulu hatinya ditinju Engku dari bawah, bisa ke rumah sakit ni orang!
"Pecatan kuli jalan tol yang ambles kemarin. Baru datang dari kampung. Ada kasus nyolong hape juga. Emang tekanan ekonomi dan pola hidup hedonis" polisi yang di bawah, bergumam. Seakan tau, apa yang difikirkan Engku Datuk. Engku memandang dan mengangguk-angguk. Ragam fenomena hidup muncul dalam kondisi serba berubah. Engku faham betul!
Si Jornelius, atau Martinis atau siapapun namanya, menunduk ke lantai mobil. Dari pelipisnya turun keringat walau pendingin mobil dihidupkan. Entah apa yang dia fikirkan. Entah apa pula yang dia rasakan....
"Jika tak keberatan mobil Engku kami foto. Dan kepingan sisa kaca kami bawa ke kantor..." polisi itu minta izin.
"Ok. Ok. Silakan mas. Silakan. Dengan senang hati!" Engku menjawab. Lalu buntut mobil Engku difoto. Dan pecahan kacanya dibawa tim polisi itu. Lantas mereka pamit. "Jika tak keberatan, paling dalam tiga minggu ini Engku Datuk kita mohonkan kesaksiannya. Paling sejam dua jam. Dianya udah ngaku kok!" Polisi itu menambahkan. Engku tentu welcome saja. Hal begini sudah beberapa kali ia alami. Di Jakarta dan di Depok ini, dengan populasi manusia super padat, interaksi sosial memang mesti dihadapi dengan lapang hati. Ok lah!
Mat Bronk dan tiga lainnya berangkat. Setelah bersalaman. Dan seperti tadi, Erna memberi masing-masing satu kaleng roti yang mulutnya dihias rantai gemerlap keemasan. Mat Bronk tentu senang banget. Ia dulunya satuan seragam hijau. Karena suatu dan lain hal, berhenti. Beralih jadi sopir online. Serta kepala keamanan informal di Parung Bingung ini. Jika malam Minggu suka main gaple sama anak-anak RW. Disitulah ia kenalan dengan Engku Datuk...
"Buek sambalado tanak Na! Raso kalamak makan beko!" Engku merengek pada istrinya. Hatinya sejuk setelah urusan "Jornelius atau Msrtinis atau siapapun lah namanya" ini selesai. Erna tersenyum. Dan langsung beranjak ke dapur. ....teri Padang petai dan limau kapas, ada!
TAMAT