[3/24, 4:51 AM] Hanif AM Arisa: Mako Buyuang Pinang mambuek pengumuman di fesbuk. Barangsiapo remaja butuh suami legal untuk menutupi aib di paruiknyo, ambo bersedio! Lalu Buyuang Pinang manunggu beberapa saat. Tak ado respon. Beberapa jam, tak ado nan komen. Bisuak pagi manjalang sahur, Buyuang badabok darahnyo. Ado pasan pribadi," serius tu Om? Barapopun biayanyo Lince amuah!"......ππ€£
[3/24, 3:44 PM] Hanif AM Arisa: Alah sabulan Buyuang Pinang tingga di Duri. Di rumah gadang batingkek. Kamarnyo ba AC.
Alah barubah tampilan Buyuang. Tiok hari sirawa levis. Rambuiknyo juntai ka kaniang. Acok senyum sajo. Sore raun jo Ayla merah. Musik di dashboard irama jazz. Dulu sukonyo dangdut...ππ€
[3/25, 4:17 AM] Hanif AM Arisa: Tadi sore Buyuang di ajak Ince bali pabukoan. Di pasar beduk. "Om tunggu di mobil sajo yo. Ntar kalau ado kawan Ince, malu Ince. Kok nyo tanyo, O I ko kp suami Ince?"
"Jadih cayang. Baa nan kasuko dek cayang sajolah..."
[3/25, 4:19 AM] Hanif AM Arisa: Mako turunlah paja ganduik tu maenggok-enggok bali takjil. Suaro speaker oto barubah dari pop ke jazz. Tra lala .mmm...tralahahaaaa
[3/25, 11:31 AM] Hanif AM Arisa: Digeser Buyuang jok sopir ka bulakang. Sandaran direbahkan. Buyuang tertengadah. Kakinyo naiak ka ujuang dashboard. Bagoyang-goyang ikut irama musik. Sanang iduik Buyuang Pinang...
[3/25, 11:37 AM] Hanif AM Arisa: Tibo-tibo hape nyo babunyi. Hep. Si Lince.
:Yo Yaang!"
"Japuik karambil mudo kamari Om! Berat bana. Ince bawa bungkusan kue pulo!"
"Yo. Yo. Aman tu!"maka bergegas Buyuang Pinang. Membenarkan jok mobil. Turun. Menekan konci alarm. Melangkah menuju si Ince balanjo. Astaga! Empat buah kerambil mudo kau bali? Belum dikubak dan dikikis isinya serta dimasukkan ke kantong. Masih bulat dipancung ujungnya. Tentulah iyo berat kau Piak!!
[3/27, 1:18 PM] Hanif AM Arisa: Raso tagurajai bahu jo langan. Manjinjiang karambia duo di kiri duo di kanan. Etan si Ince Cayang lah capek sajo malangkah baok kantong makanan. Isinyo goreng pisang, surabi, kue sus sarato cincau santan.
Nde Piak, bata puaso Om. Barek baban. Kau manggaya sajo bakacomato reben disinan!
[3/28, 10:54 AM] Hanif AM Arisa: Buyuang Pinang meletakkan 4 kerambil di belakang mobil. Lalu berjalan ke jok sopir. Ince Gendut 7 bulan sudah terduduk di sebelah kiri. Sambil membetulkan rambutnya. "Raso batal puasa kita Om. Lamak-lamak sajo sadonyo yang dijual orang tu. Ini kalau ndak tahan, Ince mamam saja sebelum magrib. Kasihan bayi ikut puasa kan Om?"
Mulutnya nyerocos. Kue sus dan surabi dia tengok-tengok juga.
"Tahanlah sebentar lagi kita bebuko di rumah" jawab Buyuang. Sambil hidungnya kembang kempus terbau aroma kue di kantong asoy...
[3/28, 8:14 PM] Hanif AM Arisa: Sampai di simpang yang ada warung baksonya, mereka belok ke kiri. Bakso dan Es Kolding Wong Ndeso. Masuk ke jalan kecil.
"Gak usah liat-liat bakso itu Om. Itu lokasi kebodohanku!" Ince celoteh.
"Emang bakso bikin bodoh?" Tanya Buyuang Pinang.
"Bukaan. Bukan begitu. Disitu itu aku diajak makan. Lalu dimanja-manjain. Lalu aku terjun ke lubang tolol. Lalu ketagihan. Lalu muntah-muntah. Lalu dimarahin Mama. Lalu kebaca status fesbuk Om."
"Ooo gitu. Kita cepat aja pulang. Jangan noleh kesitu!"
"Aku kalau udah melahirkan masih cantik gak Om?"
"Masih lah. Kan masih muda belia."
"Aku masih ingin kuliah kayak temen-temen Om. "
"Bagus! Bagus itu!"
[3/29, 5:41 PM] Hanif AM Arisa: Dibukak kerambil satu oleh Buyuang sudah dapat airnya empat gelas. Eee kebanyakan membelinya tadi ni. Rasa-rasa akan tandas satu mangkok, setelah azan ternyata satu gelas saja sudah penuh lambung! Apalagi si Ince ditundo nya pula dengan kue sus,, surabi dan pisang goreng. Lah tapurangah dek karena kekenyangan.
Buyuang Pinang lah serta pula minum air kelapa. Habis tu dia makan nasi dengan telur dadar sambal tomat. Mantap benar rasanya. Segar badan sampai tengah malam. Akibatnya, muncul pengana nya memberi nafkah batin ke si Ince. Bismillah....
[3/30, 9:27 AM] Hanif AM Arisa: Sahari nangko, agak terlambat Buyuang Pinang bangun. Habis sahur tadi harusnya shalat subuh. Tapi dia wajib mandi dulu, padahal hujan mengguyur sejak malam. Dingin. Alhasil, sudah hampir terbit marahari, barulah ia bergegas ke kamar mandi. Hiiii dingiiin. Namun setelah lap sama handuk, masuk ke kamar, badan terasa segar.
Sementara Ince, masih mendengkur berselimat tebal. Ee upiak-banun; rasa mulai tumbuh sayang pada anak remaja ini, padahal sesuai perjanjian nikah mereka hanya sampai anak lahir saja.....
Ah. Tak usah banyak fikiran. Mending masang singlet, baju, celana lalu nyisir rambut. Sambil berdendang-denadang kecil." Bila musim bunga tibaaa....halamanku indah berbungaaa....."
[3/30, 4:57 PM] Hanif AM Arisa: Buyuang Pinang mencolek pasta minyak rambut. Krim jelly itu dia uber-uberkan ke rambut yang mulai menipis dan putih. Mulutnya tetap bernyanyi. Sisir di tangan kanan mengusap necis. Dibantu tangan kiri mengusap-usap. Tralalaaaa. Trililiiii..
"Lah jago Om ya?"
"Udah dong. Ni udah mandi. Shalat subuh telat. Cayang. Bangun yok. Ntar bayinya marah kalo malas bangun!"
"Iya apa Om? Apa bayi di perut bisa marah?"
"Ya iyalah. Kerasa gak ia nendang?"
"Mmmmm...iya Om!"
"Nah. Ayo bangun!"
"Iya deh. Ntar. Nggghhhh...." Upiak Banun itu menggeliat. Menyingkirkan selimut tebal.
Di luar matahari Ramadhan bersinar cerah....
[3/31, 1:12 PM] Hanif AM Arisa: Buyuang Pinang
Buyuang Pinang merapikan alas kasur. Ince sudah di dalam kamar mandi. Bantal-bantal bersarung warna pink disusun Buyuang di sandaran tempat tidur nan luas. Lalu Buyuang duduk selonjor. Sambil lihat hape membaca chat WA yang masuk. Ada tanda bulatan hijau. Di klik jemari tangan. Dari temannya bernama Oyok. "Bilo angku ka Panam Yuang? Sore patang ambo ka tampek kost angku maantakan madu. Angku indak di rumah." Begitu bunyi chat dari Oyok. Buyuang membalas" Alun tau Yok. Ambo ado karajo di Duri". Lalu Buyuang tekan tanda panah hijau putih berkirim. Ada lagi chat lain masuk. Dari Cimon. Bunyinya: " Yuang. Kamanakan ambo di pikumbuah ka Pakan bisuak mambaok pinang sa pick-up. Bisa angku handel sarupo biaso kan?"
Buyuang capek mambaleh: "Lansuang sajo ka Babah We. Ambo masih ado urusan di Duri." Lalu Buyuang menekan tanda panah kirim. Ok!
Tak lama, Ince keluar kamar mandi. Memandang om Buyuang main hape. "Chatting jo sia Om?"
"Jo kawan"
"Jo kawan atau jo 'kawan'?"
Buyuang mendengar intonasi cemburu.
"Iyo jo kawan. Caliaklah ko ha!"
Ince mendekat. Melihat hape Buyuang. Sambil duduk dekat bahu Buyuang. Dengan aroma sampo yang segar....
[4/3, 3:19 AM] Hanif AM Arisa: "Inceee. Lah bangun nak?" Terdengar suara dari luar kamar.
"Sudah mam!"
"Mami pergi. Balik habis buka puasa. Bilangin bik Inah makan kucing sore jangan lupa!"
"Ya Mam!"
Lalu kedengan suara pletak-pletok sandal di lantai menjauh. Diikuti suara mesin mobil distarter dan pintu pagar digeser. Lalu sepi.
Imce rebahan di pinggir. Kepalanya masih dibalut handuk. Buyuang Pinang cepat-cepat mengingatkan diri sendiri. Ini siang bulan puasa!
[4/3, 3:33 PM] Hanif AM Arisa: Sore datang menjelang. Sudah selesai shalat ashar. Buyuang menggeliat bangun dari tempat tidur.
"Senang tidur Om ya?"
"Ngapo emang?"
"Mendengkur tadi!"
"Oo...iyo. Mangganti tanago malam tadi. Paruik lapar pulo"
"Jadi ke Panam Om?"
"Jadih. Ayok!"
"Rasonyo Ince sajo yang mambaok oto. Om lelet. Penakut bawa mobil!"
"Ee jangan main-main. Masa muda dulu, truk tiga perempat terbang Om bawa dari Bukik ke Jakarta. Abih marah-marah semua mobil motor dan kuretah angin!"
"Sekarang kenapo lambat lambat sajo?"
"Kan kasihan penumpang sebelah. Perutnya sedang berisi. Nanti terguncang-guncang!"
"Iyo yo Om. Om sajolah yang baok. Nanti kito singgah beli bolu kukus di Ochips yo!"
"Ok bos cantik!"
"Indak usah bilang cantik!"
"Kenapo?"
"Itu ucapan nan acok disabuik dek ayah anak dalam perut Ince ini dulu. Tapi buktinyo apo? Ilangnyo antah ka mano!"
"Ooo ok Ince cayang! Siko koncinyo!"
Ince memberikan kunci mobil. Lalu memasang bando ikat kepala. Mengambil tas isi dompet. Keluar setelah nyuruh bibik memberi makan kucing besar berbulu tebal.
Duri ke Pekanbaru ditempuh dengan 50 sampai 60 km per jam saja. Santai. Sekalipun wajah Ince kelihatan gemas. Dia mungkin pengen memacu 80 km/jam. Melintas tengah kota dan masuk ke jalan Adi Sucipto. Lurus lalu belok kanan di Garuda Sakti. Dan belok kiri di jalan Melayu. Ada bedeng rumah petak 4 pintu. Paling kiri yang ada AC dihuni oleh pegawai asuransi. Paling kanan yg hanya berisi kasur serta perangkat dapur, itulah kontrakan Buyuang Pinang. Ince dan mamanya sudah pernah kesini beberapa bulan lalu.
Saat menikung ke Garuda Sakti inilah, tiba-tiba Buyuang meminggirkan mobil. Berhenti di bahu jalan. Ince menoleh. Buyuang tak bergeming.
"Ada apa Om?"
"Ntar nona pintar. Om lihat mak tua pengemis itu barusan."
"Mak tua siapa?"
"Pagi waktu om bikin status fesbuk yg bersedia menolong wanita berbeban hamil dulu, paginya om ke simpang ini jalan kaki. Om waktu itu bener-bener kehabisan duit. Babah We tak mau pinjam jika tak ada pinang masuk dari Payakumbuh atau Batusangkar. Dalam bingung om jalan ke simpang ini dan bicara ke Tuhan. "Tuhan duit sisa 5000 perak ini aku kasihkan ke orang miskin. Supaya Engkau menolongku juga. Jika Engkau bilang aku nyogok atau pamrih atau apapun, aku nyerah. Aku betul-betul kehabisan pitis" jerit Om dalam hati. Dan ketemu mak Tua itu yang tertatih compang camping. Om kasihkan ke dia dan berlalu sebelum dia sempat berterimakasih. Pulangnya tetiba muncul ide bikin status fesbuk itu. Lalu kita ketemu. Engkau Nona Jelita, jadi berkah yang dikirim Tuhan untuk om. Sekalipun hanya sampai anakmu lahir."
"Lantas sekarang?"
"Tunggu di mobil. Om mau kasih mak Tua itu seratus ribu!"
Ince terpana. Ternganga. Dia tak pernah sedekah. Sedekah itu kan kerjaan mak-mak pengajian?
Buyuang berlalu. Setelah menutup pintu. Terlihat dia mengatupkan jemari mak itu dari kaca spion. Tentu berisi lembaran merah. Dan cepat berlalu. Sebelum mak itu berterimakasih.
"Sudah! Kita lanjut."
Diam.
"Gak lama om kan?"
Diam.
"Kok jadi diam?"
Tetap diam.
"Manggok?"
Terus diam.
"Om salah?"
Menggeleng.
"Lalu?"
"Om. Ince tak pernah bersedekah.... Ince mungkin dimarahi Tuhan ya?"
Giliran Buyuang terdiam....
[4/4, 4:31 PM] Hanif AM Arisa: Buyuang tak tau mau menjawab apa. Sebab perkara dimarahi Tuhan itu sangat jauh dari kemampuan Buyuang memutuskannya. Dia amat berhati-hati. Suatu saat dia pernah dengar pembalasan Tuhan itu pedih. Tapi di saat lain Tuhan itu maha pengasih penyayang pengampun. Pelacur hina sekalipun bisa diampuni dan tertolong karena kebaikannya memberi minum anjing kehausan di gurun pasir. Pembunuh 100 orangpun diampuni ketika dia baru berniat dan berjalan ke arah kebaikan. Lalu dia akan jumawa memutus urusan Allah?
Rasul saw tahan terhadap kezaliman kafir hingga berdarah sekalipun. Tapi Beliau saw tak sanggup mendengar ulama yg Beliau saw utus dibunuhi kaum kafir, hingga sebulan lamanya Beliau saw mendoakan kelaknatan bagi pembunuh itu.
Namun apa jawab Allah? Tak ada kuasamu untuk orang itu, apakah ia akan dilaknat atau diampuni, sungguh mereka memang amat zalim.
Menerima wahyu itu, Nabi saw berhenti mengutuk laknat pembunuh ulama itu. Jadi, biarlah urusan eksekusi marah dan ampun itu kembali ke Yang Maha Kasih...
"Om tidak tau. Yang Om tau Tuhan itu Maha Penyayang"
"Se sayang apa? Ini nasib Ince begini!"
Buyuang kembali terhenyak.
"Seperti Ince sayang sama calon bayi. Dibawa dan didekap diberi makan. Itu sebab tempatnya disebut Rahim" Buyuang menjawab sekenanya saja. Dia merasa bodoh.
"Udah ayo ke Ochips Bakery!" Buyuang beralih. Ince diam. Matanya menatap melayang di jalanan sore....
[4/4, 7:13 PM] Hanif AM Arisa: Sebentar saja di Bedeng jalan Melayu. Memeriksa tak ada gangguan. Kasur usang. Perangkat masak. Semua aman. Setelah basa -basi dengan tetangga mereka pamit. May Kenta adalah istri pegawai asuransi yang ramah gaul. Dia menghuni petak ber AC. Begitu Ayla merah hilang di pengkolan, mulutnya langsung menyat-menyot menggunjingkan Buyuang. "Pake pelet pasti!"
"Ho-oh!"
"Cantik amat. Kaya lagi!"
"Ho-oh!"
"Jaman sekarang serba gila. Banyak yang aneh. "
"Ho-oh!"
Begitulah, Buyuang sudah sampai depan SPBU meminggir ke ruko Ochips Home Made Bakery & Cake. Baru mendekat saja, sudah wangi aroma keju kacang dan coklat. Beberapa pelanggan lain terlihat tengah memilih roti dan kue lezat. Beraneka ragam. Ada juga yang lagi membayar. "Tunggu di mobil Om! Ince pilihkan yang enak!" Dan Ince segera masuk ke pintu kaca dengan perut besarnya. Tasarah kau lah Piak!
[4/5, 4:38 AM] Hanif AM Arisa: Tak lama Ince keluar. Tangannya kiri kanan menenteng kresekan isi kotak kue dan roti. Senyumnya sumringah. Cantik memang. Buyuang Pinang segera membukakan pintu kiri. Dan si upiak gendut masuk.
"Bener Om. Ochips emang juara! Dari aroma udah tau rasanya. Pantesan rame!"
"Mahal pasti!"
"Enggak om! Segini gak nyampe limaratus!"
"Om boleh pilih. Bolu topping atau roti lembut keju atau lainnya ntar."
"Om cukup satu. Kasih buat papa mama"
"Kenapa?"
"Om lagi ngurangi yang manis"
"Diabet?"
"Gak juga. Kalo diabet pasti cayang tau dari malam pertama dulu"
"Bener juga ya Om". Ince senyum. Sambil menunduk....
[4/5, 1:15 PM] Hanif AM Arisa: Sesampai di rumah hanya ada bik Inah. Mama papa masih ada kerjaan. Bik Inah duduk di teras sambil mengunyah-ngunyah makanan.
Begitu mobil masuk dia segra menutupkan pagar.
"Makanan siap di meja Non. Kucing wis maam... bibik pulang dulu yo?" Ujarnya.
"Bibik sudah buka puasa?" Buyuang bertanya.
"Sudah tuan. Sudah. Ntar makan nasi di rumah saja"
Jadi dari tadi bik Inah nunggu saja di teras sambil ngunyah roti ya?
"Mau sedekah kan cayang? Kue samo roti kasih ke bik.Inah sebagian yok!"
Ince terdiam. Ini kue enak semua. Tapi bukankah ia juga udah makan barusan? Bukankah tadi ia tertarik juga memberi sebagian yang dia punya?
"Bik. Tunggu. Ni makanan bawa pulang. Lalu satu kresekan penuh dia pegangkan ke tangan bik Inah.
"Oalah Non. Apa apaan ini? Tumben. Aduh. Makasihbanyak yo Non Ince. " Ince terpandang mimik yang memukau di wajah bik Inah. Keceriaan orang sederhana memperoleh rezki. Semacam rasa indah tentram menyelinap di kalbu sehabis memberi. Inikah makna memberi?
Entah. Yang jelas, langkah kaki terasa ringan sehabis itu. Rongga dada serasa lapang.
"Om. Besok sore Ince akan kasih lagi bik Inah makanan...." kata Ince sesampai di kamar. Buyuang senyum. Ia segra ke toilet untuk wudhuk....
[4/5, 9:08 PM] Hanif AM Arisa: Antah apolah sebabnyo, satiok kali makan di restoran kapau, selalu enak! Pertama kali Buyuang makan nasi kapau dulu adalah di pacuan kuda Kubugadang. Ia masih SD. Diajak bapaknya nonton horse-race. Rame sekali. Bakalintin pintin. Jalan masuk saja susah. Dan begitu rombongan kuda dilepas dari besi start, orang-orang menumpuk di pinggir lapangan. Buyuang kecil, manyalek di antara kaki orang. Dan siangnya, makan nasi kapau di warung tenda pinggir arena. Itulah makan enak yang nilainya betul-betul 10 bagi Buyuang. Lengkap segala kuah. Numpuk segala lauk. Menu utamanya belut goreng lado mudo. Tawarkanlah makanan apapun pada Buyuang, tetap baginya nasi kapau baluik goreng itu nomor satu. Tak ada lawan! Sampai kini, makan nasi kapau, saraf tubuhnya langsung sensasi. Dan enak!
Makanya Buyuang tertidur pulas sehabis shalat isya dan tarawieh di kamar.
Ince? Dia shalat isya saja. Tarawieh itu berat dan lama. Jadi dia cemilan kue Ochips saja sambil nonton tv digital.
Ketika capek nonton dan ngantuk Ince tidur dengan kaki dialas bantal. Mau miring ke kiri dan kanan, perutnya berat. Tangannya saja yang dia hamparkan ke atas tubuh Buyuang. Lalu mendengkur pulas....bismiKa Allahumma ahya wa amut.
[4/6, 10:27 AM] Hanif AM Arisa: Bangun sahur diketok-ketok Mama. "Yo mam!" Ince menyahut. Itu artinya Mama Papa pulang lewat jam 9 malam tadi.
Sahur bareng Om Buyuang berdua. Mama katanya sedang gak puasa. Sedang papa memilih makan sebelum tidur sehabis nonton tv tengah malam.
Sambil sahur lihat-lihat pesan WA. Group lokal SMA rame. Ada yg sahur di Surabaya karena kuliah di Unair. Ada yang di Padang, Jambi dan Palembang. Tak sedikit juga yang di Unri. Namun beberapa sudah kerja. Malah ada yang jadi pelayan minimarket. Seru. Heboh. Khas guyon milenial lah.
Gaya berfotopun lucu. Gestur dan aksi. Bukan kayak foto nenek-nenek zaman Orba yang berdiri rapi tangan lurus ke bawah . Itu kuno tak kreatif!
Ince? Foto apa yang mau dia kabarkan? Foto perut buncit? Foto aksi jemari empu dan telunjuk disilangkan dengan om Buyung? Ihh..malu kalee.. Maka Ince membaca dan melihat saja. Scroll atas bawah dengan tangan kiri. Senyum. Nyuap nasi dengan tangan kanan. Scroll lagi. Senyum lagi. Sampai ada postingan berbunyi" Kagak seru kalo Ince gak nongol!" Lalu dibalas," Iya. Bintang kelas kok sok jaim ya?"
"Mungkin sibuk!" "Sibuk atau gak enak badan"
"Atau gak enak hatiπ€"
"Mesti ada yang nyamperin tuh!"
"Gua tau siapa yang harusnya ...ππ€ππΏ♂️"
Sampai disitu, Ince menahan suapan nasi. Wajahnya berubah diam. Dan menekal tombol matikan screen.
"Kenapa mami cayang?"
"Nggak. Nggak apa-apa Om." Ince melanjutkan makan sahur....
[4/6, 4:43 PM] Hanif AM Arisa: Sore ini Buyuang mengantar "istri cayang" ke Mandau. Rumah sakit bersalin Permata Hati. Mama bilang tadi pagi sebelum berangkat, check-up USG di usia kandungan tujuh bulan. Ini sudah lewat tujuh bulan. Tak jauh dari rumah. Paling tujuh menit nyampe. Dari jalan besar belok kiri di simpang Pokok Jengkol. Lalu dua kali ngegas mobil, tiba di tujuan.
Check-up ke dua kalinya ini. Yang pertama dulu, ketika dia diantar Mama sehabis marah-marah ketahuan hamil. Kata dokternya nanti 7 bulan kita periksa lagi. Ini sekarang, diperiksa. Sehat saja semoga. Kan gak ada sakit. Gak ada goncangan perjalanan jauh melahkan.
"Cucu bapak perempuan..." ujar dokter muda tampan itu dengan penuh hormat pada Buyuang. Ondeh, apo kecek ang? Cucu waden? Si Ince coga ko bini waden mah dotor! Jan asa mangecek sajo muncuang tu!
Ah tidak! Buyuang tak bicara begitu. Dia mengangguk takzim. "Terimakasih dok..." balasnya.
Si Ince tersenyum kecut. Kasihan om Buyuang. Om ini sudah banyak korban perasaan akibat kelakuannya..
"Ini. Tak ada scrotum..." kata dokter menunjuk layar USG. Ah terserahlah. Tak mangarati waden scrotun -scroton tu doh!
[4/7, 1:05 PM] Hanif AM Arisa: Tak berapa lama, pemeriksaan selesai. Ince puas. Normal. Sehat.
Dokter dan petugas medis juga senang. Beberapa lembar kertas merah dan biru berpindah dari dompet Ince ke kasir. Buyuang Pinang diam saja. Sambil berfikir, duit segitu bisa untuk hidup dia sebulan di rumah petak kost Panam!
"Terimakasiiih ibu cantik..."kata kasir ramah senyum. Sambil menempelkan kedua telapak tangan dekat leher.
"Terimakasih juga. " Ince senyum lebar. Dan mereka beranjak ke parkiran mobil.
Begitu mobil belok ke luar, Ince berkata," Ince tau kenapa om rada diam sejak tadi"
Buyuang tergalenjek. Menoleh sebentar. Lalu kembali menyetir dengan hati-hati.
"Karena dokter bilang cucu Om sehat saja kan?"
Buyuang kembali menoleh. Senyum mesem. Kembali serius nyetir.
"Kita singgah di pasar beduk. Ntar kita beli jajjan kesukaan Om, biar gak cemberut!"
Buyung kembali menoleh. Disertai tangan kirinya memberikan cubitan kecil di pipi Ince.
Selang beberapa menit, sampai di pertigaan yang rame jualan takjil. Makanan buat buka terhidang beraneka ragam.
"Sini. Kawanin Ince memilih yang Om suka. Matikan aja mobilnya!"
"Lho. Gak risih ntar dilihat temanmu?"
"Sekarang gak. Gak lagi. Emang begini kenyataannya. Om senang sarikayo dan surabi kan?"
Buyuang Pinang muncul pula bagaknya. Dia gandeng tangan Ince ke keramaian pasar beduk...
[4/7, 5:17 PM] Hanif AM Arisa: Kue sus renyah kamek: sebungkus. Surabi; sebungkus juga, isi 10 buah. Kuahnya dibungkus terpisah. Ada pie yang isinya selusin sekotak, lanjut! Goreng pisang raja, sebungkus. He, ada bongko? Adonan telur kuah aren, enak pasti! Bungkus lagi.
"Kebanyakan mami cayang. Ntar mubazir. Papa mama juga gak doyan"
Ince senyum aja. Lalu dia bisikkam ke telingan Buyuang.
"Pengen ngasih bik Inah lagi..."
Buyuang surprais. Dia tatap Ince nanap. Ince tenang aja. Keindahan klasikal saat rona wajah bik Inah kemarin, menggoda hatinya.....
[4/7, 8:23 PM] Hanif AM Arisa: Buyuang penasaran terus. Tulus gak sih 'istri'nya?
Di mobil sebelum pulang, Buyuang menggoda.
"Om surprais bana. Mungkin bawaan bayi yang bakal lahir. Akan jadi orang baik dan disayang masyarakat. Maka bundanya merasa nikmat bersedekah.."
Ince menunduk. Tersenyum.
"Ntar Om foto dan kita upload di group!"
"Tidak om!"
"Kenapa?"
"Kata om kita mesti ikhlas. Bukan untuk diumbar di group"
Buyuang diam. Mengangguk-angguk. Remaja cantik di jok sebelah kirinya bertransformasi jadi calon ibu yang belajar menjadi orang baik. Alhamdulillah..
[4/8, 12:53 PM] Hanif AM Arisa: Mobil masuk garasi. Tak ada innova Papa. Belum pulang tentunya.
Terdengar pintu pagar ditutup. Bik Inah pasti. Ince segera menyisihkan kue untuk bik Inah.
"Sudah kelar ke dokternya ya Neng Ince. Semoga sehat.." Bik Inah mendekat. Di meja dapur. Sambil menenteng kersekan berisi buah mangga dan jambu biji. "Ini untuk Non Ince. Pohonnya di halaman bibik di rumah. Kebetulan berbuah...."
Ince menghentikan memindahkan kue. Dia memandang ke kantong yang diberikan bik Inah. Alamak. Mangga hijau menguning. Dua buah dan besar memanjang. Lalu buah jambu biji kuning mengkilap. Wangi.
"Bik Inah. Kok repot-repot sih?"
"Nggak repot kok Non. Memang udah rezkinya Non kali.."
"Ini juga Ince lagi masukkan kue ke kotak untuk Bibik. Bawa balik ya.."
"Aduh Non. Kemarin juga sudah dikasih. Sekarang lagi...semoga Non tambah sehat tambah sugih!"
"Makasih Bik. Ini buat buka. Ada surabi juga"
Bik Inah membungkukkan badan menerima. Dan memegang tangan Non Ince dengan jemarinya yang keriput. Bik Inah bahkan mencium tangan Non Ince. Dia tersenyum. Tersenyum lebar. Senang sekali. Dalam senyumnya, sudut matanya berair...
[4/8, 10:23 PM] Hanif AM Arisa: Kelegaan sehabis memberi bik Inah membuat dada terasa lapang. Buka puasa nikmat indah. Ince mulai berfikir, om Buyung ini siapa sesungguhnya? Adakah sekedar kepepet duit lalu merendahkan harga dirinya untuk bersedia sebagai suami penutub aib gadis 'kecelakaan"?
Ketika om Buyung rebahan di kasur selesai tarawiah, Ince bertanya .
"Jadi sopir truk itu enak ya Om?"
Buyuang menoleh.
"Enak gak enak. Dulu orientasi hidup kan sebatas mencari duit. Kadang banyak, enak. Kadang sepi, gak enak"
Diam sebentar.
"Kenapa om berhenti nyopir?"
"Ya karena sudah waktunya berhenti. Mata mulai tak tahan bergadang. Sinar lampu terasa tajam. "
"Foto di dinding kamar di Panan itu, anak Om?"
"Iya."
"Dimana sekarang? Siapa namanya?"
"Di Malaysia. Dibawa suaminya. Namanya Ita."
"Bagus ya namanya.."
"Zaman om remaja dulu, Ita itu nama bintang film. Ita Mustafa"
"Mamanya Ita dimana?"
"Tidak tau. Pergi bersama suaminya?"
"Om dikhianati?"
"Iya. Tapi ada salah om juga. Tak mampu belikan rumah"
"Kan bisa ngontrak?"
"Panjang ceritanya Mami Cayang.... dia gadis sederhana berambut panjang sampai pinggang. Orang tuanya transmigrasi ke Lampung. Dia putus sekolah dan menjadi pelayan rumah makan. Om sering singgah istirahat dan tertarik. Dulu dia bersedia ikut om dan tegar dengan hidup sederhana. Setelah lahir anak, dia mulai minta perhiasan mas dan rumah sendiri. Om sudah berupaya tapi belum berhasil. Dan suaminya yang sekarang membawanya pergi. Tak tau apa sudah kaya raya atau tetap seperti sediakala."
"Lalu om patah arang?"
"Awalnya iya. Mental om tertolong karena diajak rombongan pengajian yang sederhana. Sekedar ngajak shalat lima waktu. Lalu diiringi tausiyah. Dan ditanamkan semangat bekerja dalam ridha Tuhan."
"Lalu om berdagang?"
"Iya. Hasil pertanian dari kampung dibawa ke Pekanbaru."
"Kenapa mau menjadi suami penutup malu? Semata duit?"
Buyung terdiam. Lalu menjawab, "Salah satunya iya. Namun juga karena ingin bermanfaat kepada orang lain"
Giliran Ince yang terdiam.
"Om mencari pahala?"
"Dulu om berdagang dengan Tuhan. Hitung-hitungan pahala. Tapi seorang ustadz bertanya sama Om, sebanyak apa pahala agar seimbang dengan rahmat kasih sayang ridha Allah? Om tak mampu menjawab."
Ince diam. Buyuang juga.
"Agama itu berat ya Om....?"
"Iya. Gunung yg tegar saja menolak."
"Kenapa harus ada neraka ya Om?"
Buyuang terdiam. Pertanyaan itu tak dia duga datangnya.
[4/9, 6:06 AM] Hanif AM Arisa: "Aduh. Itu pertanyaan berat. Orang-orang Universitas mungkin yang bisa jawab. Kita-kita ini paling cuma bisa nyari di gugel"
"Iya Om? Ayo coba. Kita gugling"
Sepi sejenak. Jemari mencoba mengetik "kenapa Tuhan membuat neraka". Lalu klik.
Nah!
"Ini ada. Neraka dibuat untuk orang-orang yang tak hendak masuk syurga."
"Iya ya?"
"Jadi mungkin manual dasarnya Tuhan menggiring ke syurga. Namun ada yang tak mau"
"Mengapa ada yang tak mau? Mengapa Tuhan tak membuat semua jadi mau? Kan Beliau Maha Mampu?"
Diam lagi. Buyung dulu waktu seumur Ince tak pernah bertanya sebegitu. Mencoba berfikir. Sudah beberapa menit. Tak ada jawaban. Sampai akhirnya Buyuang meresa itu di luar kemampuannya. Bagi semut kecil memikirkan kapal terbang tempat dia tersangkut.
"Kita teramat kecil untuk menjawab prilaku Yang Maha Kuasa Mami Cayang. Kita ini bagai dua ekor semut yang menumpang di kapal induk raksasa. Lalu kita bertanya mengapa lantai berguyang. Mengapa ada asap di cerobonv tinggi. Mengapa kadang ada bunyi memekik. Kita ini makhluk kecil yang diberi kesempatan hidup dan memilih. Ini sajapun, kita sudah mesti syukuri..." suara Buyuang pelan. Ince termenung. Ya. Dia ini siapa di depan Maha Pencipta Alam? Noktah kecil di rumah Papa di Duri. Duri ini titik kecil di Sumatra. Sumatra hanyalah daratan kecil di muka bumi. Bumi pun satelit kecil dari matahari. Matahari pun benda kecil di antara ribuan bintang. Jarak antar bintar ribuan tahun jalan cahaya. Lalu hendak memikirkan Yang Mencipta?"
Tiba-tiba Ince mematikan tivi. Pindah rebahan dekat Om Buyung.
Dan dari mulutnya keluar kalimat," kita ini entah siapa di hadapan Tuhan ya Om....."
Buyuang diam. Memandang pipi dan hidung Ince. Lalu meletakkan tangan di ubun-ubun istrinya.
"Iya." Buyuang menjawab pelan.
"Udah. Usah difikir yanh diluar kuasa kita"
"Iya Om. Dibanding telinga kucing aja kita kalah. Ketimbang indra kelelawar saja kita rendah, begitu pernah guru biologi Ince bilang. Kita ini makhluk kecil...."
Buyuang mengusap-usap kepala istrinya. Hingga kedua makhluk kecil itu tertidur lelap. Zzzz...zzzzz...zzzz
[4/9, 10:19 AM] Hanif AM Arisa: Minggu pagi. Buyuang sudah selesai mandi. Menyisir rambut. Menyetel audio speaker. Lagu lembut. Saxophone. Diseling dentuman bass yang empuk. Matahari memancarkan sinar masuk dari lobang ventilasi. Membuat motif terang di lantai dan di kasur Ince yang terlelap.
Buyuang berjalan ke dekat jendela. Menyibak sedikit gordeyn. Dari lantai 2 terlihat papa Ince sedang menyemprot mobil dengan slang air. Buih sabun cuci mengalir ke got kecil pinggir taman. Papa asyik dengan celana pendek dan kaos putih. Puncak kepalanya yanv botak, terpantau jelas dari ketinggian kamar Ince.
Gak enak ya. Mertua nyucu mobil terus kita santai di kamar atas. Maka Buyuang turun ke bawah. Menyingsingkan kaki celana. Menekan alarm Ayla lalu membuka pintu. Mengambil air seember. Ikut nyuci mobil. Gosok-gosok velg dan bumper.
Papa menoleh. Lalu senyum.
"Sudah bangun Uda Buyung? "
"Sudah Papa"
"Gak usah repot atuh. Biar saya yang cuci. Mumpung minggu lubur..."
"Ah ndak apo-apo Papa. Saya ndak ada kerja juga. Perintang-rintang puasa"
"Perintang-rintang itu apa?"
"Ya..kerja-kerja sambilan, biar supaya lupa jika kita sedang puasa."
"Ooo..gitu ya. Kalo sore namanya ngabuburit. Eh gimana cek-ap cucu Papa kemarin?"
"Bagus Papa. Sehat. Kata dokter tak scrotun. Jadi , perempuan gitu.."
"Syukurlah. ..."
Tiba-tiba hape Papa Ince berdering. Ada panggilan. Dia beranjak ke teras. Bicara sambil tangan kanan bergerak-gerak dan tangan kiri pegang hape.
Buyuang mengambil alih melap Innova dan mencuci bersih Ayla. Sigap. Kerjaan mobil udah mainan Buyuang sejak bujangan.
[4/9, 9:02 PM] Hanif AM Arisa: Begitu selesai Buyuang puas. Dua-duanya mengkilap. Lalu ia balik ke kamar atas. Istirahat.
Buyuang akan membuka pintu kamar tapi duluan dibukakan Ince. Wanita perut besar itu tersenyum.
"Om nyuci mobil bareng Papa?"
"Iya. Diintip dari atas ya?" Buyuang senyum juga.
"Iya. Senang lihat Om kompak ama Papa"
Buyuang makin lebar senyumnya. Dia tau, anak perempuan sangat sayang dengan bapak. Dia sudah membuktikannya. Ita ditinggal maknya sehabis masa menyusui. Sampai remaja ia besarkan sendiri. Berpindah dari Lampung ke Jakarta. Terus ke Tangerang. Terus pulang ke Payakumbuh. Terakhir di Pekanbaru. Untuk kemudian menikah dengan orang Maninjau bekerja sebagai tukang kayu. Nyebrang selat Malaka dan lama tak ada kabar. Imigran gelap.
Namun walau sudah bersuami, Ita tetap terjaga dengan baik di relung hatinya. Anak yang terkadang merengek karena matanya kemasukan debu. Lalu Buyuang meniup mata Ita pelan-pelan.
Pernah juga sakit demam panas tinggi tak bergerak. Buyuang sudah cemas alang kepalang. Dia goncang-goncang kepala Ita. Dan saat kembali siuman Buyuang memeluknya erat-erat. Saat begitu, kadang muncul benci pada maknya. Tapi dia usir rasa itu cepat-cepat.
"Ince pasti sayang sama Papa kan?"
"Pasti Om!"
"Kenapa?"
"Papa itu tak pernah marah. Tak pernah menolak menggeleng. Tapi mama sebaliknya. Mama menakutkan. Kadang malah Papa yang meredakan Mama, udah Mam, sawios, ntar juga ngerti dianya, bela Papa".
Buyuang senyum.
"Kenapa om senyum? Anak om yang di Malaysia perempuan juga kan?"
"Iya. Dia benteng nurani om yang terakhir!"
"Di mana di Malaysia Om. Ki El? Johor?"
"Nah itu yang Om tak tau. Dia pendatang haram. Menghindar memakai talipun bimbit"
Ince berfikir sejenak. Lalu berkata," nama panjangnya siapa Om? Coba kita cari di efbi atau gugel?"
[4/10, 5:38 AM] Hanif AM Arisa: "Ita Mustafa!"
"Ok. Ita Mustafa.."
Klik. Muncul informasi tentang bintang film jadul. Kehidupannya. Rumahnya. Duh!
Coba di FB. Klik....
Muncul beberapa. Ada yang dari Padang. Ada juga dari Jawa. Tak satupun profilnya anak Om Buyung.
"Coba kita masukkan Ita Mustafa bin Syariman Buyung. Orang Malaysia sukan tulis nama lengkap nama bapaknya.."
Klik... gak ada juga. Kemampuan fb kita sepertinya tak menjangkau wilayah Malaysia. Sayang sekali...
"Barusan om cerita apa sama Papa ya Om?"
"Ditanyakannya apakah cucu Papa sehat saat periksa kemarin"
"Terus Om bilang apa?"
"Sehat Pa. Gak ada scrotun. Perempuan! Beliau senang".
"Scrotum Om, bukan scrotun."
"O ya? Apaan sih itu?"
"Bahasa biologi. Yang suka diplesetkan orang-orang lato-lato itu!"
"Hep pompong! Itu ruponyo".
Imce dan Om Buyung senyum lebar.
"Cling!" Hape om Buyung ada notifikasi masuk. Buyuang segera cek. Pesan whatsapp. Dari Rizal di kampung. Segera dibaca," Yung. Azman pulamg kampuang. Katonyo sarobok jo Ita waktu pilihan raya tahun lalu."
Ya Tuhan! Ya Allah! Ya Rab!! Buyuang memeluk hape nya. Ince menoleh. "Apaan Om?"
"Lihat mami cayang! Pesan masuk ini!"
Ince meraih hp Buyuang. Membaca. Tersenyum. Surprais. Buyuang melompat mendekap Ince erat-erat. Mungkin dia membayangkan anaknya Ita!
Ita memang tak sejelita Ince. Ia gadis biasa. Ikut ayahnya merantau sejak kecil. Bahkan pernah ikut truk jalan jauh. Sekolahnya pindah-pindah. Namun entah kenapa ia tumbuh jadi remaja baik. Baca tulis arabnya ok. Ngajinya juga ok. Jika dia membaca Quran setelah shalat subuh saat Buyuang malah masih kelelahan tidur, suaranya serasa menyiram kalbu. Mengalur dari paru-paru ke serambi jantung kanan, mengalir ke bilik kanan dan berpindah ke serambi kiri. Memuara ke bilik kiri dan merayap lembut ke seluruh tubuh. Maaf, ketika barusan berangkat ke Malaysia, Buyuang berlari ke balik batang pisang belakang bedeng kost dan menangis sejadi-jadinya.
Dan kini jika Ita sama suaminya diketahui alamatnya oleh Azman yang juga merantau ke Malaysia, rasanya dunia betubah cerah. Matahari bersinar untuk dia. Tak mengharap kiriman uang atau pakaian, tapi sudah tau dimana rimba nya itu sudah cukup. Sehat bahagia dsngan suami dan anak-anaknya.
"Terus Om akan ke Malaysia dan meninggalkan Ince?" tiba-tiba Ince bertanya. Dengan nada rada sumbang. Buyuang terdiam. Memandang kedua mata remaja hamil 8 bulan ini. Dengan hati terbelah.
"Om cuma gembira sudah ada kabar baik. Kenyataannya kan Om disini sama Ince. Ya kan?"
Ince menunduk. Perutnya besar. Ditemani om Buyuang beberapa bulan ini cukup membuat ia tentram.
"Bukankah om sudah berjanji tertulis mendampingi bayi sampai hadir dan mengenak dunia?" Buyuang merengkuh pundak Ince. Dan kedua makhluk kecil itu memadukan kasih di batas shaum.
Ince sudah tidur siang. Tapi Buyuang tak mengantuk. Fikirannya ke Ita. "Zal. Tolong tanyoan ka Azman nomor talepon Ita atau Sawir lakinyo" Buyuang menulis chat WA. Lalu mengirim ke Rizal.
Lama Buyuang menunggu. Tak ada balasan. Bahkan kalimat yang dia kirimpun belung tercentang warna biru. Apa Rizal sedang di kebun dekat hutan? Atau tidur puasa? Entahlah.
Maka iapun akhirnya ikut tiduran di sebelah Ince. Sementara tivi hidup terus tak ada yang menonton.
Menjelang maghrib baru ada balasan."Jadih Yuang. Beko sarobok tarawiah di masajik ambo sigi."
Buyuang senang hatinya. Respon cepat dia berikan. Emoji amputangan...π
Beli takjil sore, Buyuang berseri wajahnya. Nanti malam tentu Rizal bertemu Azman. Dan mengirim nomor talepon Ita. Maka bibirnya mendesiskan zikir Subhanallah walhamdulillah sambil nyopir. Dia temani Ince beli makanan sepuas hati. Bungkus untuk bik Inah juga. Dan lidahnya berzikir, subhanallah walhamdulillah. Bagai nasyid di dengungkan.
"Ahai. Ada orang lagi ceria. " Ince betucap sambil tersenyum. Saat mobil kembali menuju pulang. Buyuang ngerti maksud arah pembicaraan Ince. Dia tersenyum.
"Ahai. Ada orang lagi ceria juga" balas Buyuang.
"Ceria apa?" tanya Ince.
"Ceria bakal punya bayi perempuan. Ceria akan berbagi makanan juga" jawab Buyuang. Ince tersipu. Lengan Buyuang kena cubitan kecil...
Sehabis tarawiah Buyuang bolak balik melihat HP. Menunggu kabar dari Rizal. Setengah jam kemudian, betul ada pesan masuk. Betul! Dari Rizal. "Yuang. Ko nomor minantu angku." Lalu diikuti notasi kiriman kontak baru. Dimulai kode 060...sampai nomor terakhir. Buyuang berdebar. Cepat dia simpan. Tanda gambar telepon di sudut kanan atas segra dia pencet; menghubungi Rizal.
"Assalamu'alaikum pak supir!" Terdengar suara Rizal. Buyuang langsung ketawa.
"Hoi encik Rizal! Mokasih bona den. Lah bakirim nomor paja" "Si Azman maubuangi tadi ka kawan di Malaysia. Lai nyo kirim. Cubolah kontak. Lai kolah nomor anak angku tuh, atau nomor Mahathir Mohammad nan nyo kirim!" "Ha ha ha jadih. Sakali lai, tarimokasih. Alah. Ko sadang di maa angku ko?"
"Di laman masajik"
"Pulanglah lai. Siso kolak tadi kan lai juo! " "He he jadih. " "Elok-elok di jalan. Ringgit di saku-saku sarawa tu disolang kawan biko!" "Ha ha assalamualaikum!" "Alaikumsalam!"
Buyuang tak sabar mengontak. Akan dia panggil atau chat saja? Panggilan luar negri jangan-jangan menyedot pulsa. Maka Buyuang menulis chat saja.
"Assalamualaikum ww. Apa betul ini nomor ananda Sawir Ita? Ini dari bapak. Syariman Buyung". Menunggu tak sampai semenit, HP Buyuang berbunyi. Nada panggil. Tentu Buyuang langsung geser icon telepon hijau.
"Assalamu'alaikum pak. Iko sawir. Baa kaba apak?"
Bergetar hape dalam genggaman Buyuang.
"Alaikumsalam nak. Sojuak hati apak mandonga suaro Sawir. Baa kalian nak. Lai elok-elok sajo?"
"Alhamdulillah pak. Uda Azman cako mahubungi, katonyo nomor dikirim ka Pokanbaru. Mooh yo Pak. Lamo kami manyuruak di rantau. Kini alah bisa komunikasi. Lah baKTP Malaysia kami pak. "
"Alhamdulillah. Tianlah. Ko kini di maa kalian ko?"
"Di Bangi pak. Indak jauah dari KL. Kami karojo di Penginapan urang Malaysia keturunan Pakistan. Nyo lai elok. Den bagian pamaliharoan bangunan. Ita karojo manyosah baju, laundry." "Alhamdulillah nak" Lalu Buyuang mendengar suara perempuan kecil di ujung sana."Kakak sini sekejap nak. Ini atuk kat kampong nak cakap!" Terdengar Sawir memanggil. Lalu seperti HP berpindah tangan. "Apaaak..." suara Ita. Seperti tertahan.
Buyuang kelu. Matanya tiba-tiba mengalirkan air. Deras.
"Naaak. Itaaa..." Tak tau yang akan disampaikan Buyuang. Dia pindah ke kasur dan telungkup.
"Baa kau nak. Lai siat ajo?"
"Lai pak. Nde Pak. Lah babagai-bagai nan tibo ka kami Pak. Mondok-mondok dari askar polis. Kini alhamdulillah lah legal. Lah jadi urang Malaysia kami pak...." Buyuang tau persis suara Ita. Kapan dia menahan perasaan. Kapan dia terpancar tangis. Betapa tidak; sejak umur nol bulan dalam kandungan, dia jaga dan besarkan!
Pembicaraan via telepon itu tak lama. Tentulah Sawir segan sama majikannya untuk jeda selain menyedot pulsa. Tapi sudah memuaskan hati Buyuang Pinang. Serasa bertambah semangat hidupnya. Berapakah harga tiket pesawat Pekanbaru ke KL? Atau terbang ke Batam dan nyebrang ke Johor Bahru? Di tabungan BRI dia ada 5 juta. DP dari mama Ince bersedia menikahi Ince sampai cucunya lahir. Jika sudah tiga bulan, sehat saja tu bayi, dia bisa balik ke Panam dan akan diberi 5 juta lagi. Cukup untuk ke Malaysia kan? Buyuang telungkup di kasur, dan menarok bantal di atas kuduknya sambil membayangkan pergi ke warung membelikan Siti lontong sayur, hal mana sering dia lakukan dulu pada Ita kecil. Ita itu betul-betul dijaga Tuhan. Kadang dia tak balik sehari dua hari. Pengurus masjid yang menjaganya. Sekalian Ita diajar Iqra dan tahsin. Pulang nyopir kadang capeknya bukan main. Tapi jika terpandang wajah Ita senyum menyambutnya, hilang semua lelah...
Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Ince masuk. Mungkin habis ngobrol sama mama papanya di bawah.
"He he tidur telungkup didempet bantal. Ngapain tuh?"
Buyuang cepat membalik badan. Tersenyum malu.
"Dari bawah?"
"Ho-oh"
"Mamam lagi ya? Apa nambah kolang kaling?"
"Ngemil. Habis dinasehati Mama"
Ince duduk di pinggir difan.
"Dinasehati apo?"
"Disuruh ngepel pagi sore. Atau olahraga ringan untuk otot pinggul"
"Oo...itu sepaya tak susah saat melahirkan. Om tau!"
"Bener!"
"Lalu mau ngepel lantai besok? "
"Lantai kamar kita aja ya Om"
"Iya lah. He he sambil nolong bik Inah"
"Apa boleh buat. Daripada melahirkan susah. Mana katanya sakit bukan main.."
"Suai! Om bisa mbantu malam nanti mengolahragakan otot Mami.."
"Maksud Om?"
"Ah. Nggak. Becanda..." Buyuang kembali telungkup. Ke balik bantal.
Dan Ince memukulkan bantal ke kuduk Buyuang. Sambil tersenyum lebar.
Beneran. Besok paginya setelah shalat subuh Inca tak tidur lagi. Dia "marepok" mencongkong di keramik lantai. Lalu menyeka dengan kain pel. Ke kiri dan ke kanan. Otot dan urat pinggulnya meregang. Berpindah dari pojok sana ke pojok sini. Buyuang sebenarnya sudah mandi sebelum subuh. Tapi melihat Ince mengepel lantai, ia ikut menolong. Bagian altar luar kamar. Untuk memberikan perasaan "tak sendirian" pada Ince. Sekejap, aktifitas mengepel lantai itu selesai. Belum capek!
"Ke taman yok Om"
"Ngepel di taman?"
"Ya enggaklah. Aerobik sambil meregang otot. Lalu mengendorkannya. Menghirup udara pagi"
"Ayok!"
Mereka turun ke halaman bawah. Mama Papa sepertinya juga sudah bangun. Duduk di depan tivi.
Tentu aerobik yang ringan saja. Bukan yang lompat-lompat. Satu, dua, tiga...empat. Satu, dua, tiga......empat!
Buyuang menemani. Satu, dua, tiga....empat! Tangan ke atas, ke depan dan ke bawah. Hirup nafas...husss.....
"Sayuuuur.....Sayur tantee...." pedagang glondongan sayur mentah, ikan dan bumbu masak lewat. Pake motor. Penuh keranjang boncengan. Langganan Mama tiap pagi.
Mama langsung keluar. Memilih bayam, tomat, cabe dan entah apa lagi.
"Bayam petik ni Tante. Lebih murah. Rasanya medok empuk. Daunnya lebar." Pedagang menawarkan bayamnya. Ince tertarik. Biasanya makan bayam cabutan yang ada akarnya. Ini bayam petik lebih terlihat subur.
"Yang petikan enak ya Bang?"
""Selera saya mah enakan yang petikan Neng. Lembut. Orang nenek dan mak zaman dulu makannya ini. Belon ada yang cabutan pake akar!"
"Coba deh Mam. Kali aja enak!"
"Ok. Coba seikat Bang. Berapaan?"
"Murah Tante. Tigarebuan! Yang cabutan malah opatrebu!"
"Ya. Coba. Si Ince penasaran nih!"
Si Abang memasukkan ke kantong belanjaan Mama.
Buyuang ikut mendekat.
"Laris Bang? "
"Yaa rezeki puasa Om"
"Pulang kemana?"
"Ni di desa pinggiran belakang"
"Merantau pasti"
"Iya Om. Saya dari Kuningan"
"Oh. Jualan sampai puasa habis? Pulang lebaran?"
"Pengennya pulang Om. Gak tau ada bus atau enggak!"
"Kalo gak ada bus?"
"Nekat pake motor ini wae Om. He he.."
"Beneran berani?"
"Berani Om! Mudik itu yang penting sabar di kendaraan. Tong tergesa-gesa. Pokoknya anteng aja mah!"
Mama lalu membayar belanjaan. Menaroknya di dapur untuk dimasak bik Inah. Ince dan Buyuang kembali ke taman, senam ringan.
Abang Sayur melanjutkan dagangannya,"Sayuuuur....."
Ince dipindah ke difan khusus. Ada penyangga pinggul pinggang dan kepala. Ada selonjoran kaki.
Dan akhirnya dokter datang. Aneh, ketika dokter masuk, dan mulai memeriksa, sakit terasa agak reda.
Maqom dokter memang ptofesional. Dia tepat memperkirakan waktu akan keluar. Dengan cekatan ia membimbing menuntun bayi untuk keluar. Ince sampai di titik pasrah. Terserah engkaulah Tuhan. Apa yang Engkau mau, .....
"Ngedan Bu. Dorong. Lagi...!" Dokter memegang perut. Lalu kepala bayi nongol. Sayang seperti tertahan.
Dokter melihat jam. Pukul 3 sore. Ritme biologis segera turun menghadapi senja. Sementara kepala dan rambut masih susah maju.
Dokter meminta jarum anestesi. Perawat memberi. Cus! Lalu menunggu sejenak. Tangan dokter meminta gunting. Perawat kembali mengulurkan. Dan dengan percaya diri, sisi belakang jalan keluar digunting dokter. Darah merah melompat keluar. Ince mengerang. Mengerang dan mengedan. Kepala menyembul. Lalu wajah. Lalu tangan dekat mulut. Badan. Dan dokter menekan sisi jalan keluar. Darah ditampung dengan wadah. Menggenang.
Perawat menyangga bayi dengan tangannya. Lalu menarik pelan. Sedikit lagi....sedikit lagi. Dan.. "Heaaak.." bayi mungil itu sampai di gendongan perawat.
Segra dibawa untuk dibersihkan.
Dokter mengoles cairan pembersih. Meminta jarum dan benang khusus. Lalu menjahit pinggir jalan keluar yang tadinya dirobek gunting.
Ince lelah. Lelah dan letih. Keringat mengalir di wajah. Badannya terasa melayang. Perih dan pedih. Lelah dan haus.
"Om. Jangan pergi. Tetaplah disini.."
Perawat selesai memandikan. Sudah dibedong kain lembug.
Lalu dibawa ke Buyung.
"Mau di iqomatkan?"
"Ya. Ya!"jawab Buyuang.
Lalu bayi mungil yang matanya tertutup itu digendong arah kiblat. Buyuang meletakkan tangan di sisi kepala.
"Allahuakbar Allaashuakbar!"
Ingatan Buyuang kembali ke Tulang Bawang Lampung. Tiga Puluhan tahun lalu. Ketika Ita ia iqomatkan.
Bayi mungil ini, kini diamanahkan Tuhan di hadapannya.
"Qodqa matissalaaa....Allahhakbar Allahuakbar. La ilaha illallaaah...." Dan Buyuang mengusap kening bayi innosen itu. Seakan melihat Ita kecil dulu...
Perawat kemudian menempatkan baby dalam incubator. Suhunya diatur rada hangat. Dan Buyuang kembali ke ruang persalinan.
Saat masuk ruang, Ince sudah didorong ke ruang perawatan. Wajahnya pucat lelah. Tapi Buyuang melihat sinar mata puas lega. Ince diberi obat untuk penyembuhan luka dan vitamin. Dia diminta istirahat. Ah. Tak dimintapun, Ince sudah hendak tidur lelap. Buyuang mengiringi difan dorongan dari belakang. Setelah berbelok, mereka masuk ke ruangan. Untunglah tempat tidur sebelah, kosong.
Setelah minum teh hangat dan bubur lauk ayam, Ince tertidur. Tak lama, Mama Papa datang. Membawa persalinan pakaian termasuk bedong bayi. Lengkap dengan selimut, bedak dan lainnya. Kedatangan mama papa membuat mental Buyuang kembali normal, tak cemas lagi.
Waktu berjalan. Tak terasa sudah semalam. Paginya Ince bangun dan ditatah ke toilet. Sakitnya sudah berkurang. Namun tetap harus hati-hati menjaga jahitan kemarin tak meregang. Maaf, buang air kecil berdiri dituntun Buyuang.
Begitu kembali ke kamar, sarapan. Dan Ince melihat wajah Buyuang nan lusuh lelah.
"Om. Pengen lihat dan nggendong bayi..." pintanya.
Buyuang mengangguk. Lalu beranjak ke meja perawat minta bayi dibawa ke kamar.
Perawat membantu mengambil ke incubator.
"Cibak cibung cantiik. Cibak cibung cantiiik. Sini sayang. Mama mau gendong. Cibak cibung cantiik...." Perawat seperti sudah piawai menangani baby.
Ince langsung senyum berseri menggendong. Dan spontanitas mendekatkan mulut payi ke glandula mamae nya. Sebuah pemandangan penuh magis kasih sayang terpandang saat bayi mulai mimik.... Tuhan Maha Besar.
Dua malam rawat inap. Hari ke 3 sudah bisa pulang. Pake innova papa. Mereka bertiga di jok tengah dan mama papa di depan.
Ibu muda 20 tahun ini menggendong bayi tidur di dekapan. Berselimut kain lembut.
"Siapa nama yang bagus ya Uda Buyung?" Papa bertanya dari depan. Buyuang tergagap. Dia belum terfikir hal itu. Kan terserah Ince saja lah kan?
Bagi Buyuang nama Ita, Emi, Imul, Eni atau apa saja tak terlalu ada bedanya.
"Kan lahir bulan puasa . Jadi bisa make Ramadani.."Mama nimbrung.
"Iya Bagus itu Mama!" Buyuang cepat menanggapi. Ketimbang mikir Hindun, Fatimah atau Anisah. Ya kan?
"Iya. Ramadani. Dikasih awalan Cerry. Ince dan SyaRiMan dipendekkan" Ince berpendapat. Lha, nama dia dibawa-bawa, Buyuang tersenyum.
"Ok. Bagus. Cerry Ramadani..." jawab Papa.
Maka nama itulah yang Buyuang bawa ke kantor urusan akte kelahiran . Berbekal surat keterangan lahir dari klinik. Petugas sipil memandang Buyuang agak lama. Mungkin ia heran. Ibunya Lince Wulan Atmaja 20 tahun, bapaknya Syariman 56 tahun.
Tapi Buyuang sudah siap mental. Sekalipun pegawai pencatat itu senyum dikulum.
"Istri muda ya Om?"katanya.
"Iya. Iya!" Buyuang menjawab. Terserah waang lah. Yang penting akte keluar!
Jangan saja waang minta buku nikah. Tak ada! Hanya surat bermatrai yang ditandatangani KUA pengganti, ketua RT dan Papa Ince.
Dan mujur. Tak ada permintaan surat nikah. Buyuang menerima akte dengan gembira. Dan membayar administrasi sesuai yang diminta. Lalu meluncur pulang dengan Ayla merah 1.2. Alhamdulillah wa syukurillah...bibirnya mengumandangkan nasyid....
Teman.
Malam-malam kehidupan Buyuang dan Ince kini dilengkapi dengan hadirnya orang ke tiga. Cerry Ramadhani.
Bukan hanya malam-malam, tapi siang malam.
Bersama Cerry waktu tak terasa berjalan. Memandikan bayi Buyuang sudah pernah. Dulu. Di Lampung. Menggendongnya jika menangis. Menimang-nimang. Sambil bernyanyi lagu yang tak jelas judul dan iramanya. Du du duuu...mm mm.. mmm...na na naaaa... Ince juga begitu. Menyusui. Mengeloni. Membelai. Ngomong-ngomong sendiri. "Mana Cerry cantik, mana Cerry cayang..? Mana tangannya..mana mulutnya... anak ciapa ini. Anak mama. Tipak tipak tipuung...tipak tipak tipuuung". Begitulah, Cerry seakan jadi mainan yang mempesona. Mengasyikkan. Terkadang di gendong neneknya di lantai bawah. Neneknya juga tak kalah "care". Jam makan. Jam mandi. Jam bobok. Nutrisi Ince. Bedong. Kaus kaki. Sarung tangan. Sampai ke topi lucu. Semua diurus nenek. Semua kehangatan itu secara naluriah diperoleh Cerry.
Semua dilakoni dengan gembira dan hangat. Bahkan kentut, pipis dan BAB nya pun jadi urusan yang menyenangkan...
Patutlah orang -orang bilang, bayi tak berdosa. Innosens. Hingganya siapapun senang sama bayi. Naluriah. Andai ada bayi merangkak di meja mendekat ke pinggir, semua spontan menyelamatkan. Dimanapun di muka dunia. Tanpa bertanya, ini bayi Yahudi, Majusi atau Nasrani.
Orangtua dan lingkungannya lah yang merubahnya menjadi berkarakter gembira, introvert dan lain nya...
"Cerry. Senyum cayang... anak siapo ini. Anak siapo yang "buruak bana" koo....."
Pagi ini Cerry digendong depan teras. Sambil menikmati cahaya matahari yang baru muncul. Dekat kembang Musaenda, Rosa dan Dahlia. Juga ada Adenium serta berbagai jenis Araceae di pinggir kolam. Ke tengah kolam ada Nelumbium dan Salvinia kecil-kecil. Beberapa ekor ikan nila merah terkadang muncul di muka kolam.
Cerry seperti menikmati terdedah sinar. Ia tidur dibalik topi penutup kepala. Ince terkadang memutar sepertiga untuk memberi efek ayun. He kenapa tubuh mami Cerry kini rada gemuk molor?
Entah. Buyuang menemani sambil duduk di teras.
"Sayuuuur. Sayur Tantee?"tukang sayur lewat. Langganan Mama.
"Ya Bang. Sayuuur!" Mama keluar. Membawa dompet.
"Ada daun katu ya Bang?"
"Ada Tante. Mau dua atau tiga ikat juga ada. Ni muda-muda!"
"Dua Bang. Sama ikan. Ikan apa ya hari ini?"
"Ada Tante. Nila. Patin. Emas. Ni ikan mas baru nyampe pagi dari Sumbar."
"Ya. Ikan mas Bang. Sekilo aja."
Katu itu kata ibu-ibu bagus buat yang lagi menyusui. Buyuang tak tau persis, apa iya apa tidak....
Yang Buyuang tertarik adalah buah polong hijau belasan buah digantung di boncengan. Ia mendekat.
"Uda Buyuang pengen apa?" tanya Mama.
"Ini serasa lemak benar jika dimakan dengan sambal Mama!" Buyuang memegang buah hijau yang kini populer karena disukai di Jepang dan Korea.
"Pete? Mangga. Tiga Bang!" pinta Mama.
Ince senyum nyengir. Dia tau om Buyuang jika di rumah makan suka minta petai mentah buat lalap.
Begitu kembali ke teras lewat depan Cerry, Ince menggoda."Makan pete gak boleh cium Cerry selama tiga hari!"
"Eee...nanti Om kumur-kumur listerin!" jawab Buyuang ketawa.
Ada-ada saja!
Buka puasa maghrib ini memang lain. Bik Inah membuat sambel yang dicampur terasi Bengkalis yang digoreng dulu sebelum diuleg. Ditetesi perasan jeruk nipis. Petai setengah tua. Tiga deret di meja atas piring melamin. Ikan mas mas beberapa ekor digoreng garing. Onde mandeh!
Selera makin menjadi-jadi , sebab papa ternyata juga doyan. Hanya saja biasanya suka dilarang mama. "Pesing toiletnya" kata Mama. Kali ini papa dapat kawan. Maka satu persatu biji hijau oval itu masuk ke mulut dengan bunyi kunyah yang merepresentasikan kenikmatan. Lauk paling enak adalah lapar. Lalap paling enak adalah petai muda! Santuang Yuang!
Buyuang bahkan tak menghiraukan suara notifikasi di HP nya ketika makan. Mungkin ada chat masuk. Nanti saja dibaca. Sehabis menggigit petai dioles sambel terasi. Ok?
Iya agak terpurangah badan sehabis makan. Tersandar. Mama dan Ince sudah ke kamar mengurusi Cerry. Buyuang dan Papa saling pandang dan saling senyum.
"Ngenah pisan euii..." celetuk Papa. "Iya. Lamak bana!" balas Buyuang.
"Manggak, istirahat dulu Uda Buyung. " papa pamit ke kamar. Buyuang mengangguk senyum. Dan begitu terduduk sendiri, Buyuang melihat HP pesan masuk.
He, dari Sawir/Ita.
"Pak. Tadi kami kirim piti sajuta untuak hari rayo. Elok-elok mamasak yo Pak. Jan tinggakan kompor "
Nah. Ita masih menganggap dia tinggal di Panam. Tempat kost mereka 7 tahun lalu. Kadang Buyuang lupa jika minyak sudah dituang ke wajan dan ikan belum dimasukkan. Ia lengah main HP di kursi teras. Tau-tau api pindah ke atas kuali panas. Untuang Ita pulang dari ngajar Iqra di mushalla. Ita teriak-teriak. "Apaaak...apiiiii... Apaaak ...kuali....!!"
Buyuang kaget dan cepat mematikan kompor . Sisa bunga api besar perlahan mengecil dia siram air. Tapi jantungnya serasa copot. Wajah pucat pasi. Onde nak, kok indak ado kau, lah bagawa karajo apak!
Kini, akankah dia bilang sudah tinggak di Duri. Akankah dia kabari punya "istri" sampai tiga bulan ke depan?
Duh! Cukuplah dia balas dengan ucapan terimakasih saja dulu ya? Nanti ada saatnya bercetita. Tentang pahitnya hidup sendiri di kost Panam....
[4/15, 12:52 PM] Hanif AM Arisa: Mau kah engkau tau teman. Tentang orang kecil di pinggiran?
Hidup dari menerima pinang terkirim di pikap. Mengumpulkannya dan menjualnya ke Babah We. Terkadang dapat untung terkadang rugi. Sementara badan bertambah tua jua. Akan menyopir mobil truk, sudah tak sanggup lagi. Mulut saja dipermanis dengan tukang kampas buah pinang atau pokat atau kadang karambie, dari Sumbar. Dalam kondisi pengangguran bertambah banyak. Jika tak kuat iman, "emus kita jadi copet tengah pekan" jadinya. Godaan narkoba datang pula. Jikok tak mau abang nyicip, nolong edarkan saja boleh juga. Abang dapat 50k satu amplop.... Bergodik kuduk Buyuang. Temannya sesama sopir bisa saja dia tawari. Tapi jika tiga bulan setelah itu ia harus meringkuk dalam sel penjara, bisa mati anjing dia di akhir hayat. Muncul pula rayuan judi online. Masang satu B atau dua B. Aplikasinya tinggal unduh. Jika mujur berduit dia. Masuk pitih ke rekening. Toh banyak ibu ibu dan anak-anak ikut main? Bini si Muncak di Bangkinang ketauan memasang itu malam-malam. Langsung dia ceraikan. Di saat harga getah cuma 5000 per kilo, sawitpun tak mahal apalagi gambir...maka judi online, markoba serta ponografilah tempat palengah-lengah orang kecil...Astaghfirullah.
[4/15, 5:53 PM] Hanif AM Arisa: Buyuang Pinang adalah satu dari ratusan juta orang kecil itu. Yang tak mengerti bagaimana bermain sandiwara tingkat atas. Yang memandang duit duaratus ribu sebagai satu karung beras plus minyak goreng, cabe, bawang, tomat dan ikan asin. Jika ada sisa ditabung untuk SPP Ita. Duit yang sama adalah seharga beberapa bungkus makanan kucing angora Tuan Besar di minimarket atau mall. Duit yang sama mungkin beberapa bungkus rokok Tuan yang mengepul di cafe gemerlap lampu saat negosiasi saat orang kecil taraweh di sajadahnya.
Saat bercerita itu datang jua. Ketika Sawir dan Ita menghubungi dengan video call malam takbiran.
Setelah saling tanya kabar dan kesehatan, Ita bertanya," Sadang di maa Apak? Di hotel? Di rumah kawan?"
"Apak di Duri, Ta. "
"Di Duri? Di rumah sia Apak?"
"Di rumah urang kayo baranak ketek. Nyo mambutuhkan pembantu manjago anak...Ince namonyo. Ko nyo Ta." Kamera HP diarahkan Buyuang ke Ince dan Cerry. Ince langsung melambaikan tangannya. Lalu berkata," Ita. Bapaknya dipinjam dulu ya?"
Ita terdiam sejenak. Firasatnya membisikkan hal yang lain ketika melihat gestur Apak dan Ince. Tapi Ita tak mau berfikir jauh. Lalu cepat membalas lambaian Ince.
"Hello Ince. Terimakasih dah membantu bapak saya. Itu anak Ince yo?"
"Iyo Uni Ita. Om Buyung baik sangat samo kami. Doa kami dari jauh Uni dan keluarga sehat sajo di rantau"
"Aamiin. Besok Hari Rayo kan?"
"Iyo Uni. InsyaAllah. Maaf lahir batin"
"Alhamdulillah. Di Malaysia besok juo Idilfitri. Samo-samo. Titip Apak yo. Kadang beliau palupo. "
"Ok Uni Ta. Daaah...."
"Daaah..assalamualaikum"...π️
[4/15, 9:16 PM] Hanif AM Arisa: Rabu 11 Juli...
Buyuang memegang Cerry di bak mandi khusus bayi. Dengan kedua telapak tangannya. Ince menyirami kaki tangan dan perut. Air hangat kuku. Lalu mengolesi sabun bayi. Paha ke lutut. Lutut ke ujung kaki. Sela paha dan sela jari. Pindah ke badan. Bahu, lengan dan jemari tangan. Wanginya merangsang hidung. Segar di dada. Lalu dengan kain lap menyapu rambut. Serta wajah. Cerry kecil senyum. Polos sekali. Buyuang kadang tak sadar ini bukan anaknya. Sebab sudah merasa kedekatan emosional sejak pertama btojol menyembul ke dunia. Tangisan pertama. Gendongan pertama. Iqomat pertama...
Namun besok tepat tiga bulan umurnya. Tatapan mata bundar jernih ini akankah terpisah darinya?
"Cerry. Besok jika om kembali ke kost Om akan rindu. Sebab kita lah terbiasa tidur bersama, main bersama, senyum bersama..." Buyuang berujar.
Ince tersentak. Sudah tiga bulan? Rasanya menjaga Cerry siang malam bersama, ikut bangun tengah malam jika mau mimik atau pengen pipis serta BAB, membuat Ince lupa surat perjanjian itu. Hingga terlompat saja ucapannya,"Om tak boleh pergi. Ini anak kita berdua...."
Tangan Ince terhenti melap Cerry. Matanya nanap melihat Buyuang. Ah, tak tau yang akan diucapkan Buyuang. Bagaimana ini? Pertempuran rasa dan logika. Memang, Cerry dia sayangi. Jika tertidur di gendongannya, sore atau malam ataupun pagi, rasanya tak ingin ia berpisah. Jika malam terbangun, dan Ince terlihat lelah, dia yang angkat dan lap serta ganti popok. Rasanya, Ince pun sudah merasa nyaman dan terlupa usia serta surat yang dibuat Papa Mama.
"Om tak kan meninggalkan kami kan?" tanya Ince. Buyuang masih tak menjawab. Pertempuran otak kanan dan kirinya masih berlangsung. Dan tiba-tiba Ince membiarkan Cerry di atas tangan Buyuang sedangkan dia bergegas turun ke lantai bawah. Terdengar ia memanggil Mama.
"Mama! Mamaaa.... om Buyuang tak boleh pulang.!"
Hari Jumat pagi KUA pengganti kembali datang bersama ketua RT. Kali ini dihadiri tetangga kiri kanan depan belakang. Dan ijab kabul kembali dilafazkan. Buyuang tak tau mau cakap apa. Hatinya haru bercampur sendu serta tersipu.
Kini giliran Buyuang untuk menelpon Ita dan menerangkan yang sebenarnya terjadi.
TAMAT.
(Banyak maaf)
No comments:
Post a Comment