Oleh : Hanifa Marisa
Senja di padang pasir tandus. Anak lelaki kecil duduk di batu cadas. Roman mukanya tampan. Tak hanya tampan, tapi indah. Untai rambut lurusnya bergoyang ringan ditiup angin. Jatuh di sela ikat kepala. Diterpa matahari jingga. Ia menatap jauh. Boleh jadi menunggu saudara-saudaranya pulang menggembalakan biri-biri. Yakup memperhatikan dari rumah. Ia takjub. Anak kecil berwajah menawan. Menawan hatinya,
Tampan umumnya adalah keserasian antara ukuran mata , hidung dan bibir. Tapi jika wajah begitu ditempati oleh kalbu yang jujur, bersih, maka cahayanya memancar ke bola mata, ke aura pipi dan kening. Itulah kini yang ada. Menakjubkan yang memandang. Senyum sendiri Yakup menikmati karunia Tuhan nan membahagiakan ini. Duabelas anaknya terdahulu, tak satupun serupa ini. Anak lelaki kecil itu, Yusuf, menoleh ke arah pintu rumah. dan Yakup cepat beranjak seakan tak mengagumi wajah putranya. MasyaAllah,...masyaAllaaaaah,…
Rombongan anak remaja terlihat tumpukan hitam dari jauh. Senja kemilau semakin jatuh. Makin lama makin kentara. Itu adalah kakak-kakaknya. Berombongan menggiring domba. Sambil bercanda ria tentunya.
Yusuf kecil manalah tau. Ia hanya berkhayal, suatu saat ikutan rombongan itu. Tiadalah ia faham, bahwa mereka berbeda ibu. Baginya , kakak-kakaknya orangnya asyik; berkisah tentang padang gembala berbatu-batu. Terkadang ada kadal, burung dan bahkan serigala bertemu. Itu sungguh menggetarkan. Menggairahkan. Membangkitkan semangat kelaki-lakian!
Yusuf keci bangkit ketika domba-domba mendekat. Beriring berjalan menuju kandang. Tangannya terentang menyapa domba dan menyentuh bulu telinganya. Tatap sayang terpancar dari mata Yusuf pada ternaknya. Dan pandang kagum terpancar untuk kakak-kakaknya yang gagah bertelanjang dada pulang magrib. Senja makin temaram. Dan mereka masuk ke rumah. Assalamualaikum ya ahlil baiiit..…
Menjelang malam mereka makan bersama. Anak-anak itu, mulai dari yang tua sampai terkecil, berkeliling duduk di ruang keluarga. Diterangi lampu obor yang tergantung di dinding. Dan seperti laiknya fitrah di keluarga manapun, anak tertua duduk paling jauh dari bapak ibu mereka, sedang Yusuf kecil duduk tawaduk dekat lutut bapaknya. Masing-masing dibagikan ibunya sebuah roti Huzb disertai ikan kuah bumbu. Yusuf kecil, hanya makan sepertiga bagian saja dari roti bapaknya. Itu sudah cukup. Makanan itu berkah bukan dari kuantitasnya, tapi dari hati nan bersyukur. Iya kan?
Sehabis makan anak lelaki kecil yang di atas Yusuf, bertanya, "Bapak, kenapa siang hari tadi masih ada bulan di langit?" Yakup menerangkan bahwa bulan pada waktu baru munculnya, memang masih tersisa di pagi hari. Ia terlihat pucat, tapi tetap bulat. Seakan memandang anak manusia dari ketinggian.
"Adik tadi meukisnya di pasir, Bapak. Bulan putih di sela daun kurma. Di lengkungnya punggung bukit....." anak leaki tertua menambahkan. Mereka tau, anak lelaki nomor 12, memang senang mengamati alam dan melukiskannya. Yusuf, terpesona dengan cerita kakak-kakaknya. Dalam gambaran fikirnya, bulan indah tersenyum di balik untaian daun kurma. Perlahan-lahan memudar. Di lengkung bukit pasir bebatuan. O, itu indah sekali, khayalnya. Memory tentang bulan di belakang daun kurma itu memenuhi kalbunya. Alangkah asyiknya jika ia juga ikut bersama saudaranya itu menggembalakan domba. Duduk di batu. Memandang ke awan. Ada bulan putih di daun kurma yang melambai. Ooo,....
Tak lagi Yusuf memperhatikan cerita selanjutnya dari saudara-saudaranya yang mentertawakan kakak nomor 10, yang tadi memarahi domba jantan, yang dianggapnya jahat. Domba itu menaikkan kedua kakinya ke punggung seekor domba betina. Ia segera memarahi domba jantan, dan memecutnya dengan ranting kayu. Kakak tertua dan kedua, tertawa terkekeh. Yakup senyum dikulum. Sedangkan Yusuf kecil, mulai mengantuk, merebahkan kepala di paha bapaknya. sambil terus membawa bulan putih di daun kurma....bismiKa, Allahumma ahyaa, wa amuut.…
Entah ada hubungannya, entah tidak; khayal tentang rembulan dan langit ditoreh daun kurma itu , akhirnya terbawa tidur. Ia mengalir dalam urat darah. Menggelitik di simpul-simpul saraf. Yusuf, terbang dalam mimpi indah. Ia seakan - akan betul betul ada di perbukitan batuan berpasir yang ada pohon kurmanya. Ada beberapa rumput liar yang survival di gurun dan pohon Conocarpus yang berbuah bulat. Yusuf, yang amat ingin ikut pergi ke alam luas dengan domba-domba yang jinak, yang bulu telinganya lembut, merasa keindahan memeluk tubuhnya. Ia terpesona. Dan ya TUhan, bukan hanya bulan putih yang ia lihat. Ada sebelas bintang, bulan dan matahari di langit biru muda. Amboooiii...cantiknya. Ini lebih berperi ketimbang yang ia khayalkan. Dan Ya Tuhan, bulan, matahari dan gemintang itu seperti punya mulut dan mata. Memandang kepadanya. Yusuf bergetar. Yusuf menggigil. Ia terpana. Ia tak dapat berkata-kata. Belum sempat ia menyadari yang ia lihat, tiba-tiba sebelas benda langit yang seakan tersenyum itu bergerak serentak, turun ke kakinya. Bulu tubuhnya berdiri. tak hanya di kuduk tapi juga di punggung, di tangan, di kaki dan di perut. Ya di seluruh tubuh. Indahnya, indahnya. Mempesona, mempesona. Lalu, benda-benda langit itu sujud ke haribaannya. Yusuf ingin memekik memanggil ibunya. Memanggil bapaknya. Melantunkan ucapan puja-puji untuk Tuhannya. Tapi bibirnya seperti kaku. Lidahnya kelu. Dalam ekstasi yang tiada pernah terbayangkan itu, ingin ia mengelus benda langit itu. Ingin ia memeluknya. Namun, tiba-tiba, ia terjaga. Benda-benda itu hilang sesuai hadirnya kesadaran. Tapi jiwanya masih tergetar. Lama Yusuf terkaku, sambal memejam-mejamkan mata. Bahkan ingin ia segera tertidur lagi dan bertemu sang rembulan dan matahari serta gemintang itu. Namun semua sudah berlalu. Ya Rabbiii,Anta jamiiil, …..
Yusuf menunggu untuk didatangi bulan dan matahari itu lagi. Ia pejamkan mata. Lama,...... lama. Ah, tak ada lagi. SEbelas bulan matahari dan bintang itu telah pergi. Padahal, jiwa Yusuf masih belum luput dari madunya pertemuan. Dan akhirnya ia duduk. Duduk sambal memeluk kedua lututnya. Memandang ke bapaknya yang nyenyak lelap. Memperhatikan wajah pulas saudara-saudaranya. Tidak. Tak ada lagi sebelas bintang bulan dan matahari. Semua sudah sirna. Yang ada adalah ia terduduk , berlinang air mata. Merasakan lkesyahduan nan terpenggal. Menunggu fajar dalam kegelisahan anak lelaki kecil yang lugu. Yang bola matanya lebih indah ketimbang bola pingpong. Yang roman mukanya tak sepadan dengan pauh dilayang. Ia mungkin seperti boneka imut yang menggemaskan setiap orang nan memandang. Yusuf kecil, engkau takkan pernah tau terjalnya cadas kehidupan. Pedihnya hari-hari yang mungkin menggayuti. Yang semua itu, mesti dilalui, dijalani, bahkan dinikmati. Wahai Tuhan, Anta Qadiir,…
Subuh mungkin masih lama. Tapi mimpi aneh barusan tetap memagut dada. Diantara kantuk dan bingung, Yusuf kembali merebahkan badan. Sesekali matanya terbuka menatap langit-langit bilik . Seakan di situ ada bulan matahari dan bintang tengah senyum. Ah, tidak. Tak ada. Lalu ia menguap. Dan akhirnya terpejam jua.
Pagi-pagi semua sibuk mandi berbersih serta sarapan. Saudara-saudaranya seperti biasa menghalau domba ke gurun luas. Nun di bukit yang melengkung, dan kurma yang daunnya melambai. Yusuf kecil masih tercenung. Ia berjalan menghampiri bapaknya dengan langkah pelan. Ingin ia ceritakan mimpi semalam. Tentang gemintang dan matahari. Serta tentang rembulan nan senyum lembut.
"Ya Abiii,...semalam nanda bermimpi aneh sekali..." Yusuf menengadah mamandang bapaknya.
"Mimpi aneh? Seperti apa...." tanya bapaknya menjongkok, persis di depan Yusuf. Yusuf memandang kedua mata bapaknya. Menyelami keteduhan kasih sayang. Membalut dalam aura batin penuh arti.
"Sebelas bintang, bulan dan matahari tersenyum dan datang ke hadapan saya. Di tengah ketakjuban, mereka seperti sujud, semuanya...."
"Yusuf!" Yakup terperanjat. Yusuf takut melihat respon bapaknya. Adakah mimpi itu bertakwil jahat?
"Abi. Apakah mimpi itu ber...."
"La'. Tidak. Itu mimpi baik. Itu isyarat Yang Maha Kuasa..." Yakup memotong tanya anaknya dan memegangi wajah Yusuf dengan kedua tangannya. Jemari empu ia usapkan di kedua belah pipi. Yusuf terpana. Bapaknya pun terhenyak.
"Demi Tuhan. Janganlah engkau ceritakan mimpimu ini pada siapapun, nak. Bahkan pada saudara-saudaramu pun!"
Yusuf terheran. Ia menatap mata bapaknya. Mencari keteguhan dalam sinar bola mata Yakup. Dan Yakup menatap penuh kasih, ...
"Naam ya Abii. Saya akan menyimpannya dengan baik!"
Yakup langsung memeluk Yusuf erat-erat. Menempatkan kepala anaknya di dadanya. Mengusap-usap ubun-ubun lelaki kecil itu dengan hati penuh perlindungan.
HIdup menyimpan rahasia itu, berat. Apalagi bagi anak kecil yang terbiasa jujur lugu. Itulah yang menimpa Yusuf. Mimpi aneh dan takwil yang membebani dari bapaknya, membuat sedikit perubahan di tingkah lakunya keseharian. Yakuppun begitu. SEjak cerita Yusuf berkenaan mimpinya melihat rembulan, matahari dan gemintang sujud, merubah rasa dan perhatian Yakup pada Yusuf ke level lebih tinggi. Tak ingin Yakup seekor nyamukpun menghisap dan menempel di kening atau ujung kakinya saat tidur. Tak rela Yakup, sebutir debu masuk ke mata Yusuf nan berbinar. Maaf, tak berkenan ia Yusuf ikut menggembala ternak ke padang pasir luas sana, di bukit yang melengkung dan daun kurma nan melambai. Rasa-rasanya, Yusuf ada di sekitar pengawasannya sajalah, setiap waktu. Kulli makaaan, kulli waqttihaaa.…
Teman, adakah yang lebih kuat instinknya ketimbang 'hati'? Hati inilah yang segera mafhum jika pasangannya mulai menjarak. Hati jugalah yang berdebar ketika pertama melihat kecocokan. Hati itu sensitive.. Ianya lurus.
Lalu , hati itu pulalah yang membisikkan pada saudara-saudara Yusuf; bapak kita telah mulai memberikan kasih sayang lebih pada saudara tiri kita Yusuf, dan kita menjadi terbiar.
"Kalian lihat bagaimana Abi memandang roman muka Yusuf? Kalian pernah merasakan itu ?" tanya kakak yang tertua, di hamparan pasir berbatu, di bukit yang melengkung, di bawah rumpun kurma. Tempat mereka biasa mengobrol sambil menunggui domba-domba makan rumput kering. Adik-adiknya terdiam dan merasakan kebenaran dalam tanya kakaknya. Putra ke empat bernama Yahuda, lalu menyela,"Betul. Bahkan jika Yusuf hendak bermain agak jauh sedikit saja dari rumah, Abi segera mencarinya. Sedangkan kita? Kita padahal anak Abi yang lebih tua, yang membantu beliau sehari-hari."
Adik-adik yang lain terbius. lalu mengangguk-angguk. Kecemburuan, rasa hasad, menyelinap di tengah padang pasir itu, di siang ini. La hawla wa la quwwata illa billah,…
Muara dari rasa iri adalah benci. Perasaan yang kemudian bergelombang menjadi amarah terpendam. Yusuf itu adalah orang lain yang muncul kemudian, dan merampas bapak dari kita semua. Yusuf itu jahat. Yusuf itu pecundang. Dan, lebih ngeri lagi,, Yusuf itu mesti diberi 'pelajaran'... Ya Rabbiiii.…
Teman, dimasa kanakmu, pernahkah engkau merasa ditatap dengan sorot tajam ? Dilirik sudut mata benci? Bahkan dalam acuhpun, engkau mafhum, orang lain sesungguhnya menolak kehadiranmu!
Bagi anak seumur Yusuf, merasakan kondisi itu, ditambah beban menyimpan rahasia takwil mimpi; tidaklah mudah. Bukankah bukan dia yang menghendaki jadi anak bungsu saat ini? BUkankah ia tak pernah tau akan bermimpi aneh dan harus menutup rapat peristiwa itu dari sesiapapun? Andai boleh memilih, ia mungkin jadi anak tertua yang bertubuh kekar, menggiring domba, menghalau serigala dan burung elang, memimpin saudara-saudara lain, dan ditakuti adik-adiknya...... Namun ini sudah semula jadi. Ini takdir yang harus ia jalani. Menghindar dari sorot sinar mata saudaranya adalah beban. Mematuhi nasehat bapaknya, itupun suatu keharusan. Yusuf kadang merasa berdiri di titian yang sempit. Kadang ingin ia membuktikan pada saudaranya, ia bukan anak manja pemalas rumahan, yang juga sanggup menggembala domba di gurun panas. Di bukit yang melengkung. Di langit berhias daun kurma nan melambai. Aduh!
Gejolak iri - bingik, dalam hati saudara Yusuf, sebenarnya menyala jika sedang di luar rumah. Saat mereka berjalan ke padang penggembalaan atau ketika duduk ngobrol di bawah rumpun batang kurma. Di rumah, mereka seperti mati kutu saja. Sebab bapak mereka, Yakup, memang tiada pernah berprilaku berlebihan. Bapak sesungguhnya orang yang baik santun. Tak pernah marah. Jika bapak tak suka, bapak akan menyampaikannya dengan kalimat nan elok. Bapak mereka, belum pernah terlihat emosional.
Yusuf pun berakhlak baik. Berada dekat Yusuf, sungguh, serasa di syurga. Tatapan matanya indah. Wajah paras mukanya, innosen. Senyumnya, memikat. Natural. Jadi memang tak ada sesuatu yang salah diantara bapak serta Yusuf. Iya kan?
Namun entahlah, ketika di jalan dan di area penggembalaan, bisikan makhluk jahat, menggoda hati mereka. "Engkau lihat bagaimana Abi membagi roti khuzb tak hanya seperempat buat Yusuf, tapi kini separo?" "Kemarin sore, setelah mandi, Abi membantu Yusuf memasangkan baju, dan Abi iseng meletakkan wajahnya di perut Yusuf, hingga Yusuf tertawa kegelian?" "O, malam tadi Abi mengantar Yusuf ke toilet luar, bagai Yusuf akan dilarikan orang saja?" "Ayah terlalu sayang sama Yusuf, dan kita seperti menjadi anak tiri!" "Yusuf baiknya ditampar saja!!" bisikan negatif itu makin brutal. "Tidak cukup ditampar, tapi dilempar!" lagi, makhluk negatif menginspirasi. Fikiran-fikiran seperti itu, membuat jantung berdenyut lebih kuat, dan wajah lebih merah dari apa adanya. Padang penggembalaan, berubah menjadi arena melepaskan caci maki, akhirnya. Perasaan benci menyala, dan entah kenapa, jika pulang, lalu terpandang wajah Yusuf, seketika sirna. Senyum Yusuf, bagai membilas semua luka.... MasyaAllah!
"Kita sedang menjadi budak penggembala, dan Pangeran Muda Gagah duduk berselonjor di istana," seorang dari kakak Yusuf merengut besoknya sambil menggiring domba. Instinktif, dia sepak pantat domba yang ada di depannya. Domba itu terlompat dan berlari ke depan. Rasain anta!
"Iya. Sebentar lagi tentu ia disuapi roti khuzb yang lezat!" yang lain menimpali. Keningnya mengkerut.
"Anak kecil pemalas. Mestinya ia diajar menggiring domba sampai ke oase di balik bukit melengkung sana!"
"Jangan-jangan ia kini tiduran di atas paha Abi!"
"Jahanam itu adik. Sebaiknya ia tak ada saja di rumah kita!"
"Na-am! Semoga ia dimakan singa siang ini!"
"Atau diinjak unta hingga mati."
"Unta siapa?"
"Terserah unta siapa saja. Atau boleh juga ia tetimpa batu besar yang menggelinding dari belakang rumah!"
"Syukurin!"
"Ha ha ha, boleh jadi kepalanya sudah tak ada karena dipatuk elang gurun nanti siang,...."
"Ha ha ha..."
"He he he.."
Puas hati mereka bergunjing sepanjang jalan. Yakup, bapak mereka adalah representasi orang tua yang berat sebelah, sementara Yusuf adalah anak kecil tampan yang merusak rezki kasihsayang orang tua ,.... Itulah konklusinya!
Teman-teman, boleh jadi kita bertanya, mungkinkah anak-anak didikan seorang nabi, saling bunuh diantara mereka? Maka jawabnya, bukan mungkin, tapi nyata! Kabil adalah putra Nabi Adam as; dan disebabkan nafsunya memilih saudara kembarannya untuk dikawini, ia bunuh Habil! Habil itu, adik dia sendiri. Adik kandung. Seibu sebapak! Di saat belum ada persaingan sumber daya alam, semua melimpah, yang ada hanya mereka sekeluarga! Nauzubillah!
JIka Allah mentakdirkan, dengan skenarioNya sendiri, apa susahnya memasukkan makhluk jahat ke hati saudara-saudara Yusuf? Maka berujarlah kakak tertua diantara mereka, sambil duduk bertelekan dua tangan ke belakang, di bebatuan gurun pasir,"Yang paling afdhal, Yusuf memang kita 'hilangkan'!"
"Besok ajak dia ikut menggembalakan domba, dan kita habisi bersama-sama di padang tandus ini!" timpal adiknya. "Ya. Tapi kakak tertua saja yang mengeksekusi!" timpal yang lain, sebab ia sungguh tak kuasa mencelakai adik nya itu, demi mengenang tatap tak berdosa mata bulat cemerlang Yusuf. Itu berat!
"Tidak! Jangan! Jangan saya!" jawab kakak tertua, sebab hati dan tangannya mungkin akan menggigil melakukan itu. Wajah seperti Yusuf akan dia bantai? Tidak! Itu pedih dan menyayat hati! Bisa-bisa, jika tak kuat hati, berubah gila! Menceracau sendiri sepanjang jalan padang pasir, penuh sesal, sambil memegang pedang runcing,.....hiii, la'; tidak!
Kakak Yusuf yang ke empat, yang akhirnya memberi ide. Ia mendongakkan kepala, setelah dari tadi memukul-mukul mata kakinya dengan pelepah tangkai buah kurma.
"Tak seorangpun dari kita yang sanggup membunuh Yusuf. Kita berkelahi dengan nurani kita sendiri. Jadi, cukuplah Yusuf kita singkirkan dari rumah, dengan membuangnya ke dalam sumur tua di seberang bukit."
"Ia tetap akan mati. Sumur itu dalam sekali. Dan jarang disinggahi orang."
"Tidak. Mungkin ia hanya akan pingsan dan siuman. Lalu musafir kafilah singgah akan mengambilnya. Orang-orang yang berdagang ke Mesir, biasa singgah di oase yang dalam itu."
"Tapi apa yang akan kita katakan pada Abi?"
Semua diam. Lalu kembali kakak nomor empat itu yang memberi ide.
"Kita bilang Yusuf dimangsa srigala, yang memang akhir-akhir ini sering bergerombol menyerang domba-domba kita!"
"Fikiran cerdas. Masuk akal. Namun kita perlu barang bukti!"
Diam lagi.
Sampai seorang dari mereka berkata.
"Semblih seekor domba kecil, lalu muncratkan darahnya ke baju dan celana Yusuf!"
"Pintar! Artinya kita membuang Yusuf ke sumur dengan tak berbaju?"
"Apa susahnya!"
"Betul juga!"
"Ya bagus itu!"
"Ah. Abi takkan membiarkan kita membawa Yusuf ke sini. Lupakanlah semua kegilaan ini!"
"He jangan cepat putus asa. Saya sebagai kakak tertua akan menyampaikan pada Abi, sudah saatnya Yusuf diajar menggembalakan ternak. Sudah saatnya Yusuf dikenalkan dengan alam tempat ia tinggal."
"Na-am. Kami akan membantu meyakinkan Abi!"
"Toyyib!"
Sore sepulang gembala, anak tertua melapor pada bapaknya,"Abi beberapa domba kita hamil lagi dan belasan anak-anak kecilnya kini semakin besar."
"Alhamdulillah, anakku" jawab Yakup. Dalam pepatah, kondisi ini disebut ' padi masak, jaguang maupieh, taranak bakambang biak'. Pertanda rezki yang diberi Tuhan, berkah!
Namun malamnya selesai makan, anak sulung berujar," Gangguan burung buas dan srigala semakin sering Abi."
"Ya, itu sudah hukum alam, jika makanan banyak, musuhnya pun akan banayk!" jawab Yakup.
"Ada baiknya dik Yusuf ikut membantu menjaga ternak Abi. Selain membimbingnya memelihara domba, juga akan membuat tubuhnya sehat kuat!"
"Betul. Kita akan sangat gembira jika dik Yusuf ikut ke gurun" jawab saudar-saudaranya yang lain.
Yusuf langsung ceria. Ia akan bermain di padang berbukit batu dengan saudara-saudaranya. sambil mengusir burung dan srigala jika datang mengganggu domba. Ia akan mengelus telinga berbulu halus domba-domba. Amboi enaknya. Ikuuuuuut.....kata batinnya, berharap izin bapaknya.
Namun Yusuf harus kecewa. Bapaknya berfikir dalam, dan merenung. Lalu berujar,"Sepertinya Yusuf belum kuat untuk mempin domba yang liar berlari. Jika disenggol, Yusuf akan jatuh dan luka. Apalagi juga sedang musim serangan anjing liar. Mereka tak hanya menyerang anak domba, tapi bisa-bisa menggigit Yusuf. Biarlah Yusuf membantu memasukkan ke kandang jika pulang, memberi air di perigi, dan membantu mengeluarkan di pagi hari"
Yusuf menahan hati. Ia tak diberi izin bapaknya. Ia segera menata hati. Qanaah dengan nasehat Abi. Khaliiis...
"KIta saudara -saudaranya, akan melindunginya Abi. Manalah mungkin kami biarkan adik kami terluka..." jawab kakaknya.
"Betul Abi. Yusuf akan gembira bermain dengan domba-domba kecil di pinggir gurun. Sambil menikmati langit biru. Menatap burung terbang berkelompok. Di antara daun kurma nan melambai-lambai," kata saudaranya yang lain. Sebelas orang kompak bersatu membela pendapat kakak - kakaknya. Yakup memandang Yusuf. Yusuf menunduk memainkan jemari. Sambil berharap,.....O, andaikan…
Yakup dapat meraba rasa hati Yusuf. Si Bungsu ini ingin ikut kakak-kakaknya. Tapi ada satu hal, yang mengkhawatirkan Yakup. Keselamatan Yusuf yang sudah diberi pertanda mimpi oleh Tuhan. Itu berat! Itu memiliki konsekuensi. Itu amanah.
Saudara-saudara Yusuf yang lain tegang menunggu. Yusuf menyerah seratus persen. Seratus satu persen bahkan!
Hanya rasa iba Yakup, yang melihat tunduk kepala Yusuf, akhirnya membuat keputusannya berubah.
"Na-am. Abi izinkan. Tapi Abi titip betul-betul; jaga adikmu baik-baik. Jangan sampai ada yang mencelakainya. Anak-anak suku lain, serempetan domba, onak duri di jalan, batu-batu tajam, hembusan pasir oleh angin atau gigitan lipan dan binatang lain..." Yakup menjawab, masgul. Suaranya berat.
"Ya Abi. Takkan kami biarkan srigala menganggunya. Eh, bukan srigala, apapun hal yang mencelakai adik kami..."
Yakup berfirasat. Tapi ia khawatir mengutarakan. Janganlah sampai ia berburuk sangka dengan alam dan takdir Tuhan. Lalu ia mengangguk. Tanpa seulas senyum.
Taukah engkau betapa sumringah Yusuf besok pagi? Ia telah merapikan rambut, memakai baju dan celana panjang, siap ke padang penggembalaan. Nuuun, jauh di kaki bukit yang melengkung, di rerumpun kurma yang daunnya melambai elok. Di bawah langit biru dan aroma padang pasir diterpa cahaya mentari. Setelah menyalami bapaknya, mereka berangkat berombongan. Yusuf diapit oleh saudara-saudaranya. Masing-masing membawa sebuah bungkusan makanan, roti khuzb dan kuah bumbu. Kakak sulungnya malah membawa pedang tajam yang menggantung di pinggang. Yusuf, sesungguhnya berkhayal, suatu saat nanti jika sudah dewasa, ia akan seperti kakaknya itu. Tak lama di perjalanan, keringat mulai membasahi wajah bahkan dada. Tapi Yusuf tak mengacuhkannya. Suara detak kaki-kaki domba, yang kadang berlompatan, sangat menarik hatinya. Sesekali ia eluskan tangan ke bulu lembut di ujung telinga sang domba. Wuuuss.…
"Yusuf, domba yang ini matanya biru!" teriak kakaknya nomor tiga. Yusuf memandang, sambil terus melangkah. Betul, bulatan sekitar biji mata domba itu , biru. Dan badannya gemuk, hamil. Yusuf melangkah lebih cepat, mendekati domba bermata biru. Nah, kesusul! Dia elus punggungnya. Domba itu membiarkan Yusuf meletakkan tangan. Entah aura apa, atau frekuensi sayang bagaimana yang ada di hati Yusuf, hingga domba pun seakan akrab dengan lelaki kecil beroman muka menawan ini.
Teman, padang penggembalaan biasa sudah tercapai. namun niat kemarin, adalah ke balik bukit melengkung, dimana ada oase sumur dalam, yang entah ada airnya atau tidak kini. Lalu, ternyata untuk mencapai lokasi itu di balik bukit melengkung, jauh juga. Terkadang kita merasa di balik bukit itu rada dekat. Namun setelah ditempuh, ternyata jauh. Ini mungkin mirip dengan pandangan kita saat merapat ke pelabuhan dengan kapal, dekat karena sudah terlihat lampu-lampu pelabuhan. Namun ternyata sudah lebih sejam, kapal belum merapat. Itulah kini yang terjadi. Sudah lelah mendaki menurun, menempuh jejak kafilah pedagang, nyatanya belum sampai jua. Di ujung kecapaian, akhirnya area itu terbentang di depan mata. Padang pasir miring, bebatuan, belasan pohon kurma, dan sumur tua di dekatnya. HIdung Yusuf sudah dipenuhi keringat. Pelipisnya juga. Nafas naik turun. Domba-dombapun segera mencari sisa-sisa rumput kering. Dan saudara-saudaranya terduduk, dengan wajah seperti aneh. Lirikan mata kakak-kakaknya kok tiba-tiba seperti api di tungku pembuatan roti di rumah? Menyala..... Ah, tak elok berprasangka. Mending istirahat dan membuka bungkusan roti khuzb!
Persediaan air minum segera habis tandas. Tak diperhitungkan tadinya akan sehaus ini. Kakak tertua, nomor dua dan ketiga serta berikutnya meneguk air dengan rakus. Lalu tersandar duduk di batuan cadas.
"Lapar!" terdengar kakak ke tujuh bicara.
"Ya. Ayok makan duluan, sambil mengawasi ternak!" terdengar jawaban.
Bagai dikomando, semuanya membuka bungkusan khuzb, roti dan kuah bumbu. Memakannya penuh selera. Bagi Yusuf ini sungguh pengalaman baru. Lahap! Makan bersama itu, indah!
Masalah baru timbul setelah roti habis dan haus mendera. Air!! Masing-masing membuka baju kepanasan, dan mengipas-ngipaskannya.
Setelah saling pandang, dan kode dengan kedipan mata, mereka sepakat memeriksa sumur dalam di rumpun kurma. Siapa tau, ada air di dalam. Tapi, sulit dilihat, belasan meter dan agak gelap. Kakak nomor tujuh, mencoba melempar kerikil kecil. Plung! Nah, mungkin ada air di dasarnya!
Tapi bagaimana mengambilnya?
"Seorang dari kita bisa masuk ke dalam dengan tali. Sambil membawa wadah minum. Tali domba jantan, kita pakai untuk disambungkan, dan seorang diantara kita masuk. Mungkin yang paling ringan badannya, Yusuf!" kata kakak sulung. Kakak yang lain semua memandang ke Yusuf. Bagi Yusuf ini tantangan. Lelaki, pantang ditantang, loe jual gua beli!
"Ana akan coba turun, tapi pegang talinya kuat-kuat....." jawab Yusuf.
"Na-am! KIta akan pegang ujung tali, dan Yusuf turun membawa wadah air. Jika sudah mau naik, tarik talinya tiga kali!" jawab kakak-kakaknya. Lalu tanpa curiga, Yusuf, mulai turun pelan-pelan. Berhati-hati, Entah ada ular, atau biawak, atau apapun di dinding berbatu ini....
Di luar sana, domba bermata biru menatap sendu.…
Yusuf mencapai dasar. Betul ada sedikit air tergenang. Ia mengambilnya dengan wadah yang dibawa. Alhamdulillah, semoga ini cukup, bisik hatinya. Toh kalau kurang, ia bisa turun lagi nanti....
Setelah wadah penuh dan ditutup, ia menggapai tali untuk turun tadi, hendak memberi tanda pada kakak-kakaknya agar menarik dari atas. Tapi, ya Tuhan, mana tali yang tadi dia pegang untuk turun?
Ia memeriksa ke atas. Terlihat terang, dan warna langit biru. Namun tak satupun kepala wajah kakaknya kelihatan, padahal tadi ramai di pinggir sumur ini.
"Kakak!" panggilnya.
Tak ada sahutan. Dia lihat lagi sekeliling, dalam temaram dasar sumur. Betul-betul tak ada tali tadi. Apa yang sudah terjadi ini? Kemana tali? Kemana kakak-kakaknya ?
"Kakaaaaak..." Yusuf memanggil lagi. Lebih keras. Suaranya bersipongang dalam dasar sumur. Tak ada kepala menjulur di atas sana. Dadanya mulai berdebar. Firasat tak baikmuncul.
Tanpa tali, mustahil ia naik ke atas. Ini curam melebihi sembilan puluh derajat.
"Kakaaaaakk...!" Yusuf berteriak. Frekuensi suaranya mulai khawatir. Sendiri dalam lubang tanah yang dalam. Rada gelap. Hiiiiii......
"Kakaaaaaaaaak. Kakaaaaaakkkkk....." Seperti berat oleh air mata. Nauzubillah.
Perlahan Yusuf sadar, ia telah ditinggal sendirian. Tali domba sudah ditarik dari atas. Kakak-kakaknya telah pergi. Pengkhianatan! Apa salah saya kak, katanya dalam hati. Dan tetiba ia berteriak,"Ummiiiiiii........" "Abiiiiiiiii............" Suaranya kembali bersipongan. Tapi, siapakah yang akan mendengar? Batu di dinding sumur? Pasir coklat temaram? Tidak, tidak satu orangpun di atas sana. Ya Tuhan,....
Di atas memang tak ada lagi orang. Sebab domba sudah digirng kakak-kakaknya ke tempat biasa mereka menggembala. Mereka meninggalkan Yusuf terkurung di dasar sumur dalam.
"Ternyata begitu mudah!" ujar kakak sulung.
"Ya. Pangeran kecil itu telah selesai. Ia habis!"
"Tapi Abi pasti marah!"
"Saya ingatkan kalian semua, jangan ada yang menceritakan sebenarnya terjadi. Kita tetap pada kesepakatan bahwa Yusuf dilarikan rombongan srigala!"
"Ya, na-am!"
"He , mana baju Yusuf tadi?"
"Ini!"
"Kita lumuri dengan darah domba. Pilih yang kecil, saya yang potong!"
"Yang itu saja kakak!"
"Oke, tangkap, bawa kesini!"
Dan leher domba kecil itu menjadi korban berikutnya dari persekongkolan mereka. Baju Yusuf memerah oleh muncratan urat darah di leher. Domba kecil menangis, lebih parau dari teriakan Yusuf di dasar sumur, belasan meter, di seberang bukit sana...…
Seperti terburu-buru, anaknya yang sulung diikuti adik-adiknya menangis menghiba dilutut Yakup.
"Adik kami ya Abiii, .....adik kamiiii"
"Apa yang sudah terjadi. Apa yang menimpa Yusuf? Mana dia?" Yakup masgul muram.
"Adik kamiii ya Abiii, adik kami yang sangat kami kasihi, dilarikan srigala. Dua rombongan,, ketika kami mengusir yang satu, rombongan lainnya merobek-robek adik kamiiiii, hu huuu huuuu."
Yakup blingsatan. Wajahnya kaku. Firasatnya akan keselamatan Yusuf, menjadi nyata. Dilarikan srigala di padang gurun tandus, dengan baju berlumuran darah, untuk ukuran anak kecil, adalah naas tak terkatakan. Tentulah sisa tulangnya juga sudah digunggung burung buas ke puncak bukit berbatu. Dagingnya tak bersisa. Tulangnya menumpuk di mulut gua batu puncak bukit cadas. Ya Allah, Ya Tuhan. Ya Allah,..Ya Tuhaaaaan.....
Lutut Yakup tiba-tiba lemas. Ia terduduk. Kedua tangan ia tutupkan ke wajah. Dari jemarinya, air mata mengalir deras. Ya Allah, Ya Tuhan, Ya Allah, Ya Tuhan.
Kematian anak, bagi orang tua, mungkin tak semua orang merasakan kepedihannya. Anak sakit keras, bolehjadi semua pernah mencoba. Pernahkah kita mendengar Vanny Vabiola meratap akan kematian anaknya dalam lantunan Anak Sarugo? Ia melulung, seakan protes pada kehendak alam. Iramanya pedih. Yakup, lebih dari itu. Sebab Yusuf, memberi tanda akan amanah kelanjutan syariah dari Yang Maha Kuasa. Dan wajah Yusuf, ...Ooo....Ya Allah, Ya Tuhan. Ya Rabbiiiiiiiii...…
Malam ini ramai di rumah Yakup dan istrinya. Tetangga semua bertakziah memberi empati, menghibur dan membawakan makanan. Semua wajah terlihat berduka. Seluruh muka tunduk menekur. Termasuk kepala semua kakak Yusuf. Sayang sekali kita tak dapat melihat sinar mata mereka, sebab semua melihat ke bawah.
Beda halnya dengan kepala kecil di dalam sumur nun di balik bukit melengkung luar sana. Kepala Yusuf justru hampir selalu mendongak ke atas. Ia sudah menghentikan tangisnya, sebab tiada berguna. Ia kini berfikir bagaimana bisa selamat dari posisi terjebak ini. Barangkali ada saja kepala yang menjulur ke bawah di atas sana, entah itu musafir atau siapapun, atau mungkin Umminya bersama Abi. Sayang, disaat gelap malam menyungkup, udara oksigen di dasar sumur menipis, masih tak satu jua yang nongol. Sunyi sepi. Tak ada srigala. Tak ada burung. Tak ada binatang apapun. Dingin. Memandang ke atas, adalah gelap langit, dan satu dua bintang. Air! Ya Yusuf lapar. dan ada air. Ia minum seteguk dua teguk. Lalu kembali mendongak ke atas. Andai cecak, atau labah-labah, tentulah ia akan merayap di batuan pasir ini ke atas sana. Tapi tidak! Ia anak lelaki kecil yang tak bisa apa-apa..... Menangis? Tidak! Itu hanya akan memerihkan dada. Menyesakkan jantung. Dan bisa mempercepat kematian! Yusuf belum mau mati. Belum. Ia ingin hidup. Ia berkhayal, bahwa matahari, rembulan dan gemintang sujud dan bermain bersamanya... Tuhan, jika ada sesedikit apapun sayangMu padaku, tolong hamba ya Tuhan, bisik hatinya. Sambil menggigit bibir. Memandang ke atas. Menangis ia tak mau,....... tidak!
Capek, lapar, takut, menyatu. Memagut diri, menghadang malam. Sungguh, dalam semua malam yang ia jalani, inilah yang paling tak terduga. Ini berbeda sangat dengan malam dulu ia bermimpi bersama bulan dan matahari. Ini mengerikan. Ini membunuh! Dan ia tak mau! Ia lalu terduduk, tak lagi menoleh ke atas. Letih….. mengantuk, lapar dan dingin. Adakah yang mau merasakan suasana tak berbaju dalam dasar sumur dan oksigen menipis? Ah, hanya orang gila atau putus asa yang mau!
Lalu mata Yusuf terpejam sendiri. Sudah tengah malam. Dalam tidur ia melihat matahari dan rembulan tersenyum. Di antara mereka, muncul makhluk bersayap putih dengan wajah bersih. "Ananda, maukah engkau ditolong Tuhan?" tanyanya.
"Bukan lagi mau, tapi dari tadi saya sudah berdo'a…" jawab Yusuf.
"Pujilah Tuhanmu, lalu berdoalah, kata makhluk putih bersih bersayap itu. Yusuf berdo'a. Komat-kamit.
"Aku ajarkan do'a ini. Bacalah. " ujar makhluk itu senyum. Yusuf mendengar dan mengkuti.
"Wahai Pencipta segala yang tercipta
Wahai Penyembuh segala yang terluka
Wahai Yang Menyertai segala kumpulan
Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan
Wahai Yang Dekat dan tidak berjauhan
Wahai Penakluk yang tak
tertaklukkan
Wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib
Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati
Wahai Yang Menghidupkan yang mati
Tiada Tuhan kecuali Engkau,
Maha Suci Engkau
Aku bermohon kepada-Mu
Yang Empunya Pujian
Wahai Pencipta langit dan bumi
Wahai Pemilik Kerajaan
Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan
Aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
Berilah jalan keluar dan
penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan
Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tidak aku duga."
Setelah itu makhluk tersebut hilang terbang. Yusuf terbangun. Cahaya fajar terlihat di atas. Keringat dingin mulai terasa di badannya. Apakah ia demam? Tidak Tuhan, saya tak mau sakit. Saya ingin keluar,...Saya ingin selamat, saya ingin memeluk ummi dan abiii….
Perlahan langit berubah terang. Ini sudah hari yang baru! Dan ia masih hidup! Terimakasih ya Tuhan, walau lapar, tapi ia masih terduduk. Termangu.... Bisakah tanah coklat berkerikil ini dimakan? Atau cukuplah dia menelan ludah berkali-kali? "Asyiiim!!!! " Yusuf bersin. Peluh dingin mulai kering. Langit berubah jadi membiru. Seteguk-duateguk air membasah di kerongkongan. Ummiiiii,,.....lapaaaarrrr,...
Tiba-tiba ada suara gaduh di atas. Entah itu seperti telapak kaki unta. Kemudian terdengar suara berbicara. Tidak jelas. Namun menghidupkan nyali!
"Abiiiiiii,........!!!" semoga itu adalah bapaknya. Berharap ada yang menjulurkan wajah. Di atas sana, di bibir sumur. Dan betul! Sebuah kepala menonjol. Melihat ke bawah. Lalu ia menelisik heran. Kemudian memanggil temannya. Kini ada dua kepala menengok ke bawah, ke arah dia.
"Tolong hambaaa,...." jeritnya.
Lelaki di atas segera menyadari, ada anak kecil di dasar sumur. Nun, di dasar yang gelap. Ia segera menurunkan timba yang dia ambil dari bungkusan di punuk unta, dan mengulurkannya ke Yusuf, perlahan. Yusuf menanti penuh harap. Ember itu berjalan perlahan ke arahnya. Begitu sampai di ubun-ubunnya, ia pegang.
"Pegang kuat-kuat nak. Kami tarik!" ujar dua lelaki di atas sana. Yusuf memegang tali. Dengan sisa tenaga yang ada. Telapak tangannya memerah. Memerah dan membiru. Sisa dingin dan entah masuk angin juga. Tapi harapan akan selamat, membuat jantungnya bergetar kencang. Tuhan menolongku, Tuhan menolongku,...desisnya. Dengan kaki bertelekan di dinding sumur, akhirnya ia teronggok di bibir sumur. Memeluk kaki lelaki tinggi besar yang menolongnya.
"Syukran ya bapak, syukran," ucapnya lemah.
Lelaki berdua itu pedagang Arab ke Mesir. Dan bahagia hatinya berlipat sebab tak hanya bisa menolong seorang anak manusia, tapi anak lelaki tampan ini bisa menjadi sumber fulus di Qahirah besoknya. Di Jazirah Arab, mendapatkan anak jalanan, adalah harta budak. Mereka bisa menjual di pasar pada yang membutuhkan. Zaman Rasul saw, Bilal adalah salah satu contoh. Budak belian dari Abu Umayyah. Sekarangpun, jika mau jujur,, budak masih ada, tapi berubah nama ,menjadi 'human trafickking'. Budak Singkawang bisa mahal di Merauke. Budak Jawa Barat bisa berharga di Batam. Begitulah struktur sosial, tak banyak berubah. Dan profil seperti anak lelaki yang diperoleh dari dasar sumur ini, mungkin tinggi harganya di Mesir. Mudah-mudahan!