Saturday, September 4, 2021

JASUKE

JASUKE

Oleh Hanifa Marisa

September 2021

 

Ketika tidur di tengah malam, terasa si bungsu pindah tidur ke dekat bapaknya. Biasanya jika dia kurang fit, atau mimpi aneh, ia selalu begitu. Menyurukkan wajah di lengan bapak. Seakan ia kembali kecil balita. Manja pada almarhum ibunya.

 

Terbangun menjelang fajar, kutengok kepala sibungsu masih menempel di lengan. Tangannya melintang di dadaku. Ia terlihat pulas. Mungkin merasa nyaman bersama bapaknya. Kualihkan tangannya pelan-pelan, lalu duduk. Dia masih pulas. Kutatap wajah lugu itu. Disela helaaan nafas teratur. Matanya terpejam. Hidung bangil. Pipi penuh karena masih remaja. Rambut mulai panjang menyentuh telinga. Ah, wajah ini mengingatkan pada ibunya.... Dan tiba-tiba ingin kucium keningnya. Entah kenapa....

 

Selesai shalat kutengadahkan tangan keTuhan. Memohon bimbingan dan kekuatan. Melirik ke si Bungsu yg kini telentang mata terpejam. Meletakkan kening di lantai. Menghiba. Ya Tuhan...

Kadang memang datang fikiran sesal di hati. Apa aku dulu terlalu keras? Terlalu tegas? Seandainya tak ada halangan itu, mungkin kini kami tersenyum bahagia melihat anak-anak berhasil studinya. Tentu dia akan berlinang air mata melihat putra wisuda. Ah saya tak mau terbawa sesal. Saya sudah kebal. Kebal! Kebaaaal..!!

Aku berhusnuzzan, semua  ini tentu seizin Tuhan. La haula wa la quwwata illa billah.

Aku harus kuat! Aku harus kuaaat!! Aku ingin melihat kedua permata ini hidup bahagia sukses dan tak mengalami apa yg menimpa bapaknya ini... Tuhan, bantu aku ya...

 

Fajar dingin. Kuusahakan memecah sepi. Mengaji...

Sejenak azan terdengar. Bersahutan dari masjid ke masjid. Si Sulung terbangun. Suara langkahnya ke kamar mandi kedengaran. Aku menarok kitab dan  menghampiri si Bungsu. Mengusap dahinya. Rambut mulai panjang. Setengah berbisik kubangunkan,"bangun ayok...udah azan...."

Ia tersentak. Lalu menggeliat. Menguap. Dan memandang sekitar. Terus, meletakkan kepalanya di pahaku. Kembali memejamkan mata.

 

Setelah shalat subuh pagi tadi saya ajak anak-anak beli sarapan. Sekalian jalan pagi. Pake celana training dan sepatu cats. Si Sulung seperti biasanya ogah-ogahan. Dia lebih suka main HP di kamar atau main game sama teman-temannya.

"Uda! Sekarang ado jualan jasuke Da. Lamak!" Si Bungsu merayu uda nya. Saya senyum saja. Biarlah dia di rumah kalau emang malas ke tukang jual bubur atau kue.

Mendengar jasuke, si Sulung cepat-cepat keluar, masih megang HP nya.

Kami jalan di trotoar. Pundak si Bungsu saya gandeng dg tangan. Udanya melangkah di belakang memencet keyboard HP.

"Jasuke samo bubua kacang padi yo Ayah!"si Bungsu tengadah ke saya.

"Iyo. Ok. Asal habis indak buliah mubazir" jawabku.

"Beko indak dimakannyo Yah. Uda sajo maabihi!" Kakaknya menyela dari belakang.

"E lamak se Uda. Indak mubazir gai do!" jawab adiknya.

"Ok. Balilah. Uda yg maabihan!" kata kakaknya lagi.

"Ayah  nasi goreang kan? Beko nyo mintaklo nasi ayah dek Uda mah!" celoteh adiknya.

"Tu kadialo nyo. Wak makan sajo samo-samo.." kataku. Dan tak berapa langkah lagi kami sampai.

Mak yg jualan sudah kenal dg anak-anak. Dari jauh dia dah senyum.

"Pai tantara kaduonyo pagiko? Apo nan ka Amai bungkuih?" sapa si Amai ramah.

 

Kami kembali pulang setelah membeli makanan. Si Bungsu bahkan diberi gratis beberapa kue oleh Amai. Entah kenapa, sedari kecil orang-orang banyak yg sayang dengan dia. Entah karena pembawaannya yg rada manja atau spontanitasnya yg bikin ketawa.

"Kito mamuta arah ka sinan pulangnyo yo!" aku mengajak. Si Sulung tak membantah. Tapi si Bungsu terlihat enggan. "Capek-capek jalannyo yo Yah. Awak lah nio sarapan" jawabnya memegang jasuke dan kue. Aroma makanan itu mengimbau-imbau untuk segera balik.

"Iyo. Awak jalan capek-vapek. Ayok!"

Kami pulang setelah pamit samo Amai penjual makanan. "Iyo. Iyo. Hati-hati yo. Iko nan bungsuko jadi anak Amai sajolah yo!" Amai menggoda. Si Bungsu tersenyum melengos dan memegang tanganku erat-erat.....

 

Alhamdulillah hari ini tiban rezki. Ponakan yg jaga toko barusan nelpon. Ada pesanan tambahan dari Gadut, Taram, Suliki dan Pangkalan. Dalam situasi ekonomi tak stabil, rezki itu terasa lebih nikmat. Bisa untuk menambah saving. Kalau sekedar kebutuhan hidup seharian alhamdulillah cukup sih!

Tapi senang hati ini, juga tak berlangsung lama. Sebab si Bungsu kulihat tiduran tak ceria. Saya khawatir ia tak enak badan. Demam.

Kuusap keningnya. Panas. Ya Tuhan. Cobaan paling berat bagi saya adalah jika anak-anak kena musibah. Sakit atau kecelakaan.

"Baa raso badan anak Ayah? Indak lamak? Damam?"

Ia diam saja. Membiarkan tanganku mengusap keningnya.  Hal pertama yg terlintas adalah obat-obatan pertolingan pertama. Parasetamol dan sejenisnya. Aduh Tuhan.....

 

"Ayo minum prasetamol ini..." saya suapi si Bungsu dg sendok. Ia duduk dan minum. Lalu kembali telungkup ke kasur. Panasnya masih. Bahkan punggungnya juga. Sungguh. Saya was-was...

Waktu balita dulu jika demam, diminumi bundanya obat lalu digendong seharian, paginya sudah reda. Setiap kali sakit ia akan memeluk bundanya. Kini apa yg dapat saya lakukan? Saya tau hubungan batin anak dan ibu itu tak tergantikan . Saya faham benar. Karena saya dulunya juga balita.  Ibu saya teramat sayang. Ia adalah ratu bagi saya. Jika ada teman yg mencoba menjelekkan ibu saya waktu berkelahi kecil dulu, saya akan melawannya habis-habisan. Sekalipun ia lebih besar. Sekalipun lengan dan kepalaku luka. Jangan coba-coba menghina ibu saya! Saya habisi kau!

 

Sudah zuhur panas badan si Bungsu tak reda. Makan nasi gulai ayam pun ia tak hendak. Saya cemas. Dan tak ada "tampek batenggang babagi raso" selain kami bertiga... Tuhan, bantu saya..

Habis shalat zuhur kami ke dokter praktek. Tak terlalu jauh. Lalu di Bungsu disuruh telentang. Dadanya ditempele  stetoskop. Doktet .mengerinyitkan kening. Mengaluhkannya ke perut.. Lalu memandang saya,"habis minum es yo? Atau kahujanan?" Saya memandang si Bungsu. Ia menunduk. Rasanya tak minum es dan kehujanan. Udanya yg menjawab,"jasuke. Sejak pagi kapatang!" Duh. Iya. Itu dicampur es. Dan tidak tau, es dibuat dimana...

"Indak baa do. Cuma jiko dipabiakan, tenggorokannyo bisa radang" kata dokter. Aku memelas pada Tuhan. Di dalam hati. Setelah ini akan aku jaga baik-baik makanannya.

"Lah pernah minum antibiotik? Ado alergi?"

"Sudah dulu dok. Tahun lalu. Gejala typus".

"Ok. Iko ambo agiah ubek tigo kali sahari. Dosis 250 mg sajo...jan diantikan sampai tigo hari"

"Iyo dok. Iyo!"

Kami pamit pulang. Dan tak menunggu tiga hari, besoknya si Bungsu kembali ceria. Saya menambah shalat sunat melihat ia kembali sehat...

 

Selesai shalat aku termangu. Ucapan dokter kemarin terngiang-ngiang. Menjelang pulang ke rumah dokter berkata,"kiniko sadang musim pancaroba pak. Angin kadang kancang. Suhu bafluktuasi. Sadang paneh tibo ujan. Jadi bapak samo ibu tolong jago bana anak-anak. Mainnyo. Makannyo. Emosionalnyo..."

Dokteeer dokter. Basangko ibunyo masih ado yo?

Ibunyo lah pai dokter. Kami tingga batigo sajo. Ah, Indak usahlah ambo caritokan ibunyo ka pak dokter . Manggali-gali luko sajo. Dulu kutiko awal bapisah, raso ka maludah ambo satiok takana inyo. Paneh ati ambo. Sakik. Padiah!!

Kini sajak lah bapisah alam, mulai taraso. Ado sesuatu nan lah nyo barikan ka ambo tapi mungkin dek latar belakang umua, kondisi, dll ambo kurang batarimokasih. Kadang lai tapikia dek ambo dokter, salah inyo tu salah ambo juo sabananyo. Ambolah pimpinan keluarga...

Ah sudahlah dokter, bialah nan lalu balalu....

Sudah hari ketiga. Sudah sembuh. Sudah sediakala. Walau obat tersisa dua kali minum. Buat siang dan malam nanti.

Kami sudah sarapan dan makan bersama lagi. Di meja makan dg tiga kursi. Satunya kosong. Yang di sisi dekat dapur....

"Ayah ado ide. Kito ziarah ka maqam bundo...." aku bicara setelah sarapan.

Si Bungsu terkejut. Ia langsung menatapku. Mungkin ia bertanya dalam hati, apa Ayah serius atau guyon?

Si Sulung juga. Tapj si Sulung selalu lebih pintar mengerem perasaan. Ia meneruskan menyuap terakhir. Pagi ini semua nasi goreng. No way jasuke dingin!

"Iyo. Kito doakan beliau bahagia bersamo Tuhan di alam sinan.."

Si Bungsu mendekat. Berpegang ke bahuku. Lalu pipiku ia cium....

Duh. Entahlah.

 

Sore di maqam bundo. Langit cahaya jingga. Angin berhenti bertiup. Kami tafakur bertiga. Di tanah yg sudah tua.

Saya tak tau apa yg difikirkan si Sulung. Juga tak menebak perasaan si Bungsu. Namun ada satu hal yg ingin saya bisikkan pada wanita yg merenggut hati saya ini dulu. Yakni bahwa saya adalah orang yg hidup makan asam garam ibukota. Kuliah dan mencari nafkah. Saya tau betul perangai banyak oramg. Yang seperti bersih di kampus tapi nakal di luar. Yg dipuji di sekolah namun bejat di rumah. Yang hebat di tv tapi maling di luar. Yang ikhlas banyak juga. Yang setia banyak juga. Namun yang brutal lebih banyak lagi. Itulah Jakarta. Dan saya ada di dalam denyut jantungnya. Melihat dg mata kepala setiap hari. Lalu kemudian, kita berjodoh. Manis. Berkecukupan. Dikaruniai anak dua. Tampan.

Segala latar belakang hidup dan pengalamanku, berhadapan denganmu di perahu kita. Mungkin karena ketakutan yg mendalam, aku membuatmu terpasung. Aku memiliki otoritas sesuai  ayat Quran. Dan engkau akhirnya pergi. Tak tahan. Aku lupa, aku juga manusia biasa. Tempat kekilafan.

Dan semuanya terjadi. Takdir kita berpisah. Anak-anak yg lugu lucu dan pintar ikut denganku kini.

Detik ini, tak ingin lagi aku bicara tentang salah siapa. Aku ingin  anak kita bahagia. Itu saja. Apa saya masih boleh meminta maaf?

"Ayah manangih?" Si Bungsu bertanya. Aku tersadar. Ah...