Oleh Hanifa Marisa
Ahsanul Qisah
Senja di padang pasir
tandus. Anak lelaki kecil duduk di batu cadas. Roman mukanya tampan. Tak hanya
tampan, tapi indah. Untai rambut lurusnya bergoyang ringan ditiup angin. Jatuh
di sela ikat kepala. Diterpa matahari jingga. Ia menatap jauh. Boleh jadi
menunggu saudara-saudaranya pulang menggembalakan biri-biri. Yakup
memperhatikan dari rumah. Ia takjub. Anak kecil berwajah menawan. Menawan
hatinya,
Tampan umumnya adalah keserasian antara ukuran mata , hidung dan bibir. Tapi jika wajah begitu ditempati oleh kalbu yang jujur, bersih, maka cahayanya memancar ke bola mata, ke aura pipi dan kening. Itulah kini yang ada. Menakjubkan yang memandang. Senyum sendiri Yakup menikmati karunia Tuhan nan membahagiakan ini. Duabelas anaknya terdahulu, tak satupun serupa ini. Anak lelaki kecil itu, Yusuf, menoleh ke arah pintu rumah. dan Yakup cepat beranjak seakan tak mengagumi wajah putranya. MasyaAllah,...masyaAllaaaaah,...
Tampan umumnya adalah keserasian antara ukuran mata , hidung dan bibir. Tapi jika wajah begitu ditempati oleh kalbu yang jujur, bersih, maka cahayanya memancar ke bola mata, ke aura pipi dan kening. Itulah kini yang ada. Menakjubkan yang memandang. Senyum sendiri Yakup menikmati karunia Tuhan nan membahagiakan ini. Duabelas anaknya terdahulu, tak satupun serupa ini. Anak lelaki kecil itu, Yusuf, menoleh ke arah pintu rumah. dan Yakup cepat beranjak seakan tak mengagumi wajah putranya. MasyaAllah,...masyaAllaaaaah,...
Rombongan anak remaja
terlihat tumpukan hitam dari jauh. Senja kemilau semakin jatuh. Makin lama
makin kentara. Itu adalah kakak-kakaknya. Berombongan menggiring domba. Sambil
bercanda ria tentunya.
Yusuf kecil manalah tau. Ia hanya berkhayal, suatu saat ikutan rombongan itu. Tiadalah ia faham, bahwa mereka berbeda ibu. Baginya , kakak-kakaknya orangnya asyik; berkisah tentang padang gembala berbatu-batu. Terkadang ada kadal, burung dan bahkan serigala bertemu. Itu sungguh menggetarkan. Menggairahkan. Membangkitkan semangat kelaki-lakian!
Yusuf keci bangkit ketika domba-domba mendekat. Beriring berjalan menuju kandang. Tangannya terentang menyapa domba dan menyentuh bulu telinganya. Tatap sayang terpancar dari mata Yusuf pada ternaknya. Dan pandang kagum terpancar untuk kakak-kakaknya yang gagah bertelanjang dada pulang magrib. Senja makin temaram. Dan mereka masuk ke rumah. Assalamualaikum ya ahlil baiiit.....
Yusuf kecil manalah tau. Ia hanya berkhayal, suatu saat ikutan rombongan itu. Tiadalah ia faham, bahwa mereka berbeda ibu. Baginya , kakak-kakaknya orangnya asyik; berkisah tentang padang gembala berbatu-batu. Terkadang ada kadal, burung dan bahkan serigala bertemu. Itu sungguh menggetarkan. Menggairahkan. Membangkitkan semangat kelaki-lakian!
Yusuf keci bangkit ketika domba-domba mendekat. Beriring berjalan menuju kandang. Tangannya terentang menyapa domba dan menyentuh bulu telinganya. Tatap sayang terpancar dari mata Yusuf pada ternaknya. Dan pandang kagum terpancar untuk kakak-kakaknya yang gagah bertelanjang dada pulang magrib. Senja makin temaram. Dan mereka masuk ke rumah. Assalamualaikum ya ahlil baiiit.....
Menjelang malam
mereka makan bersama. Anak-anak itu, mulai dari yang tua sampai terkecil,
berkeliling duduk di ruang keluarga. Diterangi lampu obor yang tergantung di
dinding. Dan seperti laiknya fitrah di keluarga manapun, anak tertua duduk
paling jauh dari bapak ibu mereka, sedang Yusuf kecil duduk tawaduk dekat lutut
bapaknya. Masing-masing dibagikan ibunya sebuah roti Huzb disertai ikan kuah
bumbu. Yusuf kecil, hanya makan sepertiga bagian saja dari roti bapaknya. Itu
sudah cukup. Makanan itu berkah bukan dari
kuantitasnya, tapi dari hati nan bersyukur. Iya kan?
Sehabis makan anak lelaki kecil yang di atas Yusuf, bertanya, "Bapak, kenapa siang hari tadi masih ada bulan di langit?" Yakup menerangkan bahwa bulan pada waktu baru munculnya, memang masih tersisa di pagi hari. Ia terlihat pucat, tapi tetap bulat. Seakan memandang anak manusia dari ketinggian.
"Adik tadi meukisnya di pasir, Bapak. Bulan putih di sela daun kurma. Di lengkungnya punggung bukit....." anak leaki tertua menambahkan. Mereka tau, anak lelaki nomor 12, memang senang mengamati alam dan melukiskannya. Yusuf, terpesona dengan cerita kakak-kakaknya. Dalam gambaran fikirnya, bulan indah tersenyum di balik untaian daun kurma. Perlahan-lahan memudar. Di lengkung bukit pasir bebatuan. O, itu indah sekali, khayalnya. Memory tentang bulan di belakang daun kurma itu memenuhi kalbunya. Alangkah asyiknya jika ia juga ikut bersama saudaranya itu menggembalakan domba. Duduk di batu. Memandang ke awan. Ada bulan putih di daun kurma yang melambai. Ooo,....
Tak lagi Yusuf memperhatikan cerita selanjutnya dari saudara-saudaranya yang mentertawakan kakak nomor 10, yang tadi memarahi domba jantan, yang dianggapnya jahat. Domba itu menaikkan kedua kakinya ke punggung seekor domba betina. Ia segera memarahi domba jantan, dan memecutnya dengan ranting kayu. Kakak tertua dan kedua, tertawa terkekeh. Yakup senyum dikulum. Sedangkan Yusuf kecil, mulai mengantuk, merebahkan kepala di paha bapaknya. sambil terus membawa bulan putih di daun kurma....bismiKa, Allahumma ahyaa, wa amuut.....
Sehabis makan anak lelaki kecil yang di atas Yusuf, bertanya, "Bapak, kenapa siang hari tadi masih ada bulan di langit?" Yakup menerangkan bahwa bulan pada waktu baru munculnya, memang masih tersisa di pagi hari. Ia terlihat pucat, tapi tetap bulat. Seakan memandang anak manusia dari ketinggian.
"Adik tadi meukisnya di pasir, Bapak. Bulan putih di sela daun kurma. Di lengkungnya punggung bukit....." anak leaki tertua menambahkan. Mereka tau, anak lelaki nomor 12, memang senang mengamati alam dan melukiskannya. Yusuf, terpesona dengan cerita kakak-kakaknya. Dalam gambaran fikirnya, bulan indah tersenyum di balik untaian daun kurma. Perlahan-lahan memudar. Di lengkung bukit pasir bebatuan. O, itu indah sekali, khayalnya. Memory tentang bulan di belakang daun kurma itu memenuhi kalbunya. Alangkah asyiknya jika ia juga ikut bersama saudaranya itu menggembalakan domba. Duduk di batu. Memandang ke awan. Ada bulan putih di daun kurma yang melambai. Ooo,....
Tak lagi Yusuf memperhatikan cerita selanjutnya dari saudara-saudaranya yang mentertawakan kakak nomor 10, yang tadi memarahi domba jantan, yang dianggapnya jahat. Domba itu menaikkan kedua kakinya ke punggung seekor domba betina. Ia segera memarahi domba jantan, dan memecutnya dengan ranting kayu. Kakak tertua dan kedua, tertawa terkekeh. Yakup senyum dikulum. Sedangkan Yusuf kecil, mulai mengantuk, merebahkan kepala di paha bapaknya. sambil terus membawa bulan putih di daun kurma....bismiKa, Allahumma ahyaa, wa amuut.....
Entah ada
hubungannya, entah tidak; khayal tentang rembulan dan langit ditoreh daun kurma
itu , akhirnya terbawa tidur. Ia mengalir dalam urat darah. Menggelitik di
simpul-simpul saraf. Yusuf, terbang dalam mimpi indah. Ia seakan - akan betul
betul ada di perbukitan batuan berpasir yang ada pohon kurmanya. Ada beberapa
rumput liar yang survival di gurun dan pohon Conocarpus yang berbuah bulat.
Yusuf, yang amat ingin ikut pergi ke alam luas dengan domba-domba yang jinak,
yang bulu telinganya lembut, merasa keindahan
memeluk tubuhnya. Ia terpesona. Dan ya TUhan, bukan hanya bulan putih yang ia
lihat. Ada sebelas bintang, bulan dan matahari di langit biru muda.
Amboooiii...cantiknya. Ini lebih berperi ketimbang yang ia khayalkan. Dan Ya
Tuhan, bulan, matahari dan gemintang itu seperti punya mulut dan mata.
Memandang kepadanya. Yusuf bergetar. Yusuf menggigil. Ia terpana. Ia tak dapat
berkata-kata. Belum sempat ia menyadari yang ia lihat, tiba-tiba sebelas benda
langit yang seakan tersenyum itu bergerak serentak, turun ke kakinya. Bulu
tubuhnya berdiri. tak hanya di kuduk tapi juga di punggung, di tangan, di kaki
dan di perut. Ya di seluruh tubuh. Indahnya, indahnya. Mempesona, mempesona.
Lalu, benda-benda langit itu sujud ke haribaannya. Yusuf ingin memekik
memanggil ibunya. Memanggil bapaknya. Melantunkan ucapan puja-puji untuk
Tuhannya. Tapi bibirnya seperti kaku. Lidahnya kelu. Dalam ekstasi yang tiada
pernah terbayangkan itu, ingin ia mengelus benda langit itu. Ingin ia
memeluknya. Namun, tiba-tiba, ia terjaga. Benda-benda itu hilang sesuai
hadirnya kesadaran. Tapi jiwanya masih tergetar. Lama Yusuf terkaku, sambal
memejam-mejamkan mata. Bahkan ingin ia segera tertidur lagi dan bertemu sang
rembulan dan matahari serta gemintang itu. Namun semua sudah berlalu. Ya
Rabbiii,Anta jamiiil, …..
Yusuf menunggu untuk
didatangi bulan dan matahari itu lagi. Ia pejamkan mata. Lama,...... lama. Ah,
tak ada lagi. SEbelas bulan matahari dan bintang itu telah pergi. Padahal, jiwa
Yusuf masih belum luput dari madunya pertemuan. Dan akhirnya ia duduk. Duduk
sambal memeluk kedua lututnya. Memandang ke bapaknya yang nyenyak lelap.
Memperhatikan wajah pulas saudara-saudaranya. Tidak. Tak ada lagi sebelas
bintang bulan dan matahari. Semua sudah sirna. Yang ada adalah ia terduduk , berlinang air mata. Merasakan lkesyahduan nan
terpenggal. Menunggu fajar dalam kegelisahan anak lelaki kecil yang lugu. Yang
bola matanya lebih indah ketimbang bola pingpong. Yang roman mukanya tak
sepadan dengan pauh dilayang. Ia mungkin seperti boneka imut yang menggemaskan
setiap orang nan memandang. Yusuf kecil, engkau takkan pernah tau terjalnya
cadas kehidupan. Pedihnya hari-hari yang mungkin menggayuti. Yang semua itu,
mesti dilalui, dijalani, bahkan dinikmati. Wahai Tuhan, Anta Qadiir,...
Subuh mungkin masih
lama. Tapi mimpi aneh barusan tetap memagut dada. Diantara kantuk dan bingung,
Yusuf kembali merebahkan badan. Sesekali matanya terbuka menatap langit-langit
bilik . Seakan di situ ada bulan matahari dan bintang tengah senyum. Ah, tidak.
Tak ada. Lalu ia menguap. Dan akhirnya terpejam jua.
Pagi-pagi semua sibuk mandi berbersih serta sarapan. Saudara-saudaranya seperti biasa menghalau domba ke gurun luas. Nun di bukit yang melengkung, dan kurma yang daunnya melambai. Yusuf kecil masih tercenung. Ia berjalan menghampiri bapaknya dengan langkah pelan. Ingin ia ceritakan mimpi semalam. Tentang gemintang dan matahari. Serta tentang rembulan nan senyum lembut.
"Ya Abiii,...semalam nanda bermimpi aneh sekali..." Yusuf menengadah mamandang bapaknya.
"Mimpi aneh? Seperti apa...." tanya bapaknya menjongkok, persis di depan Yusuf. Yusuf memandang kedua mata bapaknya. Menyelami keteduhan kasih sayang. Membalut dalam aura batin penuh arti.
"Sebelas bintang, bulan dan matahari tersenyum dan datang ke hadapan saya. Di tengah ketakjuban, mereka seperti sujud, semuanya...."
"Yusuf!" Yakup terperanjat. Yusuf takut melihat respon bapaknya. Adakah mimpi itu bertakwil jahat?
Pagi-pagi semua sibuk mandi berbersih serta sarapan. Saudara-saudaranya seperti biasa menghalau domba ke gurun luas. Nun di bukit yang melengkung, dan kurma yang daunnya melambai. Yusuf kecil masih tercenung. Ia berjalan menghampiri bapaknya dengan langkah pelan. Ingin ia ceritakan mimpi semalam. Tentang gemintang dan matahari. Serta tentang rembulan nan senyum lembut.
"Ya Abiii,...semalam nanda bermimpi aneh sekali..." Yusuf menengadah mamandang bapaknya.
"Mimpi aneh? Seperti apa...." tanya bapaknya menjongkok, persis di depan Yusuf. Yusuf memandang kedua mata bapaknya. Menyelami keteduhan kasih sayang. Membalut dalam aura batin penuh arti.
"Sebelas bintang, bulan dan matahari tersenyum dan datang ke hadapan saya. Di tengah ketakjuban, mereka seperti sujud, semuanya...."
"Yusuf!" Yakup terperanjat. Yusuf takut melihat respon bapaknya. Adakah mimpi itu bertakwil jahat?
"Abi. Apakah
mimpi itu ber...."
"La'. Tidak. Itu mimpi baik. Itu isyarat Yang Maha Kuasa..." Yakup memotong tanya anaknya dan memegangi wajah Yusuf dengan kedua tangannya. Jemari empu ia usapkan di kedua belah pipi. Yusuf terpana. Bapaknya pun terhenyak.
"Demi Tuhan. Janganlah engkau ceritakan mimpimu ini pada siapapun, nak. Bahkan pada saudara-saudaramu pun!"
Yusuf terheran. Ia menatap mata bapaknya. Mencari keteguhan dalam sinar bola mata Yakup. Dan Yakup menatap penuh kasih, ...
"Naam ya Abii. Saya akan menyimpannya dengan baik!"
Yakup langsung memeluk Yusuf erat-erat. Menempatkan kepala anaknya di dadanya. Mengusap-usap ubun-ubun lelaki kecil itu dengan hati penuh perlindungan.
"La'. Tidak. Itu mimpi baik. Itu isyarat Yang Maha Kuasa..." Yakup memotong tanya anaknya dan memegangi wajah Yusuf dengan kedua tangannya. Jemari empu ia usapkan di kedua belah pipi. Yusuf terpana. Bapaknya pun terhenyak.
"Demi Tuhan. Janganlah engkau ceritakan mimpimu ini pada siapapun, nak. Bahkan pada saudara-saudaramu pun!"
Yusuf terheran. Ia menatap mata bapaknya. Mencari keteguhan dalam sinar bola mata Yakup. Dan Yakup menatap penuh kasih, ...
"Naam ya Abii. Saya akan menyimpannya dengan baik!"
Yakup langsung memeluk Yusuf erat-erat. Menempatkan kepala anaknya di dadanya. Mengusap-usap ubun-ubun lelaki kecil itu dengan hati penuh perlindungan.
HIdup menyimpan
rahasia itu, berat. Apalagi bagi anak kecil yang terbiasa jujur lugu. Itulah
yang menimpa Yusuf. Mimpi aneh dan takwil yang membebani dari bapaknya, membuat
sedikit perubahan di tingkah lakunya keseharian. Yakuppun begitu. SEjak cerita
Yusuf berkenaan mimpinya melihat rembulan, matahari dan gemintang sujud, merubah
rasa dan perhatian Yakup pada Yusuf ke level lebih tinggi. Tak ingin Yakup
seekor nyamukpun menghisap dan menempel di kening atau ujung kakinya saat
tidur. Tak rela Yakup, sebutir debu masuk ke mata Yusuf nan berbinar. Maaf, tak
berkenan ia Yusuf ikut menggembala ternak ke padang pasir luas sana, di bukit
yang melengkung dan daun kurma nan melambai. Rasa-rasanya, Yusuf ada di sekitar
pengawasannya sajalah, setiap waktu. Kulli makaaan, kulli waqttihaaa....
Teman, adakah yang
lebih kuat instinknya ketimbang 'hati'? Hati inilah yang segera mafhum jika
pasangannya mulai menjarak. Hati jugalah yang berdebar ketika pertama melihat
kecocokan. Hati itu sensitive.. Ianya lurus.
Lalu , hati itu pulalah yang membisikkan pada saudara-saudara Yusuf; bapak kita telah mulai memberikan kasih sayang lebih pada saudara tiri kita Yusuf, dan kita menjadi terbiar.
"Kalian lihat bagaimana Abi memandang roman muka Yusuf? Kalian pernah merasakan itu ?" tanya kakak yang tertua, di hamparan pasir berbatu, di bukit yang melengkung, di bawah rumpun kurma. Tempat mereka biasa mengobrol sambil menunggui domba-domba makan rumput kering. Adik-adiknya terdiam dan merasakan kebenaran dalam tanya kakaknya. Putra ke empat bernama Yahuda, lalu menyela,"Betul. Bahkan jika Yusuf hendak bermain agak jauh sedikit saja dari rumah, Abi segera mencarinya. Sedangkan kita? Kita padahal anak Abi yang lebih tua, yang membantu beliau sehari-hari."
Adik-adik yang lain terbius. lalu mengangguk-angguk. Kecemburuan, rasa hasad, menyelinap di tengah padang pasir itu, di siang ini. La hawla wa la quwwata illa billah,...
Lalu , hati itu pulalah yang membisikkan pada saudara-saudara Yusuf; bapak kita telah mulai memberikan kasih sayang lebih pada saudara tiri kita Yusuf, dan kita menjadi terbiar.
"Kalian lihat bagaimana Abi memandang roman muka Yusuf? Kalian pernah merasakan itu ?" tanya kakak yang tertua, di hamparan pasir berbatu, di bukit yang melengkung, di bawah rumpun kurma. Tempat mereka biasa mengobrol sambil menunggui domba-domba makan rumput kering. Adik-adiknya terdiam dan merasakan kebenaran dalam tanya kakaknya. Putra ke empat bernama Yahuda, lalu menyela,"Betul. Bahkan jika Yusuf hendak bermain agak jauh sedikit saja dari rumah, Abi segera mencarinya. Sedangkan kita? Kita padahal anak Abi yang lebih tua, yang membantu beliau sehari-hari."
Adik-adik yang lain terbius. lalu mengangguk-angguk. Kecemburuan, rasa hasad, menyelinap di tengah padang pasir itu, di siang ini. La hawla wa la quwwata illa billah,...
Muara dari rasa iri
adalah benci. Perasaan yang kemudian bergelombang menjadi amarah terpendam.
Yusuf itu adalah orang lain yang muncul kemudian, dan merampas bapak dari kita
semua. Yusuf itu jahat. Yusuf itu pecundang. Dan, lebih ngeri lagi,, Yusuf itu
mesti diberi 'pelajaran'... Ya Rabbiiii....
Teman, dimasa
kanakmu, pernahkah engkau merasa ditatap dengan sorot tajam ? Dilirik sudut
mata benci? Bahkan dalam acuhpun, engkau mafhum, orang lain sesungguhnya
menolak kehadiranmu!
Bagi anak seumur Yusuf, merasakan kondisi itu, ditambah beban menyimpan rahasia takwil mimpi; tidaklah mudah. Bukankah bukan dia yang menghendaki jadi anak bungsu saat ini? BUkankah ia tak pernah tau akan bermimpi aneh dan harus menutup rapat peristiwa itu dari sesiapapun? Andai boleh memilih, ia mungkin jadi anak tertua yang bertubuh kekar, menggiring domba, menghalau serigala dan burung elang, memimpin saudara-saudara lain, dan ditakuti adik-adiknya...... Namun ini sudah semula jadi. Ini takdir yang harus ia jalani. Menghindar dari sorot sinar mata saudaranya adalah beban. Mematuhi nasehat bapaknya, itupun suatu keharusan. Yusuf kadang merasa berdiri di titian yang sempit. Kadang ingin ia membuktikan pada saudaranya, ia bukan anak manja pemalas rumahan, yang juga sanggup menggembala domba di gurun panas. Di bukit yang melengkung. Di langit berhias daun kurma nan melambai. Aduh!
Bagi anak seumur Yusuf, merasakan kondisi itu, ditambah beban menyimpan rahasia takwil mimpi; tidaklah mudah. Bukankah bukan dia yang menghendaki jadi anak bungsu saat ini? BUkankah ia tak pernah tau akan bermimpi aneh dan harus menutup rapat peristiwa itu dari sesiapapun? Andai boleh memilih, ia mungkin jadi anak tertua yang bertubuh kekar, menggiring domba, menghalau serigala dan burung elang, memimpin saudara-saudara lain, dan ditakuti adik-adiknya...... Namun ini sudah semula jadi. Ini takdir yang harus ia jalani. Menghindar dari sorot sinar mata saudaranya adalah beban. Mematuhi nasehat bapaknya, itupun suatu keharusan. Yusuf kadang merasa berdiri di titian yang sempit. Kadang ingin ia membuktikan pada saudaranya, ia bukan anak manja pemalas rumahan, yang juga sanggup menggembala domba di gurun panas. Di bukit yang melengkung. Di langit berhias daun kurma nan melambai. Aduh!
Gejolak iri - bingik,
dalam hati saudara Yusuf, sebenarnya menyala jika sedang di luar rumah. Saat mereka
berjalan ke padang penggembalaan atau ketika duduk ngobrol di bawah rumpun
batang kurma. Di rumah, mereka seperti mati kutu saja. Sebab bapak mereka,
Yakup, memang tiada pernah berprilaku berlebihan. Bapak sesungguhnya orang yang
baik santun. Tak pernah marah. Jika bapak tak suka, bapak akan menyampaikannya
dengan kalimat nan elok. Bapak mereka, belum pernah terlihat emosional.
Yusuf pun berakhlak baik. Berada dekat Yusuf, sungguh, serasa di syurga. Tatapan matanya indah. Wajah paras mukanya, innosen. Senyumnya, memikat. Natural. Jadi memang tak ada sesuatu yang salah diantara bapak serta Yusuf. Iya kan?
Namun entahlah, ketika di jalan dan di area penggembalaan, bisikan makhluk jahat, menggoda hati mereka. "Engkau lihat bagaimana Abi membagi roti khuzb tak hanya seperempat buat Yusuf, tapi kini separo?" "Kemarin sore, setelah mandi, Abi membantu Yusuf memasangkan baju, dan Abi iseng meletakkan wajahnya di perut Yusuf, hingga Yusuf tertawa kegelian?" "O, malam tadi Abi mengantar Yusuf ke toilet luar, bagai Yusuf akan dilarikan orang saja?" "Ayah terlalu sayang sama Yusuf, dan kita seperti menjadi anak tiri!" "Yusuf baiknya ditampar saja!!" bisikan negatif itu makin brutal. "Tidak cukup ditampar, tapi dilempar!" lagi, makhluk negatif menginspirasi. Fikiran-fikiran seperti itu, membuat jantung berdenyut lebih kuat, dan wajah lebih merah dari apa adanya. Padang penggembalaan, berubah menjadi arena melepaskan caci maki, akhirnya. Perasaan benci menyala, dan entah kenapa, jika pulang, lalu terpandang wajah Yusuf, seketika sirna. Senyum Yusuf, bagai membilas semua luka.... MasyaAllah!
Yusuf pun berakhlak baik. Berada dekat Yusuf, sungguh, serasa di syurga. Tatapan matanya indah. Wajah paras mukanya, innosen. Senyumnya, memikat. Natural. Jadi memang tak ada sesuatu yang salah diantara bapak serta Yusuf. Iya kan?
Namun entahlah, ketika di jalan dan di area penggembalaan, bisikan makhluk jahat, menggoda hati mereka. "Engkau lihat bagaimana Abi membagi roti khuzb tak hanya seperempat buat Yusuf, tapi kini separo?" "Kemarin sore, setelah mandi, Abi membantu Yusuf memasangkan baju, dan Abi iseng meletakkan wajahnya di perut Yusuf, hingga Yusuf tertawa kegelian?" "O, malam tadi Abi mengantar Yusuf ke toilet luar, bagai Yusuf akan dilarikan orang saja?" "Ayah terlalu sayang sama Yusuf, dan kita seperti menjadi anak tiri!" "Yusuf baiknya ditampar saja!!" bisikan negatif itu makin brutal. "Tidak cukup ditampar, tapi dilempar!" lagi, makhluk negatif menginspirasi. Fikiran-fikiran seperti itu, membuat jantung berdenyut lebih kuat, dan wajah lebih merah dari apa adanya. Padang penggembalaan, berubah menjadi arena melepaskan caci maki, akhirnya. Perasaan benci menyala, dan entah kenapa, jika pulang, lalu terpandang wajah Yusuf, seketika sirna. Senyum Yusuf, bagai membilas semua luka.... MasyaAllah!
"Kita sedang
menjadi budak penggembala, dan Pangeran Muda Gagah duduk berselonjor di
istana," seorang dari kakak Yusuf merengut besoknya sambil menggiring
domba. Instinktif, dia sepak pantat domba yang ada di depannya. Domba itu
terlompat dan berlari ke depan. Rasain anta!
"Iya. Sebentar lagi tentu ia disuapi roti khuzb yang lezat!" yang lain menimpali. Keningnya mengkerut.
"Anak kecil pemalas. Mestinya ia diajar menggiring domba sampai ke oase di balik bukit melengkung sana!"
"Jangan-jangan ia kini tiduran di atas paha Abi!"
"Jahanam itu adik. Sebaiknya ia tak ada saja di rumah kita!"
"Na-am! Semoga ia dimakan singa siang ini!"
"Atau diinjak unta hingga mati."
"Unta siapa?"
"Terserah unta siapa saja. Atau boleh juga ia tetimpa batu besar yang menggelinding dari belakang rumah!"
"Syukurin!"
"Ha ha ha, boleh jadi kepalanya sudah tak ada karena dipatuk elang gurun nanti siang,...."
"Ha ha ha..."
"He he he.."
Puas hati mereka bergunjing sepanjang jalan. Yakup, bapak mereka adalah representasi orang tua yang berat sebelah, sementara Yusuf adalah anak kecil tampan yang merusak rezki kasihsayang orang tua ,.... Itulah konklusinya!
"Iya. Sebentar lagi tentu ia disuapi roti khuzb yang lezat!" yang lain menimpali. Keningnya mengkerut.
"Anak kecil pemalas. Mestinya ia diajar menggiring domba sampai ke oase di balik bukit melengkung sana!"
"Jangan-jangan ia kini tiduran di atas paha Abi!"
"Jahanam itu adik. Sebaiknya ia tak ada saja di rumah kita!"
"Na-am! Semoga ia dimakan singa siang ini!"
"Atau diinjak unta hingga mati."
"Unta siapa?"
"Terserah unta siapa saja. Atau boleh juga ia tetimpa batu besar yang menggelinding dari belakang rumah!"
"Syukurin!"
"Ha ha ha, boleh jadi kepalanya sudah tak ada karena dipatuk elang gurun nanti siang,...."
"Ha ha ha..."
"He he he.."
Puas hati mereka bergunjing sepanjang jalan. Yakup, bapak mereka adalah representasi orang tua yang berat sebelah, sementara Yusuf adalah anak kecil tampan yang merusak rezki kasihsayang orang tua ,.... Itulah konklusinya!
Teman-teman, boleh
jadi kita bertanya, mungkinkah anak-anak didikan seorang nabi, saling bunuh
diantara mereka? Maka jawabnya, bukan mungkin, tapi nyata! Kabil adalah putra
Nabi Adam as; dan disebabkan nafsunya memilih saudara kembarannya untuk
dikawini, ia bunuh Habil! Habil itu, adik dia sendiri. Adik kandung. Seibu
sebapak! Di saat belum ada persaingan sumber daya alam, semua melimpah, yang
ada hanya mereka sekeluarga! Nauzubillah!
JIka Allah mentakdirkan, dengan skenarioNya sendiri, apa susahnya memasukkan makhluk jahat ke hati saudara-saudara Yusuf? Maka berujarlah kakak tertua diantara mereka, sambil duduk bertelekan dua tangan ke belakang, di bebatuan gurun pasir,"Yang paling afdhal, Yusuf memang kita 'hilangkan'!"
"Besok ajak dia ikut menggembalakan domba, dan kita habisi bersama-sama di padang tandus ini!" timpal adiknya. "Ya. Tapi kakak tertua saja yang mengeksekusi!" timpal yang lain, sebab ia sungguh tak kuasa mencelakai adik nya itu, demi mengenang tatap tak berdosa mata bulat cemerlang Yusuf. Itu berat!
"Tidak! Jangan! Jangan saya!" jawab kakak tertua, sebab hati dan tangannya mungkin akan menggigil melakukan itu. Wajah seperti Yusuf akan dia bantai? Tidak! Itu pedih dan menyayat hati! Bisa-bisa, jika tak kuat hati, berubah gila! Menceracau sendiri sepanjang jalan padang pasir, penuh sesal, sambil memegang pedang runcing,.....hiii, la'; tidak!
JIka Allah mentakdirkan, dengan skenarioNya sendiri, apa susahnya memasukkan makhluk jahat ke hati saudara-saudara Yusuf? Maka berujarlah kakak tertua diantara mereka, sambil duduk bertelekan dua tangan ke belakang, di bebatuan gurun pasir,"Yang paling afdhal, Yusuf memang kita 'hilangkan'!"
"Besok ajak dia ikut menggembalakan domba, dan kita habisi bersama-sama di padang tandus ini!" timpal adiknya. "Ya. Tapi kakak tertua saja yang mengeksekusi!" timpal yang lain, sebab ia sungguh tak kuasa mencelakai adik nya itu, demi mengenang tatap tak berdosa mata bulat cemerlang Yusuf. Itu berat!
"Tidak! Jangan! Jangan saya!" jawab kakak tertua, sebab hati dan tangannya mungkin akan menggigil melakukan itu. Wajah seperti Yusuf akan dia bantai? Tidak! Itu pedih dan menyayat hati! Bisa-bisa, jika tak kuat hati, berubah gila! Menceracau sendiri sepanjang jalan padang pasir, penuh sesal, sambil memegang pedang runcing,.....hiii, la'; tidak!
Kakak Yusuf yang ke
empat, yang akhirnya memberi ide. Ia mendongakkan kepala, setelah dari tadi
memukul-mukul mata kakinya dengan pelepah tangkai buah kurma.
"Tak seorangpun dari kita yang sanggup membunuh Yusuf. Kita berkelahi dengan nurani kita sendiri. Jadi, cukuplah Yusuf kita singkirkan dari rumah, dengan membuangnya ke dalam sumur tua di seberang bukit."
"Ia tetap akan mati. Sumur itu dalam sekali. Dan jarang disinggahi orang."
"Tidak. Mungkin ia hanya akan pingsan dan siuman. Lalu musafir kafilah singgah akan mengambilnya. Orang-orang yang berdagang ke Mesir, biasa singgah di oase yang dalam itu."
"Tapi apa yang akan kita katakan pada Abi?"
Semua diam. Lalu kembali kakak nomor empat itu yang memberi ide.
"Kita bilang Yusuf dimangsa srigala, yang memang akhir-akhir ini sering bergerombol menyerang domba-domba kita!"
"Fikiran cerdas. Masuk akal. Namun kita perlu barang bukti!"
Diam lagi.
Sampai seorang dari mereka berkata.
"Semblih seekor domba kecil, lalu muncratkan darahnya ke baju dan celana Yusuf!"
"Pintar! Artinya kita membuang Yusuf ke sumur dengan tak berbaju?"
"Apa susahnya!"
"Betul juga!"
"Ya bagus itu!"
"Ah. Abi takkan membiarkan kita membawa Yusuf ke sini. Lupakanlah semua kegilaan ini!"
"He jangan cepat putus asa. Saya sebagai kakak tertua akan menyampaikan pada Abi, sudah saatnya Yusuf diajar menggembalakan ternak. Sudah saatnya Yusuf dikenalkan dengan alam tempat ia tinggal."
"Na-am. Kami akan membantu meyakinkan Abi!"
"Toyyib!"
"Tak seorangpun dari kita yang sanggup membunuh Yusuf. Kita berkelahi dengan nurani kita sendiri. Jadi, cukuplah Yusuf kita singkirkan dari rumah, dengan membuangnya ke dalam sumur tua di seberang bukit."
"Ia tetap akan mati. Sumur itu dalam sekali. Dan jarang disinggahi orang."
"Tidak. Mungkin ia hanya akan pingsan dan siuman. Lalu musafir kafilah singgah akan mengambilnya. Orang-orang yang berdagang ke Mesir, biasa singgah di oase yang dalam itu."
"Tapi apa yang akan kita katakan pada Abi?"
Semua diam. Lalu kembali kakak nomor empat itu yang memberi ide.
"Kita bilang Yusuf dimangsa srigala, yang memang akhir-akhir ini sering bergerombol menyerang domba-domba kita!"
"Fikiran cerdas. Masuk akal. Namun kita perlu barang bukti!"
Diam lagi.
Sampai seorang dari mereka berkata.
"Semblih seekor domba kecil, lalu muncratkan darahnya ke baju dan celana Yusuf!"
"Pintar! Artinya kita membuang Yusuf ke sumur dengan tak berbaju?"
"Apa susahnya!"
"Betul juga!"
"Ya bagus itu!"
"Ah. Abi takkan membiarkan kita membawa Yusuf ke sini. Lupakanlah semua kegilaan ini!"
"He jangan cepat putus asa. Saya sebagai kakak tertua akan menyampaikan pada Abi, sudah saatnya Yusuf diajar menggembalakan ternak. Sudah saatnya Yusuf dikenalkan dengan alam tempat ia tinggal."
"Na-am. Kami akan membantu meyakinkan Abi!"
"Toyyib!"
Sore sepulang
gembala, anak tertua melapor pada bapaknya,"Abi beberapa domba kita hamil
lagi dan belasan anak-anak kecilnya kini semakin besar."
"Alhamdulillah, anakku" jawab Yakup. Dalam pepatah, kondisi ini disebut ' padi masak, jaguang maupieh, taranak bakambang biak'. Pertanda rezki yang diberi Tuhan, berkah!
Namun malamnya selesai makan, anak sulung berujar," Gangguan burung buas dan srigala semakin sering Abi."
"Ya, itu sudah hukum alam, jika makanan banyak, musuhnya pun akan banayk!" jawab Yakup.
"Ada baiknya dik Yusuf ikut membantu menjaga ternak Abi. Selain membimbingnya memelihara domba, juga akan membuat tubuhnya sehat kuat!"
"Betul. Kita akan sangat gembira jika dik Yusuf ikut ke gurun" jawab saudar-saudaranya yang lain.
Yusuf langsung ceria. Ia akan bermain di padang berbukit batu dengan saudara-saudaranya. sambil mengusir burung dan srigala jika datang mengganggu domba. Ia akan mengelus telinga berbulu halus domba-domba. Amboi enaknya. Ikuuuuuut.....kata batinnya, berharap izin bapaknya.
"Alhamdulillah, anakku" jawab Yakup. Dalam pepatah, kondisi ini disebut ' padi masak, jaguang maupieh, taranak bakambang biak'. Pertanda rezki yang diberi Tuhan, berkah!
Namun malamnya selesai makan, anak sulung berujar," Gangguan burung buas dan srigala semakin sering Abi."
"Ya, itu sudah hukum alam, jika makanan banyak, musuhnya pun akan banayk!" jawab Yakup.
"Ada baiknya dik Yusuf ikut membantu menjaga ternak Abi. Selain membimbingnya memelihara domba, juga akan membuat tubuhnya sehat kuat!"
"Betul. Kita akan sangat gembira jika dik Yusuf ikut ke gurun" jawab saudar-saudaranya yang lain.
Yusuf langsung ceria. Ia akan bermain di padang berbukit batu dengan saudara-saudaranya. sambil mengusir burung dan srigala jika datang mengganggu domba. Ia akan mengelus telinga berbulu halus domba-domba. Amboi enaknya. Ikuuuuuut.....kata batinnya, berharap izin bapaknya.
Namun Yusuf harus
kecewa. Bapaknya berfikir dalam, dan merenung. Lalu berujar,"Sepertinya
Yusuf belum kuat untuk mempin domba yang liar berlari. Jika disenggol, Yusuf
akan jatuh dan luka. Apalagi juga sedang musim serangan anjing liar. Mereka tak
hanya menyerang anak domba, tapi bisa-bisa menggigit Yusuf. Biarlah Yusuf
membantu memasukkan ke kandang jika pulang, memberi air di perigi, dan membantu
mengeluarkan di pagi hari"
Yusuf menahan hati. Ia tak diberi izin bapaknya. Ia segera menata hati. Qanaah dengan nasehat Abi. Khaliiis...
"KIta saudara -saudaranya, akan melindunginya Abi. Manalah mungkin kami biarkan adik kami terluka..." jawab kakaknya.
"Betul Abi. Yusuf akan gembira bermain dengan domba-domba kecil di pinggir gurun. Sambil menikmati langit biru. Menatap burung terbang berkelompok. Di antara daun kurma nan melambai-lambai," kata saudaranya yang lain. Sebelas orang kompak bersatu membela pendapat kakak - kakaknya. Yakup memandang Yusuf. Yusuf menunduk memainkan jemari. Sambil berharap,.....O, andaikan...
Yusuf menahan hati. Ia tak diberi izin bapaknya. Ia segera menata hati. Qanaah dengan nasehat Abi. Khaliiis...
"KIta saudara -saudaranya, akan melindunginya Abi. Manalah mungkin kami biarkan adik kami terluka..." jawab kakaknya.
"Betul Abi. Yusuf akan gembira bermain dengan domba-domba kecil di pinggir gurun. Sambil menikmati langit biru. Menatap burung terbang berkelompok. Di antara daun kurma nan melambai-lambai," kata saudaranya yang lain. Sebelas orang kompak bersatu membela pendapat kakak - kakaknya. Yakup memandang Yusuf. Yusuf menunduk memainkan jemari. Sambil berharap,.....O, andaikan...
Yakup dapat meraba
rasa hati Yusuf. Si Bungsu ini ingin ikut kakak-kakaknya. Tapi ada satu hal,
yang mengkhawatirkan Yakup. Keselamatan Yusuf yang sudah diberi pertanda mimpi
oleh Tuhan. Itu berat! Itu memiliki konsekuensi. Itu amanah.
Saudara-saudara Yusuf yang lain tegang menunggu. Yusuf menyerah seratus persen. Seratus satu persen bahkan!
Hanya rasa iba Yakup, yang melihat tunduk kepala Yusuf, akhirnya membuat keputusannya berubah.
"Na-am. Abi izinkan. Tapi Abi titip betul-betul; jaga adikmu baik-baik. Jangan sampai ada yang mencelakainya. Anak-anak suku lain, serempetan domba, onak duri di jalan, batu-batu tajam, hembusan pasir oleh angin atau gigitan lipan dan binatang lain..." Yakup menjawab, masgul. Suaranya berat.
"Ya Abi. Takkan kami biarkan srigala menganggunya. Eh, bukan srigala, apapun hal yang mencelakai adik kami..."
Yakup berfirasat. Tapi ia khawatir mengutarakan. Janganlah sampai ia berburuk sangka dengan alam dan takdir Tuhan. Lalu ia mengangguk. Tanpa seulas senyum.
Saudara-saudara Yusuf yang lain tegang menunggu. Yusuf menyerah seratus persen. Seratus satu persen bahkan!
Hanya rasa iba Yakup, yang melihat tunduk kepala Yusuf, akhirnya membuat keputusannya berubah.
"Na-am. Abi izinkan. Tapi Abi titip betul-betul; jaga adikmu baik-baik. Jangan sampai ada yang mencelakainya. Anak-anak suku lain, serempetan domba, onak duri di jalan, batu-batu tajam, hembusan pasir oleh angin atau gigitan lipan dan binatang lain..." Yakup menjawab, masgul. Suaranya berat.
"Ya Abi. Takkan kami biarkan srigala menganggunya. Eh, bukan srigala, apapun hal yang mencelakai adik kami..."
Yakup berfirasat. Tapi ia khawatir mengutarakan. Janganlah sampai ia berburuk sangka dengan alam dan takdir Tuhan. Lalu ia mengangguk. Tanpa seulas senyum.
Taukah engkau betapa
sumringah Yusuf besok pagi? Ia telah merapikan rambut, memakai baju dan celana
panjang, siap ke padang penggembalaan. Nuuun, jauh di kaki bukit yang
melengkung, di rerumpun kurma yang daunnya melambai elok. Di bawah langit biru
dan aroma padang pasir diterpa cahaya mentari. Setelah menyalami bapaknya,
mereka berangkat berombongan. Yusuf diapit oleh saudara-saudaranya.
Masing-masing membawa sebuah bungkusan makanan, roti khuzb dan kuah bumbu.
Kakak sulungnya malah membawa pedang tajam yang
menggantung di pinggang. Yusuf, sesungguhnya berkhayal, suatu saat nanti jika
sudah dewasa, ia akan seperti kakaknya itu. Tak lama di perjalanan, keringat
mulai membasahi wajah bahkan dada. Tapi Yusuf tak mengacuhkannya. Suara detak
kaki-kaki domba, yang kadang berlompatan, sangat menarik hatinya. Sesekali ia
eluskan tangan ke bulu lembut di ujung telinga sang domba. Wuuuss....
"Yusuf, domba
yang ini matanya biru!" teriak kakaknya nomor tiga. Yusuf memandang,
sambil terus melangkah. Betul, bulatan sekitar biji mata domba itu , biru. Dan
badannya gemuk, hamil. Yusuf melangkah lebih cepat, mendekati domba bermata
biru. Nah, kesusul! Dia elus punggungnya. Domba itu membiarkan Yusuf meletakkan
tangan. Entah aura apa, atau frekuensi sayang bagaimana yang ada di hati Yusuf,
hingga domba pun seakan akrab dengan lelaki kecil beroman muka menawan ini.
Teman, padang penggembalaan biasa sudah tercapai. namun niat kemarin, adalah ke balik bukit melengkung, dimana ada oase sumur dalam, yang entah ada airnya atau tidak kini. Lalu, ternyata untuk mencapai lokasi itu di balik bukit melengkung, jauh juga. Terkadang kita merasa di balik bukit itu rada dekat. Namun setelah ditempuh, ternyata jauh. Ini mungkin mirip dengan pandangan kita saat merapat ke pelabuhan dengan kapal, dekat karena sudah terlihat lampu-lampu pelabuhan. Namun ternyata sudah lebih sejam, kapal belum merapat. Itulah kini yang terjadi. Sudah lelah mendaki menurun, menempuh jejak kafilah pedagang, nyatanya belum sampai jua. Di ujung kecapaian, akhirnya area itu terbentang di depan mata. Padang pasir miring, bebatuan, belasan pohon kurma, dan sumur tua di dekatnya. HIdung Yusuf sudah dipenuhi keringat. Pelipisnya juga. Nafas naik turun. Domba-dombapun segera mencari sisa-sisa rumput kering. Dan saudara-saudaranya terduduk, dengan wajah seperti aneh. Lirikan mata kakak-kakaknya kok tiba-tiba seperti api di tungku pembuatan roti di rumah? Menyala..... Ah, tak elok berprasangka. Mending istirahat dan membuka bungkusan roti khuzb!
Teman, padang penggembalaan biasa sudah tercapai. namun niat kemarin, adalah ke balik bukit melengkung, dimana ada oase sumur dalam, yang entah ada airnya atau tidak kini. Lalu, ternyata untuk mencapai lokasi itu di balik bukit melengkung, jauh juga. Terkadang kita merasa di balik bukit itu rada dekat. Namun setelah ditempuh, ternyata jauh. Ini mungkin mirip dengan pandangan kita saat merapat ke pelabuhan dengan kapal, dekat karena sudah terlihat lampu-lampu pelabuhan. Namun ternyata sudah lebih sejam, kapal belum merapat. Itulah kini yang terjadi. Sudah lelah mendaki menurun, menempuh jejak kafilah pedagang, nyatanya belum sampai jua. Di ujung kecapaian, akhirnya area itu terbentang di depan mata. Padang pasir miring, bebatuan, belasan pohon kurma, dan sumur tua di dekatnya. HIdung Yusuf sudah dipenuhi keringat. Pelipisnya juga. Nafas naik turun. Domba-dombapun segera mencari sisa-sisa rumput kering. Dan saudara-saudaranya terduduk, dengan wajah seperti aneh. Lirikan mata kakak-kakaknya kok tiba-tiba seperti api di tungku pembuatan roti di rumah? Menyala..... Ah, tak elok berprasangka. Mending istirahat dan membuka bungkusan roti khuzb!
Persediaan air minum
segera habis tandas. Tak diperhitungkan tadinya akan sehaus ini. Kakak tertua,
nomor dua dan ketiga serta berikutnya meneguk air dengan rakus. Lalu tersandar
duduk di batuan cadas.
"Lapar!" terdengar kakak ke tujuh bicara.
"Ya. Ayok makan duluan, sambil mengawasi ternak!" terdengar jawaban.
Bagai dikomando, semuanya membuka bungkusan khuzb, roti dan kuah bumbu. Memakannya penuh selera. Bagi Yusuf ini sungguh pengalaman baru. Lahap! Makan bersama itu, indah!
Masalah baru timbul setelah roti habis dan haus mendera. Air!! Masing-masing membuka baju kepanasan, dan mengipas-ngipaskannya.
Setelah saling pandang, dan kode dengan kedipan mata, mereka sepakat memeriksa sumur dalam di rumpun kurma. Siapa tau, ada air di dalam. Tapi, sulit dilihat, belasan meter dan agak gelap. Kakak nomor tujuh, mencoba melempar kerikil kecil. Plung! Nah, mungkin ada air di dasarnya!
Tapi bagaimana mengambilnya?
"Seorang dari kita bisa masuk ke dalam dengan tali. Sambil membawa wadah minum. Tali domba jantan, kita pakai untuk disambungkan, dan seorang diantara kita masuk. Mungkin yang paling ringan badannya, Yusuf!" kata kakak sulung. Kakak yang lain semua memandang ke Yusuf. Bagi Yusuf ini tantangan. Lelaki, pantang ditantang, loe jual gua beli!
"Ana akan coba turun, tapi pegang talinya kuat-kuat....." jawab Yusuf.
"Na-am! KIta akan pegang ujung tali, dan Yusuf turun membawa wadah air. Jika sudah mau naik, tarik talinya tiga kali!" jawab kakak-kakaknya. Lalu tanpa curiga, Yusuf, mulai turun pelan-pelan. Berhati-hati, Entah ada ular, atau biawak, atau apapun di dinding berbatu ini....
Di luar sana, domba bermata biru menatap sendu....
"Lapar!" terdengar kakak ke tujuh bicara.
"Ya. Ayok makan duluan, sambil mengawasi ternak!" terdengar jawaban.
Bagai dikomando, semuanya membuka bungkusan khuzb, roti dan kuah bumbu. Memakannya penuh selera. Bagi Yusuf ini sungguh pengalaman baru. Lahap! Makan bersama itu, indah!
Masalah baru timbul setelah roti habis dan haus mendera. Air!! Masing-masing membuka baju kepanasan, dan mengipas-ngipaskannya.
Setelah saling pandang, dan kode dengan kedipan mata, mereka sepakat memeriksa sumur dalam di rumpun kurma. Siapa tau, ada air di dalam. Tapi, sulit dilihat, belasan meter dan agak gelap. Kakak nomor tujuh, mencoba melempar kerikil kecil. Plung! Nah, mungkin ada air di dasarnya!
Tapi bagaimana mengambilnya?
"Seorang dari kita bisa masuk ke dalam dengan tali. Sambil membawa wadah minum. Tali domba jantan, kita pakai untuk disambungkan, dan seorang diantara kita masuk. Mungkin yang paling ringan badannya, Yusuf!" kata kakak sulung. Kakak yang lain semua memandang ke Yusuf. Bagi Yusuf ini tantangan. Lelaki, pantang ditantang, loe jual gua beli!
"Ana akan coba turun, tapi pegang talinya kuat-kuat....." jawab Yusuf.
"Na-am! KIta akan pegang ujung tali, dan Yusuf turun membawa wadah air. Jika sudah mau naik, tarik talinya tiga kali!" jawab kakak-kakaknya. Lalu tanpa curiga, Yusuf, mulai turun pelan-pelan. Berhati-hati, Entah ada ular, atau biawak, atau apapun di dinding berbatu ini....
Di luar sana, domba bermata biru menatap sendu....
Yusuf mencapai dasar.
Betul ada sedikit air tergenang. Ia mengambilnya dengan wadah yang dibawa.
Alhamdulillah, semoga ini cukup, bisik hatinya. Toh kalau kurang, ia bisa turun
lagi nanti....
Setelah wadah penuh dan ditutup, ia menggapai tali untuk turun tadi, hendak memberi tanda pada kakak-kakaknya agar menarik dari atas. Tapi, ya Tuhan, mana tali yang tadi dia pegang untuk turun?
Ia memeriksa ke atas. Terlihat terang, dan warna langit biru. Namun tak satupun kepala wajah kakaknya kelihatan, padahal tadi ramai di pinggir sumur ini.
"Kakak!" panggilnya.
Tak ada sahutan. Dia lihat lagi sekeliling, dalam temaram dasar sumur. Betul-betul tak ada tali tadi. Apa yang sudah terjadi ini? Kemana tali? Kemana kakak-kakaknya ?
"Kakaaaaak..." Yusuf memanggil lagi. Lebih keras. Suaranya bersipongang dalam dasar sumur. Tak ada kepala menjulur di atas sana. Dadanya mulai berdebar. Firasat tak baikmuncul.
Tanpa tali, mustahil ia naik ke atas. Ini curam melebihi sembilan puluh derajat.
"Kakaaaaakk...!" Yusuf berteriak. Frekuensi suaranya mulai khawatir. Sendiri dalam lubang tanah yang dalam. Rada gelap. Hiiiiii......
"Kakaaaaaaaaak. Kakaaaaaakkkkk....." Seperti berat oleh air mata. Nauzubillah.
Setelah wadah penuh dan ditutup, ia menggapai tali untuk turun tadi, hendak memberi tanda pada kakak-kakaknya agar menarik dari atas. Tapi, ya Tuhan, mana tali yang tadi dia pegang untuk turun?
Ia memeriksa ke atas. Terlihat terang, dan warna langit biru. Namun tak satupun kepala wajah kakaknya kelihatan, padahal tadi ramai di pinggir sumur ini.
"Kakak!" panggilnya.
Tak ada sahutan. Dia lihat lagi sekeliling, dalam temaram dasar sumur. Betul-betul tak ada tali tadi. Apa yang sudah terjadi ini? Kemana tali? Kemana kakak-kakaknya ?
"Kakaaaaak..." Yusuf memanggil lagi. Lebih keras. Suaranya bersipongang dalam dasar sumur. Tak ada kepala menjulur di atas sana. Dadanya mulai berdebar. Firasat tak baikmuncul.
Tanpa tali, mustahil ia naik ke atas. Ini curam melebihi sembilan puluh derajat.
"Kakaaaaakk...!" Yusuf berteriak. Frekuensi suaranya mulai khawatir. Sendiri dalam lubang tanah yang dalam. Rada gelap. Hiiiiii......
"Kakaaaaaaaaak. Kakaaaaaakkkkk....." Seperti berat oleh air mata. Nauzubillah.
Perlahan Yusuf sadar,
ia telah ditinggal sendirian. Tali domba sudah ditarik dari atas.
Kakak-kakaknya telah pergi. Pengkhianatan! Apa salah saya kak, katanya dalam
hati. Dan tetiba ia berteriak,"Ummiiiiiii........"
"Abiiiiiiiii............" Suaranya kembali bersipongan. Tapi,
siapakah yang akan mendengar? Batu di dinding sumur? Pasir coklat temaram?
Tidak, tidak satu orangpun di atas sana. Ya Tuhan,....
Di atas memang tak ada lagi orang. Sebab domba sudah digirng kakak-kakaknya ke tempat biasa mereka menggembala. Mereka meninggalkan Yusuf terkurung di dasar sumur dalam.
"Ternyata begitu mudah!" ujar kakak sulung.
"Ya. Pangeran kecil itu telah selesai. Ia habis!"
"Tapi Abi pasti marah!"
"Saya ingatkan kalian semua, jangan ada yang menceritakan sebenarnya terjadi. Kita tetap pada kesepakatan bahwa Yusuf dilarikan rombongan srigala!"
"Ya, na-am!"
"He , mana baju Yusuf tadi?"
"Ini!"
"Kita lumuri dengan darah domba. Pilih yang kecil, saya yang potong!"
"Yang itu saja kakak!"
"Oke, tangkap, bawa kesini!"
Dan leher domba kecil itu menjadi korban berikutnya dari persekongkolan mereka. Baju Yusuf memerah oleh muncratan urat darah di leher. Domba kecil menangis, lebih parau dari teriakan Yusuf di dasar sumur, belasan meter, di seberang bukit sana......
Di atas memang tak ada lagi orang. Sebab domba sudah digirng kakak-kakaknya ke tempat biasa mereka menggembala. Mereka meninggalkan Yusuf terkurung di dasar sumur dalam.
"Ternyata begitu mudah!" ujar kakak sulung.
"Ya. Pangeran kecil itu telah selesai. Ia habis!"
"Tapi Abi pasti marah!"
"Saya ingatkan kalian semua, jangan ada yang menceritakan sebenarnya terjadi. Kita tetap pada kesepakatan bahwa Yusuf dilarikan rombongan srigala!"
"Ya, na-am!"
"He , mana baju Yusuf tadi?"
"Ini!"
"Kita lumuri dengan darah domba. Pilih yang kecil, saya yang potong!"
"Yang itu saja kakak!"
"Oke, tangkap, bawa kesini!"
Dan leher domba kecil itu menjadi korban berikutnya dari persekongkolan mereka. Baju Yusuf memerah oleh muncratan urat darah di leher. Domba kecil menangis, lebih parau dari teriakan Yusuf di dasar sumur, belasan meter, di seberang bukit sana......
Seperti terburu-buru,
anaknya yang sulung diikuti adik-adiknya menangis menghiba dilutut Yakup.
"Adik kami ya Abiii, .....adik kamiiii"
"Apa yang sudah terjadi. Apa yang menimpa Yusuf? Mana dia?" Yakup masgul muram.
"Adik kamiii ya Abiii, adik kami yang sangat kami kasihi, dilarikan srigala. Dua rombongan,, ketika kami mengusir yang satu, rombongan lainnya merobek-robek adik kamiiiii, hu huuu huuuu."
Yakup blingsatan. Wajahnya kaku. Firasatnya akan keselamatan Yusuf, menjadi nyata. Dilarikan srigala di padang gurun tandus, dengan baju berlumuran darah, untuk ukuran anak kecil, adalah naas tak terkatakan. Tentulah sisa tulangnya juga sudah digunggung burung buas ke puncak bukit berbatu. Dagingnya tak bersisa. Tulangnya menumpuk di mulut gua batu puncak bukit cadas. Ya Allah, Ya Tuhan. Ya Allah,..Ya Tuhaaaaan.....
Lutut Yakup tiba-tiba lemas. Ia terduduk. Kedua tangan ia tutupkan ke wajah. Dari jemarinya, air mata mengalir deras. Ya Allah, Ya Tuhan, Ya Allah, Ya Tuhan.
Kematian anak, bagi orang tua, mungkin tak semua orang merasakan kepedihannya. Anak sakit keras, bolehjadi semua pernah mencoba. Pernahkah kita mendengar Vanny Vabiola meratap akan kematian anaknya dalam lantunan Anak Sarugo? Ia melulung, seakan protes pada kehendak alam. Iramanya pedih. Yakup, lebih dari itu. Sebab Yusuf, memberi tanda akan amanah kelanjutan syariah dari Yang Maha Kuasa. Dan wajah Yusuf, ...Ooo....Ya Allah, Ya Tuhan. Ya Rabbiiiiiiiii......
"Adik kami ya Abiii, .....adik kamiiii"
"Apa yang sudah terjadi. Apa yang menimpa Yusuf? Mana dia?" Yakup masgul muram.
"Adik kamiii ya Abiii, adik kami yang sangat kami kasihi, dilarikan srigala. Dua rombongan,, ketika kami mengusir yang satu, rombongan lainnya merobek-robek adik kamiiiii, hu huuu huuuu."
Yakup blingsatan. Wajahnya kaku. Firasatnya akan keselamatan Yusuf, menjadi nyata. Dilarikan srigala di padang gurun tandus, dengan baju berlumuran darah, untuk ukuran anak kecil, adalah naas tak terkatakan. Tentulah sisa tulangnya juga sudah digunggung burung buas ke puncak bukit berbatu. Dagingnya tak bersisa. Tulangnya menumpuk di mulut gua batu puncak bukit cadas. Ya Allah, Ya Tuhan. Ya Allah,..Ya Tuhaaaaan.....
Lutut Yakup tiba-tiba lemas. Ia terduduk. Kedua tangan ia tutupkan ke wajah. Dari jemarinya, air mata mengalir deras. Ya Allah, Ya Tuhan, Ya Allah, Ya Tuhan.
Kematian anak, bagi orang tua, mungkin tak semua orang merasakan kepedihannya. Anak sakit keras, bolehjadi semua pernah mencoba. Pernahkah kita mendengar Vanny Vabiola meratap akan kematian anaknya dalam lantunan Anak Sarugo? Ia melulung, seakan protes pada kehendak alam. Iramanya pedih. Yakup, lebih dari itu. Sebab Yusuf, memberi tanda akan amanah kelanjutan syariah dari Yang Maha Kuasa. Dan wajah Yusuf, ...Ooo....Ya Allah, Ya Tuhan. Ya Rabbiiiiiiiii......
Malam ini ramai di
rumah Yakup dan istrinya. Tetangga semua bertakziah memberi empati, menghibur
dan membawakan makanan. Semua wajah terlihat berduka. Seluruh muka tunduk
menekur. Termasuk kepala semua kakak Yusuf. Sayang sekali kita tak dapat
melihat sinar mata mereka, sebab semua melihat ke bawah.
Beda halnya dengan kepala kecil di dalam sumur nun di balik bukit melengkung luar sana. Kepala Yusuf justru hampir selalu mendongak ke atas. Ia sudah menghentikan tangisnya, sebab tiada berguna. Ia kini berfikir bagaimana bisa selamat dari posisi terjebak ini. Barangkali ada saja kepala yang menjulur ke bawah di atas sana, entah itu musafir atau siapapun, atau mungkin Umminya bersama Abi. Sayang, disaat gelap malam menyungkup, udara oksigen di dasar sumur menipis, masih tak satu jua yang nongol. Sunyi sepi. Tak ada srigala. Tak ada burung. Tak ada binatang apapun. Dingin. Memandang ke atas, adalah gelap langit, dan satu dua bintang. Air! Ya Yusuf lapar. dan ada air. Ia minum seteguk dua teguk. Lalu kembali mendongak ke atas. Andai cecak, atau labah-labah, tentulah ia akan merayap di batuan pasir ini ke atas sana. Tapi tidak! Ia anak lelaki kecil yang tak bisa apa-apa..... Menangis? Tidak! Itu hanya akan memerihkan dada. Menyesakkan jantung. Dan bisa mempercepat kematian! Yusuf belum mau mati. Belum. Ia ingin hidup. Ia berkhayal, bahwa matahari, rembulan dan gemintang sujud dan bermain bersamanya... Tuhan, jika ada sesedikit apapun sayangMu padaku, tolong hamba ya Tuhan, bisik hatinya. Sambil menggigit bibir. Memandang ke atas. Menangis ia tak mau,....... tidak!
Beda halnya dengan kepala kecil di dalam sumur nun di balik bukit melengkung luar sana. Kepala Yusuf justru hampir selalu mendongak ke atas. Ia sudah menghentikan tangisnya, sebab tiada berguna. Ia kini berfikir bagaimana bisa selamat dari posisi terjebak ini. Barangkali ada saja kepala yang menjulur ke bawah di atas sana, entah itu musafir atau siapapun, atau mungkin Umminya bersama Abi. Sayang, disaat gelap malam menyungkup, udara oksigen di dasar sumur menipis, masih tak satu jua yang nongol. Sunyi sepi. Tak ada srigala. Tak ada burung. Tak ada binatang apapun. Dingin. Memandang ke atas, adalah gelap langit, dan satu dua bintang. Air! Ya Yusuf lapar. dan ada air. Ia minum seteguk dua teguk. Lalu kembali mendongak ke atas. Andai cecak, atau labah-labah, tentulah ia akan merayap di batuan pasir ini ke atas sana. Tapi tidak! Ia anak lelaki kecil yang tak bisa apa-apa..... Menangis? Tidak! Itu hanya akan memerihkan dada. Menyesakkan jantung. Dan bisa mempercepat kematian! Yusuf belum mau mati. Belum. Ia ingin hidup. Ia berkhayal, bahwa matahari, rembulan dan gemintang sujud dan bermain bersamanya... Tuhan, jika ada sesedikit apapun sayangMu padaku, tolong hamba ya Tuhan, bisik hatinya. Sambil menggigit bibir. Memandang ke atas. Menangis ia tak mau,....... tidak!
Capek, lapar, takut,
menyatu. Memagut diri, menghadang malam. Sungguh, dalam semua malam yang ia
jalani, inilah yang paling tak terduga. Ini berbeda sangat dengan malam dulu ia
bermimpi bersama bulan dan matahari. Ini mengerikan. Ini membunuh! Dan ia tak
mau! Ia lalu terduduk, tak lagi menoleh ke atas. Letih….. mengantuk, lapar dan
dingin. Adakah yang mau merasakan suasana tak berbaju dalam dasar sumur dan
oksigen menipis? Ah, hanya orang gila atau putus asa yang mau!
Lalu mata Yusuf terpejam sendiri. Sudah tengah malam. Dalam tidur ia melihat matahari dan rembulan tersenyum. Di antara mereka, muncul makhluk bersayap putih dengan wajah bersih. "Ananda, maukah engkau ditolong Tuhan?" tanyanya.
"Bukan lagi mau, tapi dari tadi saya sudah berdo'a…" jawab Yusuf.
"Pujilah Tuhanmu, lalu berdoalah, kata makhluk putih bersih bersayap itu. Yusuf berdo'a. Komat-kamit.
"Aku ajarkan do'a ini. Bacalah. " ujar makhluk itu senyum. Yusuf mendengar dan mengkuti.
"Wahai Pencipta segala yang tercipta
Wahai Penyembuh segala yang terluka
Wahai Yang Menyertai segala kumpulan
Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan
Wahai Yang Dekat dan tidak berjauhan
Wahai Penakluk yang tak
tertaklukkan
Wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib
Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati
Wahai Yang Menghidupkan yang mati
Tiada Tuhan kecuali Engkau,
Maha Suci Engkau
Aku bermohon kepada-Mu
Yang Empunya Pujian
Wahai Pencipta langit dan bumi
Wahai Pemilik Kerajaan
Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan
Aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
Berilah jalan keluar dan
penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan
Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tidak aku duga."
Setelah itu makhluk tersebut hilang terbang. Yusuf terbangun. Cahaya fajar terlihat di atas. Keringat dingin mulai terasa di badannya. Apakah ia demam? Tidak Tuhan, saya tak mau sakit. Saya ingin keluar,...Saya ingin selamat, saya ingin memeluk ummi dan abiii….
Lalu mata Yusuf terpejam sendiri. Sudah tengah malam. Dalam tidur ia melihat matahari dan rembulan tersenyum. Di antara mereka, muncul makhluk bersayap putih dengan wajah bersih. "Ananda, maukah engkau ditolong Tuhan?" tanyanya.
"Bukan lagi mau, tapi dari tadi saya sudah berdo'a…" jawab Yusuf.
"Pujilah Tuhanmu, lalu berdoalah, kata makhluk putih bersih bersayap itu. Yusuf berdo'a. Komat-kamit.
"Aku ajarkan do'a ini. Bacalah. " ujar makhluk itu senyum. Yusuf mendengar dan mengkuti.
"Wahai Pencipta segala yang tercipta
Wahai Penyembuh segala yang terluka
Wahai Yang Menyertai segala kumpulan
Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan
Wahai Yang Dekat dan tidak berjauhan
Wahai Penakluk yang tak
tertaklukkan
Wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib
Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati
Wahai Yang Menghidupkan yang mati
Tiada Tuhan kecuali Engkau,
Maha Suci Engkau
Aku bermohon kepada-Mu
Yang Empunya Pujian
Wahai Pencipta langit dan bumi
Wahai Pemilik Kerajaan
Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan
Aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
Berilah jalan keluar dan
penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan
Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tidak aku duga."
Setelah itu makhluk tersebut hilang terbang. Yusuf terbangun. Cahaya fajar terlihat di atas. Keringat dingin mulai terasa di badannya. Apakah ia demam? Tidak Tuhan, saya tak mau sakit. Saya ingin keluar,...Saya ingin selamat, saya ingin memeluk ummi dan abiii….
Perlahan langit
berubah terang. Ini sudah hari yang baru! Dan ia masih hidup! Terimakasih ya
Tuhan, walau lapar, tapi ia masih terduduk. Termangu.... Bisakah tanah coklat
berkerikil ini dimakan? Atau cukuplah dia menelan ludah berkali-kali?
"Asyiiim!!!! " Yusuf bersin. Peluh dingin mulai kering. Langit
berubah jadi membiru. Seteguk-duateguk air membasah di kerongkongan.
Ummiiiii,,.....lapaaaarrrr,...
Tiba-tiba ada suara gaduh di atas. Entah itu seperti telapak kaki unta. Kemudian terdengar suara berbicara. Tidak jelas. Namun menghidupkan nyali!
"Abiiiiiii,........!!!" semoga itu adalah bapaknya. Berharap ada yang menjulurkan wajah. Di atas sana, di bibir sumur. Dan betul! Sebuah kepala menonjol. Melihat ke bawah. Lalu ia menelisik heran. Kemudian memanggil temannya. Kini ada dua kepala menengok ke bawah, ke arah dia.
"Tolong hambaaa,...." jeritnya.
Lelaki di atas segera menyadari, ada anak kecil di dasar sumur. Nun, di dasar yang gelap. Ia segera menurunkan timba yang dia ambil dari bungkusan di punuk unta, dan mengulurkannya ke Yusuf, perlahan. Yusuf menanti penuh harap. Ember itu berjalan perlahan ke arahnya. Begitu sampai di ubun-ubunnya, ia pegang.
"Pegang kuat-kuat nak. Kami tarik!" ujar dua lelaki di atas sana. Yusuf memegang tali. Dengan sisa tenaga yang ada. Telapak tangannya memerah. Memerah dan membiru. Sisa dingin dan entah masuk angin juga. Tapi harapan akan selamat, membuat jantungnya bergetar kencang. Tuhan menolongku, Tuhan menolongku,...desisnya. Dengan kaki bertelekan di dinding sumur, akhirnya ia teronggok di bibir sumur. Memeluk kaki lelaki tinggi besar yang menolongnya.
"Syukran ya bapak, syukran," ucapnya lemah.
Lelaki berdua itu pedagang Arab ke Mesir. Dan bahagia hatinya berlipat sebab tak hanya bisa menolong seorang anak manusia, tapi anak lelaki tampan ini bisa menjadi sumber fulus di Qahirah besoknya. Di Jazirah Arab, mendapatkan anak jalanan, adalah harta budak. Mereka bisa menjual di pasar pada yang membutuhkan. Zaman Rasul saw, Bilal adalah salah satu contoh. Budak belian dari Abu Umayyah. Sekarangpun, jika mau jujur,, budak masih ada, tapi berubah nama ,menjadi 'human trafickking'. Budak Singkawang bisa mahal di Merauke. Budak Jawa Barat bisa berharga di Batam. Begitulah struktur sosial, tak banyak berubah. Dan profil seperti anak lelaki yang diperoleh dari dasar sumur ini, mungkin tinggi harganya di Mesir. Mudah-mudahan!
Tiba-tiba ada suara gaduh di atas. Entah itu seperti telapak kaki unta. Kemudian terdengar suara berbicara. Tidak jelas. Namun menghidupkan nyali!
"Abiiiiiii,........!!!" semoga itu adalah bapaknya. Berharap ada yang menjulurkan wajah. Di atas sana, di bibir sumur. Dan betul! Sebuah kepala menonjol. Melihat ke bawah. Lalu ia menelisik heran. Kemudian memanggil temannya. Kini ada dua kepala menengok ke bawah, ke arah dia.
"Tolong hambaaa,...." jeritnya.
Lelaki di atas segera menyadari, ada anak kecil di dasar sumur. Nun, di dasar yang gelap. Ia segera menurunkan timba yang dia ambil dari bungkusan di punuk unta, dan mengulurkannya ke Yusuf, perlahan. Yusuf menanti penuh harap. Ember itu berjalan perlahan ke arahnya. Begitu sampai di ubun-ubunnya, ia pegang.
"Pegang kuat-kuat nak. Kami tarik!" ujar dua lelaki di atas sana. Yusuf memegang tali. Dengan sisa tenaga yang ada. Telapak tangannya memerah. Memerah dan membiru. Sisa dingin dan entah masuk angin juga. Tapi harapan akan selamat, membuat jantungnya bergetar kencang. Tuhan menolongku, Tuhan menolongku,...desisnya. Dengan kaki bertelekan di dinding sumur, akhirnya ia teronggok di bibir sumur. Memeluk kaki lelaki tinggi besar yang menolongnya.
"Syukran ya bapak, syukran," ucapnya lemah.
Lelaki berdua itu pedagang Arab ke Mesir. Dan bahagia hatinya berlipat sebab tak hanya bisa menolong seorang anak manusia, tapi anak lelaki tampan ini bisa menjadi sumber fulus di Qahirah besoknya. Di Jazirah Arab, mendapatkan anak jalanan, adalah harta budak. Mereka bisa menjual di pasar pada yang membutuhkan. Zaman Rasul saw, Bilal adalah salah satu contoh. Budak belian dari Abu Umayyah. Sekarangpun, jika mau jujur,, budak masih ada, tapi berubah nama ,menjadi 'human trafickking'. Budak Singkawang bisa mahal di Merauke. Budak Jawa Barat bisa berharga di Batam. Begitulah struktur sosial, tak banyak berubah. Dan profil seperti anak lelaki yang diperoleh dari dasar sumur ini, mungkin tinggi harganya di Mesir. Mudah-mudahan!
Yusuf belum sadar
sepenuhnya apa yang terjadi. Malam kemarin ia masih tidur dekat Ummi dan Abi.
Malam tadi ia tak tidur sepenuhnya, di dasar sumur. Kini, mendekati malam
ketiga, ia seperti menikmati hidup yang baru lagi. Dipeluk Ali Bayi' di antara
dua punuk unta, jalan bergelombang-gelombang menuju Qahirah. Qahirah? Itu
sebuah daerah yang pernah dia dengar dari Abi, yang penduduknya ramai dan maju.
Ada raja di sana. Ada bangunan tinggi runcing juga. Bahkan ada patung seperti kepala singa. Ooo....
Tuhan memberinya pelajaran. Di rumah dalam lindungan ummi dan abi, tapi tak melihat apapun selain halaman dan kandang domba serta tungku roti khabis. Kini ia menjadi budak peliharaan pedagang, naik turun seperti gelombang laut di punggung unta. Belum pernah ia ada di atas hewan tinggi ini. Kadang ngeri juga. Tapi tangan kiri Ali Bayi' memeluknya dengan kokoh. Yusuf merasa aman. Bahkan tadi ia diberi makan roti, kurma dan ikan kering.Begitulah, perjalanan nasib kehidupan, naik turun. Ia mulai belajar. Bagai teri kecil, kini ia mulai dihempas ombak....
Tuhan memberinya pelajaran. Di rumah dalam lindungan ummi dan abi, tapi tak melihat apapun selain halaman dan kandang domba serta tungku roti khabis. Kini ia menjadi budak peliharaan pedagang, naik turun seperti gelombang laut di punggung unta. Belum pernah ia ada di atas hewan tinggi ini. Kadang ngeri juga. Tapi tangan kiri Ali Bayi' memeluknya dengan kokoh. Yusuf merasa aman. Bahkan tadi ia diberi makan roti, kurma dan ikan kering.Begitulah, perjalanan nasib kehidupan, naik turun. Ia mulai belajar. Bagai teri kecil, kini ia mulai dihempas ombak....
Besoknya lagi mereka
bertiga sampai di semenanjung At Taufiq, dekat area Al Suus. Betapa Yusuf
melihat keuletan dalam kehidupan pedagang. Mereka berani menempuh perjalanan
jauh. Siang dan malam. Membawa barang untuk dijual. Menyangkutkan sebilah
pedang di pinggang. Itu heroik sekali. Yusuf kagum. Hidup berhemat dengan
bungkusan makanan, membawa barang dagangan, dan siap berkelahi dengan apapun di
perjalanan. Gurun tandus berbatu, terkadang kejam, walau lambaian daun
kurmanya, di langit biru, terlihat indah.
Besoknya lagi mereka mulai masuk perkampungan. Mulai ada yang bertanya, membawa
dagangan apa. Ali Bayi' dan sepupunya, melayani dengan ramah. Yusuf terus
mencermati. Kadang Ali Bayi' senyum padaanya. Yusuf malu. Ia menunduk.
Bolehjadi Ali Bayi' merasa aneh, keluarga macam apa yang begitu serampangan
membiarkan anak lelaki segagah ganteng begini, terbiar semalaman dalam sumur
hampir mati.... Dunia, kadang memang aneh. Penuh rahasia. Tuhan saja yang Maha
Tahu setiap gerak yang ada di bumiNya.
Pasar Qahirah terletak di pinggir sungai Nil. Orang-orang
datang dari hulu dan muara. Kota Qahirah pun ramai penduduknya. Negri ini
dipimpin seorang raja , Al Aziz, yang memiliki istri muda cantik, Siti
Zulaikha.
Ali Bayi' memarkir untanya dan segera menawarkan dagangan di pasar itu. Ada sutra, ada penutup kepala dan lain-lain. Lalu, Yusuf dia suruh duduk di sampingnya. Kepada orang-orang dia kabarkan, bahwa lelaki belia yang dia bawa adalah budak yang akan dijual 300 hidj. Sangat mahal.
Tapi orang-orang datang menawar dagangannya sambil melirik ke Yusuf. Terutama ibu-ibu. Namun begitu mereka tau, budak elok itu harganya 300 hidj, mereka patah harapan, terlalu mahal. Sampai akhirnya di istana kabar tentang budak mahal itu didengar oleh Siti Zulaikha, yang telah bertahun menikah dengan Al Aziz, namun belum dikaruniai anak semata wayangpun. Ia terinspirasi untuk melihat budak belian yang dikabarkan begitu mahal itu.
Sekali tatap saja Siti Zulaikha sudah berdegup. Padahal Yusuf tak tau jika ia sedang diperhatikan petinggi negri yang ke pasar bersama pembantunya. Tiga ratus hidj segera berpindah dari tas Siti Zulaikha ke kantong Ali Bayi'. Dan Ali Bayi' pun menerima duit logam itu seakan tak percaya. Matanya bercahaya melihat tumpukan uang logam yang diterima. Sepupunyapun, ikut sumringah. Tentu saja dengan ikhlas ia lepas anak kecil penghuni sumur bukit melengkung itu pergi dengan majikannya yang baru. Tigaratus hidj! Bayi' senyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara Yusuf menunduk dituntun pembantu Zulaikha menuju istana dengan unta yang teramat jinak. Entah pelajaran apalagi yang akan diberikan Tuhan kepada Yusuf. Tidak taulah! Yang jelas ia mulai faham, kemenyatuan hati dengan Tuhan, kegigihan, kejujuran, menolong sangat dalam hidup dia yang masih belia ini. Terserah Tuhan sajalah,...... Bagai sepeda, kita hanya mengayuh, Tuhan yang pegang stangnya.....
Ali Bayi' memarkir untanya dan segera menawarkan dagangan di pasar itu. Ada sutra, ada penutup kepala dan lain-lain. Lalu, Yusuf dia suruh duduk di sampingnya. Kepada orang-orang dia kabarkan, bahwa lelaki belia yang dia bawa adalah budak yang akan dijual 300 hidj. Sangat mahal.
Tapi orang-orang datang menawar dagangannya sambil melirik ke Yusuf. Terutama ibu-ibu. Namun begitu mereka tau, budak elok itu harganya 300 hidj, mereka patah harapan, terlalu mahal. Sampai akhirnya di istana kabar tentang budak mahal itu didengar oleh Siti Zulaikha, yang telah bertahun menikah dengan Al Aziz, namun belum dikaruniai anak semata wayangpun. Ia terinspirasi untuk melihat budak belian yang dikabarkan begitu mahal itu.
Sekali tatap saja Siti Zulaikha sudah berdegup. Padahal Yusuf tak tau jika ia sedang diperhatikan petinggi negri yang ke pasar bersama pembantunya. Tiga ratus hidj segera berpindah dari tas Siti Zulaikha ke kantong Ali Bayi'. Dan Ali Bayi' pun menerima duit logam itu seakan tak percaya. Matanya bercahaya melihat tumpukan uang logam yang diterima. Sepupunyapun, ikut sumringah. Tentu saja dengan ikhlas ia lepas anak kecil penghuni sumur bukit melengkung itu pergi dengan majikannya yang baru. Tigaratus hidj! Bayi' senyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara Yusuf menunduk dituntun pembantu Zulaikha menuju istana dengan unta yang teramat jinak. Entah pelajaran apalagi yang akan diberikan Tuhan kepada Yusuf. Tidak taulah! Yang jelas ia mulai faham, kemenyatuan hati dengan Tuhan, kegigihan, kejujuran, menolong sangat dalam hidup dia yang masih belia ini. Terserah Tuhan sajalah,...... Bagai sepeda, kita hanya mengayuh, Tuhan yang pegang stangnya.....
Unta
yang membawa Siti Zulaikha dan Yusuf yang dipegangi pembantu, berjalan
beriringan. Menuju timur sungai Nil. Ke istana. Siti Zulaikha, entah kenapa
sedari tadi memandang terus ke Yusuf. Mungkin kini ia bisa bahagia, punya anak
angkat,...
"Siapa namamu nak?" tanya Zulaikha.
Yusuf tak berani menatap. Ia hanya menjawab pendek,"Yusuf..."
Inilah bedanya hidup merdeka di rumah abi dan ummi. Yusuf bisa melihat wajah abi dan ummi jika bercengkrama setiap hari. Sekarang, ia menjadi teramat kecil sebesar debu. Budak belian! Jangan kan mendongakkan kepala, bicaranya saja ia atur pelan. Seakan tak terdengar.
"Siapa sayang?"
"Yusuf."
"Oh, Yusuf. Bagus sekali. Yusuf boleh panggil bunda dengan Bunda Siti ya. Bunda Siti Zulaika..."
"Ya Bunda," Yusuf tetap menunduk. Menjawab pelan.
Siti Zulaikha makin penasaran. Bagaimana bisa, pemuda belia dengan wajah bagai pangeran ini diperjual belikan di pasar Qahirah?
"Memangnya orang tuamu dimana Yusuf?"
"Jazirah Falistin, Bunda."
"Oh, jauh ya. Tentu Yusuf sudah berjalan tiga hari tiga malam ke sini. Nanti di istana bunda siapkan makanan, pakaian dan kamar yang baik. Yusuf kini jadi anak Bunda ya!"
"Iya Bunda."
Ah,..
"Siapa namamu nak?" tanya Zulaikha.
Yusuf tak berani menatap. Ia hanya menjawab pendek,"Yusuf..."
Inilah bedanya hidup merdeka di rumah abi dan ummi. Yusuf bisa melihat wajah abi dan ummi jika bercengkrama setiap hari. Sekarang, ia menjadi teramat kecil sebesar debu. Budak belian! Jangan kan mendongakkan kepala, bicaranya saja ia atur pelan. Seakan tak terdengar.
"Siapa sayang?"
"Yusuf."
"Oh, Yusuf. Bagus sekali. Yusuf boleh panggil bunda dengan Bunda Siti ya. Bunda Siti Zulaika..."
"Ya Bunda," Yusuf tetap menunduk. Menjawab pelan.
Siti Zulaikha makin penasaran. Bagaimana bisa, pemuda belia dengan wajah bagai pangeran ini diperjual belikan di pasar Qahirah?
"Memangnya orang tuamu dimana Yusuf?"
"Jazirah Falistin, Bunda."
"Oh, jauh ya. Tentu Yusuf sudah berjalan tiga hari tiga malam ke sini. Nanti di istana bunda siapkan makanan, pakaian dan kamar yang baik. Yusuf kini jadi anak Bunda ya!"
"Iya Bunda."
Ah,..
Sesampai
di istana, Siti Zulaikha langsung menyuruh pegawai menyiapkan makanan, pakaian
dan kamar. Tentusaja pelayan istana segera manut patuh. Sebab Siti Zulaikha
bilang, ini Yusuf, anak Bunda Siti, baru datang dari Falistin.
Bunda Siti memberinya pakaian yang bagus. Baju bekas kedodoran yang dikasi Ali Bayi' kini bertukar pakaian bagus rapi. Yusuf memang keren abis !
"Sini anak Bunda. Diolesi wangian!" Siti Zulaikha memoleskan harum-haruman ke pundak dan lengannya. Ya Tuhan, wanginya! tak pernah ia mencium bau ini di rumah Abi dan Ummi. Yusuf kini seperti boneka muda, sepuluh tahunan. wajahnya rupawan. Bingung. Dan Bunda Siti segera memeluk dan mencium pelipisnya, "Aduh sayang Bunda! Ayok makan..."
Handeh!
Pelayan pegawai istana juga gembira. Siapa tau, dengan kehadiran 'anak' Bunda Siti ini, mereka akan lebih mendapat perlakuan ramah, baik dan sejahtera. Iya kan?
Bunda Siti memberinya pakaian yang bagus. Baju bekas kedodoran yang dikasi Ali Bayi' kini bertukar pakaian bagus rapi. Yusuf memang keren abis !
"Sini anak Bunda. Diolesi wangian!" Siti Zulaikha memoleskan harum-haruman ke pundak dan lengannya. Ya Tuhan, wanginya! tak pernah ia mencium bau ini di rumah Abi dan Ummi. Yusuf kini seperti boneka muda, sepuluh tahunan. wajahnya rupawan. Bingung. Dan Bunda Siti segera memeluk dan mencium pelipisnya, "Aduh sayang Bunda! Ayok makan..."
Handeh!
Pelayan pegawai istana juga gembira. Siapa tau, dengan kehadiran 'anak' Bunda Siti ini, mereka akan lebih mendapat perlakuan ramah, baik dan sejahtera. Iya kan?
Dijamu di meja
makan dengan juadah lengkap. Ada nasi kebuli ada roti khubz. Ada ikan segar ada
daging kambing. Ada bermacam sayur masak maupun lalapan. Ah, Yusuf termenung.
Perjalanan hidup beberapa hari terakhir betul-betul seperti pelangi, warna
warni, naik turun. Disayang, dikhianati, ditinggal, ditolong, dijual, dan kini
dimanja mewah. Tuhan, bagaimana hamba hendak bicara denganMu, bisik batin
Yusuf.
Sore hari
Raja Al-Aziz pulang dengan rombongannya. Menunggang kuda putih dan coklat. Para pegawai istana segera menyambut dan
mengurus kuda-kuda itu. Al Aziz turun dan segera diseret tangannya oleh
Istrinya, Siti Zulaikha.
"Kanda, sini lihat di kamar belakang, kita dapat anak angkat..."
"Ow, anak?"
"Ya. Keberuntungan pagi tadi. Budak dari falistin. Bersih dan lugu!"
Mereka masuk ke kamar Yusuf. Apalah yang akan dikatakan Yusuf? Menyapa? Dia akan panggil apa? Aduh, salah tingkah beneran. Gugup.
Untunglah Raja Al Aziz mendekatinya dengan ramah. Memegang kepalanya di ubun-ubun. Mengusap-usap.
"Namamu Yusuf?"
"Iya Tuan. Iya Tuan Raja."
"Yusuf, kamu boleh panggil saya dengan Ayahanda saja. Oke?"
"Ya,...ya Ayahanda!"
Aduh, sungguh tak terbayangkan ada bangunan megah begini, kamarnya banyak, ruangnya lapang, bersih, makanan enak, dan penghuninya baik sekali. Surgakah ini?
"Kanda, sini lihat di kamar belakang, kita dapat anak angkat..."
"Ow, anak?"
"Ya. Keberuntungan pagi tadi. Budak dari falistin. Bersih dan lugu!"
Mereka masuk ke kamar Yusuf. Apalah yang akan dikatakan Yusuf? Menyapa? Dia akan panggil apa? Aduh, salah tingkah beneran. Gugup.
Untunglah Raja Al Aziz mendekatinya dengan ramah. Memegang kepalanya di ubun-ubun. Mengusap-usap.
"Namamu Yusuf?"
"Iya Tuan. Iya Tuan Raja."
"Yusuf, kamu boleh panggil saya dengan Ayahanda saja. Oke?"
"Ya,...ya Ayahanda!"
Aduh, sungguh tak terbayangkan ada bangunan megah begini, kamarnya banyak, ruangnya lapang, bersih, makanan enak, dan penghuninya baik sekali. Surgakah ini?
Kehangatan kasih
sayang ibu angkatnya, Bunda Siti, sesaat membuat Yusuf bahagia. Kamar yang
luas. Baju yang bagus. Makanan enak. Perhatian yang penuh, karena ia menjadi
anak tunggal di istana yang megah ini. Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagi yang
akan disangkal? Tak ada!
Tapi kalau
boleh jujur, aura sayang Ummi dan Abi, dalam kesederhanaannya, sungguh terasa
murni. Fitri. Suci. Tak kurang tak lebih dan apa adanya. Dengan Ummi, kena
marahpun, terasa indah. Betul, sungguh.
Di bangunan megah ini, Yusuf belajar menjadi orang
baik yang tidak mengecewakan. Membahagiakan Bunda dan Ayahanda. Maka tak ada
satu aspekpun yang bisa ia asah, selain kepintaran. Kecerdasan. Kearifan. Roman
muka nan elok, suatu saat toh akan tua juga.
Itulah sebabnya,
ketika hari-hari berikutnya Bunda bertanya , ia angin apa, maka Yusuf minta
diberi guru spiritual, serta mushaf-mushaf ilmu pelajaran. "Wahai anak
bunda, itu mudah buat bunda penuhi. Sore ini pun, guru spiritual akan
membimbingmu. Mushaf apapun yang kita punya boleh engkau pelajari." jawab
Bunda Siti. Kepala Yusuf diusap-usap penuh kasih. Aroma wewangian Bundanya,
menusuk hidung. Yusuf merasa tentram.
Lalu suasana
istana, berubah menjadi ceria. Bunda Siti kini punya anak. Tak sekedar punya,
tapi sudah remaja kecil. Dan lagi, wajahnya tampan rupawan. Boelhjadi kita lupa
dengan deraan masalah jika terpandang roman mukanya. Subhanallah.
Raja Al Aziz
pun terkena dampak. Ia terlihat lebih sumringah. Pagi-pagi hari, ia sudah mandi
dan bersisir rapi. Entah apa yang berubah di kamar peraduan, kita sungkan malu
juga untuk menyelidiki. Bagi umumnya laki-laki, kebahagiaan itu sederhana saja. Seluruh harta silakan ambil bagi yang berhak,
asalkan ia disayang dan dibantu membersihkan diri. Maaf, paragraf ini, cukup!
Bunda Siti
Zulaikha pun kini berubah jadi hangat. Ia ramah dengan sesiapapun. Sedekahnya
makin banyak. Ceria.
Maka pegawai istana melihat Raja dan Bunda Siti bagai pengantin baru kembali.
Maka pegawai istana melihat Raja dan Bunda Siti bagai pengantin baru kembali.
Tak hanya
sampai disitu, setiap pelayan istana, mulai bulan depan akan mendapat tambahan
jatah satu karung gandum untuk keluarga mereka. Efeknya, Yusuf menjadi lebih
disayang oleh semua . Ia seperti makhluk pembawa berkah.
Itulah sebabnya
Yusuf sering dapat oleh-oleh dari pegawai istana. Ada yang memberinya buah
delima. Kala lain, ia dihadiahi pisang yang ranum. Tak jarang juga ada yang
mengasih mushaf lama yang tersimpan di rumah penduduk. Semuanya, mencukupi
kehausan Yusuf pada kasihsayang dan ilmu pengetahuan. Kadang-kadang guru
spiritualnya mengajak berjalan ke lahan pertanian pinggir sungai. Memperhatikan
petani menanam jagung, kedelai dan gandum. Ikut memetik buah kurma. Serta
menunggang keledai yang kecil jinak.
Bercengkrama dengan petani kecil itu, di sawah ladang mereka, ternyata memilki
kenikmatan tersendiri. Yusuf senang jika mata para petani dan anak-anaknya
ceria, berbincang-bincang.
Di waktu lain, ia diajak berjalan ke pinggiran sungai Nil. Melihat perahu hilir mudik. Sibuk membawa penumpang dan barang dagangan. Jika mereka tahu, bahwa yang melihat mereka di pinggir sungai adalah Yusuf dan gurunya, mereka akan melambaikan tangan sambil berteriak,"Salam untukmu wahai Yusuuuuuf!!" Yusuf dan gurunya membalas dengan melambaikan tangan juga. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo!
Di waktu lain, ia diajak berjalan ke pinggiran sungai Nil. Melihat perahu hilir mudik. Sibuk membawa penumpang dan barang dagangan. Jika mereka tahu, bahwa yang melihat mereka di pinggir sungai adalah Yusuf dan gurunya, mereka akan melambaikan tangan sambil berteriak,"Salam untukmu wahai Yusuuuuuf!!" Yusuf dan gurunya membalas dengan melambaikan tangan juga. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo!
Biasanya
sepulang dari berjalan itu mereka juga dioleh-olehi oleh penduduk. Rezki
mengalir dari mana-mana. Bukan tentang kuantitasnya, tapi mengenai keikhlasan
senyum yang memberi.
Syukran ya akhiii, syukran!!
Syukran ya akhiii, syukran!!
Ini
adalah fenomena umum yang terjadi pada makhluk apapun. Jika gizi bagus, makan
teratur, santapan ilmu dan rohani juga diasupi, maka badan menjadi bongsor. Hal
yang sama terjadi pada Yusuf. Kehidupan istana yang megah berkecukupan,
membentuk tubuh Yusuf menjadi berubah cepat. Tinggi besar, putih semampai.
Hidung mancung mata cemerlang bersinar. Bibirnya kemerahan alami. Senyumnya
meruntuhkan kalbu.
Maka kini, setelah beberapa tahun, pelayan pegawai istana yang perempuan mulai menunduk malu-malu jika bertemu Yusuf. Khayal mereka jika di belakang Yusuf, jauh.....
Tak terkecuali Bunda Siti. Ia mulai menyadari Yusuf sudah akil balig. Tak lagi ia spontan memeluk kepala Yusuf dan mencium pelipisnya. Jika pegawai istana hanya mampu berkhayal, maka Bunda Siti, memiliki 'power' untuk lebih dari sekedar berkhayal. Ah, bagaimanalah hendak menuliskannya.....
Maka kini, setelah beberapa tahun, pelayan pegawai istana yang perempuan mulai menunduk malu-malu jika bertemu Yusuf. Khayal mereka jika di belakang Yusuf, jauh.....
Tak terkecuali Bunda Siti. Ia mulai menyadari Yusuf sudah akil balig. Tak lagi ia spontan memeluk kepala Yusuf dan mencium pelipisnya. Jika pegawai istana hanya mampu berkhayal, maka Bunda Siti, memiliki 'power' untuk lebih dari sekedar berkhayal. Ah, bagaimanalah hendak menuliskannya.....
Matahari
mulai meninggi. Al Aziz sudah pergi. Memimpin dan mengelola negri. Di kamar
peraduan, terduduk Bunda Siti. Di difan mewan empuk, beralas tebal. Duduk
bertelekan ke dua tangannya. Kemudian, ia memijit-mijit keningnya. Pusing?
Entahlah. Ada yang tak tertata rapi di hatinya. Barusan, dari jendela kamar, di balik tirai keemasan, ia lihat Yusuf tengah berada di taman. Memperhatikan dengan serius bunga matahari. Adakah Yusuf melihat serangga penyerbuk? Atau lebah kecil tak menyengat, yang sering hinggap di serbuk sari dan berpindah ke kepala putik? Di kumpulan lidah-lidah kuning, bunga matahari mekar pagi? Tak taulah.
Hanya saja, ketika ia hendak merunut keluar, ke taman, ia lihat Yusuf sudah masuk. Sekilas nampak melangkah di pintu biliknya. Sisi pipi, hidung, dagu dan balakang telinga Yusuf terlihat bersih putih. Putih merekah bagai buah delima retak. retak dan terbelah. Putih mengkilap bercampur merah muda. Bunda Siti tersirap. Ia segera mundur ke dalam kamar, khawatir dia Yusuf tau, Bunda memperhatikannya.
Di pinggir difan, kini ia memijit - mijit kedua sisi keningnya. Ada yang tak beres dalam pergulatan di dadanya. Aduhai dunia, putih bersih, hitam jahat, kelabu, dan menghentak-hentak. Bunda Siti makin mengeraskan pijitannya. Rasa bersalah muncul pada Kanda Al Aziz. Inspirasi dosa mekar dan terbentur Tuhan. Bunda Siti kini menekur. Menutupkan kerudung pada seluruh kepalanya. Plak! Kedua telapak tangannya, tiba-tiba menepuk pahanya. Bunda Siti, ada apa denganmu?
Entahlah. Ada yang tak tertata rapi di hatinya. Barusan, dari jendela kamar, di balik tirai keemasan, ia lihat Yusuf tengah berada di taman. Memperhatikan dengan serius bunga matahari. Adakah Yusuf melihat serangga penyerbuk? Atau lebah kecil tak menyengat, yang sering hinggap di serbuk sari dan berpindah ke kepala putik? Di kumpulan lidah-lidah kuning, bunga matahari mekar pagi? Tak taulah.
Hanya saja, ketika ia hendak merunut keluar, ke taman, ia lihat Yusuf sudah masuk. Sekilas nampak melangkah di pintu biliknya. Sisi pipi, hidung, dagu dan balakang telinga Yusuf terlihat bersih putih. Putih merekah bagai buah delima retak. retak dan terbelah. Putih mengkilap bercampur merah muda. Bunda Siti tersirap. Ia segera mundur ke dalam kamar, khawatir dia Yusuf tau, Bunda memperhatikannya.
Di pinggir difan, kini ia memijit - mijit kedua sisi keningnya. Ada yang tak beres dalam pergulatan di dadanya. Aduhai dunia, putih bersih, hitam jahat, kelabu, dan menghentak-hentak. Bunda Siti makin mengeraskan pijitannya. Rasa bersalah muncul pada Kanda Al Aziz. Inspirasi dosa mekar dan terbentur Tuhan. Bunda Siti kini menekur. Menutupkan kerudung pada seluruh kepalanya. Plak! Kedua telapak tangannya, tiba-tiba menepuk pahanya. Bunda Siti, ada apa denganmu?
Mengapa
gundah hadir menjelang?
Kenapa hati bisa terguncang?
Apa sebab mata cemerlang?
Dari mana gemas ini datang?
Eh, bukankah Yusuf itu anak angkatku?
Dan Al-Aziz suamiku?
Entahlah,...
Bunda Siti beranjak ke kaca besar di dinding
Duduk menatap wajah lama
Mengambil sisir dan merapikan rambut
Aku cantik,
menarik,..
Bahkan merontokkan hati Raja Al Aziz, deisnya.
Segera ia mengintip ke ruang tengah.
Pintu kamar Yusuf tertutup rapat.
Tapi, lihat..
Pelayan mendekati pintu Yusuf membawa baju bersih dilipat.
Bunda Siti segera keluar, memintas langkah pelayan manis,
"Bunda saja yang kasihkan ke Yusuf, ..." cegahnya.
Lipatan pakaian berpindah ke haribaan Bunda. Dan kini ia memanggil Yusuf untuk menerima. Pintu kamar terbuka. Yusuf menjelma. Berdiri menunduk mennyambutnya. Namun tetap tak beranjak dari sana. Sampai Bunda melangkah kembali, ke kamarnya. Dan pintu Yusuf tertutup. Dari dalam. Glap!
Kenapa hati bisa terguncang?
Apa sebab mata cemerlang?
Dari mana gemas ini datang?
Eh, bukankah Yusuf itu anak angkatku?
Dan Al-Aziz suamiku?
Entahlah,...
Bunda Siti beranjak ke kaca besar di dinding
Duduk menatap wajah lama
Mengambil sisir dan merapikan rambut
Aku cantik,
menarik,..
Bahkan merontokkan hati Raja Al Aziz, deisnya.
Segera ia mengintip ke ruang tengah.
Pintu kamar Yusuf tertutup rapat.
Tapi, lihat..
Pelayan mendekati pintu Yusuf membawa baju bersih dilipat.
Bunda Siti segera keluar, memintas langkah pelayan manis,
"Bunda saja yang kasihkan ke Yusuf, ..." cegahnya.
Lipatan pakaian berpindah ke haribaan Bunda. Dan kini ia memanggil Yusuf untuk menerima. Pintu kamar terbuka. Yusuf menjelma. Berdiri menunduk mennyambutnya. Namun tetap tak beranjak dari sana. Sampai Bunda melangkah kembali, ke kamarnya. Dan pintu Yusuf tertutup. Dari dalam. Glap!
Besoknya
Raja Al-Aziz tak pergi jauh. Ia hanya melakukan konsolidasi dengan bawahannya
di kantor seberang istana. Tapi bagi bisikan hati Siti Zulaikha, itu sudah
cukup. Bagaimanapun, kesempatan kembali untuk mendekati Yusuf. Bukankah Yusuf
itu adalah budak yang ia tebus beberapa tahun lalu? Akan beranikah ia menolak
kehadiranku ? Tidak! Ia selayaknya patuh pada petinggi istana. Ia tak boleh
melindungi diri! Dia milikku, tigaratus hidj!
Maka begitu Al Aziz brangkat, tiai gorden ruang tengah, kamar dan ruang tamu segra ditutup Siti. Ia pun bersolek dan memakai pakaian paling menarik, sesuai bisikan energi bergejolak dalam tubuhnya. Boleh jadi kini denyut jantungnya naik ke 70 kali permenit dengan tekanan darah 140. Hingga tak sempat fikiran bersihnya berbisik lagi. Maka masuklah ia ke kamar Yusuf. dan taukan kita, Yusuf itu pemuda belia, bujangan, dan punya libido juga?
Maka begitu Al Aziz brangkat, tiai gorden ruang tengah, kamar dan ruang tamu segra ditutup Siti. Ia pun bersolek dan memakai pakaian paling menarik, sesuai bisikan energi bergejolak dalam tubuhnya. Boleh jadi kini denyut jantungnya naik ke 70 kali permenit dengan tekanan darah 140. Hingga tak sempat fikiran bersihnya berbisik lagi. Maka masuklah ia ke kamar Yusuf. dan taukan kita, Yusuf itu pemuda belia, bujangan, dan punya libido juga?
Bukankah sudah
banyak orang membuat nasehat pengajaran..... Bahawa rasa cinta kasmaran asmara
rindu itu, membutakan fikiran. Menghilangkan kebersihan hati pertimbangan.
Apalagi jika ia berada dalam hati penguasa. Ingat janda Macetung pernah
berujar? Kekuasaan itu lebih mengasyikkan dari hubungan lawan jenis. Sebab
dengan kekuasaan kita tak hanya dapat harta dan penghormatan, tapi sex
sekaligus!
Lalu hilanglah fikiran. Terbitlah angkara. Tak lagi malu mengetukpintu kamar Yusuf. Tiada lagi sungkan memakai baju seronok. Hilang rasa, dan duduk menghampiri pemuda gagah putih bersih itu, sambil mencari alasan, untuk komunikasi,"Anakku Yusuf. Ssst jangan takut. "BUnda" ingin mendengar pendapatmu, bagaimana sekiranya gaun ini bunda pakai pada pertemuan ibu-ibu pejabat istana minggu depan?" Itulah alibi yang keluar dari otak yang sudah tak lagi bersih. Memudar. Kelabu.
Lalu hilanglah fikiran. Terbitlah angkara. Tak lagi malu mengetukpintu kamar Yusuf. Tiada lagi sungkan memakai baju seronok. Hilang rasa, dan duduk menghampiri pemuda gagah putih bersih itu, sambil mencari alasan, untuk komunikasi,"Anakku Yusuf. Ssst jangan takut. "BUnda" ingin mendengar pendapatmu, bagaimana sekiranya gaun ini bunda pakai pada pertemuan ibu-ibu pejabat istana minggu depan?" Itulah alibi yang keluar dari otak yang sudah tak lagi bersih. Memudar. Kelabu.
Yusuf, makin
disuruh jangan sungkan, malah makin gugup. Tapi ia surprise juga melihat
tampilan bundanya yang agak anu, pagi ini. Anu itu maksudnya 'anu'. Ah,
udahlah!
Inginnya
Bunda, Yusuf itu tanggap terhadap gelora yang membuncah di kepalanya. Serba
instan. Tapi tidak. Yusuf belum tau apapun. Apalagi, di kuduk Yusuf tiba-tiba
terasa ada remang bulu dingin. Seakan remang dulu dia terjebak dalam sumur di
oase bukit melengkung, nuuun di kampungnya , Falistin.
Dingin kuduk itu, membuatnya sadar, bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Jika tersalah langkah, hancurlah dia. Amarah Tuhan bolehjadi akan datang. O tidak! Tidak!
Namun organ glandula Bunda Siti yang menyentuh lengan di atas siku, karena duduk terlalu rapat, juga tak ayal, membuatnya bagai lelaki bujang perantau yang ingin tau. Ingin mebuka misteri kehidupan. Maka tercampaklah Yusuf di sudut kekakuan dengan kuduk mendingin.Ya Tuhan,....
Siti Zulaikha bukan tiipe yang mudah menyerah. Al Aziz saja dia tundukkan! Maka digeretnya tangan Yusuf ke kamarnya. "Sini Yusuf. Sini,. Bunda tunjukkan pakaian yang lain, nanti engkau bisa memilihkan untuk Bunda, yang terbaik!"
Kekuasaan. Tekanan darah 140. Denyut jantung 70/menit. Membuat Yusuf bagai kerbau dicucuk hidung. Menuruti helaan tangan bundanya. Ke kamar Ayahanda. Ah, ini riskan!
Helaan tangan Bunda Siti ini, membuat Yusuf teringat ketika pertama dulu ia hadir di bangunan megah luas besar ini. Saat itu, tangan Ayahandanya dia hela, agar bertemu Yusuf di kamar. Lalu masuklah Al Aziz ke kamarnya, mengusap kepalanya. Helaan itu, adalah dominansi! Yusuf tak suka begitu. Ia adalah tipe orang yang mengkhayalkan keikhlasan, kesetaraan, keindahan yang dibangun dua pihak. Bukan tarikan , kekuasaan, seperti dulu di pergelangan Al Aziz, dan kini di pergelangannya. Itulah yang membuat ia berpaling.
Mungkin posisinya adalah sebesar debu di atas tunggul. Kecil dan mudah tertiup angin. Budak belian 300 Hidj. Tapi untuk yang satu itu, ia bukan tipe yang bersedia didominasi. Dingin di kuduk dan didominansi itu menyebabkan Yusuf tak tertarik dengan model baju lain, yang akan ditunjukkan Bunda Zulaikha. Ia memilih keluar dari kamar yang tirai gordennya telah ditutup ini.
Ooo, itu membuat darah Zulaikha mendidih. Siapa yang pernah membelot dari kehendaknya selama ini? Tak satupun. Lantas, Yusuf belia ini, hendak keluiar dari kamar wangi empuk ini? Cih!
"Yusuf!" sambil meloncat dari tempat tidur, ia Tarik badan Yusuf. Namun bukan badannya yang terpegang, cuma bajunya. Yusuf melihat tak ada kesempatan lain untuk keluar selain saat ini. Oleh sebab itu ia memaksa untuk keluar. Dengan melangkah cepat.
Tarikan itu, membuat bajunya robek. Di punggung. Persis di saat yang sama , Ayahandanya, Al Aziz , yang entah karena apa, berada di pintu kamar. Ya Tuhan. Mampus ana…..
Dingin kuduk itu, membuatnya sadar, bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Jika tersalah langkah, hancurlah dia. Amarah Tuhan bolehjadi akan datang. O tidak! Tidak!
Namun organ glandula Bunda Siti yang menyentuh lengan di atas siku, karena duduk terlalu rapat, juga tak ayal, membuatnya bagai lelaki bujang perantau yang ingin tau. Ingin mebuka misteri kehidupan. Maka tercampaklah Yusuf di sudut kekakuan dengan kuduk mendingin.Ya Tuhan,....
Siti Zulaikha bukan tiipe yang mudah menyerah. Al Aziz saja dia tundukkan! Maka digeretnya tangan Yusuf ke kamarnya. "Sini Yusuf. Sini,. Bunda tunjukkan pakaian yang lain, nanti engkau bisa memilihkan untuk Bunda, yang terbaik!"
Kekuasaan. Tekanan darah 140. Denyut jantung 70/menit. Membuat Yusuf bagai kerbau dicucuk hidung. Menuruti helaan tangan bundanya. Ke kamar Ayahanda. Ah, ini riskan!
Helaan tangan Bunda Siti ini, membuat Yusuf teringat ketika pertama dulu ia hadir di bangunan megah luas besar ini. Saat itu, tangan Ayahandanya dia hela, agar bertemu Yusuf di kamar. Lalu masuklah Al Aziz ke kamarnya, mengusap kepalanya. Helaan itu, adalah dominansi! Yusuf tak suka begitu. Ia adalah tipe orang yang mengkhayalkan keikhlasan, kesetaraan, keindahan yang dibangun dua pihak. Bukan tarikan , kekuasaan, seperti dulu di pergelangan Al Aziz, dan kini di pergelangannya. Itulah yang membuat ia berpaling.
Mungkin posisinya adalah sebesar debu di atas tunggul. Kecil dan mudah tertiup angin. Budak belian 300 Hidj. Tapi untuk yang satu itu, ia bukan tipe yang bersedia didominasi. Dingin di kuduk dan didominansi itu menyebabkan Yusuf tak tertarik dengan model baju lain, yang akan ditunjukkan Bunda Zulaikha. Ia memilih keluar dari kamar yang tirai gordennya telah ditutup ini.
Ooo, itu membuat darah Zulaikha mendidih. Siapa yang pernah membelot dari kehendaknya selama ini? Tak satupun. Lantas, Yusuf belia ini, hendak keluiar dari kamar wangi empuk ini? Cih!
"Yusuf!" sambil meloncat dari tempat tidur, ia Tarik badan Yusuf. Namun bukan badannya yang terpegang, cuma bajunya. Yusuf melihat tak ada kesempatan lain untuk keluar selain saat ini. Oleh sebab itu ia memaksa untuk keluar. Dengan melangkah cepat.
Tarikan itu, membuat bajunya robek. Di punggung. Persis di saat yang sama , Ayahandanya, Al Aziz , yang entah karena apa, berada di pintu kamar. Ya Tuhan. Mampus ana…..
Al Aziz
terkejut. Tak menyangka Siti dan Yusuf dalam kamar. Sementara pintu jendela
serta tirai tertutup. DEngan muka merah, ia bertanya dalam suara berat,"He
ada apa ini?!" Demi mendengar suara Raja begitu, beberapa pengawal segera
datang. Pengawal, tak akan sudi, Raja terusik sedikitpun. Kesetiaannya total,
seratus persen. Raja, pengawal, berdiri di pintu. Siti di dekat difan. Yusuf
menekur di depan Al Aziz.
Di situasi
inilah keunggulan Zulaikha dibanding Yusuf. Zulaikha mampu berubah mimik gesture dalam bberapa detik. Sedangkan
Yusuf, membutuhkan satu menit untuk mengembalikan asa fikiran. "Kanda
lihat sendiri, kelakuan Yusuf sekarang. Ia berani masuk ke kamar kita dan
berusaha berbuat tak senonoh. Untunglah dinda bertahan dan kanda segera
datang!"
Al Aziz mengalihkan pandang ke YUsuf. Menelisik roman muka pucat pasi itu. Dengan mengingat pertolongan Tuhan yang selalu muncul disaat ia membutuhkan selama ini, Yusuf menegakkan kepalanya. Memandang mata ayahandanya, Al Aziz. Memancarkan kelurusan hati dan aura jujur. Menggigit bibir, dan menggeleg-gelengkan kepalanya. Melakukan gestur menafikan ucapan bundanya. Secara kejiwaan, Al Aziz dapat meangkap pesan di binar mata Yusuf. Namun, ini sudah kadong diketahui pengawal. Adalah aib, jika tersebar berita, Bunda Zulaikha menjahili anak angkatnya sendiri.
"Pengawal, panggilkan Tuan Guru." kata Al Aziz. Beliau adalah guru spiritual yang juga membantu membimbing Yusuf dalam keseharian. Beberapa menit kemudian, Tuan Guru datang, dan Al Aziz menceritakan kejadian yang menimpa istri dan anak angkatnya.
Tuan Guru merenung. Menatap sekilas dengan mata setengah terbuka pada wajah Zulaikha. Lalu berpindah pada Yusuf. Mengamati gesture mimik Yusuf. Tuan Guru kemudian memegang baju Yusuf yang seperti tak rapi. Betul, sobek di punggung. Tuan Guru mengangguk-angguk. Lalu berbisik pada Raja Al Aziz, "Baju Yusuf sobek di blakang, maka Tuan Raja bisa menebak siapa yang merekayasa bencana ini. Namun untuk kebaikan imej keluarga istana, Yusuf harus disingkirkan."
Begitulah keputusan Raja. Yusuf dipenjara. Walau Al Aziz menyimpan luka. Inilah Dunia! Anak muda tampan, skenario Tuhan untukmu masih berlanjut....
Al Aziz mengalihkan pandang ke YUsuf. Menelisik roman muka pucat pasi itu. Dengan mengingat pertolongan Tuhan yang selalu muncul disaat ia membutuhkan selama ini, Yusuf menegakkan kepalanya. Memandang mata ayahandanya, Al Aziz. Memancarkan kelurusan hati dan aura jujur. Menggigit bibir, dan menggeleg-gelengkan kepalanya. Melakukan gestur menafikan ucapan bundanya. Secara kejiwaan, Al Aziz dapat meangkap pesan di binar mata Yusuf. Namun, ini sudah kadong diketahui pengawal. Adalah aib, jika tersebar berita, Bunda Zulaikha menjahili anak angkatnya sendiri.
"Pengawal, panggilkan Tuan Guru." kata Al Aziz. Beliau adalah guru spiritual yang juga membantu membimbing Yusuf dalam keseharian. Beberapa menit kemudian, Tuan Guru datang, dan Al Aziz menceritakan kejadian yang menimpa istri dan anak angkatnya.
Tuan Guru merenung. Menatap sekilas dengan mata setengah terbuka pada wajah Zulaikha. Lalu berpindah pada Yusuf. Mengamati gesture mimik Yusuf. Tuan Guru kemudian memegang baju Yusuf yang seperti tak rapi. Betul, sobek di punggung. Tuan Guru mengangguk-angguk. Lalu berbisik pada Raja Al Aziz, "Baju Yusuf sobek di blakang, maka Tuan Raja bisa menebak siapa yang merekayasa bencana ini. Namun untuk kebaikan imej keluarga istana, Yusuf harus disingkirkan."
Begitulah keputusan Raja. Yusuf dipenjara. Walau Al Aziz menyimpan luka. Inilah Dunia! Anak muda tampan, skenario Tuhan untukmu masih berlanjut....
Hari-hari
berlalu. Tak ada lagi Yusuf di istana. Kamarnya tertutup kaku. Sepi. Senyum
merekah delima, hilang. Belia berbudi pekerti itu, kini tertimpa kondisi yang
tak terduga. Menikmati penjara.
Siti Zulaikha termangu. Barusan, suaminya Al Aziz berangkat mengurus negara. Cium tangannya ke suami, biasanya dibalas usapan di kepala. Tapi sejak musibah kemarin dullu, tak ada lagi usapan di kepala. Hilang, ....
Pelayan istana pun brubah wajahnya. Dari sumringah, kreatif menjadi kaku. Mereka menjaga diri, jangan sampai menjadi bahan tumpahan kemarahan Siti Zulaikha. Sebab BUnda Siti, terlihat sensitif kini. Dia sedang menjaga imej, bahwa ia bukanlah perempuan nakal, yang begitu mudah terbawa angan. Tak mampu menahan hati. Padahal, Yusuf, adalah 'anak' dia sendiri. Terkadang, bisik-bisik pegawai istana, bisa saja dimaknai Zulaikha, tengah membicarakan kelakuannya. Huh!!
Dalam pandangan sayu, Zulaikha memutar otak. Pertemuan ibu-ibu pejabat besok, harus ia manfaatkanuntuk ajang membersihkan diri. Ibu-ibu sosialita, bisa saja manyun-manyum mulutnya menuduh dia keterlaluan. Dan itu pedih! Itu character-assasination! No!
Siti Zulaikha termangu. Barusan, suaminya Al Aziz berangkat mengurus negara. Cium tangannya ke suami, biasanya dibalas usapan di kepala. Tapi sejak musibah kemarin dullu, tak ada lagi usapan di kepala. Hilang, ....
Pelayan istana pun brubah wajahnya. Dari sumringah, kreatif menjadi kaku. Mereka menjaga diri, jangan sampai menjadi bahan tumpahan kemarahan Siti Zulaikha. Sebab BUnda Siti, terlihat sensitif kini. Dia sedang menjaga imej, bahwa ia bukanlah perempuan nakal, yang begitu mudah terbawa angan. Tak mampu menahan hati. Padahal, Yusuf, adalah 'anak' dia sendiri. Terkadang, bisik-bisik pegawai istana, bisa saja dimaknai Zulaikha, tengah membicarakan kelakuannya. Huh!!
Dalam pandangan sayu, Zulaikha memutar otak. Pertemuan ibu-ibu pejabat besok, harus ia manfaatkanuntuk ajang membersihkan diri. Ibu-ibu sosialita, bisa saja manyun-manyum mulutnya menuduh dia keterlaluan. Dan itu pedih! Itu character-assasination! No!
Kue
Basbousa adalah khas Mesir. Kini menjadi ikon timur tengah. Cara membuatnya
adalah dengan mencampurkan gula, tepung semolina, kelapa kering, yoghurt,
baking powder, dan telur hingga merata.Lalu dituangkan ke cetakan dan taburi
kacang almond.Kemudian dipanggang di tungku panas,selama 30 menit. Setelah
matang, angkat dan potong kue sesuai selera. Cukup ringkas kan? Itulah topik
pertemuan ibu-ibu sosialita istana tengah hari ini. Siiti Zulaikha menyiapkan
semua bahan dengan cukup. Diantara ramainya mulut
perempuan dengan topik bicara mereka berkelompok, akhirnya kue itu masak juga.
Ditempatkan dalam piring porselen yang mahal. Dibagikan semua ke ibu-ibu. Dan
Siti Zulaikha memberi pengantar,"Teman-teman semua yang teramat cantik dan
baik; tibalah saatnya kita menikmati kue masakan kita hari ini. Di depan
ibu-ibu sudah tersedia kue panas lengkap dengan pisaunya. Kita segera
mengirisnya dan menikmati juadah yang nikmat tiada tara ini. Demi kerajaan
Mesir dan rakyatnya yang sejahtera, mari kita mulai!"
Sepertia biasanya ibu-ibu, mereka segera mengambil dan memotong kecil-kecil. Kacang almond, sungguh seakan memanggil-manggil untuk digigit. Wuih!
Namun perhatian mereka terganggu sejenak. Sebab pintu ruangan sebelah kiri, yang tadinya tertutup, tiba-tiba terbuka. Cahaya memancar dari ruang sebelah sana. Tidak. Tidak hanya cahaya. Tapi juga seraut wajah tampan, bersih, menawan. Instinktif, ibu-ibu itu terpesona. Lebih dari terpesona; terpana. Ternganga, bahkan. Dan , semua mereka yang sedang mengiris kue, sungguh, tak sadar, mengiriskannya ke pangkal jemari empu, bahkan sampai pergelangan tangan kiri. Saking kesadaran mereka terbius. Malaikatkah yang lewat dari pintu kiri itu, dan kini melangkah ke pintu sebelah kanan dengan agung? Bukan. Bukan malaikat. Dia Yusuf. Yang disuruh Siti Zulaikha untuk hadir sesaat dan berjalan di acara ibu-ibu pejabat sosialita kerajaan. Astaghfirullah; saat Yusuf berlalu di pintu kanan, darah telah mengucur dari jemari dan pergelangan ke kue Basbousa nan renyah. Siti Zulaikha mengatupkan bibir. Mengerti kalian sekarang?, desisnya.
Sepertia biasanya ibu-ibu, mereka segera mengambil dan memotong kecil-kecil. Kacang almond, sungguh seakan memanggil-manggil untuk digigit. Wuih!
Namun perhatian mereka terganggu sejenak. Sebab pintu ruangan sebelah kiri, yang tadinya tertutup, tiba-tiba terbuka. Cahaya memancar dari ruang sebelah sana. Tidak. Tidak hanya cahaya. Tapi juga seraut wajah tampan, bersih, menawan. Instinktif, ibu-ibu itu terpesona. Lebih dari terpesona; terpana. Ternganga, bahkan. Dan , semua mereka yang sedang mengiris kue, sungguh, tak sadar, mengiriskannya ke pangkal jemari empu, bahkan sampai pergelangan tangan kiri. Saking kesadaran mereka terbius. Malaikatkah yang lewat dari pintu kiri itu, dan kini melangkah ke pintu sebelah kanan dengan agung? Bukan. Bukan malaikat. Dia Yusuf. Yang disuruh Siti Zulaikha untuk hadir sesaat dan berjalan di acara ibu-ibu pejabat sosialita kerajaan. Astaghfirullah; saat Yusuf berlalu di pintu kanan, darah telah mengucur dari jemari dan pergelangan ke kue Basbousa nan renyah. Siti Zulaikha mengatupkan bibir. Mengerti kalian sekarang?, desisnya.
Setelah kejadian
itu, Yusuf kembali dibawa pengawal ke sel penjara. Bergabung dengan beberapa
orang, yang menurut istana, memiliki kesalahan. Maka berlanjutlah penempaan
batin mental Yusuf. Jika boleh diceritakan, hidup di penjara, baginya taklah
seberat terkurung di dasar sumur tengah gurun. Di dasar sumur, dengan umur
masih kecil, tanpa baju, sendirian, kedinginan, gelap, sepi, minus oksigen, oh,
adalah penyiksaan yang mengerikan. jangan sampai terulang !
Di penjara, ia masih bisa berbincang-bincang dengan tahanan lain. Diperbolehkan membaca mushaf. Diberi makan teratur, walau seadanya saja. Di penjara, ada sesuatu yang tidak ia dapatkan dibanding istana megah. Keleluasaan,.... Keakraban dengan teman senasib.
Berbanding terbalik dengan Siti Zulaikha, istana terasa menyesakkan, kini. Takada lagi 'anak' . Sepi dari wajah belia tampan . Dan terasa beban, melihat tajamnya tatap mata Al Aziz.
Jadi manakah yang lebih enak idup di istana atau di penjara?
Di penjara, ia masih bisa berbincang-bincang dengan tahanan lain. Diperbolehkan membaca mushaf. Diberi makan teratur, walau seadanya saja. Di penjara, ada sesuatu yang tidak ia dapatkan dibanding istana megah. Keleluasaan,.... Keakraban dengan teman senasib.
Berbanding terbalik dengan Siti Zulaikha, istana terasa menyesakkan, kini. Takada lagi 'anak' . Sepi dari wajah belia tampan . Dan terasa beban, melihat tajamnya tatap mata Al Aziz.
Jadi manakah yang lebih enak idup di istana atau di penjara?
Ah,... dia
harusnya mohon maaf sungguh - sungguh pada suaminya itu. Jika tidak, suasana
yang 'karunyak sumuk tak berketentuan' ini, bisa menimbulkan tekanan bathin berkepanjangan.
Itulah sebabnya, malam ini, ia setelah mandi keramas bersih-bersih, memakai
pakaian yang bagus, menundukkan badan dan mencium tangan suaminya, agar
dimaafkan sgala keteledoran! Al Aziz itu bijak. Dia cepat luluh. Mudah
memaafkan. Hingga, dipeluknya Siti Zulaikha dengan erat, lama....
Teman, jika kita
sudah beberapa hari, berminggu dan bulan di penjara, kita mulai tak
merasakannya. Kita teraklimatisasi, teradaptasi. Kita hidup dengan kebiasaan.
Dan ada sahabat-sahabat baru, yang terkadang tak mencerminkan bahwa dia
berakhlak jelek. Bolehjadi, sebagian orang memang tak berniat untuk terpleset
masuk bui sel. HIngga, di dalam, kefitrahan kemanusiaan, muncul apa adanya;
walau tak jarang di film-film, kekasaran dan keganasan dipublikasikan di komunitas
pemsyarakatan itu.
Yusuf kini
menikmati hidup barunya. Dengan teman-teman seperti Abul Ma’i dan Ali Qurm.
Mereka sering berbincang dan bertukar fikiran. Abul Ma’I dan Ali Qurm, mulai
merasa , Yusuf ini, mungkin tersesat, masuk penjara. Sebab, tak sedikitpun cela
dalam tingkah lakunya. Bahkan, maaf, ia berkepribadian mulia. Bersama Yusuf,
hari-hari mereka terasa hangat, indah dan tak terasa berlalu.
Sampai
informasi yang sifatnya rahasiapun, oleh Abul Ma’I dan Ali Qurm, diceritakan
semua ke Yusuf. Seakan Yusuf sudah menjadi saudara, atau adik, dan terkadang
bagai orang tua mereka saja. Begitulah.
“Yusuf,
semalam ana bermimpi, bahwa ana memeras anggur". Dan yang lainnya berkata:
"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya
dimakan burung. Berikanlah kepada kami ta'birnya; sesungguhnya kami memandang
kamu termasuk orang-orang yang pandai mena'birkan mimpi”.
Yusuf terkejut. Ia memandang Ali Qurm dengan seksama. Memasuki kedua matanya, menyelam ke lubuk hati. “Ali Qurm, tampaknya perkaramu segera akan diputuskan, dan engkau dinyatakan bersalah serta mendapatkan hukuman mati. Burung-burung bangkai, segera mematuki kulit kepalamu begitu hukuman dilaksanakan….” Yusuf berkata. Dengan wajah iba Ali Qurm, pucat pasi. Awalnya ia menatap mata Yusuf, namun setelahnya ia menunduk. Air matanya keluar dan jatuh menetes. Bagaimanapun, ia percaya dengan takwil mimpi yang disampaikan Yusuf.
“Aku akan dihukum juga?” tanya Abul Ma’i. Abul cemas pun.
“TIdak wahai Abul Ma’i. Engkau diputus bebas dan kembali menjadi pelayan memberi minum pada Raja…” jawab Yusuf. Abul Ma’i segera merekah senyumnya dan memeluk kaki Yusuf yang duduk di hadapan mereka. “Wahai Tuhan Yang Maha Adil, …” ucap Abul Ma’i berlinang air mata juga.
Yusuf terkejut. Ia memandang Ali Qurm dengan seksama. Memasuki kedua matanya, menyelam ke lubuk hati. “Ali Qurm, tampaknya perkaramu segera akan diputuskan, dan engkau dinyatakan bersalah serta mendapatkan hukuman mati. Burung-burung bangkai, segera mematuki kulit kepalamu begitu hukuman dilaksanakan….” Yusuf berkata. Dengan wajah iba Ali Qurm, pucat pasi. Awalnya ia menatap mata Yusuf, namun setelahnya ia menunduk. Air matanya keluar dan jatuh menetes. Bagaimanapun, ia percaya dengan takwil mimpi yang disampaikan Yusuf.
“Aku akan dihukum juga?” tanya Abul Ma’i. Abul cemas pun.
“TIdak wahai Abul Ma’i. Engkau diputus bebas dan kembali menjadi pelayan memberi minum pada Raja…” jawab Yusuf. Abul Ma’i segera merekah senyumnya dan memeluk kaki Yusuf yang duduk di hadapan mereka. “Wahai Tuhan Yang Maha Adil, …” ucap Abul Ma’i berlinang air mata juga.
Teman;
sungguh dengan kekuasaan Allah, apa yang dikabarkan Yusuf pada kedua temannya
itu, menjadi kenyataan. Lalu, percayakah kita akan ucapan bahwa mimpi itu
hanyalah bunga permainan tidur? Bahwa mimpi hanyalah sekedar memori yang masuk
ke alam bawah sadar lalu muncul di saat tidur? Jika memang sekedar memori,
mengapa terkadang kita bermimpi bertemu makhluk yang tidak pernah kita fikirkan
sebelumnya? Kitab suci dan hadis membuktikan, mimpi tak hanya sekedar bunga
permainan tidur belaka. Rasul saw pernah berpesan, jika kita mimpi buruk,
janganlah diceritakan pada orang lain, dan meludahlah ke kiri saat terbangun.
Nah kan?
Kepada Abul
Ma'i, Yusuf berpesan, sampaikan ke penguasa, bahwa sesungguhnya, ia tak
melakukan kesalahan nanti setelah engkau dibebaskan. "Ah, itu perkara mudah,
Suf!" Abul Ma'i percaya diri merespon permintaan Yusuf. Ia akhirnya memang
dibebaskan dan kembali diberi kepercayaan untuk menyediakan minuman di istana.
Dulu, mungkin ia difitnah saja, hingga sempat hidup di Lembaga pemasyarakatan
kerajaan.
Namun, teman-teman,
setelah keluar dan kembali bekerja, sungguh, benar-benar, Abul Ma'i terlupa akan pesan Yusuf. Ia betul-betul tak
ingat sedikitpun, bahwa seorang teman di penajara, bernama Yusuf, tak layak ada
di Lembaga itu. Entah, kata orang, lupa itu disebabkan pengaruh energi negative
dalam tubuh, atas gangguan syetan. Abul Ma'i menikmati kembali bekerja dan
menerima gaji sebagai pegawai istana. Sementara Yusuf terbiar, dengan nasibnya
sendiri. Lama. Bertahun-tahun.
Sampai
akhirnya, ada kejadian aneh pada diri Raja. Ia bermimpi, berkali-kali setiap
malam, dengan hal yang sama. Ia melihat sapi betina kurus memakan sapi betina
gemuk; lalu ada muncul tujuh bulir gandum hijau dan tujuh bulir gandum kering.
Berulang-ulang setiap malam. Raja Al Aziz mulai berfikir, ini pasti ada
maksudnya. Ia harus menanyakan, apa gerangan takwil mimpi yang aneh tersebut.
Dipanggilnyalah orang - orang pintar di Qahirah, dan dia tanya perihal mimpi
itu. "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh
ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang
kering. Hai orang-orang yang terkemuka: Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir
mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi".
Para orang pintar, guru spiritual, semuanya bingung, tak tau apa maksud mimpi itu. Mereka saling pandang. lalu memanyunkan bibir, dan mengerutkan kening. Terus, mereka menggeleng-geleng. Suatu gestur yang membuat Raja kecewa. Sampai Abul Ma'i, mendengar berita tentang kejadian itu, dan segera ingat akan Yusuf. Yusuf teman dia dulu di penjara. Bukankah Yusuf dulu ahli dalam menakwilkan mimpi? Ya, dia bisa menyampaikan pada Tuan Raja, dia bisa memanggil Yusuf untuk dimintai tolong. Abul Ma'i juga tersadar, bukankah dulu Yusuf berpesan agar perkara dia ditinjau ulang dan bisa bebas? Yusuf! ya , lelaki tampan dan baik di sel penajara!! Abul ma'i pun berbegags menemui Raja Al Aziz.
"Yusuf namanya Tuanku Raja!" kata Abul Ma'i.
Al Aziz terperanjat. Yusuf? Yusuf itu 'anak angkatku'! Yusuf itu pernah membuat gundah hatiku; Zalaikha istriku, anu, padanya. Ah, Tuan Raja termangu-mangu. Kemudian mengangguk-angguk.
"Betul Yusuf mampu menakwilkan mimpi?" tanyanya.
"Betul Tuanku! Aku sudah membuktikan! Ali Qurm pun, dia sudah tau akan dihukum mati dan dilarikan burung daging kepalanya!" jawab Abul Ma'i.
"Okelah. Kita panggil Yusuf. Saya tau anak-muda itu." jawab Al Aziz.
Para orang pintar, guru spiritual, semuanya bingung, tak tau apa maksud mimpi itu. Mereka saling pandang. lalu memanyunkan bibir, dan mengerutkan kening. Terus, mereka menggeleng-geleng. Suatu gestur yang membuat Raja kecewa. Sampai Abul Ma'i, mendengar berita tentang kejadian itu, dan segera ingat akan Yusuf. Yusuf teman dia dulu di penjara. Bukankah Yusuf dulu ahli dalam menakwilkan mimpi? Ya, dia bisa menyampaikan pada Tuan Raja, dia bisa memanggil Yusuf untuk dimintai tolong. Abul Ma'i juga tersadar, bukankah dulu Yusuf berpesan agar perkara dia ditinjau ulang dan bisa bebas? Yusuf! ya , lelaki tampan dan baik di sel penajara!! Abul ma'i pun berbegags menemui Raja Al Aziz.
"Yusuf namanya Tuanku Raja!" kata Abul Ma'i.
Al Aziz terperanjat. Yusuf? Yusuf itu 'anak angkatku'! Yusuf itu pernah membuat gundah hatiku; Zalaikha istriku, anu, padanya. Ah, Tuan Raja termangu-mangu. Kemudian mengangguk-angguk.
"Betul Yusuf mampu menakwilkan mimpi?" tanyanya.
"Betul Tuanku! Aku sudah membuktikan! Ali Qurm pun, dia sudah tau akan dihukum mati dan dilarikan burung daging kepalanya!" jawab Abul Ma'i.
"Okelah. Kita panggil Yusuf. Saya tau anak-muda itu." jawab Al Aziz.
"Tak usah
Tuan Raja, biar saya yang menjemput bersama pengawal Tuan..." jawab Abul
Ma'i. Dia yakin, Yusuf yang menolongnya dulu, teman baiknya di penjara, mampu
menakwilkan mimpi Raja Al Aziz. Menakwilkan mimpi itu, boleh jadi berhubungan
dengan kebersihan jiwa, kedekatan dengan Tuhan, dan kemampuan menyelami hati
orang lain. Itu yang tak dia punyai, dan itulah pula kelebihan Yusuf. Abul
Ma'i, ah apalah, kita cuma pembuat minuman,....
Jeruji pintu sel Yusuf tiba-tiba ada yang membuka. Pintunya ditarik dengan bunyi engsel berderit. Yusuf menoleh. Lama sekali tak ada yang peduli dengannya, kecuali teman sepenjara.
Dan betul. Dia lihat Abul Ma'i datang ditemani pengawal kerajaan.
"Yusuuuuuf,..." Abul menyalaminya. Pelukan khas Timur Tengah. Erat.
"Kaifa haluk ya Abul Ma'i. Apa kabar anta?" tanya Yusuf senyum. Sudah lama dia tak melihat wajah bundar lucu Abul Ma'i. Maka Abul Ma'i pun menceritakan perihal kebutuhan pertolongan Raja Al Aziz.
Jeruji pintu sel Yusuf tiba-tiba ada yang membuka. Pintunya ditarik dengan bunyi engsel berderit. Yusuf menoleh. Lama sekali tak ada yang peduli dengannya, kecuali teman sepenjara.
Dan betul. Dia lihat Abul Ma'i datang ditemani pengawal kerajaan.
"Yusuuuuuf,..." Abul menyalaminya. Pelukan khas Timur Tengah. Erat.
"Kaifa haluk ya Abul Ma'i. Apa kabar anta?" tanya Yusuf senyum. Sudah lama dia tak melihat wajah bundar lucu Abul Ma'i. Maka Abul Ma'i pun menceritakan perihal kebutuhan pertolongan Raja Al Aziz.
Yusuf senyum.
Inilah kesempatan dia untuk meninjau ulang perkaranya. "Oke Abul Mai dan
Tuan Pengawal. Saya bersedia menakwilkan mimpi Tuan Raja, ayahanda angkat saya
itu. Namun dengan syarat, jelaskan duduk perkara kesalahan hamba terlebih
dulu,....." jawab Yusuf. Hatinya berdebar. Firasat baik. Jalan Tuhan!
Abul Ma'i, ingat
betul, Yusuf pernah berpesan ini, dulu sebelum ia keluar. Ya Allah, ya Tuhan.
Ia lupa. Lupa sungguh. Astaghfirullah, Yusuuuuf. Ana akan bantu ente!
"Yusuf. Saya akan bilang ke Tuan Raja. Masalah penahanan mu, tentu segera di pertimbangkanTuan Raja, iya kan Tuan Pengawal?" tanyanya pada Pengawal. Pengawal itu, manggut-manggut. Wajahnya dingin.
Maka segeralah berbalik Abul Ma'i beserte pengawal ke Raja Al Aziz. Lalu setelah salam dan menundukkan badan, ia menyampaikan pesan Yusuf. Pesan yang seharusnya sudah ia perjuangkan sejak dulu waktu terbebas. Ah, mengapalah diri ini lupa?!
"Oke. Oke. Itu perkara mudah." jawab Al Aziz. Kemudian ia bertitah ke pengawal," Panggilkan Tuan Guru, mentri-mentri dan istri saya Zulaikha, sekalian ibu-ibu pejabat yang kebetulan ada di istana!"
Lalu tak berapa lama, di siang itu, semua hadir di istana. Termasuk mentri kehakiman serta jaksa tentunya. Maka mulailah Al Aziz membuka pembicaraan," Terimakasih sudah hadir pada siang ini, dalam pertemuan yang cukup mendadak. Sebagian kita tentu sudah tau, tentang mimpi saya malam-malam terakhir ini. Dan lainnya , adalah kebutuhan untuk menakwilkannya. Saat yang lain belum mampu, ternyata anak-angkat saya ini, yang seperti terlupakan bertahun-tahun, diinfokan mampu melakukannya. Hanya dengan syarat, perkara dia bertahun yang lalu, dijelaskan duduk tegaknya, benar salahnya. Ini genting. Kita butuh bantuan dan keikhlasan kita semua..." ujarnya. Semua saling pandang. Lalu mengangguk-angguk. Al Aziz menatap sekeliling. Namun Siti Zulaikha, merasa tatapan Al Aziz adalah menusuk ke jantungnya. Menikam jauh ke bilik dada. Itulah sebabnya, sebelum jauh pembicaraan berkembang, ia berdiri, maju, berjalan ke hadapan Raja, dan tiba-tiba menjatuhkan badannya. Menyerah seratus persen. Bukan, dua ratus persen!
Sambil menangis, ia terdengar bicara terputus-putus," Hamba suamiku, hamba yang salah..Yusuf, anak kita, dialah yang benar. Ampuni hamba yang telah teledor ini...." ucapnya menutupkan hijab ke muka wajahnya. Aduh, ... kebenaran! Kadang, engkau datang jua! Walau terlambat!!
"Yusuf. Saya akan bilang ke Tuan Raja. Masalah penahanan mu, tentu segera di pertimbangkanTuan Raja, iya kan Tuan Pengawal?" tanyanya pada Pengawal. Pengawal itu, manggut-manggut. Wajahnya dingin.
Maka segeralah berbalik Abul Ma'i beserte pengawal ke Raja Al Aziz. Lalu setelah salam dan menundukkan badan, ia menyampaikan pesan Yusuf. Pesan yang seharusnya sudah ia perjuangkan sejak dulu waktu terbebas. Ah, mengapalah diri ini lupa?!
"Oke. Oke. Itu perkara mudah." jawab Al Aziz. Kemudian ia bertitah ke pengawal," Panggilkan Tuan Guru, mentri-mentri dan istri saya Zulaikha, sekalian ibu-ibu pejabat yang kebetulan ada di istana!"
Lalu tak berapa lama, di siang itu, semua hadir di istana. Termasuk mentri kehakiman serta jaksa tentunya. Maka mulailah Al Aziz membuka pembicaraan," Terimakasih sudah hadir pada siang ini, dalam pertemuan yang cukup mendadak. Sebagian kita tentu sudah tau, tentang mimpi saya malam-malam terakhir ini. Dan lainnya , adalah kebutuhan untuk menakwilkannya. Saat yang lain belum mampu, ternyata anak-angkat saya ini, yang seperti terlupakan bertahun-tahun, diinfokan mampu melakukannya. Hanya dengan syarat, perkara dia bertahun yang lalu, dijelaskan duduk tegaknya, benar salahnya. Ini genting. Kita butuh bantuan dan keikhlasan kita semua..." ujarnya. Semua saling pandang. Lalu mengangguk-angguk. Al Aziz menatap sekeliling. Namun Siti Zulaikha, merasa tatapan Al Aziz adalah menusuk ke jantungnya. Menikam jauh ke bilik dada. Itulah sebabnya, sebelum jauh pembicaraan berkembang, ia berdiri, maju, berjalan ke hadapan Raja, dan tiba-tiba menjatuhkan badannya. Menyerah seratus persen. Bukan, dua ratus persen!
Sambil menangis, ia terdengar bicara terputus-putus," Hamba suamiku, hamba yang salah..Yusuf, anak kita, dialah yang benar. Ampuni hamba yang telah teledor ini...." ucapnya menutupkan hijab ke muka wajahnya. Aduh, ... kebenaran! Kadang, engkau datang jua! Walau terlambat!!
“Sudah. Sudah,…..semua sudah selesai. Yusuf, kami berdua
minta maaf padamu atas kejadian bertahun lalu. Kini sampaikanlah takwil mimpi
tujuh sapi kurus memakan tujuh sapi gemuk yang kualami berkali-kali malam-malam
terakhir ini…” kata Al Aziz mengalihkan
suasana.
Yusuf berdiri dan menjawab, “Baiklah Ayahanda. Terlebih dulu saya berterimakasih atas kearifan dan kebijakan Ayahanda. Saya merasa Ayahanda telah menghadirkan keadilan di tengah hati kami. Saya berterimakasih juga pada Tuan Guru yang mengajarkan berbagai ilmu. Dan kehadiran Tuan Guru, adalah salah satu kebaikan yang telah dilakukan bunda Zulaikha kepada saya, diantara banyak kebaikan lainnya, yang takkan bias saya balas. Berkenaan dengan mimpi ayahanda itu, takwilnya adalah; bahwa akan dating tujuh masa tahun penuh nikmat dan panen melimpah di masa dating, yang akan diikuti tujuh tahun berikutnya berupa paceklik. Jika kerajaan bersama semua rakyat tidak mengantisipasinya dengan menabung bahan pangan saat musim subur, maka akan menderitalah rakyat di tujuh tahun berikutnya. Boleh jadi akan banyak yang meninggal….”
Al Aziz termenung sesaat. Takwil itu masuk akal. Hatinya membenarkan. Dan dia pun bertanya pada para mentri pembantu,”Bagaimana pendapat kalian tentang hal itu?” Para mentri menganguk-angguk. “Kami memaklumi Tuan Raja…” jawab mereka.
“Oke. Yusuf, kesinilah nak! Berdiri dekat ayahanda!” Yusuf patuh. Ia beranjak ke depan.
“Ayahanda minta engkau yang memimpin pengelolaan logistik bahan pangan negri kita, mulai hari ini, sekaligus membangun gudang-gudang penyimpanan. Mungkin semacam Bank Gandum dan bahan pangan. Gajimu setingkat mentri. Kamu boleh mendatangi ayahanda kapanpun untuk urusan kesejahteraan rakyat kita ini!” ujar Al Aziz.
Yusuf, terperanjat. Anak muda yang salah tangkap dan mendekam di penjara seperti dia, kini jadi pejabat kerajaan? Apa dia tak bermimpi? Ya Tuhan, skenario apa pula ini yang Engkau siapkan untuk saya….. Yusuf menghampiri Al Aziz dan menyalami serta memeluk ayah angkatnya itu. Para hadirin yang hadir seperti terhipnotis. Mereka serasa dihidangkan kejadian yang mempesona jiwa. Menentramkan lubuk hati. Ya Allah, ya Qadir, wahai Engkau Yang Maha berkehendak. … Ini adalah garisMu wahai Tuhan, dan hamba akan melaksanakannya sebagai ibadah.
Yusuf berdiri dan menjawab, “Baiklah Ayahanda. Terlebih dulu saya berterimakasih atas kearifan dan kebijakan Ayahanda. Saya merasa Ayahanda telah menghadirkan keadilan di tengah hati kami. Saya berterimakasih juga pada Tuan Guru yang mengajarkan berbagai ilmu. Dan kehadiran Tuan Guru, adalah salah satu kebaikan yang telah dilakukan bunda Zulaikha kepada saya, diantara banyak kebaikan lainnya, yang takkan bias saya balas. Berkenaan dengan mimpi ayahanda itu, takwilnya adalah; bahwa akan dating tujuh masa tahun penuh nikmat dan panen melimpah di masa dating, yang akan diikuti tujuh tahun berikutnya berupa paceklik. Jika kerajaan bersama semua rakyat tidak mengantisipasinya dengan menabung bahan pangan saat musim subur, maka akan menderitalah rakyat di tujuh tahun berikutnya. Boleh jadi akan banyak yang meninggal….”
Al Aziz termenung sesaat. Takwil itu masuk akal. Hatinya membenarkan. Dan dia pun bertanya pada para mentri pembantu,”Bagaimana pendapat kalian tentang hal itu?” Para mentri menganguk-angguk. “Kami memaklumi Tuan Raja…” jawab mereka.
“Oke. Yusuf, kesinilah nak! Berdiri dekat ayahanda!” Yusuf patuh. Ia beranjak ke depan.
“Ayahanda minta engkau yang memimpin pengelolaan logistik bahan pangan negri kita, mulai hari ini, sekaligus membangun gudang-gudang penyimpanan. Mungkin semacam Bank Gandum dan bahan pangan. Gajimu setingkat mentri. Kamu boleh mendatangi ayahanda kapanpun untuk urusan kesejahteraan rakyat kita ini!” ujar Al Aziz.
Yusuf, terperanjat. Anak muda yang salah tangkap dan mendekam di penjara seperti dia, kini jadi pejabat kerajaan? Apa dia tak bermimpi? Ya Tuhan, skenario apa pula ini yang Engkau siapkan untuk saya….. Yusuf menghampiri Al Aziz dan menyalami serta memeluk ayah angkatnya itu. Para hadirin yang hadir seperti terhipnotis. Mereka serasa dihidangkan kejadian yang mempesona jiwa. Menentramkan lubuk hati. Ya Allah, ya Qadir, wahai Engkau Yang Maha berkehendak. … Ini adalah garisMu wahai Tuhan, dan hamba akan melaksanakannya sebagai ibadah.
Seperti disulap,
Yusuf berubah menjadi pejabat muda nan gagah. Tampan dan dikagumi. Apalagi jika
ia tengah serius bekerja, maka ibu-ibu dan anak gadis yang kebetulan memandang,
sejenak terpesona. Sekali memandang, boleh kan? Tidak diulang-ulang, dan tidak
dilanjutkan dengan khayalan.
Hari-hari berikutnya adalah kesibukan Yusuf bersama timnya, mensosialisasikan perkiraaan musim yang bakal berdampak pada kesejahteraan hidup masyarakat, tujuh tahun setelah tujuh tahun berikutnya. Pada umumnya masyarakat menerima konsep berhemat, menabung dan program jangka menengah Panjang yang dicanangkan Yusuf. Dampaknya, rakyat membuat lumbung mereka sendiri di rumah, berhemat untuk menghadapi zaman paceklik. Bagi hasil pertanian yang berlimpah, dibeli Lembaga pangan Yusuf, disimpan di Gudang kerajaan. Yusuf bahkan memiliki jaringan dengan kerajaan di jazirah Yaman, Saudi, Falistin dan Libya untuk membeli bahan pangan. Kebersihan Gudang dijaga dengan baik. Lantai tidak dibiarkan lembab. Ventilasipun diperhitungkan. Semua diniatkan Yusuf untuk kebaikan rakyat masa datang, dan ibadahnya ke Sang Penguasa Alam. Gestur, mimik, gerakan bola mata, aura, dan semua 'kakobeh' pemimpin yang berniat ibadah itu dengan mudah dirasakan dan ditangkap rakyat, hingga Yusuf tak menemui halangan dengan kerja-kerjanya.
Hari-hari berikutnya adalah kesibukan Yusuf bersama timnya, mensosialisasikan perkiraaan musim yang bakal berdampak pada kesejahteraan hidup masyarakat, tujuh tahun setelah tujuh tahun berikutnya. Pada umumnya masyarakat menerima konsep berhemat, menabung dan program jangka menengah Panjang yang dicanangkan Yusuf. Dampaknya, rakyat membuat lumbung mereka sendiri di rumah, berhemat untuk menghadapi zaman paceklik. Bagi hasil pertanian yang berlimpah, dibeli Lembaga pangan Yusuf, disimpan di Gudang kerajaan. Yusuf bahkan memiliki jaringan dengan kerajaan di jazirah Yaman, Saudi, Falistin dan Libya untuk membeli bahan pangan. Kebersihan Gudang dijaga dengan baik. Lantai tidak dibiarkan lembab. Ventilasipun diperhitungkan. Semua diniatkan Yusuf untuk kebaikan rakyat masa datang, dan ibadahnya ke Sang Penguasa Alam. Gestur, mimik, gerakan bola mata, aura, dan semua 'kakobeh' pemimpin yang berniat ibadah itu dengan mudah dirasakan dan ditangkap rakyat, hingga Yusuf tak menemui halangan dengan kerja-kerjanya.
Sekali waktu,
Yusuf berjalan ke lahan pertanian. Berbincang dengan penggarap lahan.
Mengusulkan pembersihan jalur pengairan dari sungai Nil. Di kala lain, ia
menyarankan agar anak-anak mengkonsumsi telur unggas, supaya lebih fit
menghadapi masa depan yang tak terduga. Dan terkadang ia, ada di pasar memantau
kelancaran barang-barang. Suatu kali, ia sempat erbincang dengan pedagang dari
Falistin, kampungnya. Cerah wajah Yusuf, mendengar kabar bahwa Yakup, bapaknya
masih hidup. Hanyasaja, kata pedagang itu, badan Yakup sekarang agak kurusan.
Ah,....Yusuf jadi nelangsa………. Ada rindu di pelosok dada. Saudara-saudaranya
juga baik-baik saja, di antara mereka sudah ada yang berkeluarga. Sedangkan
adik mereka yang paling kecil, Bunyamin, tumbuh jadi lelaki kecil yang lucu.
Manis roman mukanya.
"Siapa nama adik kecil itu?" tanya Yusuf.
"Jika tak salah, Bunyamin. Bunyamin nan elok seperti rembulan, he he he..." jawab pedagang itu sambil tertawa. Yusuf memandang jauh. Ke dataran langit dan awan…. Di atas daun kurma yang bergoyang melambai-lambai…..
"Udah ya. Selamat berdagang. semoga banyak untung hari ini." ujar Yusuf lalu berlalu. Tak ingin ia pedagang Falistin itu melihat basah di ruang matanya. Aduh,...
"Siapa nama adik kecil itu?" tanya Yusuf.
"Jika tak salah, Bunyamin. Bunyamin nan elok seperti rembulan, he he he..." jawab pedagang itu sambil tertawa. Yusuf memandang jauh. Ke dataran langit dan awan…. Di atas daun kurma yang bergoyang melambai-lambai…..
"Udah ya. Selamat berdagang. semoga banyak untung hari ini." ujar Yusuf lalu berlalu. Tak ingin ia pedagang Falistin itu melihat basah di ruang matanya. Aduh,...
Percakapan dengan
pedagang Falistin itu pendek sebenarnya. Tapi dampaknya pada hati Yusuf,
panjang. Ada gelora rindu muncul membakar. Abi kini telah kurusan? Tidak sakit
kan? Tidak. Abi tak usah sakit,.... bisik hatinya. Ummi? Jangan -jangan ummi
juga kurus, menanggungkan beban kehilangan anak lelaki tampannya, kemudian
melahirkan anak si bungsu, Bunyamin. Bunyamin? Ungkapan pedagang tadi, Bunyamin
manis, seperti rembulan. Inginnya hati menatap roman muka adiknya itu. Apakah ia mirip Ummi? Manis, seperti rembulan. Ah, pasti
teduh. Pasti lembut. Pasti senang memandangnya. Pasti tak ingin memalingkan
wajah. ..... Manis seperti rembulan, manis seperti rembulan,.....bibir Yusuf
mengulang-ulang ungkapan tiga kata itu, sambil kuda yang ia tunggangi berjalan
pelan-pelan saja, menuju istana. Manis, seperti rembulan, manis seperti
rembulan,.... Bunyamin, ingin ia godaadik kecil itu jika ketemu, atau ia pegang
ubun-ubunnya,.... Bibir Yusuf senyum sendiri. Telapak kuda mengiringi khayalnya
tentang seorang adik lelaki bagai rembulan. Klak-tok, klak-tok,
klak-tok,......kaki kuda.
TIba-tiba wajah kakaknya yang sulung muncul. Diikuti kakak kedua, tiga dan empat! Yahuda! Lalu terus berikutnya. Tak dia sangka , dibalik ramah ajakan menggembala, kakak-kakak itu mencampakkannya ke dasar sumur. Itu pedih! Itu membunuh! Tapi,....andai tak diperlakukan begitu, akankah dia bertemu Ali Bayi' ? Jika tidak dikhianati kakaknya, akankah ia akan sampai di Qahirah dan bertemu bunda Siti dan ayahanda Al Aziz? Uh, kadang geram, kadang senyum Yusuf memikirkan jalan hidupnya. Terlepas dari semua itu, kapankah ia bisa bertemu Ummi? Bercerita panjang dengan Abi? Dan menggoda Bunyamin, si adik lelaki manis? Entahlah!
TIba-tiba wajah kakaknya yang sulung muncul. Diikuti kakak kedua, tiga dan empat! Yahuda! Lalu terus berikutnya. Tak dia sangka , dibalik ramah ajakan menggembala, kakak-kakak itu mencampakkannya ke dasar sumur. Itu pedih! Itu membunuh! Tapi,....andai tak diperlakukan begitu, akankah dia bertemu Ali Bayi' ? Jika tidak dikhianati kakaknya, akankah ia akan sampai di Qahirah dan bertemu bunda Siti dan ayahanda Al Aziz? Uh, kadang geram, kadang senyum Yusuf memikirkan jalan hidupnya. Terlepas dari semua itu, kapankah ia bisa bertemu Ummi? Bercerita panjang dengan Abi? Dan menggoda Bunyamin, si adik lelaki manis? Entahlah!
Takwil tentang tujuh
tahun nan subur dan melimpah, ternyata betul kenyataan. Hasil pertanian pangan
penduduk berlebih-lebih. Gandum serta jagung, bagai benda yang terpandang ada
dimana-mana. Begitu juga dengan ternak, angsa, domba serta unta dan kuda. Negri
ini seakan-akan surga yang disayang Tuhan. Dan Yusuf, mentri urusan logistik
pangan, tiada lelah mengingatkan, simpan,...tabung,.....jaga jangan
mubazir..... Al Aziz, kini, di usianya yang makin tua, sesekali
menginspeksi gudang-gudang pangan kerajaan
yang jumlahnya ratusan. Tentram hatinya, melihat kerja Yusuf. Anak ini,
cekatan, kata hatinya. Walaupun ia anak angkat, dan berasal dari jauh bukan
Qahirah, tampaknya ada tanda-tanda, Yusuf bisa memimpin negri ini melanjutkan
apa yang sudah ia usahakan. Al Aziz menghirup nafas. Dalam-dalam. Lalu
menghembuskannya dengan pelan,....wuuuuussss.
Memasuki tahun ke delapan, Al Aziz mmulai bertanya-tanya. Akankah paceklik betul-btul datang? Kemarau panjang dan angin gersang di gurun tandus? Setiap pagi Al Aziz terbangun, ia intip cuaca ke luar. Dingin. Dingin menusuk tulang. Lalu siangnya panas. Panas menggigit kulit. Anakku Yusuf, engkau benar-benar pentakwil yang baik. Tampaknya gersang tandus kemarau panjang telah datang! TUhan telah memberi peringatan pada kita melalui mimpi, dan Tuhan telah mengutus engkau, putraku, menjadi jawabannya. Al Aziz manggut-manggut. Sambil mengelus jenggotnya nan memutih.
Memasuki tahun ke delapan, Al Aziz mmulai bertanya-tanya. Akankah paceklik betul-btul datang? Kemarau panjang dan angin gersang di gurun tandus? Setiap pagi Al Aziz terbangun, ia intip cuaca ke luar. Dingin. Dingin menusuk tulang. Lalu siangnya panas. Panas menggigit kulit. Anakku Yusuf, engkau benar-benar pentakwil yang baik. Tampaknya gersang tandus kemarau panjang telah datang! TUhan telah memberi peringatan pada kita melalui mimpi, dan Tuhan telah mengutus engkau, putraku, menjadi jawabannya. Al Aziz manggut-manggut. Sambil mengelus jenggotnya nan memutih.
Tahun pertama
paceklik itu, belum begitu berdampak pada rakyat Al Aziz. Mereka juga sudah
diwanti-wanti kepala badan urusan logistik yang gagah ganteng tampan rupawan
sejak awal, untuk menyimpan bahan pangan di lumbung masing-masing. Tahun kedua
dan ketiga pun belum terasa sangat. Al Aziz menikmati hasil kerja Yusuf, yang
mengayomi rakyat dan menasehatkan berhemat serta jangan mubazir. Sayur dan
buah, dalam jenis yang terbatas, masih tetap tersedia banyak, karena kerajaan
mensubsidi harganya. Ada yang diimpor dari Afrika
Barat, ada dari Asia Selatan bahkan ada rempah yang dibawa dari pulau- pulau
kecil nun di timur. Setelah tahun ketiga , persediaan di lumbung rakyat habis.
Giliran gudang kerajaan yang menyuplai gandum, jagung dan kedelai. Telur unggas
sudah tak ada, tapi ikan laut, masih tersedia. Kata mentri pangan, ikan itu
baik untuk kesehatan dan kekuatan tubuh. Jadi, dengan mengendalikan diri dari
nafsu makan serakah, selera sederhana, rakyat masih bertahan dalam kehidupan
normal.
Yang kasihan adalah, daerah-daerah pedalaman jazirah arab dan Falistin serta pedalaman Afrika. Mulai diserang penyakit busung lapar, malnutrisi dan penyakit menular.
Di Qahirah, melihat kinerja Yusuf, maka Al Aziz memutuskan, menyerahkan pemerintahan pada anak muda bujangan, Yusuf. Kini, gelar Al Aziz, berpindah pada Yusuf. Dan ayahandanya, memilih istirahat dari dunia perpolitikan. Ada waktunya, dimana kita percayakan kekuasaan pada generasi penerus, sesuai tanda-tanda alam. Dan ayahanda Yusuf, arif akan hal ini.
Sekarang , di Qahirah, orang-orang mengenal kerajaan aman damai, bertahan survive dari terjangan kemarau panjang paceklik, dibawah kepemimpinan "Al Aziz' muda. Tahniah ya Al Aziz!
Yang kasihan adalah, daerah-daerah pedalaman jazirah arab dan Falistin serta pedalaman Afrika. Mulai diserang penyakit busung lapar, malnutrisi dan penyakit menular.
Di Qahirah, melihat kinerja Yusuf, maka Al Aziz memutuskan, menyerahkan pemerintahan pada anak muda bujangan, Yusuf. Kini, gelar Al Aziz, berpindah pada Yusuf. Dan ayahandanya, memilih istirahat dari dunia perpolitikan. Ada waktunya, dimana kita percayakan kekuasaan pada generasi penerus, sesuai tanda-tanda alam. Dan ayahanda Yusuf, arif akan hal ini.
Sekarang , di Qahirah, orang-orang mengenal kerajaan aman damai, bertahan survive dari terjangan kemarau panjang paceklik, dibawah kepemimpinan "Al Aziz' muda. Tahniah ya Al Aziz!
Menghadapi paceklik
keerbatasan tahun ke enam, Al Aziz muda masih bertahan. Gudang masih penuh
puluhan buah. Hanyasaja, kini rakyat mulai antri mendapatkan bahan pangan dari
kerajaan setiap hari. "Al Aziz" muda membagi hari pembagian sesuai
daerah administratif rakyatnya. Hari Minggu khusus untuk rakyat pinggiran
bahkan luar kerajaan yang perlu ditolong, sesuai azas kemanusiaan. Termasuk di
dalamnya, Falistin. Kampung 'Al Aziz' muda.
Rombongan saudara-saudara Yusuf, sebelas orang dengan beberapa unta, datang mencoba peruntungan, mendapatkan pembagian stok pangan. Hari ini, Minggu, setelah sejak tiga hari lalu mereka berangkat dari kampung, nun di dekat bukit melengkung, di rerumpun kurma yang daunnya melambai. Mereka pamit pada Abi dan Ummi serta Bunyamin, lalu setapak demi setapak, menuju arah selatan untuk berbelok ke kanan, ke Qahirah. Pagi Minggu, orang-orang dari kafilah lain, sudah mulai antri. Saudara tua Yusuf, menambah panjang antrian itu. Anak buah "Al Aziz" muda, dengan cekatan menimbang dan membagikannya pada rakyat yang wajahnya memelas dan penuh keprihatinan itu. Al Aziz, berdiri agak di atas altar batu. Menatap tajam pada rombongan unta dengan sebelas lelaki di antrian. Sungguh, dada Yusuf, Al Aziz muda, berdebar melihat wajah kakaknya. Jelas sekali, itu adalah kakak tertuanya, dengan gurat wajah menua, mungkin karena sudah bekeluarga. dan di dekatnya itu, adalah kakak keduanya. lalu kakak ke tiga dan ke empat, serta berkelompok sampai sebelas. Yusuf nanar mencari-cari dengan bola matanya. Mana adik adik, yang kata pedagang dulu, manis seperti rembulan? Yusuf mempertajam pandangan. Mencari-cari. .... Tak ada. Betul, tak ada. Ah,...adik manis bagai rembulan, engkau tak datang kesini? Atau tak diizinkan oleh Abi dan Ummi? Hampa!
Rombongan saudara-saudara Yusuf, sebelas orang dengan beberapa unta, datang mencoba peruntungan, mendapatkan pembagian stok pangan. Hari ini, Minggu, setelah sejak tiga hari lalu mereka berangkat dari kampung, nun di dekat bukit melengkung, di rerumpun kurma yang daunnya melambai. Mereka pamit pada Abi dan Ummi serta Bunyamin, lalu setapak demi setapak, menuju arah selatan untuk berbelok ke kanan, ke Qahirah. Pagi Minggu, orang-orang dari kafilah lain, sudah mulai antri. Saudara tua Yusuf, menambah panjang antrian itu. Anak buah "Al Aziz" muda, dengan cekatan menimbang dan membagikannya pada rakyat yang wajahnya memelas dan penuh keprihatinan itu. Al Aziz, berdiri agak di atas altar batu. Menatap tajam pada rombongan unta dengan sebelas lelaki di antrian. Sungguh, dada Yusuf, Al Aziz muda, berdebar melihat wajah kakaknya. Jelas sekali, itu adalah kakak tertuanya, dengan gurat wajah menua, mungkin karena sudah bekeluarga. dan di dekatnya itu, adalah kakak keduanya. lalu kakak ke tiga dan ke empat, serta berkelompok sampai sebelas. Yusuf nanar mencari-cari dengan bola matanya. Mana adik adik, yang kata pedagang dulu, manis seperti rembulan? Yusuf mempertajam pandangan. Mencari-cari. .... Tak ada. Betul, tak ada. Ah,...adik manis bagai rembulan, engkau tak datang kesini? Atau tak diizinkan oleh Abi dan Ummi? Hampa!
Namun begitu, Raja "Al Aziz Muda" mendekati
kakak-kakak Yusuf itu saat giliran mendapat jatah. Karung mereka masing-masing
diisi petugas dengan gandum. Itu cukup untuk membuat roti khubz sebulan
mendatang. Senangnya hati!
"Kerajaan ingin mendapat pahala lebih banyak. Apakah kalian ini bersaudara ?" tanya Al Aziz. "Betul, Tuan Raja. Kami sesungguhnya punya saudara seorang lagi, tapi masih rada kecil. Tidak ikut. Ia tinggal bersama bapak dan ibu kami."
"Jika ingin dapat jatah lagi bulan depan, bawalah semua saudaramu kesini. Kami ikhlas dan tuan-tuan terbantu" ujar Al Aziz. Kakak-kakak Yusuf gembira. Artinya akan ada jatah satu karung lagi, jika Bunyamin turut serta. "Oke Tuan Raja. Terimakasih. Tentu akan kami bawa semua saudara kami kesini bulan depan!" jawab kakak tirinya yang tertua . "Toyyib. Bagus! Kami tunggu..." kata Raja dengan simpatik. Kakak-kakak Yusuf segera kembali pulang ke Falistin, dan memuji-muji kebaikan Al Aziz, sepanjang jalan.
"Ternyata Raja mereka masih sangat muda ya?"
"Ho-oh!"
"Bukan hanya muda, tapi tampan juga. "
"Ho-oh"
"Tampan. Ramah. Dermawan!"
"Ho-oh!"
"Tadi rasanya, hati kita begitu dekat dngan Beliau. Tidak berjarak dengan rakyat. Rendah hati!"
"Ho-oh!"
"He, kakak Yahuda ini, ho-oh ho-oh terus?"
"Ho-oh...."
"Kerajaan ingin mendapat pahala lebih banyak. Apakah kalian ini bersaudara ?" tanya Al Aziz. "Betul, Tuan Raja. Kami sesungguhnya punya saudara seorang lagi, tapi masih rada kecil. Tidak ikut. Ia tinggal bersama bapak dan ibu kami."
"Jika ingin dapat jatah lagi bulan depan, bawalah semua saudaramu kesini. Kami ikhlas dan tuan-tuan terbantu" ujar Al Aziz. Kakak-kakak Yusuf gembira. Artinya akan ada jatah satu karung lagi, jika Bunyamin turut serta. "Oke Tuan Raja. Terimakasih. Tentu akan kami bawa semua saudara kami kesini bulan depan!" jawab kakak tirinya yang tertua . "Toyyib. Bagus! Kami tunggu..." kata Raja dengan simpatik. Kakak-kakak Yusuf segera kembali pulang ke Falistin, dan memuji-muji kebaikan Al Aziz, sepanjang jalan.
"Ternyata Raja mereka masih sangat muda ya?"
"Ho-oh!"
"Bukan hanya muda, tapi tampan juga. "
"Ho-oh"
"Tampan. Ramah. Dermawan!"
"Ho-oh!"
"Tadi rasanya, hati kita begitu dekat dngan Beliau. Tidak berjarak dengan rakyat. Rendah hati!"
"Ho-oh!"
"He, kakak Yahuda ini, ho-oh ho-oh terus?"
"Ho-oh...."
"Abi, bulan
depan Bunyamin ikut serta ke Qahirah ya?"
"La! Tak usahlah. Kehilangan Yusuf sudah membuat Abi luka teramat dalam. Jika Bunyamin hilang pula, habislah asa kehidupan!"
"Tapi Abi. Tuan Raja yang baik hati itu, takkan memberi jatah lagi jika tak mengikut sertakan semua saudara. Tuan Raja ingin mendapatkan pahala yang banyak dari Tuhan"
"Begitu?"
"Betul Abi..."
"Apa kalian mau bersumpah, menjaga adik perempuan satu-satunya sampai selamat pulang lagi?"
"Perkara mudahnya itu Abi. Kami lindungi Bunyamin. Tak kan lagi ada srigala seperti yang memakan Yusuf!"
"Sumpah?"
"Sumpah Abi. Demi Tuhan!"
"Okelah. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama dua kali!"
"Demi Tuhan, kami akan menjaga Bunyamin. Dan kita dapat tambahan sekarung gandum lagi."
"La! Tak usahlah. Kehilangan Yusuf sudah membuat Abi luka teramat dalam. Jika Bunyamin hilang pula, habislah asa kehidupan!"
"Tapi Abi. Tuan Raja yang baik hati itu, takkan memberi jatah lagi jika tak mengikut sertakan semua saudara. Tuan Raja ingin mendapatkan pahala yang banyak dari Tuhan"
"Begitu?"
"Betul Abi..."
"Apa kalian mau bersumpah, menjaga adik perempuan satu-satunya sampai selamat pulang lagi?"
"Perkara mudahnya itu Abi. Kami lindungi Bunyamin. Tak kan lagi ada srigala seperti yang memakan Yusuf!"
"Sumpah?"
"Sumpah Abi. Demi Tuhan!"
"Okelah. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama dua kali!"
"Demi Tuhan, kami akan menjaga Bunyamin. Dan kita dapat tambahan sekarung gandum lagi."
Raja Al Aziz
ayahanda Yusuf, sudah hengkang dari istana. Ia memilih tinggal di rumah di
kampung asalnya. Ia bawa Siti Zulaikha ikut serta. Entah, Siti Zulaikha,
sepertinya masih terkait hatinya di istana. Hingga ketika sampai di kampung
suaminya, ia demam. Suaminya menasehatkan, boleh jadi dinda sedang direkayasa
Tuhan untuk lebih dekat dengan Beliau. Cobalah merenung, beramal dan berzikir
lebih intens. Zulaikha mencobanya. He, betul. Beban terasa jadi agak ringan!
Kepala mulai segar. Hati berubah tenang. dan demam
pun hilang. Menyatukan hati dengan Tuhan.
Jadi secara
psikologis kekeluargaan, Yusuf, Al Aziz yang baru, serasa sepi di istana.
Apalagi cerita tentang keluarganya di falistin, dan ketemu dengan kakak tirinya
beberapa minggu lalu, cukup berdampak pada rasa. sesuatu yang ada nun di sudut
kalbu. Susah untuk mengatakannya. Oh.
Ahad bulan
berikutnya, Al Aziz Muda, menanti. Akankah saudara tirinya datang bersama adik
yang dia sangat ingin melihat wajahnya. Selain Ummi dan Abi, siapakah lagi
kerabat sedarah dekat, selain adik dia satu-satunya itu?
Mata Al Aziz Muda, menginspeksi satu per satu antrian jatah pangan di halaman gudang istana. Sssst, lihat! Itu! Seorang lelaki belia dikelilingi sebelas lelaki! Bukankah itu kakak-kakak dia? Dia arahkan perhatian pada wajahnya. Namun sayang, anak lelaki kecil itu menunduk. Tapi jelas kulit dan alis serta mata nan cemerlang. ! Adikku.......
Mata Al Aziz Muda, menginspeksi satu per satu antrian jatah pangan di halaman gudang istana. Sssst, lihat! Itu! Seorang lelaki belia dikelilingi sebelas lelaki! Bukankah itu kakak-kakak dia? Dia arahkan perhatian pada wajahnya. Namun sayang, anak lelaki kecil itu menunduk. Tapi jelas kulit dan alis serta mata nan cemerlang. ! Adikku.......
Al Aziz, senyum
sendiri. Jelas! Itu adikku, kata hantinya. Lalu ia berzikir, meminta pada
Tuhan, memejamkan mata; bagaimanakah caranya agar adiknya ikut tingal dengannya
di Qahirah,...
Tak berapa lama, Yusuf membuka mata. Wajahnya berubah ceria. Dan segera memanggil ketua panitia pembagian jatah pangan ke dalam ruang. Yusuf membisikkan sesuatu. Ketua panitia itu terkaget, dan mengangguk-angguk. Lalu ia keluar. Yusuf sabar menunggu. Sesekali matanya melirik anak lelaki belia, di antrian. Adikku,...
Dan sampailah saatnya saudara-saudara Yusuf mendapatkan bagiannya. Setiap mereka mendapat satu karung gandum. Ooo,....betapa dermawannya Raja Aziz. Semoga rezki negri ini bertambah tambah, dan berkah.
Pemberian jatah selesai. Keluarga saudara-saudara Yusuf menaikkan karung makanan ke unta mereka. Tapi semua orang yang hadir tiba-tiba dikagetkan oleh teriakan seorang panitia pembagian. "He, tunggu! Takaran perak kami hilang. Padahal barusan ada di sini. Ianya ditarok di depan, sebagai lambang kasih sayang kami pada kalian. Ternyata ada yang tega mencuri!"
Semua rakyat yang hadir saling pandang. Siapalah yang iseng berbuat begitu! Alangkah keterlaluan! Diberi rezki oleh Raja, malah mencuri!
Tak ada yang menjawab. Semua kaku. Karena memang tak ada yang merasa mengambil. Memang sih, tadi mereka melihat ada takaran perak, ditarok di meja depan. Tapi karena memikirkan antrian, mereka tak ambil pusing dengan takaran pajangan itu. Dah, alamat panjang urusan!
Tak berapa lama, Yusuf membuka mata. Wajahnya berubah ceria. Dan segera memanggil ketua panitia pembagian jatah pangan ke dalam ruang. Yusuf membisikkan sesuatu. Ketua panitia itu terkaget, dan mengangguk-angguk. Lalu ia keluar. Yusuf sabar menunggu. Sesekali matanya melirik anak lelaki belia, di antrian. Adikku,...
Dan sampailah saatnya saudara-saudara Yusuf mendapatkan bagiannya. Setiap mereka mendapat satu karung gandum. Ooo,....betapa dermawannya Raja Aziz. Semoga rezki negri ini bertambah tambah, dan berkah.
Pemberian jatah selesai. Keluarga saudara-saudara Yusuf menaikkan karung makanan ke unta mereka. Tapi semua orang yang hadir tiba-tiba dikagetkan oleh teriakan seorang panitia pembagian. "He, tunggu! Takaran perak kami hilang. Padahal barusan ada di sini. Ianya ditarok di depan, sebagai lambang kasih sayang kami pada kalian. Ternyata ada yang tega mencuri!"
Semua rakyat yang hadir saling pandang. Siapalah yang iseng berbuat begitu! Alangkah keterlaluan! Diberi rezki oleh Raja, malah mencuri!
Tak ada yang menjawab. Semua kaku. Karena memang tak ada yang merasa mengambil. Memang sih, tadi mereka melihat ada takaran perak, ditarok di meja depan. Tapi karena memikirkan antrian, mereka tak ambil pusing dengan takaran pajangan itu. Dah, alamat panjang urusan!
"Coba, semua
yang sudah terlanjur akan berangkat, turun dulu, mohon turun dari unta! Kita
periksa satu persatu..." ujar panitia.
"Astaghfirullah! Apa tuan panitia mengira kami kesini pergi mencuri? Tidak, sekali-kali tidak! Kami ini orang baik-baik Tuan panitia!" kakak tertua Yusuf menjawab. Gusar!
"Kita buktikan! Jika memang ada di dalam karung salah seorang diantara kalian bagaimana?" tantang panitia. Wajahnya dingin.
"Yang terbukti mencuri, takaran itu ada dalam karungnya, sumpah, bersedia jadi budak Tuan disini!" jawab kakak Yusuf dengan tegas. Ia merasa sangat tak pernah melakukan pencurian memalukan ini.
"Oke! Bagaimana dengan yang lain? Setuju, jika terbbukti mencuri, tinggal disini jadi budak?"
"Setuju tuan Panitia. Setujuuuu......." jawab yang lain.
Lalu karung semua yang sudah terlanjur dijatah, diperiksa. Kakak-kakak Yusufpun dengan segra menunjukkan karung gandum mereka yang sudah menganga mulutnya. Panitia memasukkan tangan ke dalam. Dan memang, tak ada takaran perak di dalam karung. Bersih!
"Manalah mungkin kami akan melakukan itu, tuan Panitia,..." gerutu kakak Yusuf. Sementara panitia menuju karung adik mereka paling kecil, Bunyamin. Bunyamin bengong saja. Sebab karung dia ditumpukkan tadi bersama karung kakak-kakaknya. Ketika panitia membuka dan memeriksa karungnya, ia acuh saja. Dia bahkan tak tau, takaran perak itu seperti apa.
"Nah ! Ini dia!!" panitia mengangkat takaran perak dari dalam karung Bunyamin. Semua kaget. Anak kecil itu pencuri?
"Astaghfirullah! Apa tuan panitia mengira kami kesini pergi mencuri? Tidak, sekali-kali tidak! Kami ini orang baik-baik Tuan panitia!" kakak tertua Yusuf menjawab. Gusar!
"Kita buktikan! Jika memang ada di dalam karung salah seorang diantara kalian bagaimana?" tantang panitia. Wajahnya dingin.
"Yang terbukti mencuri, takaran itu ada dalam karungnya, sumpah, bersedia jadi budak Tuan disini!" jawab kakak Yusuf dengan tegas. Ia merasa sangat tak pernah melakukan pencurian memalukan ini.
"Oke! Bagaimana dengan yang lain? Setuju, jika terbbukti mencuri, tinggal disini jadi budak?"
"Setuju tuan Panitia. Setujuuuu......." jawab yang lain.
Lalu karung semua yang sudah terlanjur dijatah, diperiksa. Kakak-kakak Yusufpun dengan segra menunjukkan karung gandum mereka yang sudah menganga mulutnya. Panitia memasukkan tangan ke dalam. Dan memang, tak ada takaran perak di dalam karung. Bersih!
"Manalah mungkin kami akan melakukan itu, tuan Panitia,..." gerutu kakak Yusuf. Sementara panitia menuju karung adik mereka paling kecil, Bunyamin. Bunyamin bengong saja. Sebab karung dia ditumpukkan tadi bersama karung kakak-kakaknya. Ketika panitia membuka dan memeriksa karungnya, ia acuh saja. Dia bahkan tak tau, takaran perak itu seperti apa.
"Nah ! Ini dia!!" panitia mengangkat takaran perak dari dalam karung Bunyamin. Semua kaget. Anak kecil itu pencuri?
Rubin dan Syam'un,
kakak tertua Yusuf, terkejut bukan main. Bagaimana bisa takaran perak itu ada
dalam karung Bunyamin? Buat apa takaran perak itu oleh Bunyamin? Sepintar apa
Bunyamin menyambarnya dari altar depan, hingga tak ketauan seorangpun? Mereka, kakak-kakak
Yusuf, menatap Bunyamin dengan tajam, menyelidik. Bunyamin, yang memang tak
merasa mengambil, bengong saja. Matanya innosen. Ia menggelengkan kepala.
Tapi, temuan Panitia Pembagian Pangan, tak bisa juga ditolak. Semua menyaksikan, ada di karung Bunyamin. Sudah bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak. Tak dapat lagi berkata tidak. Apapun alasannya!
"Tidak mungkin!" Rubin masih berteriak. Tapi Bunyamin sudah digiring pengawal ke ruang dalam. "Tidaaak!" Rubin seperti hendak menangis. Suaranya parau. Duh. Apalah yang akan dia sampaikan ke Abi dan Ummi lusa, di Falistin, akan nasib Bunyamin ini. "Tidaaaak..." Rubin memukul kepalanya sendiri. "Kalian pulanglah ke Falistin. Saya tak akan! Biarlah saya disini sampai Bunyamin dilepaskan, atau Tuhan mengambil nyawa saya...." Rubin, menahan tangis. Tak hanya menahan tangis, tapi juga menahan malu. Dan menahan beban yang berdempet, dari kasus Yusuf kini ke kasus Bunyamin.
Orang-orang mulai pergi pulang. Termasuk saudara Yusuf yang lain. Rubin terduduk di pinggir halaman memagut kedua lututnya. Serasa akan dia antukkan kepalanya ke tanah!
Tapi, temuan Panitia Pembagian Pangan, tak bisa juga ditolak. Semua menyaksikan, ada di karung Bunyamin. Sudah bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak. Tak dapat lagi berkata tidak. Apapun alasannya!
"Tidak mungkin!" Rubin masih berteriak. Tapi Bunyamin sudah digiring pengawal ke ruang dalam. "Tidaaak!" Rubin seperti hendak menangis. Suaranya parau. Duh. Apalah yang akan dia sampaikan ke Abi dan Ummi lusa, di Falistin, akan nasib Bunyamin ini. "Tidaaaak..." Rubin memukul kepalanya sendiri. "Kalian pulanglah ke Falistin. Saya tak akan! Biarlah saya disini sampai Bunyamin dilepaskan, atau Tuhan mengambil nyawa saya...." Rubin, menahan tangis. Tak hanya menahan tangis, tapi juga menahan malu. Dan menahan beban yang berdempet, dari kasus Yusuf kini ke kasus Bunyamin.
Orang-orang mulai pergi pulang. Termasuk saudara Yusuf yang lain. Rubin terduduk di pinggir halaman memagut kedua lututnya. Serasa akan dia antukkan kepalanya ke tanah!
Nun, di dalam
ruangan, Yusuf sudah menunggu pengawal menggiring Bunyamin. Begitu sampai dalam
ruang, Yusuf tak dapat lagi menahan hatinya. Dia serbu lelaki belia itu,
langsung dipeluk erat-erat. Kali ini ia tak lagi peduli apakah akan disebut
cengeng atau tidak; ia menangis menciumi kedua pipi, kening dan puncak kepala
Bunyamin.
BUnyamin saja yang makin bingung.Dituduh mencuri, digiring, tapi dipeluk Raja Al Aziz... apa -apaan ini, fikirnya.
"Bunyamin, ini kakakmu dik! Ini kakak kandungmu... Aku anak Yakup dan Ummi Rahil. Lihat mata kakak dik. Lihat sini sayang... " dan Yusuf makin menjadi -jadi tangisnya. Ah,...
BUnyamin saja yang makin bingung.Dituduh mencuri, digiring, tapi dipeluk Raja Al Aziz... apa -apaan ini, fikirnya.
"Bunyamin, ini kakakmu dik! Ini kakak kandungmu... Aku anak Yakup dan Ummi Rahil. Lihat mata kakak dik. Lihat sini sayang... " dan Yusuf makin menjadi -jadi tangisnya. Ah,...
"Yusuf?"
tangan Bunyamin terangkat. Mnggantung di pundak Yusuf.
"Betul adikku. Betul . Ini kakak, sayang. Lama kakak merindukanmu. Ketika kakak pergi, engkau masih di perut ibu. "
Bunyamin mendengar Yusuf, dari Abi dan Ummi. Hanya saja, kata Ummi, Yusuf sudah mati dimakan srigala. Kakak-kakaknya juga bilang begitu.
"Kak Yusuf tak dimakan srigala?"
"Tidak sayang. Ini kakakmu. Peganglah. Pegang. kakakmu masih hidup kan?" Yusuf kembali memeluk kepala Bunyamin erat-erat. Pengawal, tak tahan melihat. Meleka mengalihkan pandang, tapi air mata mereka mengalir deras.
"Betul adikku. Betul . Ini kakak, sayang. Lama kakak merindukanmu. Ketika kakak pergi, engkau masih di perut ibu. "
Bunyamin mendengar Yusuf, dari Abi dan Ummi. Hanya saja, kata Ummi, Yusuf sudah mati dimakan srigala. Kakak-kakaknya juga bilang begitu.
"Kak Yusuf tak dimakan srigala?"
"Tidak sayang. Ini kakakmu. Peganglah. Pegang. kakakmu masih hidup kan?" Yusuf kembali memeluk kepala Bunyamin erat-erat. Pengawal, tak tahan melihat. Meleka mengalihkan pandang, tapi air mata mereka mengalir deras.
Setelah puas
saling peluk, Yusuf membimbing tangan Bunyamin ke
ruang makan. Menarik kursi kayu ukir. Mempersilakan Bunyamin duduk. Kemudian
Yusuf sendiri duduk di samping Bunyamin. Pelayan istana mempersilakan keduanya
menyantap hidangan. BUnyamin surprise. Belum pernah ia melihat makanan semewah
dan sebanyak ini. Di rumah, Ummi dan Abi selalu mengingatkan mereka, jika makan
harus 'bakalimek' hemat. Jangan di'polong-polong' mubazir. Di sini, semua
banyak, semua mewah, semua semerbak, semua seakan
memanggil-manggil untuk dicicipi. Seekor ikan bakar besar ditarik Yusuf dan
diletakkannya di piring Bunyamin. Bumbu kntal pedas asam, beraroma pala dan
habbatussauda, tercium harum. O, ingin BUnyamin segera menyantapnya. Iapun
menoleh ke kakaknya , Yusuf. Yusuf senyum menggangguk. "Silakan, makan
sepuasmu, dik!" katanya. Tapi Bunyamin tak memalingkan wajah. Ia tetap
memandang kakaknya Yusuf.
"Kenapa?" tanya Yusuf.
Bunyamin diam tapi bibirnya seakan senyum.
"Ada apa?" tanya Yusuf lagi.
"He he, betul kata orang-orang di kampung, katanya saya dulu punya kakak yang tampan rupawan gagah sekali, tapi sayang mati dimakan srigala. Ternyata memang ganteng.!"
"Hep!" Yusuf mencowel pipi adiknya."Ayo makan!" ujarnya.
"Kenapa?" tanya Yusuf.
Bunyamin diam tapi bibirnya seakan senyum.
"Ada apa?" tanya Yusuf lagi.
"He he, betul kata orang-orang di kampung, katanya saya dulu punya kakak yang tampan rupawan gagah sekali, tapi sayang mati dimakan srigala. Ternyata memang ganteng.!"
"Hep!" Yusuf mencowel pipi adiknya."Ayo makan!" ujarnya.
Di luar, di
pagar istana dekat gudang, seorang pengawal memberi sepiring makanan pada
laki-laki yang sedari tadi kayak orang'miring' kurang akal, duduk di batuan
pasir. Kumal. Kesal. Letih. Mata kosong,..... Rubin!
Syam'un dan
adik-adiknya diam tak berkutik di hadapan Yakup, bapak mereka. Sedari tadi,
setelah mereka sampai dan mengabarkan apa yang terjadi pada bapak mereka; Yakup
hanya diam. Itu membuat semuanya salah tingkah. Yahuda malah sudah sujud-sujud
di kaki Yakup, tapi Yakup diam saja. Sekaku gunung ditutup es salju.
Tak ada reaksi sepatah katapun, selain buliran air perlahan menetes dari mata ke pipi, ke sudut bibir dan ke dagu. Mata yang sudah mengabur karena sejak Yusuf hilang, sering menangis siang dan malam, kini semakin bersimbah oleh air mata. Yakup merunut dari awal, semenjak ia melihat Rahil anak Laban. Lalu menikah Liya duluan , baru Rahil. Mendapatkan anak dari Liya 10 orang, Dan lahirlah Yusuf. Bunyamin di kandungan, Yusuf hilang. Sekarang, Bunyaminpun hilang. Bencana yang memporakporandakan firasat, bahwa Yusuf harusnya melanjutkan tugas kenabian yang ia emban. Aduh, habislah semua harap!
Ibu mereka, Rahil, tak kalah dukanya. Dua anak kandungnya lenyap lengit, selalu bersama saudara-saudara angkatnya. Pedih hatinya. Luka batinnya. Pilu rintihnya....
"Kumpulkanlah semua harta, berikan pada Raja itu, tebuslah Bunyamin minggu depan. Ummi tak tahan, bunuh sajalah ummi mu ini sekalian!" umpatnya.
Tak ada reaksi sepatah katapun, selain buliran air perlahan menetes dari mata ke pipi, ke sudut bibir dan ke dagu. Mata yang sudah mengabur karena sejak Yusuf hilang, sering menangis siang dan malam, kini semakin bersimbah oleh air mata. Yakup merunut dari awal, semenjak ia melihat Rahil anak Laban. Lalu menikah Liya duluan , baru Rahil. Mendapatkan anak dari Liya 10 orang, Dan lahirlah Yusuf. Bunyamin di kandungan, Yusuf hilang. Sekarang, Bunyaminpun hilang. Bencana yang memporakporandakan firasat, bahwa Yusuf harusnya melanjutkan tugas kenabian yang ia emban. Aduh, habislah semua harap!
Ibu mereka, Rahil, tak kalah dukanya. Dua anak kandungnya lenyap lengit, selalu bersama saudara-saudara angkatnya. Pedih hatinya. Luka batinnya. Pilu rintihnya....
"Kumpulkanlah semua harta, berikan pada Raja itu, tebuslah Bunyamin minggu depan. Ummi tak tahan, bunuh sajalah ummi mu ini sekalian!" umpatnya.
Saran Ummi itu
masuk akal juga. Mencoba menebus Bunyamin. Dengan segala harta nan tersisa. Ada
piring mangkok tembikar. Ada kulit pelana unta. Ada pedang tajam melengkung.
Apapunlah! Yang penting Al Aziz dan pengawal serta panitia pembagian pangan,
ikhlas melepas anak atau adik mereka. Tak sampai hati, melihat Abi, Yakup, tak
bersuara, merenung dan air matanya tak berhenti mengalir. Penglihatannya, mulai
kabur. Jalannya meraba-raba....
Dua hari berikutnya , saudara-saudara Yusuf datang kembali ke Qahira. Denngan segala asa. Dengan segala doa.
Ahad pagi antrian rakyat kembali memanjang. Tapi rombongan saudara-saudara Yusuf langsung ke depan bertemu panitia. Berbicara dengan ketuanya. Beberpa saat. Lalu kelihatan, ketua panitia, menggerak-gerakkan tangannya, pertanda penolakan. Saudara--saudara Yusuf, tertunduk. Termangu. Merenung. Bertemu Bunyaminpun, mereka hari ini tak bisa. Jangan-jangan Bunyamin kini ada dalam sel tahanan! Kasihan, anak kecil itu....
Beginilah, bilanglah ke panitia, bahwa jika Bunyamin adik mereka tak diizinkan pulang, orangtua mereka bisa mati tak makan, meninggal karena kesedihan,...
Rubin maju ke panitia dan pengawal, lalu meminta, berharap, menghiba. "Jika adik kami tak pulang, bapak kami mungkin meninggal, ibu kami mungkin mati karena sedih. Tolonglah Tuan..."
Ketua panitia masuk ke istana, dan menyampaikan hal itu ke Yusuf. Yusuf memandang ke adiknya Bunyamin, yang kini segar bugar. Kemudian, ia memberikan baju jubahnya ke Ketua Panitia. "Berikan baju ini ke saudara-saudara dari Falistin itu, katakan, bahwa Al Aziz berkirim baju ini untuk mengobati kesedihan bapak Bunyamin."
"Baik Tuan " jawab ketua Panitia. Begitulah, saudara-saudara Yusuf membawa jubah Yusuf pulang ke Falistin, sebagai balasan tawaran Yakup dan istrinya Rahil.
Dua hari berikutnya , saudara-saudara Yusuf datang kembali ke Qahira. Denngan segala asa. Dengan segala doa.
Ahad pagi antrian rakyat kembali memanjang. Tapi rombongan saudara-saudara Yusuf langsung ke depan bertemu panitia. Berbicara dengan ketuanya. Beberpa saat. Lalu kelihatan, ketua panitia, menggerak-gerakkan tangannya, pertanda penolakan. Saudara--saudara Yusuf, tertunduk. Termangu. Merenung. Bertemu Bunyaminpun, mereka hari ini tak bisa. Jangan-jangan Bunyamin kini ada dalam sel tahanan! Kasihan, anak kecil itu....
Beginilah, bilanglah ke panitia, bahwa jika Bunyamin adik mereka tak diizinkan pulang, orangtua mereka bisa mati tak makan, meninggal karena kesedihan,...
Rubin maju ke panitia dan pengawal, lalu meminta, berharap, menghiba. "Jika adik kami tak pulang, bapak kami mungkin meninggal, ibu kami mungkin mati karena sedih. Tolonglah Tuan..."
Ketua panitia masuk ke istana, dan menyampaikan hal itu ke Yusuf. Yusuf memandang ke adiknya Bunyamin, yang kini segar bugar. Kemudian, ia memberikan baju jubahnya ke Ketua Panitia. "Berikan baju ini ke saudara-saudara dari Falistin itu, katakan, bahwa Al Aziz berkirim baju ini untuk mengobati kesedihan bapak Bunyamin."
"Baik Tuan " jawab ketua Panitia. Begitulah, saudara-saudara Yusuf membawa jubah Yusuf pulang ke Falistin, sebagai balasan tawaran Yakup dan istrinya Rahil.
Sesampai mereka
di halaman, belum lagi masuk ke rumah, Yakup sudah merasa aneh. Seakan dia
mencium bau anaknya Yusuf dari jauh. Kepalanya tegak. Hidungnya bergerak-gerak.
Darah mengalir ke kepala. Jantungnya berdebar-debar. Dan betul! Saudara-saudara
Yusuf menceritakan apa yang dialaminya di Qahirah, dan memberikan jubah ke Abi
mereka. Begitu jubah itu dipegang Yakup dan didekatkan ke hidungnya, Yakup
segera berdiri tegak! Ia berubah jadi tegap. Dan, masyaAllah, tiba-tiba matanya
memandang ke sekeliling dengan normal! Aroma Yusuf, membuatnya hidup! Ini bukan
tentang sihir, ini adalah tentang hubungan bathin yang tak dapat diceritakan
antara seorang bapak dengan anak yang dia sayangi, yang akan jadi pelanjut
tugas kerasulan!"Yusuf!, Anakku Yusuf!! Engkau masih ada!??" wajah
Yakup merona. Senyum yang selama bertahun-tahun hilang, kini datang
membayang....
Jika kita jadi anak, mungkin susah untuk merasakannya, namun jika kita pernah punya anak, hal ini mungkin mudah difahami. Bukan sekedar betapa membanggakan anak lelaki bagi bangsa Arab, tapi lebih dari itu! Bagai penyambung nyawa....
Jika kita jadi anak, mungkin susah untuk merasakannya, namun jika kita pernah punya anak, hal ini mungkin mudah difahami. Bukan sekedar betapa membanggakan anak lelaki bagi bangsa Arab, tapi lebih dari itu! Bagai penyambung nyawa....
"Abi?"
saudara-saudara Yusuf heran. Mengapa bapak mereka langsung sehat segar tegap
demi memegang jubah Al Aziz? Sebegitu saktinyakah raja Al Misri di Qahirah itu?
Padahal mereka yang membawa jubah itu tiga hari dua malam di perjalanan, tak
merasakan apa-apa....
"Kita ke Qahira! Ini Yusuf! Ini pasti Yusuf!! Bilang ke Ummi, kita ke Qahira..." Yakup berkata. Semangat hidupnya tiba-tiba menyala. Saudara-saudara Yusuf saling pandang. Apa-apaan Abi ini? Bukankah Yusuf sudah ko-id di dasar sumur lama sekali?
"Abi! Abi ini bicara apa?" kata Syam'un.
"Yusuf masih hidup. Yusuf memanggilku ke Qahira. Kita akan kesana bersama!" jawab yakup. Yusuf masih hidup? Itu jubah Yusuf? Bukan, itu jubah Al Aziz, raja muda gagah di Qahira. Ah, Abi mungkin terhalusinasi!
"Ummi, Ummi. Yusuf anak kita, ada di Qahira. Ummi, kita kesana. Kita kesana segera!" suara Yakup bergetar. Ummi terbelalak. Saudara-saudaranya, malah mengerinyitkan kening, antara percaya dan takut.
"Kita ke Qahira! Ini Yusuf! Ini pasti Yusuf!! Bilang ke Ummi, kita ke Qahira..." Yakup berkata. Semangat hidupnya tiba-tiba menyala. Saudara-saudara Yusuf saling pandang. Apa-apaan Abi ini? Bukankah Yusuf sudah ko-id di dasar sumur lama sekali?
"Abi! Abi ini bicara apa?" kata Syam'un.
"Yusuf masih hidup. Yusuf memanggilku ke Qahira. Kita akan kesana bersama!" jawab yakup. Yusuf masih hidup? Itu jubah Yusuf? Bukan, itu jubah Al Aziz, raja muda gagah di Qahira. Ah, Abi mungkin terhalusinasi!
"Ummi, Ummi. Yusuf anak kita, ada di Qahira. Ummi, kita kesana. Kita kesana segera!" suara Yakup bergetar. Ummi terbelalak. Saudara-saudaranya, malah mengerinyitkan kening, antara percaya dan takut.
Tak menunggu
beberapa hari, rombongan Yakup dan keluarganya sudah berangkat ke Mesir. Walau
Yakup dan Rahil sudah tua, tapi hari ini ia terlihat sedikit lebih muda. Jika
beberpa hari lalu saja, mata Yakup masih buta, hari ini, di punuk unta, Yakup
memandang garun pasir dan bukit berbatu dengan terang. Hati Yakup kini mungkin
sedang melantunkan lagu senandung zikir. Memuji kebesaran Tuhan dengan nada
bariton. Saudara-saudara Yusuf yang memperhatikan gerak tingkah Yakup, terbakar cemburu. Iri yang dulu pernah ada, dan membuat Yusuf
terpelanting ke dasar sumur. Bedanya, kini kehidupan berubah. Cemburu
saudaranya tak terekspresikan, karena suasana kemiskinan, kemelaratan,
paceklik, membuat mereka menjadi 'pengemis' ke Qahira. Duh!
Dua malam di perlajalanan, aroma Qahira sudah tercium. Suasana kehidupan agak beda. Rakyat terlihat lebih sumringah, karena pangan berkecukupan dibagikan Raja. Padahal sudah hampir memasuki tahun ke tujuh kemarau panas panjang. Para pengawal dan tentara Al Misri, segera berlari ke istana. Kurir menginformasikan, rombongan keluarga Tuan Raja Al Aziz segera memasuki Qahira. Di Istana, Al Aziz, sang ananda Yusuf, bersiap dengan segala penyambutan. Halaman bersih dan ruang istana harum semerbak. Bunyamin sudah sedari tadi pagi mandi dan berpakaian indah. Wajahnya bulat lucu, seperti rembulan manis. Semingguan di istana, ia berubah jadi sehat segar dan ceria. Terkadang, adik Raja, lebih dihormati dan disayang, ketimbang Al Aziz,..... entah!
Dua malam di perlajalanan, aroma Qahira sudah tercium. Suasana kehidupan agak beda. Rakyat terlihat lebih sumringah, karena pangan berkecukupan dibagikan Raja. Padahal sudah hampir memasuki tahun ke tujuh kemarau panas panjang. Para pengawal dan tentara Al Misri, segera berlari ke istana. Kurir menginformasikan, rombongan keluarga Tuan Raja Al Aziz segera memasuki Qahira. Di Istana, Al Aziz, sang ananda Yusuf, bersiap dengan segala penyambutan. Halaman bersih dan ruang istana harum semerbak. Bunyamin sudah sedari tadi pagi mandi dan berpakaian indah. Wajahnya bulat lucu, seperti rembulan manis. Semingguan di istana, ia berubah jadi sehat segar dan ceria. Terkadang, adik Raja, lebih dihormati dan disayang, ketimbang Al Aziz,..... entah!
Unta yang
membawa Yakup sampai di gerbang istana. Mereka dikawal beberapa pasukan
berkuda. Bebrapa person istana yang pintar bermain musik harpa dan gendang,
bersiap di sudut halaman. Sedari tadi mereka sudah latihan beberapa lagu puja
-puji dan penghormatan pada Tuhan dan orang tua.Rakyat yang mendengar
kedatangan keluarga Al Aziz dari falistin, juga penasaran, dan berbondong ingin
melihat.
Begitu unta
berhenti di gerbang, Al Aziz dan adiknya Bunyamin segera berjalan di hambal
ungu yang disiapkan. Mereka tak sabar ingin bertemu Ummi dan Abi. Taukah engkau
wahai teman, hati Yusuf bagai terekstase, melihat Ummi dan Abinya? Ingin ia
terbang melayang memeluk Ummi. Memeluk Abi. Belum selesai Abi dan Ummi
diturunkan pengawal, Yusuf Al Aziz telah memegang tangan ibunya, memeluknya
erta-erat, dan menyurukkan kepalanya ke dada Ummi. Maka meledaklah tangis Ummi.
Tak satu patah katapun terucap.
"Saya dibuang ke
dasar sumur, Ummiiii.... Saya ditinggal sendirian, Ummiiiii..... Saya memekik
minta tolong, Ummiiii..... Saya menangis dan takut, ya Ummiii....... Saya
kedinginan Ummiii....... Mereka, saudara saya, membunuh saya Ummiii..."
Yusuf menangis di pelukan tangan Ummi yang kulitnya rapuh. Mendengar itu, Ummi
makin menguatkan pelukannya. Dia cium ubun-ubun Yusuf.
Ternyata, Raja Al Aziz Muda, yang gagah tampan dan disayang sejak masa kecil nya oleh rakyat Qahirah, kini jatuh tak berkutik dalam pelukan ibunya.
Ternyata, Raja Al Aziz Muda, yang gagah tampan dan disayang sejak masa kecil nya oleh rakyat Qahirah, kini jatuh tak berkutik dalam pelukan ibunya.
Rakyat yang melihat,
tak pelak, ikut menangis. Mereka larut dalam suasana yang berbaur antara
indahnya pertemuan, perihnya pengkhianatan, panasnya cemburu, serta gemilangnya
kesabaran. Mereka terpesona. Mereka terbius. Group musik tradisionil yang
tadianya disiapkan untuk kemeriahan kedatangan orangtua Raja, kini malah
melantunkan irama lembut, dentingan harpa, dan zaffin rentak satu setengah,
yang mengaduk-aduk perasaan.
Yakup, terus berzikir dan bersyukur. Ia mendekat ke Yusuf dan rahil. Yusufpun ikut merangkul Abi. Ia memeluk keduanya sekaligus. Bapak itu lambang perjuangan. Bapak itu, lambang ketegaran. Bapak itu lambang kesabaran. Dan Bapak adalah representasi pembimbing kehidupan, yang tangisnya tak boleh kelihatan. Ia cukup dikeluarkan di dalam bilik kesendirian, atau di bawah pohon kurma bebatuan. Bapak, adalah perlindungan. Bapak, sesungguhnya adalah 'center of love'. Abiiii......
Yakup, terus berzikir dan bersyukur. Ia mendekat ke Yusuf dan rahil. Yusufpun ikut merangkul Abi. Ia memeluk keduanya sekaligus. Bapak itu lambang perjuangan. Bapak itu, lambang ketegaran. Bapak itu lambang kesabaran. Dan Bapak adalah representasi pembimbing kehidupan, yang tangisnya tak boleh kelihatan. Ia cukup dikeluarkan di dalam bilik kesendirian, atau di bawah pohon kurma bebatuan. Bapak, adalah perlindungan. Bapak, sesungguhnya adalah 'center of love'. Abiiii......
Rubin, Syam'un,
Yahuda dan semua saudara tiri Yusuf kini saling pandang. Bukankah Kakak tertua
dulu yang punya ide menyingkirkan Yusuf? Iya, tapi yang menganjurkan masukkan
ke sumur, yahuda kan? Ah, sudahlah! Kita semua telah teledor. Tak ada lagi
tempat sembunyi. Semua sudah terang benderang. Saya akan minta ampun pada
Yusuf. saya salah. Saya, juga. Sayapun juga!
Lalu Rubin, bicara,"Yusuf. Kini engkau kami persilakan menghukum kami. Sekehendak hatimu. Mau kau ludahi, mau kau tampar, mau kau tendang, mau kau pukul cambuk, atau yang lebih berat dari itu. Bahkan jika harus kami menjadi budakmu, selama apapaun kau mau, silakan. Kami menyerah. Kami salah. Kami dulu terbawa cemburu dan irihati, padamu. Ini leher kami, perbuatlah sesukamu....."
Yusuf terkesima mendengar ucapan itu. Terdengar dari lubuk hati nan dalam. Ungkapan penyesalan. Dan bukanlah Yusuf yang semena-mena membalas dendam. Di depan Ummi dan Abi, ia berucap,"Demi Tuhan Yang mengasihi ku dan mengasihi kakak semua, yang Menguasai segala Alam; saya hanya ingin kakak-kakak hidup bahagia dan semua maaf yang ada dikalbuku, aku serahkan untuk kakak-kakak!"
Demi mendengar ucapan Yusuf, semua kakak-kakaknya berlutut di hadapannya. bahkan Bunyamin yang bengong-bengong saja sedari tadi, ikutan berlutut karena hormatnya pada Yusuf yang sangat menyayanginya.
Yakup meletakkan telapak tangan di dada. Sejumput rasa tentram mengalir di hatinya. Menyebar ke seluruh tubuh. Membisikkan, betapa AgungNya Tuhan dan betapa sucinya ajaran kesabaran, keikhlasan, dan kejujuran. Yakup kini mampu tersenyum. "Masih ingat sebelas bulan bintang dan matahari yang engkau ceritakan dulu?" tanyanya ke Yusuf. Yusuf mmandang Abi, dan mengangguk. "Inilah kenyataannya!" jawab Abi. Sambil mengusap-usap kepala Yusuf. Subhanallah.
Lalu Rubin, bicara,"Yusuf. Kini engkau kami persilakan menghukum kami. Sekehendak hatimu. Mau kau ludahi, mau kau tampar, mau kau tendang, mau kau pukul cambuk, atau yang lebih berat dari itu. Bahkan jika harus kami menjadi budakmu, selama apapaun kau mau, silakan. Kami menyerah. Kami salah. Kami dulu terbawa cemburu dan irihati, padamu. Ini leher kami, perbuatlah sesukamu....."
Yusuf terkesima mendengar ucapan itu. Terdengar dari lubuk hati nan dalam. Ungkapan penyesalan. Dan bukanlah Yusuf yang semena-mena membalas dendam. Di depan Ummi dan Abi, ia berucap,"Demi Tuhan Yang mengasihi ku dan mengasihi kakak semua, yang Menguasai segala Alam; saya hanya ingin kakak-kakak hidup bahagia dan semua maaf yang ada dikalbuku, aku serahkan untuk kakak-kakak!"
Demi mendengar ucapan Yusuf, semua kakak-kakaknya berlutut di hadapannya. bahkan Bunyamin yang bengong-bengong saja sedari tadi, ikutan berlutut karena hormatnya pada Yusuf yang sangat menyayanginya.
Yakup meletakkan telapak tangan di dada. Sejumput rasa tentram mengalir di hatinya. Menyebar ke seluruh tubuh. Membisikkan, betapa AgungNya Tuhan dan betapa sucinya ajaran kesabaran, keikhlasan, dan kejujuran. Yakup kini mampu tersenyum. "Masih ingat sebelas bulan bintang dan matahari yang engkau ceritakan dulu?" tanyanya ke Yusuf. Yusuf mmandang Abi, dan mengangguk. "Inilah kenyataannya!" jawab Abi. Sambil mengusap-usap kepala Yusuf. Subhanallah.
Adakah pesta yang
dilakukan tahun keenam, memasuki tahun ketujuh paceklik?Ada! Ini dia. Di istana
Raja Al Aziz, Qahirah. Pesta penyambutan keluarga Raja. Semua saudara, Ummi dan
Abi, diminta Yusuf, untuk tinggal bersamanya. Pesta yang tak begitu mewah;
sekedar makan minum dan penganan lezat. Roti khubz. Kue basbousa. Nasi minyak
samin. Ikan bakar. Kare daging domba. Buah kurma. Buah pisang Afrika. Serta
jeruk dari Tunis. Baraqallah. Wa syukurillah.
Saudara-saudaranya, oleh Yusuf diberi kegiatan, kini bahkan menjadi anggota panitia pembagian jatah pangan pada rakyat. Bunyamin saja yang setiap hari ikut Yusuf kemana-mana. Adik kandungnya itu, oleh Yusuf, selain dibimbing, juga jadi tempat berkasih sayang.
Begitulah, tak terasa berbulan kemudian, musim dan iklim berganti. Tiba-tiba di langit, terlihat gabak. Ada mendung terlihat dari jauh. Rakyat, yang sudah lebih enam tahun dikekang kemarau panjang; sumringah dan gembira hatinya. Akankah sore ini hujan pertama akan turun?
Jika iya, artinya memang betullah, mimpi Al Aziz senior, yang ditakwil Al Aziz Muda; tujuh tahun masa subur diikuti tujuh tahun maca paceklik.
Langit makin gelap. Awan bertambah tebal. Tiba-tiba terdengar guruh. Lalu kilat dan petir. Ya Tuhan, Yang Maha Berkuasa; hujan nan dirindukan segera datang. dan lahan pertanian akan kembali subur. Sumur-sumur tentu penuh berisi. Sayur tumbuh hijau, terutama sepanjang daerah aliran sungai Nil.
Dan betul. Tetes-tetes hujan turun pada awalnya jarang. Tapi besar-besar. lalu makin lebat. Makin deras. Rakyat mengembangkan tangannya. Memandang ke langit dengan ceria. Ya Tuhan, sudah berhenti kemarau panjang. SUdah datang tetes hujan. Lebat. Menyiram tanah. Membasuh atap. Mendinginkan kalbu!
Anak-anak, lebih gembira lagi. Mereka berlarian di halaman. Membiarkan kepala dijatuhi bintik hujan yang besar-besar. Tertawa-tawa. Berkejaran. Saling tangkap. Lalu berlari lagi. Alhamdulillah!
Saudara-saudaranya, oleh Yusuf diberi kegiatan, kini bahkan menjadi anggota panitia pembagian jatah pangan pada rakyat. Bunyamin saja yang setiap hari ikut Yusuf kemana-mana. Adik kandungnya itu, oleh Yusuf, selain dibimbing, juga jadi tempat berkasih sayang.
Begitulah, tak terasa berbulan kemudian, musim dan iklim berganti. Tiba-tiba di langit, terlihat gabak. Ada mendung terlihat dari jauh. Rakyat, yang sudah lebih enam tahun dikekang kemarau panjang; sumringah dan gembira hatinya. Akankah sore ini hujan pertama akan turun?
Jika iya, artinya memang betullah, mimpi Al Aziz senior, yang ditakwil Al Aziz Muda; tujuh tahun masa subur diikuti tujuh tahun maca paceklik.
Langit makin gelap. Awan bertambah tebal. Tiba-tiba terdengar guruh. Lalu kilat dan petir. Ya Tuhan, Yang Maha Berkuasa; hujan nan dirindukan segera datang. dan lahan pertanian akan kembali subur. Sumur-sumur tentu penuh berisi. Sayur tumbuh hijau, terutama sepanjang daerah aliran sungai Nil.
Dan betul. Tetes-tetes hujan turun pada awalnya jarang. Tapi besar-besar. lalu makin lebat. Makin deras. Rakyat mengembangkan tangannya. Memandang ke langit dengan ceria. Ya Tuhan, sudah berhenti kemarau panjang. SUdah datang tetes hujan. Lebat. Menyiram tanah. Membasuh atap. Mendinginkan kalbu!
Anak-anak, lebih gembira lagi. Mereka berlarian di halaman. Membiarkan kepala dijatuhi bintik hujan yang besar-besar. Tertawa-tawa. Berkejaran. Saling tangkap. Lalu berlari lagi. Alhamdulillah!
Di awal musim hujan
inilah,tiba-tiba datang khabar dari kampung Ayahanda Al Aziz, bahwa beliau
wafat. Yusuf kaget.
Bukankah setiap bulan dia berkunjung ke Ayah dan Bundanya itu, beliau senantiasa sehat wal afiat?
"Betul Tuan Raja Al Aziz. Kamipun, yang menemani beliau setiap hari, terkejut. Tak ada sakit keras. Kecuali demam-demam biasa. Tak ada kejadian aneh, semisal stroke, atau lemah. Atau apapun. Beliau pergi begitu saja...." kata pengawal yang ditugasi.
Memang, ketika berkunjung terakhir, Al Aziz bicara,"Yusuf. Saya bahagia tugas yang engkau laksanakan berjalan baik. saya bangga mewariskan negri ini kepadamu. Jika tak salah, firasatku hujan akan segera turun bulan-bulan mendatang. Panas udara sudah makin meninggi. Saya puas. Saya berterimakasih pada Tuhan yang telah mengirimmu kepadaku sejak kecil dulu..." Itu kalimat Al Aziz yang diingat Yusuf bulan lalu. Adakah itu pertanda pamit?
Dan Yusuf segera bertolak takziah ke kampung Al Aziz. Mengendarai unta besar, dengan membawa serta Abi. Ummi tak ikut, karena sudah tak memungkinlan lagi berjalan jauh. Kasihan....
Itulah kali terakhir Yusuf, bersilaturrahmi ke rumah besar Al Aziz, ayahandanya, di kampung. Setelahnya, Yusuf kembali ke Qahirah, dan menjalankan kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Barqallah lii wa lakum.
Bukankah setiap bulan dia berkunjung ke Ayah dan Bundanya itu, beliau senantiasa sehat wal afiat?
"Betul Tuan Raja Al Aziz. Kamipun, yang menemani beliau setiap hari, terkejut. Tak ada sakit keras. Kecuali demam-demam biasa. Tak ada kejadian aneh, semisal stroke, atau lemah. Atau apapun. Beliau pergi begitu saja...." kata pengawal yang ditugasi.
Memang, ketika berkunjung terakhir, Al Aziz bicara,"Yusuf. Saya bahagia tugas yang engkau laksanakan berjalan baik. saya bangga mewariskan negri ini kepadamu. Jika tak salah, firasatku hujan akan segera turun bulan-bulan mendatang. Panas udara sudah makin meninggi. Saya puas. Saya berterimakasih pada Tuhan yang telah mengirimmu kepadaku sejak kecil dulu..." Itu kalimat Al Aziz yang diingat Yusuf bulan lalu. Adakah itu pertanda pamit?
Dan Yusuf segera bertolak takziah ke kampung Al Aziz. Mengendarai unta besar, dengan membawa serta Abi. Ummi tak ikut, karena sudah tak memungkinlan lagi berjalan jauh. Kasihan....
Itulah kali terakhir Yusuf, bersilaturrahmi ke rumah besar Al Aziz, ayahandanya, di kampung. Setelahnya, Yusuf kembali ke Qahirah, dan menjalankan kepemimpinan dengan sebaik-baiknya. Barqallah lii wa lakum.